Selama ini kita telah disuguhi dengan pertentangan antar golongan dengan dalih pengetahuan yang dimiliki masing-masing golongan. Memang pengetahuan yang direkam dalam pikiran kita akhirnya kita jadikan sebagai nilai referensi. Kalau tidak sama direnungkan, apakah ditolak atau diterima. Kalau bisa dimengerti, maka nilai lama akan direvisi. Padahal perbedaan pemahaman seperti ini adalah fitrah bahkan merupakan rahmat Ilahi. Bayangkan kalau semua orang berpikiran sama, maka hidup akan menjadi membosankan dan tidak berkembang. Kita menjadi robot yang hidup dalam dunia yang statis. Jadi betapa indahnya perbedaan!!!
Adalah kenyataan
bahwa manusia memiliki tiga jenis pengetahuan, yaitu:
· Pengetahuan yang ditangkap oleh indra dan
disimpan dalam memori, misalnya pengetahuan perihal matahari
· Pengetahuan yang masih bersifat hipotesa
atau teori yang merupakan olahan dari pengetahuan pertama untuk digali oleh
pengertian untuk mendapatkan manfaat lebihnya, misalnya bagaimana
memanfaatkan/mengelola sinar matahari dan
· Pengetahuan yang tidak/belum bisa
diketahui, misalnya siapa yang menciptakan matahari.
Ketiga
jenis pengetahuan ini semestinya dipakai, bukan hanya berdasarkan yang pertama
dan kedua. Ketidak-bulatan dalam pengetahuan tersebut akan memicu pertentangan.
Manusia sendiri memiliki sarana dirinya,
berupa emosi dan ambisi. Keduanya merupakan hawa nafsu manusia. Selain emosi
dan ambisi yang merupakan fitrah dirinya, manusia juga dibekali dengan
kemampuan yang disebut sensorik & motorik, perasaan, kemauan, memori, pengertian
dan akal. Manusia yang
tidak bisa menguasai emosi dan ambisinya akan menjadi penyebab pertentangan.
Dalam hal wilayah
kehidupan manusia, terdapat dua wilayah, yaitu wilayah pribadi dan wilayah
publik/umum. Kedua
wilayah ini harusnya dipertahankan, namun yang terjadi sekarang wilayah pribadi
ditampilkan ke publik. Wilayah pribadi dijadikan komoditas. Hal ini mendorong
orang berlomba-lomba menampilkan wilayah pribadi ke publik, maka yang muncul
adalah kekacauan.
Dalam kehidupan
berketuhanan, karena Tuhan adalah wujud gaib, maka orang-orang saling berlomba
menjelaskan perihal Tuhan dengan persepsinya masing-masing. Hal ini adalah sah
dan wajar, sehingga tidak boleh dihalangi. Kecuali bilamana dalam prakteknya
melanggar hak-hak yang lain.
Marilah
kita menikmati perbedaan dan tidak mempermasalahkannya. Marilah kita saling
menghormati dan saling mengingatkan tanpa memaksakan nilai kita kepada yang
lainnya. Kita semua mengerti, memang ada perasaan was-was yang muncul, yaitu
kekhawatiran bahwa keluarga dan keturunan kita menjadi manusia gagal. Ketakutan
inilah yang mendorong kita berupaya mencekoki keluarga kita dan orang-orang di
sekitar kita untuk mengikuti kita. Upaya menarik pengikut inilah yang bisa kita
sebut sebagai ilmu sihir, yaitu ilmu yang dimanfaatkan untuk menarik masa agar
menjadi pengikut.
Marilah
pula kita kembalikan wilayah pribadi tetap dalam ranah pribadi jangan dibawa ke
publik. Meski mungkin tidak menyebabkan pertentangan, namun kehormatan kita
akan tergerus. Marilah kita hidup terhormat dengan menjaga wilayah pribadi,
namun tanpa menanamkan semakin kuat bayangan hitam pada diri kita. Bukankah
semakin tinggi pohon, semakin dalam akar menghujam ke kegelapan? Bukankah
semakin tinggi bangunan juga memerlukan hujaman fondasi ke dalam kegelapan
tanah?
Bagaimanakah
hidup semakin terhormat/mulia tanpa menanamkan bayangan hitam semakin dalam?
Jadilah cahaya bagi dirimu, keluargamu, umatmu.