Seorang
anak bertanya kepada ayahnya, untuk apa melakukan shalat?
Untuk
mengingat Allah.
Lalu si
anak berkata, “Kalau tujuan shalat adalah mengingat Allah, untuk apa harus
melakukan berdiri ruku’, sujud, duduk dalam shalat dan diulang-ulang? Bukankah
kita bisa mengingat Allah sambil duduk, sambil tiduran, dan lain-lain.”
“Kamu
betul nak, namun renungkanlah, untuk apa kita berjuang mendapatkan gelar? Untuk
apa kita bersusah payah meniti karir? Untuk apa kita berpeluh keringat
berlatih?”
Si
anak menjawab, “Ya untuk mendapatkan kemuliaan.”
“Nah,
kalau begitu manusia akan menjadi mulia, terhormat, terpuji adalah akibat dari
perjuangannya, betulkah?
Dan si
anak mengangguk.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau Yang kita muliakan tiba?
Berdiri.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau memberi hormat kepada Yang kita muliakan?
Menunduk.
Bagaimana
sikap dan tindakan kita kalau menyerahkan diri?
Pasrah,
bersujud kalau perlu.
Kalau
begitu, shalat adalah fitrah manusia dalam menyembah kepada Tuhannya yang
diikuti oleh gerak tubuhnya.
Dari logika
dialog di atas, semakin jelas bahwa shalat merupakan penyembahan yang terbaik,
terpuji. Bahkan tak ada shalat satu rekaat, shalat itu rekaatnya diulang-ulang;
sehingga dalam satu hari paling tidak ada 17 kali pengulangan. Ini menunjukkan
tingkat kesulitan yang sangat tinggi, sehingga hanya pejuang yang punya sikap
dan tekad saja yang bisa memahami dan menikmati shalat.
Kembali kepada
tujuan hidup manusia, yaitu untuk beribadah menyembah Sang Penciptanya. Sebagai
penyembah yang baik, sudah sepantasnya harus berupaya sungguh-sungguh untuk
mengenal Yang dia sembah agar jelas siapa Yang dia sembah. Bilamana tidak
jelas, salah-salah bisa menyembah bayangan pikirannya sendiri, batu atau wujud
lain yang bukan Sang Pencipta.
Sedangkan
kesempurnaan pengenalan kepada-Nya haruslah melalui pertemuan dengan-Nya. Oleh
karena itu, bagi yang bertekad menyempurnakan dirinya, haruslah berjuang dengan
sungguh-sungguh untuk bisa sampai menemui-Nya. Hal ini harus diterapkan dalam
setiap fase shalat.
Melalui
keteladanan Nabi Muhammad saw dan dijelaskan melalui kisah perjalanan hidup Sunan
Kalijaga, maka untuk mencapai kemuliaan di hadapan Allah, kita harus berjuang
sungguh-sungguh untuk menyembah Allah melalui ingat, menghadap, menemui,
mengenal, mencintai dan menyerahkan diri kepada-Nya. Sehingga kita akan
mengalami proses penyempurnaan diri atau mi’raj yang dilaksanakan rutin dalam
shalat, secara fitrah.
Allah berfirman
dalam QS Al Baqarah 2 ayat 238 memerintahkan, “Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah dengan khusyu' (qanitiyna).”
AN NAFS AL AMMARRAH
BIS SUU’
QS At Tiin 95
ayat 4-5, “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan
dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”
Tempat yang
serendah-rendahnya umumnya difahami sebagai neraka. Walau bisa jadi itu
dimaknai sebagai fitrah tanah yang senantiasa terjatuh ke bawah. Dengan
demikian posisi terendah manusia adalah yang terikat kepada jasmaninya. Berada
pada posisi bersinggasana dalam
jasmaninya yang terbuat dari tanah, yaitu berada di alam al mulk wa asy
syahadah (alam katon). Alam al mulk wa asy syahadah adalah alam dunia yang
dikenali dengan indra.
Penyaksian akan
keberadaan alam ini adalah melalui kesadaran diri (jiwa), yaitu keadaan yang
hanya bersifat informatif dan belum memiliki penilaian. Sebagai contoh, kita
menyadari bahwa diri kita terdiri atas tubuh yang dilengkapi dengan organ
seperti otak, jantung, kulit, mata, kemaluan, telinga, lidah, hidung dan
lain-lain. Anasir yang menyusun tubuh ini adalah sama dengan anasir alam
semesta, yang menurut Qur’an diwakili oleh unsur tanah. Ini semua hanyalah
informasi yang dimiliki oleh sang diri, yang bisa berupa sangkaan (persepsi).
Di posisi ini, diri
manusia memiliki dorongan (hawa) yang senantiasa bersemangat karena didorong
oleh naluri atau perintah (amar) untuk dipuaskan. Pada tahapan ini, aktifitas manusia
didorong oleh semangat untuk mendapatkan kepuasan jasmaniah, seperti makan,
minum, syahwat dan lain-lain. Intinya adalah adanya dorongan diri untuk
mempertahankan kenikmatan jasmaniah, berkembang biak dan mencari keselamatan
diri melalui dorongan emosi (ghadhab) dan dorongan ambisi (syahwat).
Karena dorongan
jasmani dalam mencapai kepuasan tanpa mengenal aturan dan moralitas, maka Al Qur’an
menyebut dengan diri yang memerintahkan kepada kejahatan (An nafs al amarrah bi
al-suu’). QS Yusuf 12 ayat 53, “Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam suluk Ling Lung di atas digambarkan sebagai hati
yang berwarna hitam (hijau kehitaman); yaitu yang “luwih prakosa, panggawene serengen sebarang runtik, dursila
angambra-ambra. Iya iku ati kang ngedhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang
ireng iku karyane.”
Manusia akan
mencintai dunia dan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya. Sehingga
dikatakan bahwa kita seperti binatang ternak bahkan lebih rendah daripada itu,
yakni seperti golongan reptilia yang tidak memiliki emosi dan intelektualitas,
tidak peduli apakah telurnya menetas ataukah anak-anaknya selamat atau tidak?
Kesadaran
kepada Tuhan baru akan muncul ketika mereka ini diambil kesenangannya, sehingga
mengalami frustasi dan ingat kepada Tuhannya karena membutuhkan
pertolongan-Nya. Sang diri yang terikat pada jasmani ini, kemudian ingat lalu
bersedia menyembah kepada Tuhan semesta alam.
Menurut Ali kw,
mereka inilah yang dadanya mendapatkan cahaya Islam (nur al Islam) sebagaimana
difirmankan dalam QS Az Zumar 39 ayat 22, “Maka
Apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (ash shadr) untuk (menerima)
agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang
membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu
hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Bagi yang sudah
bersikap dan bersedia melaksanakan penyembahan ini, secara fitrah mereka melakukannya
dengan cara berdiri dan dada membuka. Seperti digambarkan dalam QS Asy Syu’ara 26 ayat 218-219, “Yang melihat
kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu
di antara orang-orang yang sujud.”
Juga QS Al
An’aam 6 ayat 79, “Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan
cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
Diperkuat
dengan hadits berikut, dari Anas Bin Malik ra, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda,
Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan
mengharap kepadaKu, Aku memberi ampunan (maghfirah) kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku
tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit,
kemudian kamu (menghadap) minta ampun kepadaKu, maka Aku memberi ampunan
(maghfirah) kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepadaKu
dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak
menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan
(maghfirah) sepenuh bumi.”””
Dan juga hadits Bukhari dan Muslim berikut:
Abu Hurairah ra berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Aku
menurut sangkaan [zhanni] hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia
ingat kepada-Ku. Jika ia ingat kepada-Ku dalam dirinya [fi nafsihi], maka Aku
mengingatnya dalam diri-Ku [fi nafsiy]. Jika ia ingat kepada-Ku dalam kelompok,
maka Aku mengingatnya dalam kelompok orang-orang yang lebih baik dari kelompok
mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya
sehasta. Jika ia mendekat sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia
datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari
kecil.”
Oleh karena
itu, sambil berdiri, ingatlah kepada Tuhan dalam dirimu, sebagaimana disebutkan
dalam QS Al A’raaf 7 ayat 205, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Bersikaplah
berserah diri, tunduk kepada Yang Maha Besar (Allahu Akbar), sehingga keseluruhan
diri kita menerima Allah sebagai Tuhan. Berserah dirilah kepada-Nya dengan
menyebut Asma-Nya dalam diri kita. Dan dengan kesadaran diri melalui pengetahuan
bahwa jasmani kita tercipta dari anasir alam semesta yang sebenarnya kosong dan
hanya berupa medan daya, luaskan kesadaran diri tersebut dengan tetap berupaya untuk
ingat kepada Tuhan, hingga ada sentuhan kedekatan, sentuhan kesambungan,
sentuhan dalam celupan liputan Allah.
Untuk membuka
kesambungan dengan Allah, kita diminta membaca do’a iftitah sebagai kunci untuk
membuka pintu gapura menuju jalan lurus ke Allah, dan dengan wajib membaca QS Al
Fatihah yang artinya Pembukaan, “Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang Menguasai di
hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Kesadaran diri
yang mula-mula menganggap jasmani yang terbuat dari tanah sebagai subyek yang
harus dipenuhi keinginannnya, akan berubah. Bahkan dengan mulai mengetahui
bahwa jasmani yang sedang menyembah bukan lagi wujud fisik dari tanah, namun adalah
kumpulan elektron, proton dan netron. Kesadaranan diri akan meningkat menjadi pengetahuan
bahwa diri kita merupakan kumpulan elemen atom yang terikat oleh medan daya
dari inti diri kita. Inti inilah fitrah diri kita. Fitrah yang memiliki
kekuatan / qudrat untuk mengikat elektron dan proton agar tidak terlepas,
sehingga membentuk perwujudan kita.
Bilamana
kesadaran jiwa ini bisa menyentuh dalam celupan liputan Allah, maka yang lain
akan terabaikan. Sampai-sampai para sahabat Nabi saw meminta dicabut panah yang
menancap di tubuhnya ketika sedang shalat.
Semoga kita
sudah bisa menerima Allah dan mendapatkan cahaya-Nya, sehingga pantas masuk ke dalam
istana Allah yang disebut dengan Ash Shadr.
AN NAFS AL LAWWAMMAH
Di atas yang
wujud selalu terdapat kekuatan atau kemampuan (qudrat) yang membuat wujud
tersebut ada, bahkan beraktifitas. Tanpa adanya qudrat tersebut, maka wujud
tersebut akan hancur musnah, sebab qudrat itulah yang mengikat masing-masing
komponen untuk membentuk suatu perwujudan. Kekuatan tersebut berada pada inti
atau sang diri dari masing-masing perwujudan, yaitu diwakili oleh akunya.
Sayangnya
kemampuan atau kekuatan tersebut juga memunculkan adanya pengetahuan atas
positif-negatif, benar-salah atau baik-buruk. Sebagai akibatnya manusia akan
menganggap dirinya berada pada posisi positif atau baik atau benar. Sehingga manusia
memiliki dorongan (hawa) meremehkan, mencela, tidak menghormati kepada yang
berbeda posisinya. Sampai kemampuan mereka dicabut atau mengalami musibah atau
mendapatkan pencerahan, sehingga mereka menyesali dirinya, seperti digambarkan QS Al Qiyamah 75 ayat 2, “Dan Aku
bersumpah dengan jiwa (diri) yang amat menyesali.” Suluk Linglung
menggambarkannya dengan warna kuning, “kuwasane
neng gulang sebarang, cipta kang becik dadine, panggawe amrih hayu, ati kuning
ingkang ngadhangi, mung panggawe pan rusak, linantur jinurung.”
Kebanyakan
manusia zaman sekarang dan akan datang terjebak dalam penjara kemampuan
dirinya. Kemampuan yang paling diandalkan oleh manusia zaman ini adalah
kemampuan akal-budinya yang berhubungan dengan otaknya. Otak yang disuplai
darah oleh jantungnya. Yang dengan itu, otak menjadi hidup dan berfikir hingga
mampu memberikan penerangan kepada dirinya. Otak bernaluri untuk melakukan
analisa benar-salah dan baik-buruk.
Bagi kita yang
tidak kuat dengan tarikan naluri otak ini, akan terjebak dalam naluri menilai
benar-salah atau baik-buruk. Kita menjadi suka berlagak sebagai hakim bahkan
sebagai eksekutor untuk menindak orang-orang yang memiliki pandangan berbeda.
Kita menjadi suka memvonis orang lain. Kita suka bertindak berlebihan
mengatas-namakan kebenaran atas pendapat yang diyakini. Kita secara tidak sadar
mengakui dua Tuhan, yakni Tuhan yang benar dan setan yang sesat.
Kita tidak
sadar bahwa kita berada di jurang kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Mu’minuun 23 ayat 52-54:
Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua,
agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.
Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan
agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka.
Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu
waktu.
Bahkan berada di jurang kemusyrikan, sebagaimana
firman Allah dalam QS Ar Ruum 30 ayat
30-32:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya
serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu
orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.
Permasalahan
hidup yang dialami manusia akan memaksa manusia untuk kembali ingat kepada
Allah, melalui munculnya pengetahuan akan ketidak-mampuan dirinya. Sang diri
yang mengetahui ketidak-mampuannya akan menyembah kepada Tuhan semesta alam
dengan ketundukan diri melalui sikap menghormati-Nya, maka tubuh secara fitrah akan
tunduk dengan ruku’.
Berbeda dengan
mereka yang mendustakan karena merasa memiliki kemampuan pribadi. Digambarkan dalam QS Al Mursalatin 77 ayat 47-48:
Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang
yang mendustakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ruku’lah”, niscaya
mereka tidak mau ruku'.
Melalui sikap
menghormat dan menyadari bahwa kita sebenarnya tidak berkemampuan, maka akan
mendorong kita berhenti dari sikap mencela, baik mencela orang lain maupun diri
sendiri. Kita berkehendak menyerahkan diri kita beserta kemampuan kita kepada
Allah. Karena sesungguhnya, Allah sendiri lah Yang tak terkalahkan, Subhana Rabbiy Al ‘Azhim.
Di dalam dada
inilah terdapat sesuatu yang membuat kita mengetahui adanya kemampuan, yaitu
qalbu yang merupakan bagian dari istana Allah yang disebut Al Qalby. Qalbu
adalah pusat pengajaran, kasih sayang, ketakutan dan keimanan. Ali kw
menyebutkan bahwa qalbu merupakan tempat terbitnya keimanan kepada Allah,
sebagaimana firman Allah dalam QS Al Mujaadilah 58 ayat 22, “.... Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam
hati (qalbu) mereka dan menguatkan mereka dengan ruh yang datang daripada-Nya. ....”
Oleh karena itu
di saat ruku’ menghormat kepada Allah, berikan penghormatan diri tersebut kepada
Allah sampai disambut-Nya. Sampai tercelup qudrat kita ke dalam qudrat Allah
dan kembali kepada Pemilik-Nya.
AN NAFS AL MULHAMAH /
AN NAFS AS SUFFIYYAH
Di atas
kemampuan terdapat kehendak (iradat). Tanpa kehendak, jasmani dan kemampuan
akan diam tak beraktifitas. Melalui kehendak bebas manusia inilah, maka
terjadilah perkembangan peradaban. Perkembangan peradaban diperuntukkan untuk
mendapatkan kenikmatan lebih dari Allah. Kehendak ini muncul setelah kita
mendapatkan ide (ilham), baik berupa kejahatan maupun kebaikan. Manusia-manusia
yang tidak terjebak dalam kebenaran subyektif telah mampu mengelola ilham
kejahatan dan kebaikan, untuk mendapatkan manfaat terbesar baginya. Sebagai contoh,
kita seringkali malas melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki, hal ini
akan mengilhami kita untuk menciptakan sarana transportasi, yang akan
memudahkan kita bepergian, hingga berkembanglah teknologi transportasi. Mereka
yang akunya duduk di kehendaknya dan bila terdorong oleh hawa nafsunya akan
menjadi loba dan tamak.
Kita diberi
kemampuan untuk mengekspresikan diri untuk mendapatkan kenikmatan atau dalam
rangka menjalankan tugas melalui berbagai media. Media yang bisa kita gunakan
beragam, bisa media tulis, instalasi, suara, dan lain-lain. Karena memiliki
kehendak setelah mendapat ilham, maka manusia disebut dengan sebutan an nafs al
mulhamah atau an nafs as sufiyyah.
Dan diri (jiwa) serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada diri (jiwa) itu kefasikan dan
ketakwaan.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya (QS Asy Syams 91 ayat 7-10).
Suluk Linglung
menggambarkannya dengan warna merah, “iya
tudhuh nepsu tan becik, sakabehe pepinginan, metu saking iku, panas baran
papinginan, ambuntoni maring ati ingkang ening, maring ing kawekasan.”
Gambarannya
adalah seperti pedagang, pengusaha dan lain-lainnya yang berupaya untuk
mendapatkan untung atau faedah sebesar-besarnya. Akibatya adalah eksploitasi
sumber daya alam dan manusia hanya demi yang namanya keuntungan tanpa mampu
melihat dampak global. Dengan keuntungan tersebut manusia menjadi loba dan
tamak, lupa kepada Allah, hingga dihadapkan dengan kebangkrutan, kehancuran dan
lain-lain. Pada saat itulah, kita akan mulai memahami makna bersyukur dan mulai
mengikuti tarikan ruhani, mulai mengingat Allah kembali. Bilamana mereka
menyempurnakan dirinya, mereka akan terdorong untuk selalu mensyukuri nikmat
tersebut, bukan sekedar menikmati. Mereka inilah yang dianggap beruntung,
karena telah mensucikan dirinya.
Kita yang
bersinggasana di kehendaknya akan menyembah Tuhan semesta alam dengan berdiri
i’tidal, dengan sikap bersyukur kepada Allah Al Hamid, Sami’ Allahu liman Hamidahu, Rabbana wa laka Al-Hamdu. Ajaklah sang
diri yang duduk di kehendak untuk tunduk kepada Allah bahkan bersedia tidak
berkehendak lagi, tetapi bersedia dengan senang hati menerima kehendak Allah.
Dan semoga kita mendapat kemuliaan diterima di ruang istana Al FuadNya, hingga
kita tersujud.
Ali kw
menyebutkan bahwa al fuad merupakan tempat terbitnya ma’rifatullah, sebagaimana
firman Allah QS An Najm 53 ayat 11, “Hatinya
(al fuad) tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”
Marilah kita
lakukan meski kita mulai dari sekedar sangkaan (zhan) sedang bertemu Allah atau
dilihat Allah, sebagaimana disampaikan dalam QS Al Baqarah 2 ayat 45-46, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang menyangka, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”
Pada saat
i’tidal’ mensyukuri dan memuji Allah, fahamkan bahwa kenikmatan tertinggi
adalah Allah itu sendiri. Kembalikan iradat kita kepada Allah sampai
disambut-Nya. Sampai tercelup iradat kita ke dalam iradat Allah dan kembali
kepada Pemilik-Nya.
AN NAFS AL MUTHMA’INAH
Dalam setiap
aktifitas untuk mewujudkan kehendak, dalam diri ini pasti ada pelaku. Pada awalnya sang pelaku ini dalam keraguan. Dia akan terombang-ambing antara pilihan
ya atau tidak. Dia menjadi tenang (muthmainah) kalau sudah memahami maunya,
apalagi sudah memahami hakikat tujuannya. Diri inilah yang paling dicintai,
yang selalu berusaha untuk dipuaskan.
Apalagi kalau sudah memahami hakikat tujuan keberadaannya
dirinya dan menyaksikan keberadaan Sang Ruh. Sang Ruh
yang mengantarkannya ke tujuan yang paling tinggi, niscaya diri yang bimbang
tadi menjadi semakin tenang. QS Al Fajr 89 ayat 27 menyebutkan, “Hai diri (jiwa) yang tenang.” Sedangkan Suluk
Linglung menggambarkannya dengan warna putih yaitu “ati enteng mung suci tan ika iki, prawira ing karaharjan.”
Dalam kebersediaan inilah sang diri akan dengan sukarela
tunduk dan bersujud kepada Sang Ada (Al Wujud). Tanpa kita sadari rasa cinta
yang dalam yang semula hanya ditujukan kepada akunya, akan berangsur-angsur
bersedia menerima Allah sebagai Tuhannya. Oleh karena itu, marilah kita
sempurnakan dengan menundukkan diri kita kepada-Nya dengan penuh rasa cinta
serta kembalikan keberadaan wujud kita kepada-Nya, hingga tersujud dan memahami
makna sujud tersebut, Subhana Rabbiy Al
‘Ala. Sampai kita bisa diterima di bilik istana Asy Syaghaf.
Ali kw
menyatakan bahwa asy syaghaf merupakan tempat terbitnya cinta kepada Allah.
Sebagaimana digambarkan Allah dalam kisah Nabi Yusuf as dengan Zulaikha pada QS
Yusuf 12 ayat 30, “Dan wanita-wanita di
kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya
(kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam
(syaghafaha hubba). Sesungguhnya Kami memandangnya dalam kesesatan yang
nyata."
Saat sujud
bangkitkan cinta kita kepada Allah. Cinta adalah kepemilikan, cinta adalah
ingin memiliki. Sehingga hanya ada dua pilihan, mencintai diri sendiri atau
mencintai Allah. Pilihlah untuk mencintai Allah melalui sujud kita dalam
shalat. Bangkitkan cinta kita kepada Allah sampai disambut-Nya. Sampai kita
rela menerima apa pun yang dimau Allah.
AR RADHIYYAH
Allah menyukai kepada yang sukarela menyadari akan kesejatiannya. Apalagi bersedia menerima kenyataan bahwa
yang menyaksikan dalam dirinya adalah Sang
Ruh dan bersedia menyerahkannya kembali kepada FitrahNya, “Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan ridha lagi diridhai-Nya (QS Al Fajr 89 ayat 28).”
Yang ridha (ar
radhiyyah) adalah yang rela dengan apa yang diterimanya dan meyakini bahwa
semuanya datang dari Allah demi kesempurnaan atau kebaikannya. Pada posisi ini,
sang diri sudah moksa, yang ada adalah yang ridha, sehingga tidak dipanggil
dengan an-nafs ar-radhiyyah atau diri yang ridha, tapi ar-radhiyyah atau yang ridha, yaitu yang merelakan min ruhi kembali.
Ridha kepada
Allah karena hanya Allah yang menjadi satu-satunya tujuan. Dia rela terhadap
apapun yang Allah lakukan kepadanya. Apakah Allah akan memberi ampunan, rahmat,
kesehatan, rezeki, petunjuk, kecukupan dan kenaikan derajad atau tidak, tetap
ridha kepada-Nya. Yang ridha menyembah Tuhannya dengan duduk, fokus hanya
kembali kepada Allah, bukan yang lainnya. Semoga Allah menemuinya di bagian
dalam istanaNya, yaitu Al Lubb.
Menurut Ali kw,
al lubb merupakan tempat terbitnya tauhid. Sebagaimana firman Allah dalam QS
Ali Imran 3 ayat 190-191, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulil albab), (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Dalam duduk
tasyahud yang berarti menyaksikan, semestinya kita mampu menyampaikan, "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.” Inilah pernyataan dari lubuk hati kita yang paling dalam
sebagai awal penyerahan diri kita total kepada-Nya.
AL MARDHIYYAH
Allah ridha
kepada hamba-Nya sebagaimana disebut dalam QS Al Fajr 89 ayat 28 di atas. Al
mardhiyah atau yang diridhai, artinya diridhai untuk mengenal Sang Kanzan
Makhfiyyan, Sang Khazanah Tersembunyi. Tak banyak yang bisa dikisahkan, karena
semuanya ini hanyalah rahmat-Nya.
Sirr atau akhfa
tempat yang lebih tersembunyi adalah sesuatu yang ada dalam diri kita sebelum
kita berkehendak. Di sinilah akan ada pemahaman bahwa semua ini adalah
kesibukan Allah. Itulah bagian terdalam dari istanaNya, yaitu As Sirr.
QS Thaahaa 20
ayat 7, “Dan jika kamu mengeraskan
ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.”
Tak ada lagi
rahasia yang menutupi qalbu kita. Kita seharusnya telah secara total menerima
Allah. Sehingga kita hanya mampu menunggu kerelaan-Nya, untuk tersujud oleh
penerimaan Allah kepada kita.
INNA LILLAHI WA INNA
ILAIHI RAJI’UN
Di tahap inilah
Allah mencintai kita dan mempersilahkan kita memasuki jama’ah hamba-hamba-Nya
dan memasuki surga-Nya sebagaimana difirmankan dalam QS Al Fajr 89 ayat 29-30, “Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah
ke dalam syurga-Ku.”
Barangkali
inilah makna dari firman Allah dalam QS Al An’aam 6 ayat 94, “Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya; ....” Hingga
mendapatkan ucapan selamat dari Yang Maha Pengasih sebagaimana disebutkan dalam
QS Yaasiin 36 ayat 58, “(kepada mereka
dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan yang Maha
Penyayang.”
Mereka yang
sudah bersedia kembali dengan suka cita, akan mendapatkan cinta Ilahi. Cinta
Allah ini dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
disebutkan sebagai berikut, “Rasulullah
saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman,
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan perang
kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling
Aku sukai, daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunat-sunat sampai Aku mencintainya. Apabila
Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran untuk pendengarannya,
penglihatan untuk penglihatannya, tangan untuk perbuatannya dan kaki untuknya
berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya, jika
ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan
Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan, seperti kebimbangan-Ku
terhadap jiwa [nafsi] hamba-Ku yang beriman yang tidak senang mati, sedang Aku
tidak senang berbuat buruk terhadap-Nya.”
Itulah shalat
yang merupakan mi’raj orang-orang yang beriman kepada Allah. Sehingga dalam setiap
gerakan shalat harus ada kesambungan dengan Allah, maka pantaslah bahwa Al
Ghazali menyatakan bahwa shalat menjadi tidak sempurna kalau tidak menyebut yaa
Allah ... yaa Allah, berdasarkan hadits, “Rasulullah s.a.w. menyampaikan, “Sesungguhnya Shalat itu
adalah Ketetapan Hati (Tamaskun), Ketundukan Diri (Tawadlu’), Kerendahan Hati (Tadlarru’),
Ratapan Batin (Ta-assafu), Penyesalan Diri (Nadamu) dan Engkau Rendahkan Dirimu
(Tadla’u Yadayka), seraya berucap, “Allahumma …, Allahumma …, Allahumma …,”
Barang siapa yang tidak berbuat demikian, maka shalatnya tidak sempurna.””
Apalagi kalau sampai kita lalai
dalam shalat, kita akan dinilai Allah sebagai pendusta agama. QS Al Maa’uun 117 ayat 1-7, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.”
Proses ini
harus kita lakukan secara berulang-ulang agar kita semakin mahir dan pantas
menduduki sebutan sebagai hamba Allah, sebagai Yang Dicintai Allah. Apalagi
kalau kita bersedia menjadi hamba-Nya dan pantas untuk menjadi penghuni
RumahNya, yaitu sebagai Ahlul Bait Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al
Ahzab 33 ayat 33, “Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Jadi mengingat
Allah dengan menggunakan fitrah kemanusiaan kita, pada hakekatnya adalah
penyembahan tertinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar