Hamba berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang tetap memberi petunjuk makhluk-Nya meski tahu kebanyakan dari mereka akan mengabaikan. Salam dan sholawat bagi Nabi Muhammad (s.a.w.) hamba-Nya yang menjadi rahmatan lil alamin dengan kasih sayang. Demikian pula untuk keluarga dan keturunannya.
Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) mencarinya selama sepuluh tahun, namun
belum juga berhasil menjumpai Uwais Al-Qarni (r.a.). Setahun sebelum Umar
(r.a.) wafat, Umar (r.a.) menjumpai sekelompok kabilah di gunung Abi Qubais. Pada
pertemuan dengan kabilah itu, Umar (r.a.) memanggil kabilah tersebut dengan
suara lantang, “Wahai penduduk Yaman, adakah di antara kalian ada orang yang bernama
Uwais (r.a.)?”
Mendengar ucapan Umar (r.a.), berdirilah seorang tua renta dengan
rambut janggutnya yang Panjang. Dengan tertunduk dia berkata, “Aku tidak
mengenal Uwais (r.a.) itu, tetapi ada anak saudaraku yang bernama Uwais (r.a.),
dia tidak terkenal Namanya. Dia miskin dan sangat terhina bahkan orang
menganggapnya gila. Dia suka bertempat di padang sahara, dia tidak memiliki
teman dan tidak ada orang yang mau mendekatinya.” Orang itu mengakhiri
jawabannya kepada Umar.
Umar (r.a.) menatap dalam-dalam orang tua itu.
“Uwais (r.a.) sedang menggembala unta-unta kami, dia adalah orang
yang hina di kalangan kami.” Orang tua itu melanjutkan ceritanya.
“Dimanakah anak saudaramu itu? Apakah dia berada bumi Haram ini?”
tanya Umar (r.a.).
“Ya, dia berada di sini.”
“Dimanakah dia dapat kutemui?”
“Di sekitar pepohonan Kurma di bukit Arafah.” Jawab orang tua itu
sambil menunjuk kea rah pepohonan Kurma yang dimaksud.
Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) lalu menuju bukit Arafah. Mereka berdua
melihat Uwais (r.a.) sedang sholat menghadap ke arah pohon Kurma, sementara di
sekelilingnya terdapat unta-unta yang sedang digembalakan. Umar (r.a.) dan Ali
(k.w.) segera menambatkan keledai yang ditumpanginya dan seraya menghampiri
Uwais (r.a.) lantas menyapanya dengan ucapan: Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh”.
Mendengar ucapan salam itu, Uwais (r.a.) segera mempercepat
sholatnya. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Uwais begitu
selesai mengerjakan sholat. “Aku ini pengembala unta dan aku hanyalah seorang
buruh di antara penduduk kabilah ini.” Uwais (r.a.) berkata kepada Umar (r.a.)
dan Ali (k.w.)
“Kami berdua tidak bertanya kepadamu mengenai pekerjaan
menggembala dan mengenai upah mengupah. Siapakah sebenarnya nama engkau?”
“Namaku Abdullah,” jawab Uwais (r.a.).
“Kami mengerti bahwa penduduk langit dan bumi seluruhnya adalah
Abdullah. Tetapi sebenarnya siapakah namamu yang telah diberikan orang tuamu
kepadamu?”
“Wahai saudara berdua, apakah keperluanmu berdua datang
menemuiku?”
“Nabi Muhammad (s.a.w.) telah memberikan tanda-tanda dan ciri-ciri
orang yang bernama Uwais Al-Qarni (r.a.) kepada kami. Dan sekarang kami telah menemui
sedikit tanda-tanda itu, yaitu raut muka yang kelihatan pucat dan kulit putih
kemerah-merahan. Nabi Muhammad (s.a.w.) juga memberitahu kepada kami bahwa di
bawah pundak orang yang bernama Uwais (r.a.) sebelah kiri terdapat kulit putih
yang mengkilat. Maka sudilah kiranya engkau memperlihatkan kepada kami.
Seandainya ternyata ada tanda-tanda itu, maka tentulah engkau Uwais Al-Qarni
(r.a.) yang telah disebutkan Nabi (s.a.w.) itu.”
Uwais (r.a.) lalu memperlihatkan tanda-tanda itu, ternyata memang
benar.
Melihat tanda-tanda itu, Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) yakin bahwa
orang yang di hadapannya itu adalah Uwais (r.a.) yang dimaksud Nabi (s.a.w.).
dengan serta merta mereka berdua segera mencium Uwais (r.a.) sebagai tanda
penghormatan.
Uwais (r.a.) kini merasa serba salah.
“Kami berdua bersaksi bahwa engkau adalah Uwais Al-Qarni (r.a.).
Berdoalah kepada Allah, mohonkanlah ampunan kepada kami berdua, semoga Allah
akan mengampuni.”
“Aku tidak mengkhususkan permohonan ampunan kepada Allah hanya
bagi diriku dan juga bagi salah seorang anak Adam. Tetapi istighfar ini
diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang muslim, baik laki-laki
maupun Perempuan, baik di darat maupun di laut.” Uwais (r.a.) memandangi Umar
(r.a.) dan Ali (k.w.) yang kini ada di hadapannya. Lalu meneruskan, “Wahai
saudara seiman, Allah telah mengenalkan kepadamu berdua mengenai keadaanku dan
Allah telah memperkenalkan pula perkara dan urusanku. Siapakah sebenarnya
kalian berdua?” tanya Uwais (r.a.) tanpa ekspresi.
“Yang datang bersamaku adalah Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab
dan aku adalah Ali bin Abi Thalib.”
Sampai di sini, Uwais (r.a.) segera berdiri tegak lalu berkata,
“Kesejahteraan bagimu wahai Amirul Mukminin dan semoga rahmat dan berkat-Nya
pun senantiasa dilimpahkan kepadamu. Dan engkau wahai putra Abi Thalib, semoga
Allah membalas kebaikan kepadamu selama engkau memegang pimpinan umat.”
“Semoga Allah membalas kepadamu dengan balasan yang baik.” Jawab
Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) serempak.
“Tetaplah engkau berada di tempat ini sampai aku kembali dari kota
Mekah untuk datang menemuimu dengan membawa pemberianku sebagai hadiah untukmu
dariku. Aku akan menemuimu di tempat ini lagi.” Kata Umar (r.a.).
“Wahai Amirul Mukminin, sudah tidak ada tempat bertemu lagi antara
engkau dan aku. Setelah ini aku tidak dapat melihatmu lagi. Dan engkau pun
tidak dapat melihatku lagi. Aku tidak membutuhkan hadiah dan aku juga tidak
membutuhkan pakaian. Tidakkah engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai dua buah
pakaian dari bulu? Kapankah engkau mengetahui aku merusakkannya? Aku memiliki
uang dari upah kerjaku empat dirham sebagai bekal hidupku. Itu saja sudah
cukup, hingga sisanya aku serahkan kepada ibuku. Wahai Amirul Mukminin, sungguh
antara engkau dan aku terbentang jalan yang sulit untuk ditempuh. Tiada orang
yang dapat menempuhnya kecuali orang-orang yang kurus tubuhnya. Rajin-rajinlah
wahai Umar (r.a.), semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”
Mendengar kata-kata Uwais Al-Qarni (r.a.) itu, Umar (r.a.) menyesal
lantas memukulkan cambuknya ke atas tanah. Kemudian dengan suara lantang Umar
(r.a.) berkata, “Hendaknya dahulu ibuku tidak melahirkanku. Hendaknya dahulu ia
mandul dan tidak usah melahirkanku. Ingatlah, siapa sebenarnya yang pantas
memegang jabatan Khalifah?” Umar (r.a.) menyesali tindakannya. [Perihal saran
Nabi (s.a.w.) kepada Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) barangkali karena beliau sudah
disaksikan akan adanya konflik antara Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) yang
berhubungan dengan pemilihan Khalifah. Ini merupakan bentuk teguran halus Nabi
(s.a.w.) kepada para sahabat dengan cara yang netral dan lembut.].
“Wahai Amiirul Mukminin, perkenankanlah aku akan pergi, engkau
tidak usah mencariku.” Kata Uwais (r.a.).
Umar (r.a.) lalu Kembali ke Mekah. Sementara Uwais (r.a.) berlalu
menggiring unta-unta yang digembalakan dan diserahkannya unta-unta itu kepada
kabilah yang memperkerjakannya.
Diceritakan bahwa Uwais (r.a.) senantiasa menggunakan waktu-waktunya untuk beribadat dan menyembah kepada Allah, hingga akhirnya meninggal dunia.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
Papahan, 4 Ramadhan 1446 / 4 Maret 2025
Referensi :
1. Samsul
Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar