Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan salah satu kelompok dan /
atau menyalahkan kelompok yang lain. Tulisan ini hanyalah catatan sejarah yang
dengan itu kita berupaya memetik pelajaran demi kesempurnaan kita dalam
beribadah kepada Allah.
Janganlah kita memecah belah umat, karena kita akan dicap sebagai orang-orang
sesat (QS Al Mu’minuun 23: 52-55) atau bahkan orang-orang musyrik (QS Ar Ruum
30: 30-32). Adalah fitrah manusia akan berbeda-beda, namun yang paling mulia di
hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa (QS Al Hujurat 49: 13). Oleh karena
itu, marilah kita berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mencari ampunan Allah (QS
Al Baqarah 2: 148; Al Maidah 5 : 48; Al Hadiid 57: 41).
Semakin kita tidak bisa menerima perbedaan, menunjukkan semakin rendahnya
kedewasaan jiwa kita. Dan semakin rendahnya jiwa kita, janganlah dijadikan
pemimpin atau panutan. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, sebagai penolong
kita, tempat kita bergantung dan hanya kepada-Nya kita berharap. Bukankah Dia
berfirman, “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah
menciptakannya sendirian (QS Al Mudzatstsir 74: 11) atau mendustakan (QS
Muzzamil 73: 11).”
Berikut adalah catatan sejarah, semoga bisa menjadi sarana untuk mengingatkan
diri kita bahwa tujuan utama kehidupan kita adalah menyempurnakan ibadah kita
kepada Allah, Tuhan semesta alam:
632 M, Nabi Muhammad saw berpulang ke rahmatullah. Jenazah Rasulullah saw baru
dimakamkan pada hari kedua oleh keluarganya dan sahabat-sahabat terdekatnya.
Umar ra bahkan tidak mempercayai wafatnya Rasulullah saw sampai disadarkan oleh
Abu Bakar ra. Selanjutnya orang-orang Anshar ra melakukan musyawarah ketika
jenazah Rasulullah saw belum dimakamkan untuk menentukan khalifah pengganti
beliau. Informasi ini didengar Umar ra, yang kemudian mengajak Abu Bakar ra
untuk menghadiri musyawarah tersebut. Akhirnya Abu Bakar ra diangkat sebagai
khalifah tanpa keikut-sertaan keluarga Nabi saw dan sahabat-sahabat dekat
lainnya dalam pemilihan khalifah tersebut.
Rasulullah saw memang tidak menunjuk siapakah pengganti
beliau, namun dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim pada
buku IV terbitan tahun 1873 no 2408 cetakan Abdulbaqy dinyatakan:
Dari Sayyidina Zaid bin Arqam ra, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah
saw pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah di suatu tempat (kebun)
kosong di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya.
Lalu menasehati dan mengingatkan. Kemudian bersabda, “Amma ba’du, ingatlah
wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir
akan datang utusan Tuhanku, maka aku pun mengabulkannya. Dan aku meninggalkan
pada kalian Ats-tsaqalain (dua pusaka), yaitu Kitabullah (Al Qur’an), di
dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitabullah itu dan
peganglah teguh-teguh.” Beliau memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al
Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau
bersabda, “Dan keluargaku Ahli Baitku.” Sedangkan dalam hadits Riwayat
Imam Turmudzi V: 663 no 3788 menyebutkan, “wa itraty (keturunanku) ahli baity.”
Namun bilamana beliau berhalangan shalat, beliau menunjuk Abu Bakar ra
sebagai imam pengganti.
Di sinilah salah satu kehebatan Rasulullah saw dalam memimpin, yaitu tidak
mempergunakan kekuasaan. Beliau melakukan pendekatan pemahaman dan kelembutan
hati dalam memimpin umat.
Terpilihnya Abu Bakar ra sebagai khalifah memang mencerminkan sikap umat
pada waktu itu.
Dan sebagai dampak atas penunjukan tersebut terdapat pengajaran untuk umat
perihal konflik antar umat Islam, yakni Fatimah ra dengan didukung keluarganya
(Ahlul Bait) berjuang dari pintu ke pintu agar Ali kw yang diangkat sebagai
khalifah. Perjuangan ini berlangsung selama tiga bulan dengan hasil Fatimah ra
keguguran akibat tindakan anggota pasukan Umar ra yang berusaha memaksa Ali kw
berbaiat kepada Abu Bakar ra.
Pada waktu itu, tanah pertanian Fadak yang dihibahkan (bukan diwariskan)
Rasulullah saw kepada fatimah ra diambil alih negara dengan alasan bahwa
Rasulullah saw tidak mewariskan.
634 M, Abu Bakar ra wafat dan menunjuk Umar bin Khattab ra sebagai
khalifah. Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab ra, umat Islam berhasil
menaklukkan Irak, Syria, Palestina, Mesir dan Persia. Umat Islam membangun
garnisun pasukan di Kufah, Basrah dan Fustat. Dan pada tahun 638 M, Umat Islam
berhasil menaklukkan Jerusalem. Penaklukan ini bukanlah program konversi agama,
karena Umar bin Khattab ra sebagaimana Abu Bakar ra tidak melakukan konversi
agama kepada penduduk yang ditaklukkan. Bahkan Umar ra melarang pasukan Muslim
menempati kota-kota yang mereka taklukkan, namun membangun garnisun / barak
pasukan di luar kota-kota tersebut.
644 M, Umar bin Khattab ra dibunuh oleh tawanan perang dari Persia. Melalui
majelis Syura’ inisiatif Umar ra, Utsman bin Affan ra terpilih sebagai khalifah
ketiga. Sama dengan khalifah sebelumnya, Utsman ra pun melakukan ekspansi tanpa
melakukan konversi agama. Sebagai hasilnya, pada tahun 650 M, Umat Islam
menaklukkan Siprus, Lybia, Iran, Afghanistan dan Sind.
656 M, Khalifah Utsman ra wafat dibunuh. Dalam keadaan kekosongan pemimpin,
umat Muslim di masjid Nabawi dimotori oleh sisa anggota majelis Syura dan
pahlawan perang Badar membaiat Ali kw sebagai khalifah dengan catatan
menyelesaikan permasalahan pembunuhan Utsman bin Affan ra. Dalam baiat ini,
tidak satu pun dari warga Bani Umayyah yang hadir atau ikut membaiat. Kondisi
umat juga sudah terlanjur terpecah-pecah mengingat semakin luasnya wilayah yang
mereka kuasai tanpa adanya sarana penyebaran informasi seperti sekarang.
Dalam menjalankan pemerintahan, Ali kw amat teguh dan tidak mengabulkan
permintaan-permintaan konsesi politik. Akibatnya mereka yang semula membaiat
karena tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan, maka mereka pun berbalik
menentangnya.
656 M, Thalhah ra dan Zubair ra didukung oleh Aisyah ra istri Nabi saw
memberontak melawan Ali kw dengan alasan untuk menuntut keadilan atas
pembunuhan Utsman bin Affan ra. Sebelumnya mereka meminta agar diangkat sebagai
Gubernur Basrah dan Kufah namun ditolak oleh Ali kw. Mereka berhasil dikalahkan
oleh pendukung Ali kw dalam perang Jamal. Di Syria, Muawiyyah bin Abi Sufyan ra
keponakan Utsman bin Affan ra memimpin gerakan oposisi melawan Ali kw.
657 M, dalam perang Shiffin yang hampir dimenangkan oleh Ali kw, ‘Amr bin
Ash ra berhasil mengakali pendukung Ali kw untuk melakukan perdamaian. Dalam
perdamaian tersebut wakil Ali kw (Abu Musa al Asy’ari) bersedia mencabut
jabatan Ali kw sebagai khalifah. Sesuai skenario pendukung Muawiyyah ra, ‘Amr
bin Ash ra segera mengangkat Muawiyyah ra sebagai khalifah. Akibatnya sebagian
pendukung Ali kw dari faksi garis keras kecewa dan memutuskan dukungan dari Ali
kw dan menyatakan baik Ali kw maupun Muawiyyah ra keduanya dinyatakan bersalah.
Mereka disebut kaum Khawarij.
658 M, Ali kw memimpin perang Nahrawan melawan kaum Khawarij dan berhasil
mengalahkan mereka.
Keteguhan Ali kw dalam menegakkan Islam, yakni berserah diri kepada Allah mendapat tentangan umat yang mulai kembali
kepada mengejar kenikmatan duniawi, diantaranya adalah kekuasaan. Ali kw
berupaya meluruskan kembali sikap umat, namun distorsi umat sudah semakin
menjauh dan semakin kuat dalam urusan duniawi.
661 M, Ali kw terbunuh oleh Khawarij. Pendukung Ali kw mengangkat Hasan bin
Ali ra sebagai khalifah. Namun Hasan ra melakukan perjanjian untuk meletakkan
jabatan khalifah dengan Muawiyyah ra dan menetap di Madinah.
669 M, Hasan bin Ali ra wafat di Madinah dan dimakamkan di Pemakaman Baqi. Hasan bin Ali adalah cucu
tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan
ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I,
Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak.
680 M, Yazid I dipaksakan sebagai khalifah menggantikan ayahnya, yaitu
Muawiyyah ra. Penduduk Kufah membentuk kelompok Syi’ah yang berarti pendukung
Ali kw mengangkat Husain bin Ali ra sebagai khalifah. Husain ra menuju Kufah
beserta keluarga dan pendukungnya, namun terbunuh di Karbala oleh pasukan Yazid
I.
Abdullah bin Zubair melakukan revolusi untuk menentang Yazid.
683 M, Yazid I meninggal dunia. Muawiyyah II penggantinya juga meninggal
dunia. Marwan I dengan dukungan orang-orang Syria menjadi khalifah.
685 M, Khalifah Abdul Malik naik kekuasaan.
691 M, pasukan Umayyah mengalahkan pemberontak Khawarij (menguasai Arab
bagian tengah, Irak dan Iran) dan Syi’ah di Kufah.
692 M, pasukan Umayyah membunuh Abdullah bin Zubair. Akibat
peperangan-peperangan ini, muncullah gelombang pergerakan Islam yang mengarah
kepada pendidikan untuk lebih menerapkan Al Qur’an dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
705 M, Khalifah Abdul Malik wafat dan digantikan oleh Al Walid. Pasukan
muslim terus menaklukkan Afrika Utara dan membentuk kerajaan di Spanyol.
712/714 M, Ali Zainal Abidin bin Husain ra yang dipercaya pendukungnya
(Syi’ah) sebagai pemimpin umat (Imam IV) wafat dan dimakamkan di Pemakaman Baqi.
717 M, Khalifah Umar II (Umar bin Abdul Aziz) adalah khalifah pertama yang
mendorong konversi agama. Dia berupaya menerapkan Islam yang ideal dalam
kehidupan sehari-hari.
720 M, Khalifah Umar II wafat digantikan khalifah Yazid II.
724 M, Khalifah Yazid II wafat digantikan oleh khalifah Hisyam I.
728 M, Hasan Basri ahli hadits yang dekat dengan keluarga Ali kw, pembaharu
agama dan pelaku asketisme wafat. Beliau terkenal sebagai peletak dasar teologi
Qadariyyah, karena mendalami qadar Allah. Menurutnya, setiap manusia memiliki
kehendak bebas dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Mereka tidak
ditakdirkan untuk berbuat dengan cara tertentu, karena Allah itu adil dan tidak
akan memerintahkan mereka hidup salih jika mereka tidak mampu. Oleh karena itu,
meski tidak menentang dinasti Umayyah, namun beliau menekankan bahwa dinasti
Umayyah bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan.
732 M, Muhammad bin Ishak menulis biografi Nabi Muhammad saw.
Abu Hanifah memulai mengembangkan ilmu fiqih (madzab Hanafi). Pengembangan
Fiqih adalah didasari atas pemahaman bahwa terpecahnya umat adalah akibat dari
perbedaan cara pandang dalam mengikuti tuntunan Nabi saw. Oleh karena itu,
muncul gerakan untuk menyatukan pendapat tentang bagaimana menjalankan Islam
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bidang pemerintahan.
732/735 M, Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin ra yang dipercaya
sebagai Imam V wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi, digantikan oleh Jafar As
Sadiq.
Sumber dari Sunni dan Syi'ah menyebutkan bahwa Muhammad al-Baqir adalah
salah satu pakar fiqih yang memiliki banyak murid pada zamannya.
743 M, faksi Abbasiyyah memulai pengumpulan dukungan untuk melawan Umayyah
di Iran mengatas-namakan pendukung Ali (Syi’ah). Khalifah Al Walid II naik
tahta.
744 M, Marwan II mengambil alih kekhalifahan dan berupaya mengambil alih
supremasi menggunakan kekuatan dari Syria.
749 M, Abbasiyyah mengambil alih Kufah dan menyingkirkan dinasti Umayyah.
750 M, khalifah Abu Al Abbas Al Saffah menghabisi anggota dinasti Umayyah.
755 M, khalifah Abu Jafar Al Mansur membunuh pemimpin-pemimpin Syi’ah.
756 M, Spanyol melepaskan diri dari Abbasiyyah dan pelarian dinasti Umayyah
menyusun pemerintahan sendiri.
762 M, Abbasiyyah memindahkan ibukota ke Bagdad.
765 M, Jafar As Sadiq, imam VI yang menyarankan pendukungnya untuk menarik
diri dari politik wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi.
Beliau mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, di antaranya Imam Abu
Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia.
Kisah berikut menjelaskan perbedaan antara model pengajaran yang dilakukan
oleh Malik bin Anas dengan Jafar As Sadiq:
“‘Unwan Basyri berupaya mencari kebenaran hingga mencapai derajad ‘ainul
yaqin. Dia pergi ke Madinah belajar kepada Malik bin Anas. Dengan mengaji di
majelis Imam Maliki, dia bisa memuaskan dahaga ruhaninya. Namun tekadnya untuk
mencapai derajad ‘ainul yaqin mendorongnya untuk belajar kepada Imam Jafar As
Sadiq. Sayangnya Imam Jafar As Sadiq menolak permintaannya dan menyarankan agar
tetap mengaji di majelis Imam Maliki.
Dengan penolakan ini, dia pergi ke Raudhah dan memohon kepada Allah agar
membukakan hati Imam Jafar As Sadiq untuk bersedia membimbingnya. Selanjutnya
‘Unwan Basyri mendatangi lagi Imam Jafar dengan harapan bahwa beliau bersedia
membimbingnya. Ternyata Imam Jafar selain menjawab salam dan mendoakannya,
beliau juga memberikan nasehatnya, yaitu, “Hai Abu Abdullah, Ma’rifatullah dan
Nurul Yaqin tidak bisa didapat dengan datang dan pergi atau hanya sekedar
mengetuk pintu fulan dan fulan saja. Orang lain tidak akan bisa menuangkan
cahaya ilmu ini kepadamu, karena itu bukan sejenis ilmu pengetahuan. Itu adalah
suatu cahaya, yang Allah akan berikan kepada hamb-hamba-Nya yang patut
menerimanya. Kalau ilmu dan cahaya itu yang engkau cari, maka carilah hakikat
‘ubudiyyah dari batin ruhmu dan dalam kedalaman jiwamu. Carilah ilmu itu dengan
jalan beramal dan mohonlah kepada Allah, niscaya Dia akan menganugerahkan di
hatimu.”
769 M, Abu Hanifah murid Iman Jafar As Sadiq, perintis pengajaran hukum
Islam wafat.
775 M, khalifah Al Mahdi naik tahta dan mendorong perkembangan ilmu fiqih.
786 M, khalifah Harun Al Rasyid naik tahta dan mendukung perkembangan ilmu
fiqih melalui pengumpulan hadits sebagai bahan untuk menyusun hukum Islam
(Syariah).
795 M, Malik bin Anas pendiri madzab Maliki wafat.
799 M, Musa Al Kadzim Imam VII wafat. Pemimpin umat Islam Syi'ah pada saat
terjadi perpecahan antara pengikut Ismailiyyah dan pengikut lainnya setelah
kematian Ja'far ash-Shadiq. Beliau membuat sistem pengumpulan ghanimah di
daerah Timur Tengah dan Khurasan. Beliau wafat dan dimakamkan di Baghdad, Irak.
809 M, Harun Al Rasyid wafat dan terjadi perebutan kekuasaan antara Al
Mamun dan Al Amin putra-putranya.
813 M, Al Mamun mengalahkan saudaranya dan menjadi khalifah.
814 M, kaum Syi’ah di Basrah melakukan pemberontakan. Sedangkan kaum
Khawarij memberontak di Khurasan. Aliran Muktazilah yang mengandalkan teologi
rasional mulai berkembang.
817 M, khalifah Al Mamun menunjuk Al Rida, Imam VIII sebagai penggantinya.
818 M, Imam Al Rida wafat. Pada saat bersamaan kerajaan mendukung aliran
Muktazilah (Rasional) dan memasukkan para ulama hadits (ahli fiqih) ke penjara,
diantaranya adalah Imam Maliki dan Imam Syafii.
Imam Al Rida diangkat sebagai calon pengganti oleh Khalifah al-Ma'mun. Beliau
mempelopori diskusi antar-agama.
Imam Al Rida wafat dan dimakamkan di Makam Imam Reza, Mashhad, Iran.
820 M, Muhammad Idris bin Al Syafii pendiri madzab Syafii wafat. Imam
Syafii ini menekankan bahwa setiap hadits harus memiliki sanad dari orang-orang
yang terpercaya yang sampai kepada Nabi saw. Pendapat ini kemudian diwujudkan
oleh Bukhari, Muslim dan lain-lain dalam menyusun buku haditsnya.
835 M, Imam IX Muhammad Al Jawad wafat dan dimakamkan di makam Kazmain di
Baghdad. Dikenal dengan kebaikannya terhadap mereka yang teraniaya pada masa
Kekhalifahan Abbasiyah.
848 M, Ali Al Hadi Imam X dipenjarakan di benteng Askari di Samarra.
Keadaan ini mengisyaratkan bahwa umat semakin jauh dari pemimpin yang mampu
membawa mereka kembali ke Allah.
855 M, Ahmad bin Hanbal, pendiri madzab Hambali wafat.
868 M, Imam X wafat dan dimakamkan di masjid Al-Askari di Samarra, Irak.
Putranya yang bernama Hasan Al Askari terus hidup di penjara di Samarra.
Ali Al Hadi memperkuat jaringan Wali di komunitas Syi'ah. Ali Al-Hadi
memberikan mereka instruksi, di antaranya adalah tetap konsisten membimbing
umat dalam beragama dan mengumpulkan seperlima harta ghanimah.
870 M, Bukhari penyusun hadits dengan mengikuti anjuran Imam Syafii wafat.
874 M, Hasan Al Askari, Imam XI wafat di dalam penjara dan dimakamkan di
Masjid Al-Askari, Samarra. Putranya yang bernama Abu Al Qasim Muhammad
bersembunyi, sehingga disebut sebagai Imam XII Yang Tersembunyi. Islam pun
kembali asing, yang berkembang adalah persepsi masing-masing kelompok dalam
memahami dan menjalankan Islam.
Pada masanya, umat Syi'ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan
Abbasiyah dibawah tangan al-Mu'tamid.
Al Mahdi Imam XII tersembunyi, Al Hujjah. Menurut doktrin Itsna Asyariyyah,
beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan. Menurut keyakinan Syi'ah,
beliau sekarang berada di dalam persembunyian dan akan muncul selama Allah
mengizinkannya.
Abu Yazid Al Bistami yang terkenal sebagai ‘sufi mabuk’ wafat.
Nama Bastami berarti "dari kota Bastam". Kakek Bayazid adalah
penganut Zoroaster yang masuk Islam. Kakeknya memiliki tiga anak laki-laki,
yaitu Adam, Tayfur dan 'Ali. Semuanya menjalankan kehidupan petapa (asketik).
Bayazid lahir di Tayfur. Tidak banyak diketahui masa kecilnya, namun Bayazid kecil
lebih banyak berada terisolasi di rumah atau di masjid. Meski hidup terisolasi,
dia tidak mengisolasi dirinya dari kehidupan sufi. Dia menyambut baik siapa
saja yang datang ke rumahnya untuk membicarakan Islam. Bayazid memimpin
kehidupan asketik dan meninggalkan kesenangan dunia untuk bersatu dengan Allah Yang
Maha Mulia. Akhirnya hal ini mendorong Bayazid memasuki keadaan "meniadakan
diri", yang menurut Islam, adalah satu-satunya keadaan seseorang supaya
tetap bersatu dengan Tuhan. Bayazid menjadi terkenal sebagai "sufi mabuk"
pertama karena keterbukaannya dalam mengekspresikan perasaannya kepada Tuhan (shatahat).
Bayazid berhubungan dekat dengan para Imam Islam. Dia menerima inisiasi pertama
dari Imam Ali ar-Ridha dan wafat pada antara 874 atau 877/8, mengindikasikan
bahwa kemungkinan besar dia bergaul erat dengan Imam penerus dari keluarga
keturunan Nabi Muhammad saw, termasuk Imam Muhammad at-Taqi (wafat 835 M), Imam
Ali al-Hadi (wafat 868 M)dan Imam Hasan al-Askari (wafat 874 M), leluhur dari Baha-ud-Din
Naqshband Bukhari, yang namanya kemudian dipakai sebagai aliran sufi di Asia
Tengah dari mulai abad ke X hingga abad ke XVI yang secara kolektif disebut
sebagai Khwaja. Pengganti Bayazid adalah Abu al-Hassan al-Kharaqani, yang
meneruskan kepercayaan dalam aliran Duabelas Imam kepada Khwaja Abdullah
Ansari, dan kepada penerus Abu al-Hassan al-Kharaqani yang bernama Abul Qasim
Gurgani (wafat 1076 M).
Pendahulu Bastami yaitu Dhu'l-Nun al-Misri (wafat 859 M) adalah murid dari Jābir
ibn Hayyān,
yaitu murid imam ke VI Imam Islam Ja'far al-Sadiq. Al-Misri telah menyusun
doktrin ma'rifat (gnosis), menjelaskan suatu sistem yang telah membantu para murid
(pemula) dan sheikh (mentor) untuk saling berkomunikasi. Bayazid Bastami mengambil
satu langkah lebih maju dan menekankan pentingnya kegairahan dalam Islam, mengacu
kepada istilahnya sebagai pemabuk (shukr atau wajd), suatu makna dari penihilan
diri dalam keberadaan Tuhan Sang Pencipta, Allah. Sebelum dia, jalur Sufi Islam
pada pokoknya berdasarkan kepada kesalehan dan kepatuhan dan dia memainkan
peran utama dalam menempatkan konsep cinta Ilahy pada inti Sufisme.
Bastami adalah orang pertama yang mengutarakan "penihilan diri dalam
Tuhan" (fana fi 'Allah') and "kekal bersama Tuhan" (baqa' bi
'Allah). "Penihilan diri" (fana fi 'Allah') bermakna penihilan ego atau
diri sendiri dengan semua attribut yang menempel yang menghasilkan penyatuan
dengan Tuhan atau menjadi Tuhan yang mengejawantah. Bilamana seseorang berada
dalam keadaan fana, dipercayai bahwa dia sudah menyatu dengan Tuhan. Ucapannya
yang paradoksal menarik minat yang luas dalam lingkungan pikiran para pelajar
yang teraspirasi untuk memahami arti dari wahdat al-wujud, kesatuan wujud.
Ketika Bayazid wafat, dia hampir berusia 70 tahun. Sebelum dia meninggal,
seseorang bertanya berapa umurnya? Dia menjawab, “Aku berumur 4 tahun. Selama
70 tahun aku terhijab. Aku berhasil menyingkirkan hijabku baru 4 tahun yang
lalu.”
Bayazid wafat pada 874 M dan dimakamkan kalau tidak di kota Bistam di
tengah utara Iran atau di Semnan, Iran.
Sufi mabuk adalah seseorang yang mengekspresikan perasaanya secara terbuka
tanpa memperdulikan konsekwensi sosial ketika melakukannya. Bayazid adalah
orang yang paling terkenal dalam mengekspresikan dirinya. Tidak seperti Sufi tangis
Junayd, maksudnya dia menyimpan perasaannya dalam dirinya dan tidak membiarkan
ekspresi tersebut diamati oleh orang lain. Hal ini adalah sesuatu yang bisa
diterima dari seorang Sufi, meski demikian ketika Bayazid mulai mengekspresikan
dirinya secara terbuka, banyak yang menjauhinya. Masyarakat menolak
keterbukaannya dan menuduhnya zindik / bid’ah karena ucapan-ucapan nylenehnya. Bukan
hanya ucapannya kontroversial, namun pengakuannya yang telah melakukan
perjalanan menembus 7 langit dalam mimpinya. Pengakuan perjalanan oleh Bayazid dianggap
sama dengan Mi'raj Nabi Muhammad saw.
Ucapan Bayazid berikut adalah salah satu ucapan Bayazid yang terkenal yang
membuatnya dilabeli Sufi mabuk.
"Kemuliaan bagiku! Betapa besar keagunganku!"
"Ketaatan-Mu kepadaku lebih besar dari
ketaatanku kepada-Mu"
"Aku adalah tahta dan pijakan kaki"
"Dengan kehidupanku, pemahamanku lebih
tegas daripada-Nya"
"Aku melihat Ka’bah berjalan mengitariku"
"Musa menginginkan melihat Tuhan; aku tidak
menginginkan melihat Tuhan; Dia ingin melihatku"
Kuil/masjid Sufi di Chittagong (nama kunonya Chatigaon), Bangladesh diperuntukkan
untuk Bayazid. Legenda lokal menyebutkan bahwa dia atau pengikutnya telah
mengunjungi Bengal sebagai pendakwah pada perjalanan ke India atau China. Namun
tidak ada rekam jejak bahwa Bayazid betul-betul mengunjungi (tempat tersebut),
Chittagong adalah pelabuhan besar pada rute selatan jalur sutera dan menarik
para pedagang dan pendakwah Islam sejak abad ke VIII. Lebih lanjut, Sufisme memainkan
peran utama dalam penyebaran Islam di Bengal.
Beberapa kalimatnya yang dikutip dari Tadhkiratul Awliya oleh Farid al-Din
Attar:
Aku tidak pernah melihat lampu manapun yang
bersinar lebih terang daripada lampu keheningan.
Aku menuju ke belantara, cinta telah turun dan
menutupi bumi, sebagaimana kaki menginjak salju, aku temukan kakiku tertutup
oleh cinta.
Aku berdiri dengan khusyu’ dan aku tidak
menemukan perubahan dengan (melakukan)nya.
Aku berdiri dengan para pejuang dalam sebab dan
aku tidak menemukan satu pun langkah kemajuan dengan mereka.
Kemudian aku berkata, “Ya Allah, mana jalan
menuju Engkau?”
Dan Allah menjawab, “Tinggalkan dirimu dan
datanglah.”
878 M, Muslim penyusun hadits dengan mengikuti anjuran Imam Syafii wafat.
909 M, Syiah Fatimiyyah membangun kerajaan di Tunisia, menguasai Afrika
Utara, Mesir dan sebagian Syria.
910 M, Junayd Al Bagdadi ‘sufi tangis’ wafat. Ide dasarnya berhubungan
dengan suatu proses penyempurnaan menuju peniadaan diri (fana), sedemikian
sehingga bersatu dengan Tuhan. Manusia perlu melepaskan diri dari hawa
nafsunya, untuk membersihkan diri dari sifat (attribute) manusianya, membuang
dorongan egoisnya, menumbuhkan qualitas spiritual, mengabdikan dirinya kepada
kesejatian, melakukan yang terbaik demi keabadian, berharap baik demi umat,
yaqin kepada Tuhan dan mengikuti syariat yang dicontohkan Rasulullah saw.
Proses ini dimulai dengan menjalankan hidup zuhud and dilanjutkan dengan
menarik diri dari masyarakat, intensif melakukan ibadah dan dzikr kepada Tuhan,
ikhlash dan mendekatkan diri. Pendekatan diri (muraqaba) menghasilkan fana.
Perjuangan memahami makna menghasilkan ujian (bala) adalah kunci ajaran Junayd.
Proses ini akan membuat manusia mencapai keadaan fana.
Junaid membagi keadaan fana menjadi tiga bagian, yaitu:
1) memulai dengan menanggalkan satu attribut menuju upaya konstan melawan
dorongan keegoisan dirinya (nafs);
2) dimulai dengan menanggalkan rasa pencapaian, yaitu memulai menanggalkan
satu bagian kemanisan gurun dan kesenangan akan ketaatan dan
3) memulai menanggalkan visi realitas dari kepuasanmu sebagai tanda telah
sebenarnya menaklukkan dirimu.
Ketiga langkah ini membantu mencapai keadaan fana. Bila keadaan ini
tercapai, seseorang berada dalam keadaan kekal (baqa). Dengan melalui tahap
baqa, seseorang bisa menemui Tuhan atau Tuhan akan menemukannya. Mencapai
keadaan baqa tidaklah mudah, menjalani ketiga tahap di atas memerlukan disiplin
dan kesabaran yang keras.
Ketiga langkah ini menjadi bahan perdebatan para sarjana tentang apakah
mungkin ketiga langkah ini dicapai. Junaid telah membantu dengan mendirikan
sekolah tangis pengajaran sufi, yang berarti bahwa dia sangat logis dan ilmiah
mengenai pengertiannya atas berbagai kebajikan, tauhid dan lain-lain. Sebutan Sufi
tangis diberikan kepada orang yang mendapat pengalaman fana dan tidak berada di
bawah keadaan terserap secara tulus ke dalam Tuhan namun menemukan dirinya
dikembalikan ke perasaannya (sense) oleh Tuhan. Kembali seperti dari pengalaman
tulus yang demikian adalah kembali sebagai diri yang baru, hampir seperti
seseorang yang mabuk menangis tersedu. Sebagai contoh, Junaid dikutip
mengatakan, “Air mengambil warna dari wadahnya.” Mungkin ini sedikit
memusingkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney menjelaskannya sebagai berikut:
“Ketika air di sini difahami sebagai penyingkapan diri cahaya Ilahy, kita
dituntun kepada konsep penting dari “kapasitas”, dimana pencerahan Ilahy
diterima oleh hati dari siapa saja tergantung dari kapasitas penerimaan
masing-masing individu dan akan diwarnai oleh sifat individu tersebut. Sebagaimana
kita lihat, satu frase sederhana saja menyimpan arti yang demikian dalam; itu
membawa pembaca kembali ke pemahaman yang lebih dalam akan Tuhan melalui
metafora pemikiran lebih.
Junaid percaya bahwa Sufisme adalah satunya jalan untuk orang-orang
tertentu menggapai Tuhan, bukan untuk orang awam. “Tasawwuf,” katanya, “Adalah
untuk mensucikan hati dari semua keinginan yang mengikuti jalan orang-orang
awam.” Menurut Sells, “…Junaid nampaknya menganggap bahwa pendengar atau
pembaca tulisannya telah memiliki pengalaman tentang apa yang dia bicarakan
atau, lebih radikal lagi bahwa pendengar atau pembaca bisa meniru pengalaman
tersebut, atau mampu menciptakan kembali pengalaman itu pada saat membaca
tulisan atau mendengar ucapan Junaid.” Pernyataan ini seolah menyebut Junaid menulis
kepada sekelompok orang tertentu yang telah digambarkan di depan. Orang-orang
pilihan yang dimaksud adalah orang-orang terpilih atau saudara sinarawedi yang
oleh Junayd digambarkan dengan frasa pilihan orang beriman atau yang disucikan.
Mereka memainkan peran penting dalam komunitas orang beriman.
Sebagaimana disebutkan, Junaid selalu sulit difahami para sarjana karena
kebanyakan tulisannya telah hilang bersama waktu. Junaid secara tetap
menggunakan kata-kata yang pas dan bahasa khusus untuk mencoba dan menjelaskan
tentang Tuhan, kerinduan kepada-Nya dan hakekat manusia. Bahasa kiasannya
membingungkan banyak orang, namun Junaid punya alasan untuk menulisnya dengan
samar. Berdasarkan buku Encyclopedia of Islam, Junaid menemukan bahwa sebuah
surat yang ditulisnya telah dibuka oleh orang lain sebelum mencapai tujuannya:
“Tidak diragukan (dibaca) oleh orang-orang berseberangan yang mencari bukti
untuk menghukum sikapnya; Hal ini membuat Junaid sangat protektif terhadap
tulisan-tulisannya.
922 M, Husain Al Mansur yang terkenal dengan panggilan Al Hallaj wafat dieksekusi. Husain ibn Mansur al-Hallaj
atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang
dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara,
pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturunan Persia. Kakeknya
adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj
merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena
berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara
brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah,
sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan
Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini
berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman
dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa
seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman
batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu
menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya
adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan
tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi
sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai
pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia
menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar
(yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku
adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi
kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu
kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi
mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir
Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah
kezaliman."
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari
bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz
dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini
terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting
seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai
kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas
tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca
Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan
studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah
dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari,
seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh
hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual
tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat
tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat
sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat
dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke
Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal
mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling
berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan.
Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali
selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan
al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan
setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan
al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan
hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya
benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah
haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti
inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya.
Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik
positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hallaj yang kemudian memberinya
keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia
memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun
pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan
merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia
pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia
kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan
tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus berusaha
menemui Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik
pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan
akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa
dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya,
Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai
terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam
karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi
mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam
semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia
dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi
al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti
seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang
tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun
dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan
ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah
melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan
bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat
dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang
Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi
keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan
ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap
tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi
menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung
selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di
akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan
tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran
(Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana
Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya
keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi
"hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang
dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar dan di masjid-masjid, seruan aneh pun
terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah!
Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah
aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka
rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh."
Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah
mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya
perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik
waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak
menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu,
yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam
maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah
murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para
pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia
bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya
tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan
kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak
dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan
pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir
khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan
agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas
tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari
kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya
terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke
menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
923 M, sejarahwan Abu Jafar Al Tabari wafat.
934 M, okultasi sebagian kaum Syi’ah kepada Imam Tersembunyi mulai
diperkenalkan.
935 M, filsuf Hasan Al Asyari wafat. Namanya Abul al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang
perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari
lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy'ari lahir di
Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad.
Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu
Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini
diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya
digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. Namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang
kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Ketika mencapai usia 40 tahun ia
bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di
depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran
adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk
adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah).
Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat
tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan
keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya."
Beliau cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah
mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang
mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah
"Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu
kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pemikirannya, tetapi banyak
masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang
mengikuti/mendukung pendapat/faham imam ini dinamakan kaum
"Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang
mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang
dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur
Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang
terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di
pesantren-pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul
Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.
969 M, Cordoba mengawali sebagai pusat pendidikan.
972 M, dinasti Fatimiyyah memindahkan ibukota ke Kairo dan membangun
universitas Al Azhar.
1037 M, Ibnu Sina wafat.
1085 M, Toledo jatuh oleh pasukan Kristen.
1094 M, kaisar Bisantium Alexius Comnenus I meminta bantuan negara-negara
kristen di barat untuk melawan dinasti Seljuk.
1095 M, Paus Urban II memberkati pasukan salib I.
1099 M, Pasukan Salib menaklukkan Jerusalem dan membentuk pemerintahan di
Palestina, Anatolia dan Syria.
1111 M, Al Ghazali wafat. Imam al-Ghazali mempunyai
daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena
kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Seljuk dan
Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai
bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia
juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan
mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.
Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli
sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali
telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di
daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia
terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di
Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi
beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci
kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain.
Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan,
kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.
1166 M, Abdul Qadir Al Jilani
Syekh Abdul Qadir
Jaelani lahir pada 18 Maret 1077 (Rabu, 1/2 Ramadhan 470 H) di Jilan, sebelah
selatan laut Kaspia, sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Beliau wafat
pada usia 88 tahun, yaitu pada 15 Januari 1166 (561 H) di Baghdad Irak, karena
tertular beberapa penyakit.
Ayah beliau bernama Abu
Salih dan ibunya bernama Umm Khair Fatima. Anak-anak beliau adalah Shaikh
Abdul-Wahab, Sheikh Abdul-Razzaq, Shaikh Abdul-Aziz, Shaikh Isa, Shaikh Musa,
Sheikh Yahya, Sheikh Abdullah, Sheikh Muhammed dan 41 lainnya. Sheikh Ibrahim.
Hadzrat Abu Muhammad
Muhiyuddin Sheikh Abdul Qadir Jilani (ra) berkontribusi mendalam terhadap
Sufisme dan Syariat, sehingga beliau terkenal sebagai salah satu kutub
spiritual pada zamannya. Oleh karenanya beliau oleh pengikutnya disebut sebagai
al Ghauts al A'zam. Beliau adalah seorang syekh yang sangat dihormati oleh
ulama Sunni dan ulama Sufi. Beliau adalah orang Kurdi atau orang Persia. Syekh
Abdul Qadir dianggap wali dan sehingga diberi penghormatan besar oleh kaum Muslim
dari anak benua India, terutama di Pakistan dan India.
Silsilah Syekh Abdul
Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a, melalui ayahnya
sepanjang 14 generasi dan melalui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid
Abdurrahman Jami r.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham
r.a sebagai berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal
sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang
tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah
Keluarganya adalah Sebagai berikut:
Dari Ayahnya (Hasani):
Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin
Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul
Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami
Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya (Husaini):
Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal
bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu
Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah
Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dalam usia 8 tahun ia
sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak
diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad
al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad
beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat,
Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada
ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga
perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al
Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj
menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana
sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut.
Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang
yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau
hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-muridnya banyak
yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab
Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih
terkenal al Mughni. Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu
bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul
Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah
ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa
dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia
sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang
bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam
dalam salat fardhu."
Syeikh Abdul Qadir al
Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para
syeikh, ulama dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi,
ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama
lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang
mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani
dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al
Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).
"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia
dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian
kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku
tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah
masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi
riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang
jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan
yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam
yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada
Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan
pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin
Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab
Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat
tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad
Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi
sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab
ini. (Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509,
karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet.
II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Imam Ibnu Rajab juga
berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman
yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu
ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."
Ibnu Taimiyah. Dalam
Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan
semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada
syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya
daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan
hawa nafsu”.
Sebagaimana diterangkan
di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris
mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari Nabi. Maka dari itu, penting kiranya
kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya, khususnya masalah akidah.
Dari buku-buku yang
dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara
tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan)
oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika
menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar
dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada
keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu
Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari
mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak
diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah
Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa
metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
Pun, ketika menjelaskan
tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak
berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Dalam hal keimanan,
misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahlus sunnah wal jama’ah
yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan
lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin
bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan
perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal
lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta
tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut
terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata, “Kami yakin bahwa orang yang oleh
Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak
abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka
hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan
kesalahannya.” Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar
ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya (Al-Ghinayah, I, 65).” Tentu hal ini
jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah
dan Murji’ah.
Maka tidak mengherankan
jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul
Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang
kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,
hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam
kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan
akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok
Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan
manhaj Salaf."
Selain itu, sebagaimana
ulama ahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat
tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan
tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik”
(Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah
kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah
menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada
selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada
selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada
selain-Nya (Al-Fath Ar-Rabbani).” Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia
sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan
Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh
(dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin.
Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul,
wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang
kafir lainnya.”
Syeikh Abdul Qadir
Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui
dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam
Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam
Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir
Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia
adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para
Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I,
290).
Akan tetapi, tidak
sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada
Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang
yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh
Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu
Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir
jailani.
Para ulama telah
mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia
berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar.
Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk
berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya.
Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini.
Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di
dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan
perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber
Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah,
I, 290).
Untuk menguatkan
pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab
Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul
dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas
leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas
kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di
atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.
Ungkapan Syeikh Abdul
Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan
dan menghinakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal
ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab,
“Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah
perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”,
seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,”
(Al-Qashash: 83)
Jadi, Syeikh Abdul
Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para
murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan
cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga
memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih.
Ketika menilai sosok
Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan
kepadanya, terdapat 3 kelompok.
Kelompok pertama,
mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal.
Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta
dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir
Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.
Kelompok kedua, mereka
yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang
diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak
syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi
Kelompok ketiga, mereka
yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul
Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak
bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria
itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .
Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok
ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim
kanan, dan tidak ekstrim kiri.
1187 M, Sultan Saladin mengalahkan pasukan Salib dan mengambil alih
Jerusalem.
1191 M, Yahya Suhrawardi meninggal dunia di Allepo?
1198 M, Ibnu Rusydi wafat di Cordoba.
1208 M, Yahya Suhrawardi meninggal dunia?
1220 M, Pasukan Monggolia menyerbu Persia.
1224 M, Golden Horde dari Monggolia menguasai bagian utara laut Kaspia dan
laut Hitam serta memeluk Islam.
1225 M, kerajaan Islam di Spanyol hanya tinggal Granada.
1227 M, Jenghis Khan meninggal dunia.
Chaghaytay penguasa Monggolia menguasai Transoksania dan memeluk Islam.
1240 M, Ibnu Arabi wafat. Ibnu Arabi dilahirkan pada
tanggal 28 Juli 1165 di Al-Andalus, Spanyol. Pada usianya yang ke 8, bersama
keluarganya, ia pindah ke Sevilla. Pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko.
Ibnu Arabi sangat dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan
bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain
Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya.
Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari
wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri
Tuhan yang paling sempurna, menurutnya.
Ia juga seorang tokoh politik yang tidak pernah diperhitungkan
keberadaannya dalam sejarah.
Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis,
sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang
tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham wihdat al-wujud Ibnu Arabi
berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip
wihdat al-wujud, di antaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus
Samad al-Palimbani.
Ibnu Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Di antara
buku-buku itu, yang dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah
juga Tarjuman al-Asywaq. Futuhat adalah karya besar yang menyingkap ilmu gaibul
gaib uluhiyat & rububiyyat yang sangat dalam sesuai dengan keterbukaan sang
syech dari Yang Haqq berhubungan dengan permohonan sang syech ketika di Makkah.
1250 M, dinasti Mamluk yang bermula dari pasukan bayaran melakukan kudeta
terhadap dinasti Ayyub dan menyusun pemerintahan di Mesir dan Syria.
1256 M, Il Khan dari Monggolia menguasai Irak dan Iran serta memeluk Islam.
1258 M, Il Khan menghancurkan Bagdad.
1273 M, Jalaluddin Rumi wafat. Maulana Jalaluddin Rumi
Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula
disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh
(sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau
tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama
Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm.
Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke depan,
seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya
bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khurasan. Dari
sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli
matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan
si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah
Ketuhanan.
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon
adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan
kekuatannya. Isinya juga mengkritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui
batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para
sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman
atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja
fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya
tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain
adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal
ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan
sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya
berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh
sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia
menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa,
Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang
mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi
yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:
Jangan tanya apa agamaku
Aku bukan Yahudi
Bukan Zoroaster
Bukan pula Islam
Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau
akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku
1288 M, Utsman membangun dinasti Utsmani di Anatolia
1328 M, Ibnu Taimiyyah wafat. Ia berasal dari keluarga
religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan
khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al
Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul
dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan
budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun
1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara
Mongol atas Irak.
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di
Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu
pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan
otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum
mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami
bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam
Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani
Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari
Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu
Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan
tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu
Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika
disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan
ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini
hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada
seorang bocah sepertinya."
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga
mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat.
Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu,
terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada
garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang
berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku,
maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku
menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar,
di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan
beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Sangat luar biasa, tidak hanya di lapangan ahli ilmu pengetahuan saja ia
terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol
di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat
kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, beliau juga bertempur di kota
Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, beliau tetap
mengajar sebagai profesor yang ulung.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu
diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu,
ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam
usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai
terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah
masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang
berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul
hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami
semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam
mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang
luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir
atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil
mengomentari para filusuf. Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah
(buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul
Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus
judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah
fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Ibnu Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh
salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an
surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin".
Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari,
mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th.
728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal
Al-Islam Syarafuddin.
Jenazah ia disalatkan di masjid Jami’ Bani Umayyah sesudah salat Zhuhur
dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Menurut Syaikh Idahram, Ibnu Taymiyyah telah mengeluarkan fatwa untuk
membakar buku-buku yang dianggap bertentangan dengan fahamnya dalam kitab Al
Akhbar dan Al Jami’ yang digabung dengan kitab Mushannaf Ibnu Abu Syaibah 6/211
– 212, penerbit Dar al-Fikr, bab Tahriq al-Kutub. Namun diakhir hayatnya beliau
mulai membenarkan tasawuf, suluk, dzikir dan perihal alam arwah melalui
fatwanya yang dikumpulkan murid-muridnya, yaitu Majmu’ Fatawa li Ibni
Taimiyyah.
1334 M, Al Hambra di Granada dibangun oleh Yusuf.
1350 M, Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi
Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin
al-Hindi dan Isma'il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembahagian
waris (fara'idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu
Taimiyyah.
Beliau belajar ilmu faraidh dari bapaknya kerana beliau sangat berbakat
dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan
membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab
al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah
was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh
Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu
Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah
wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena
beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para
wali.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika
kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam firqah Islamiyah.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap
ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits, makna hadits,
pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Begitu pula, pengetahuan beliau rahimahullah tentang ilmu suluk dan ilmu
kalam-nya Ahli tasawwuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Ia
memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.
Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati
yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi
murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti
keutamaannya, di antaranya ialah :
Anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah
Anaknya yang lain bernama Ibrahim,
Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah
Al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun
kitab Thabaqat al-Hanabilah
Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi
Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy
Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy
Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy
asy-Syafi’i
Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky
Taqiyuddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada
sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu
(pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu
daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab
salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun
nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar
dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah
melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 18 Rajab tahun 751
Hijriyah. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid
Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Syaikh Idahram mengutip pernyataan Ibnu Qayyim dalam bukunya Zad al-Ma’ad,
penerbit Muasassah ar-Risalah, vol. 3, Beirut, Lebanon, h. 581 dengan kalimat,
“... Begitu juga, tidak perlu untuk mengganti rugi dalam membakar kitab-kitab
sesat dan melenyapkannya (itlafuha).”
1369 M, Timur Lane mengembalikan kekuasaan Chaghaytay di Samarkand,
menaklukkan hampir seluruh Timur Tengah dan Anatolia, menyerbu Delhi.
1403 M, Mehmed I membangun kembali dinasti Utsmani setelah wafatnya Timur
Lane.
1406 M, Ibnu Khaldun wafat. Ibn Khaldun merupakan salah seorang pakar
sejarah Arab teragung, juga dikenali sebagai bapa kepada sejarah kebudayaan dan
sains sosial moden. Ibn Khaldun turut mengembangkan falsafah tidak berasaskan
keagamaan paling awal, terkandung dalam karyanya Muqaddimah (“Pengenalan”). Ibn
Khaldun juga menulis sejarah Muslim di Afrika Utara yang terulung.
1421 M, Murad I dari dinasti Utsmani menguasai Hungaria dan Barat.
1453 M, Mehmed II menaklukkan Konstantinopel dan menetapkannya sebagai
ibukota dengan mengganti namanya menjadi Istambul.
1492 M, Kerajaan katolik Ferdinand dan Isabella menaklukkan Granada.
1502 M, Ismail, pemimpin ordo Sufi Safawi menaklukkan Iran. Dia menetapkan
aliran Syiah 12 Imam sebagai agama resmi dengan menekan orang-orang Sunni.
1514 M, Sultan Salim I dari dinasti Utsmani mengalahkan Ismail dalam perang
di Chaldiran dan menahan perluasan dinasti Safawi.
Kalau kita cermati, ternyata banyak sekali perbedaan pandangan dalam hal
pengamalan agama. Dan kita bisa jadi tidak memiliki data yang akurat untuk
melakukan penilaian.
Jadi biarlah Allah Al Haqq sendiri yang menilai sebagai Al Hakim akan kadar
ketaqwaan kita, karena Dia yang berhak memberikan sertifikat kelulusan atau
sebaliknya. Sehingga tugas kita hanyalah berlomba berbuat kebaikan, semoga
sekecil apa pun yang kita lakukan membuat kita lulus di hadapan Allah.
Tuban, 14 Jul 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar