History

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan salah satu kelompok dan / atau menyalahkan kelompok yang lain. Tulisan ini hanyalah catatan sejarah yang dengan itu kita berupaya memetik pelajaran demi kesempurnaan kita dalam beribadah kepada Allah.
Janganlah kita memecah belah umat, karena kita akan dicap sebagai orang-orang sesat (QS Al Mu’minuun 23: 52-55) atau bahkan orang-orang musyrik (QS Ar Ruum 30: 30-32). Adalah fitrah manusia akan berbeda-beda, namun yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa (QS Al Hujurat 49: 13). Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba berbuat kebaikan dan mencari ampunan Allah (QS Al Baqarah 2: 148; Al Maidah 5 : 48; Al Hadiid 57: 41).
Semakin kita tidak bisa menerima perbedaan, menunjukkan semakin rendahnya kedewasaan jiwa kita. Dan semakin rendahnya jiwa kita, janganlah dijadikan pemimpin atau panutan. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, sebagai penolong kita, tempat kita bergantung dan hanya kepada-Nya kita berharap. Bukankah Dia berfirman, “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS Al Mudzatstsir 74: 11) atau mendustakan (QS Muzzamil 73: 11).”
Berikut adalah catatan sejarah, semoga bisa menjadi sarana untuk mengingatkan diri kita bahwa tujuan utama kehidupan kita adalah menyempurnakan ibadah kita kepada Allah, Tuhan semesta alam:
632 M, Nabi Muhammad saw berpulang ke rahmatullah. Jenazah Rasulullah saw baru dimakamkan pada hari kedua oleh keluarganya dan sahabat-sahabat terdekatnya. Umar ra bahkan tidak mempercayai wafatnya Rasulullah saw sampai disadarkan oleh Abu Bakar ra. Selanjutnya orang-orang Anshar ra melakukan musyawarah ketika jenazah Rasulullah saw belum dimakamkan untuk menentukan khalifah pengganti beliau. Informasi ini didengar Umar ra, yang kemudian mengajak Abu Bakar ra untuk menghadiri musyawarah tersebut. Akhirnya Abu Bakar ra diangkat sebagai khalifah tanpa keikut-sertaan keluarga Nabi saw dan sahabat-sahabat dekat lainnya dalam pemilihan khalifah tersebut.
Rasulullah saw memang tidak menunjuk siapakah pengganti beliau, namun dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim pada buku IV terbitan tahun 1873 no 2408 cetakan Abdulbaqy dinyatakan:
Dari Sayyidina Zaid bin Arqam ra, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah saw pernah berdiri di hadapan kami seraya berkhutbah di suatu tempat (kebun) kosong di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu menasehati dan mengingatkan. Kemudian bersabda, “Amma ba’du, ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa, hampir-hampir akan datang utusan Tuhanku, maka aku pun mengabulkannya. Dan aku meninggalkan pada kalian Ats-tsaqalain (dua pusaka), yaitu Kitabullah (Al Qur’an), di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitabullah itu dan peganglah teguh-teguh.” Beliau memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al Qur’an sebagai kitabullah dan mendorong untuk mengamalkannya. Kemudian beliau bersabda, “Dan keluargaku Ahli Baitku.” Sedangkan dalam hadits Riwayat Imam Turmudzi V: 663 no 3788 menyebutkan, “wa itraty (keturunanku) ahli baity.”
Namun bilamana beliau berhalangan shalat, beliau menunjuk Abu Bakar ra sebagai imam pengganti.
Di sinilah salah satu kehebatan Rasulullah saw dalam memimpin, yaitu tidak mempergunakan kekuasaan. Beliau melakukan pendekatan pemahaman dan kelembutan hati dalam memimpin umat.
Terpilihnya Abu Bakar ra sebagai khalifah memang mencerminkan sikap umat pada waktu itu.
Dan sebagai dampak atas penunjukan tersebut terdapat pengajaran untuk umat perihal konflik antar umat Islam, yakni Fatimah ra dengan didukung keluarganya (Ahlul Bait) berjuang dari pintu ke pintu agar Ali kw yang diangkat sebagai khalifah. Perjuangan ini berlangsung selama tiga bulan dengan hasil Fatimah ra keguguran akibat tindakan anggota pasukan Umar ra yang berusaha memaksa Ali kw berbaiat kepada Abu Bakar ra.
Pada waktu itu, tanah pertanian Fadak yang dihibahkan (bukan diwariskan) Rasulullah saw kepada fatimah ra diambil alih negara dengan alasan bahwa Rasulullah saw tidak mewariskan.
634 M, Abu Bakar ra wafat dan menunjuk Umar bin Khattab ra sebagai khalifah. Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab ra, umat Islam berhasil menaklukkan Irak, Syria, Palestina, Mesir dan Persia. Umat Islam membangun garnisun pasukan di Kufah, Basrah dan Fustat. Dan pada tahun 638 M, Umat Islam berhasil menaklukkan Jerusalem. Penaklukan ini bukanlah program konversi agama, karena Umar bin Khattab ra sebagaimana Abu Bakar ra tidak melakukan konversi agama kepada penduduk yang ditaklukkan. Bahkan Umar ra melarang pasukan Muslim menempati kota-kota yang mereka taklukkan, namun membangun garnisun / barak pasukan di luar kota-kota tersebut.
644 M, Umar bin Khattab ra dibunuh oleh tawanan perang dari Persia. Melalui majelis Syura’ inisiatif Umar ra, Utsman bin Affan ra terpilih sebagai khalifah ketiga. Sama dengan khalifah sebelumnya, Utsman ra pun melakukan ekspansi tanpa melakukan konversi agama. Sebagai hasilnya, pada tahun 650 M, Umat Islam menaklukkan Siprus, Lybia, Iran, Afghanistan dan Sind.
656 M, Khalifah Utsman ra wafat dibunuh. Dalam keadaan kekosongan pemimpin, umat Muslim di masjid Nabawi dimotori oleh sisa anggota majelis Syura dan pahlawan perang Badar membaiat Ali kw sebagai khalifah dengan catatan menyelesaikan permasalahan pembunuhan Utsman bin Affan ra. Dalam baiat ini, tidak satu pun dari warga Bani Umayyah yang hadir atau ikut membaiat. Kondisi umat juga sudah terlanjur terpecah-pecah mengingat semakin luasnya wilayah yang mereka kuasai tanpa adanya sarana penyebaran informasi seperti sekarang.
Dalam menjalankan pemerintahan, Ali kw amat teguh dan tidak mengabulkan permintaan-permintaan konsesi politik. Akibatnya mereka yang semula membaiat karena tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan, maka mereka pun berbalik menentangnya.
656 M, Thalhah ra dan Zubair ra didukung oleh Aisyah ra istri Nabi saw memberontak melawan Ali kw dengan alasan untuk menuntut keadilan atas pembunuhan Utsman bin Affan ra. Sebelumnya mereka meminta agar diangkat sebagai Gubernur Basrah dan Kufah namun ditolak oleh Ali kw. Mereka berhasil dikalahkan oleh pendukung Ali kw dalam perang Jamal. Di Syria, Muawiyyah bin Abi Sufyan ra keponakan Utsman bin Affan ra memimpin gerakan oposisi melawan Ali kw.
657 M, dalam perang Shiffin yang hampir dimenangkan oleh Ali kw, ‘Amr bin Ash ra berhasil mengakali pendukung Ali kw untuk melakukan perdamaian. Dalam perdamaian tersebut wakil Ali kw (Abu Musa al Asy’ari) bersedia mencabut jabatan Ali kw sebagai khalifah. Sesuai skenario pendukung Muawiyyah ra, ‘Amr bin Ash ra segera mengangkat Muawiyyah ra sebagai khalifah. Akibatnya sebagian pendukung Ali kw dari faksi garis keras kecewa dan memutuskan dukungan dari Ali kw dan menyatakan baik Ali kw maupun Muawiyyah ra keduanya dinyatakan bersalah. Mereka disebut kaum Khawarij.
658 M, Ali kw memimpin perang Nahrawan melawan kaum Khawarij dan berhasil mengalahkan mereka.
Keteguhan Ali kw dalam menegakkan Islam, yakni berserah diri kepada Allah  mendapat tentangan umat yang mulai kembali kepada mengejar kenikmatan duniawi, diantaranya adalah kekuasaan. Ali kw berupaya meluruskan kembali sikap umat, namun distorsi umat sudah semakin menjauh dan semakin kuat dalam urusan duniawi.
661 M, Ali kw terbunuh oleh Khawarij. Pendukung Ali kw mengangkat Hasan bin Ali ra sebagai khalifah. Namun Hasan ra melakukan perjanjian untuk meletakkan jabatan khalifah dengan Muawiyyah ra dan menetap di Madinah.
669 M, Hasan bin Ali ra wafat di Madinah dan dimakamkan di Pemakaman Baqi. Hasan bin Ali adalah cucu tertua Nabi Muhammad lewat Fatimah az-Zahra. Hasan menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai khalifah di Kufah. Berdasarkan perjanjian dengan Muawiyah I, Hasan kemudian melepaskan kekuasaannya atas Irak.
680 M, Yazid I dipaksakan sebagai khalifah menggantikan ayahnya, yaitu Muawiyyah ra. Penduduk Kufah membentuk kelompok Syi’ah yang berarti pendukung Ali kw mengangkat Husain bin Ali ra sebagai khalifah. Husain ra menuju Kufah beserta keluarga dan pendukungnya, namun terbunuh di Karbala oleh pasukan Yazid I.
Abdullah bin Zubair melakukan revolusi untuk menentang Yazid.
683 M, Yazid I meninggal dunia. Muawiyyah II penggantinya juga meninggal dunia. Marwan I dengan dukungan orang-orang Syria menjadi khalifah.
685 M, Khalifah Abdul Malik naik kekuasaan.
691 M, pasukan Umayyah mengalahkan pemberontak Khawarij (menguasai Arab bagian tengah, Irak dan Iran) dan Syi’ah di Kufah.
692 M, pasukan Umayyah membunuh Abdullah bin Zubair. Akibat peperangan-peperangan ini, muncullah gelombang pergerakan Islam yang mengarah kepada pendidikan untuk lebih menerapkan Al Qur’an dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
705 M, Khalifah Abdul Malik wafat dan digantikan oleh Al Walid. Pasukan muslim terus menaklukkan Afrika Utara dan membentuk kerajaan di Spanyol.
712/714 M, Ali Zainal Abidin bin Husain ra yang dipercaya pendukungnya (Syi’ah) sebagai pemimpin umat (Imam IV) wafat dan dimakamkan di Pemakaman Baqi.
717 M, Khalifah Umar II (Umar bin Abdul Aziz) adalah khalifah pertama yang mendorong konversi agama. Dia berupaya menerapkan Islam yang ideal dalam kehidupan sehari-hari.
720 M, Khalifah Umar II wafat digantikan khalifah Yazid II.
724 M, Khalifah Yazid II wafat digantikan oleh khalifah Hisyam I.
728 M, Hasan Basri ahli hadits yang dekat dengan keluarga Ali kw, pembaharu agama dan pelaku asketisme wafat. Beliau terkenal sebagai peletak dasar teologi Qadariyyah, karena mendalami qadar Allah. Menurutnya, setiap manusia memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas segala tindakannya. Mereka tidak ditakdirkan untuk berbuat dengan cara tertentu, karena Allah itu adil dan tidak akan memerintahkan mereka hidup salih jika mereka tidak mampu. Oleh karena itu, meski tidak menentang dinasti Umayyah, namun beliau menekankan bahwa dinasti Umayyah bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan.
732 M, Muhammad bin Ishak menulis biografi Nabi Muhammad saw.
Abu Hanifah memulai mengembangkan ilmu fiqih (madzab Hanafi). Pengembangan Fiqih adalah didasari atas pemahaman bahwa terpecahnya umat adalah akibat dari perbedaan cara pandang dalam mengikuti tuntunan Nabi saw. Oleh karena itu, muncul gerakan untuk menyatukan pendapat tentang bagaimana menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari dan dalam bidang pemerintahan.
732/735 M, Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin ra yang dipercaya sebagai Imam V wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi, digantikan oleh Jafar As Sadiq.
Sumber dari Sunni dan Syi'ah menyebutkan bahwa Muhammad al-Baqir adalah salah satu pakar fiqih yang memiliki banyak murid pada zamannya.
743 M, faksi Abbasiyyah memulai pengumpulan dukungan untuk melawan Umayyah di Iran mengatas-namakan pendukung Ali (Syi’ah). Khalifah Al Walid II naik tahta.
744 M, Marwan II mengambil alih kekhalifahan dan berupaya mengambil alih supremasi menggunakan kekuatan dari Syria.
749 M, Abbasiyyah mengambil alih Kufah dan menyingkirkan dinasti Umayyah.
750 M, khalifah Abu Al Abbas Al Saffah menghabisi anggota dinasti Umayyah.
755 M, khalifah Abu Jafar Al Mansur membunuh pemimpin-pemimpin Syi’ah.
756 M, Spanyol melepaskan diri dari Abbasiyyah dan pelarian dinasti Umayyah menyusun pemerintahan sendiri.
762 M, Abbasiyyah memindahkan ibukota ke Bagdad.
765 M, Jafar As Sadiq, imam VI yang menyarankan pendukungnya untuk menarik diri dari politik wafat dan dimakamkan di pemakaman Baqi.
Beliau mengajari banyak murid dalam berbagai bidang, di antaranya Imam Abu Hanifah dalam fiqih, dan Jabar Ibnu Hayyan dalam alkimia.
Kisah berikut menjelaskan perbedaan antara model pengajaran yang dilakukan oleh Malik bin Anas dengan Jafar As Sadiq:
“‘Unwan Basyri berupaya mencari kebenaran hingga mencapai derajad ‘ainul yaqin. Dia pergi ke Madinah belajar kepada Malik bin Anas. Dengan mengaji di majelis Imam Maliki, dia bisa memuaskan dahaga ruhaninya. Namun tekadnya untuk mencapai derajad ‘ainul yaqin mendorongnya untuk belajar kepada Imam Jafar As Sadiq. Sayangnya Imam Jafar As Sadiq menolak permintaannya dan menyarankan agar tetap mengaji di majelis Imam Maliki.
Dengan penolakan ini, dia pergi ke Raudhah dan memohon kepada Allah agar membukakan hati Imam Jafar As Sadiq untuk bersedia membimbingnya. Selanjutnya ‘Unwan Basyri mendatangi lagi Imam Jafar dengan harapan bahwa beliau bersedia membimbingnya. Ternyata Imam Jafar selain menjawab salam dan mendoakannya, beliau juga memberikan nasehatnya, yaitu, “Hai Abu Abdullah, Ma’rifatullah dan Nurul Yaqin tidak bisa didapat dengan datang dan pergi atau hanya sekedar mengetuk pintu fulan dan fulan saja. Orang lain tidak akan bisa menuangkan cahaya ilmu ini kepadamu, karena itu bukan sejenis ilmu pengetahuan. Itu adalah suatu cahaya, yang Allah akan berikan kepada hamb-hamba-Nya yang patut menerimanya. Kalau ilmu dan cahaya itu yang engkau cari, maka carilah hakikat ‘ubudiyyah dari batin ruhmu dan dalam kedalaman jiwamu. Carilah ilmu itu dengan jalan beramal dan mohonlah kepada Allah, niscaya Dia akan menganugerahkan di hatimu.” 
769 M, Abu Hanifah murid Iman Jafar As Sadiq, perintis pengajaran hukum Islam wafat.
775 M, khalifah Al Mahdi naik tahta dan mendorong perkembangan ilmu fiqih.
786 M, khalifah Harun Al Rasyid naik tahta dan mendukung perkembangan ilmu fiqih melalui pengumpulan hadits sebagai bahan untuk menyusun hukum Islam (Syariah).
795 M, Malik bin Anas pendiri madzab Maliki wafat.
799 M, Musa Al Kadzim Imam VII wafat. Pemimpin umat Islam Syi'ah pada saat terjadi perpecahan antara pengikut Ismailiyyah dan pengikut lainnya setelah kematian Ja'far ash-Shadiq. Beliau membuat sistem pengumpulan ghanimah di daerah Timur Tengah dan Khurasan. Beliau wafat dan dimakamkan di Baghdad, Irak.
809 M, Harun Al Rasyid wafat dan terjadi perebutan kekuasaan antara Al Mamun dan Al Amin putra-putranya.
813 M, Al Mamun mengalahkan saudaranya dan menjadi khalifah.
814 M, kaum Syi’ah di Basrah melakukan pemberontakan. Sedangkan kaum Khawarij memberontak di Khurasan. Aliran Muktazilah yang mengandalkan teologi rasional mulai berkembang.
817 M, khalifah Al Mamun menunjuk Al Rida, Imam VIII sebagai penggantinya.
818 M, Imam Al Rida wafat. Pada saat bersamaan kerajaan mendukung aliran Muktazilah (Rasional) dan memasukkan para ulama hadits (ahli fiqih) ke penjara, diantaranya adalah Imam Maliki dan Imam Syafii.
Imam Al Rida diangkat sebagai calon pengganti oleh Khalifah al-Ma'mun. Beliau mempelopori diskusi antar-agama.
Imam Al Rida wafat dan dimakamkan di Makam Imam Reza, Mashhad, Iran.
820 M, Muhammad Idris bin Al Syafii pendiri madzab Syafii wafat. Imam Syafii ini menekankan bahwa setiap hadits harus memiliki sanad dari orang-orang yang terpercaya yang sampai kepada Nabi saw. Pendapat ini kemudian diwujudkan oleh Bukhari, Muslim dan lain-lain dalam menyusun buku haditsnya.
835 M, Imam IX Muhammad Al Jawad wafat dan dimakamkan di makam Kazmain di Baghdad. Dikenal dengan kebaikannya terhadap mereka yang teraniaya pada masa Kekhalifahan Abbasiyah.
848 M, Ali Al Hadi Imam X dipenjarakan di benteng Askari di Samarra. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa umat semakin jauh dari pemimpin yang mampu membawa mereka kembali ke Allah.
855 M, Ahmad bin Hanbal, pendiri madzab Hambali wafat.
868 M, Imam X wafat dan dimakamkan di masjid Al-Askari di Samarra, Irak. Putranya yang bernama Hasan Al Askari terus hidup di penjara di Samarra.
Ali Al Hadi memperkuat jaringan Wali di komunitas Syi'ah. Ali Al-Hadi memberikan mereka instruksi, di antaranya adalah tetap konsisten membimbing umat dalam beragama dan mengumpulkan seperlima harta ghanimah.
870 M, Bukhari penyusun hadits dengan mengikuti anjuran Imam Syafii wafat.
874 M, Hasan Al Askari, Imam XI wafat di dalam penjara dan dimakamkan di Masjid Al-Askari, Samarra. Putranya yang bernama Abu Al Qasim Muhammad bersembunyi, sehingga disebut sebagai Imam XII Yang Tersembunyi. Islam pun kembali asing, yang berkembang adalah persepsi masing-masing kelompok dalam memahami dan menjalankan Islam.
Pada masanya, umat Syi'ah ditekan dan dibatasi luar biasa oleh Kekhalifahan Abbasiyah dibawah tangan al-Mu'tamid.
Al Mahdi Imam XII tersembunyi, Al Hujjah. Menurut doktrin Itsna Asyariyyah, beliau adalah imam saat ini dan dialah Imam Mahdi yang dijanjikan. Menurut keyakinan Syi'ah, beliau sekarang berada di dalam persembunyian dan akan muncul selama Allah mengizinkannya.
Abu Yazid Al Bistami yang terkenal sebagai ‘sufi mabuk’ wafat.
Nama Bastami berarti "dari kota Bastam". Kakek Bayazid adalah penganut Zoroaster yang masuk Islam. Kakeknya memiliki tiga anak laki-laki, yaitu Adam, Tayfur dan 'Ali. Semuanya menjalankan kehidupan petapa (asketik). Bayazid lahir di Tayfur. Tidak banyak diketahui masa kecilnya, namun Bayazid kecil lebih banyak berada terisolasi di rumah atau di masjid. Meski hidup terisolasi, dia tidak mengisolasi dirinya dari kehidupan sufi. Dia menyambut baik siapa saja yang datang ke rumahnya untuk membicarakan Islam. Bayazid memimpin kehidupan asketik dan meninggalkan kesenangan dunia untuk bersatu dengan Allah Yang Maha Mulia. Akhirnya hal ini mendorong Bayazid memasuki keadaan "meniadakan diri", yang menurut Islam, adalah satu-satunya keadaan seseorang supaya tetap bersatu dengan Tuhan. Bayazid menjadi terkenal sebagai "sufi mabuk" pertama karena keterbukaannya dalam mengekspresikan perasaannya kepada Tuhan (shatahat).
Bayazid berhubungan dekat dengan para Imam Islam. Dia menerima inisiasi pertama dari Imam Ali ar-Ridha dan wafat pada antara 874 atau 877/8, mengindikasikan bahwa kemungkinan besar dia bergaul erat dengan Imam penerus dari keluarga keturunan Nabi Muhammad saw, termasuk Imam Muhammad at-Taqi (wafat 835 M), Imam Ali al-Hadi (wafat 868 M)dan Imam Hasan al-Askari (wafat 874 M), leluhur dari Baha-ud-Din Naqshband Bukhari, yang namanya kemudian dipakai sebagai aliran sufi di Asia Tengah dari mulai abad ke X hingga abad ke XVI yang secara kolektif disebut sebagai Khwaja. Pengganti Bayazid adalah Abu al-Hassan al-Kharaqani, yang meneruskan kepercayaan dalam aliran Duabelas Imam kepada Khwaja Abdullah Ansari, dan kepada penerus Abu al-Hassan al-Kharaqani yang bernama Abul Qasim Gurgani (wafat 1076 M).
Pendahulu Bastami yaitu Dhu'l-Nun al-Misri (wafat 859 M) adalah murid dari Jābir ibn Hayyān, yaitu murid imam ke VI Imam Islam Ja'far al-Sadiq. Al-Misri telah menyusun doktrin ma'rifat (gnosis), menjelaskan suatu sistem yang telah membantu para murid (pemula) dan sheikh (mentor) untuk saling berkomunikasi. Bayazid Bastami mengambil satu langkah lebih maju dan menekankan pentingnya kegairahan dalam Islam, mengacu kepada istilahnya sebagai pemabuk (shukr atau wajd), suatu makna dari penihilan diri dalam keberadaan Tuhan Sang Pencipta, Allah. Sebelum dia, jalur Sufi Islam pada pokoknya berdasarkan kepada kesalehan dan kepatuhan dan dia memainkan peran utama dalam menempatkan konsep cinta Ilahy pada inti Sufisme.
Bastami adalah orang pertama yang mengutarakan "penihilan diri dalam Tuhan" (fana fi 'Allah') and "kekal bersama Tuhan" (baqa' bi 'Allah). "Penihilan diri" (fana fi 'Allah') bermakna penihilan ego atau diri sendiri dengan semua attribut yang menempel yang menghasilkan penyatuan dengan Tuhan atau menjadi Tuhan yang mengejawantah. Bilamana seseorang berada dalam keadaan fana, dipercayai bahwa dia sudah menyatu dengan Tuhan. Ucapannya yang paradoksal menarik minat yang luas dalam lingkungan pikiran para pelajar yang teraspirasi untuk memahami arti dari wahdat al-wujud, kesatuan wujud.
Ketika Bayazid wafat, dia hampir berusia 70 tahun. Sebelum dia meninggal, seseorang bertanya berapa umurnya? Dia menjawab, “Aku berumur 4 tahun. Selama 70 tahun aku terhijab. Aku berhasil menyingkirkan hijabku baru 4 tahun yang lalu.”
Bayazid wafat pada 874 M dan dimakamkan kalau tidak di kota Bistam di tengah utara Iran atau di Semnan, Iran.
Sufi mabuk adalah seseorang yang mengekspresikan perasaanya secara terbuka tanpa memperdulikan konsekwensi sosial ketika melakukannya. Bayazid adalah orang yang paling terkenal dalam mengekspresikan dirinya. Tidak seperti Sufi tangis Junayd, maksudnya dia menyimpan perasaannya dalam dirinya dan tidak membiarkan ekspresi tersebut diamati oleh orang lain. Hal ini adalah sesuatu yang bisa diterima dari seorang Sufi, meski demikian ketika Bayazid mulai mengekspresikan dirinya secara terbuka, banyak yang menjauhinya. Masyarakat menolak keterbukaannya dan menuduhnya zindik / bid’ah karena ucapan-ucapan nylenehnya. Bukan hanya ucapannya kontroversial, namun pengakuannya yang telah melakukan perjalanan menembus 7 langit dalam mimpinya. Pengakuan perjalanan oleh Bayazid dianggap sama dengan Mi'raj Nabi Muhammad saw.
Ucapan Bayazid berikut adalah salah satu ucapan Bayazid yang terkenal yang membuatnya dilabeli Sufi mabuk.
"Kemuliaan bagiku! Betapa besar keagunganku!"
"Ketaatan-Mu kepadaku lebih besar dari ketaatanku kepada-Mu"
"Aku adalah tahta dan pijakan kaki"
"Dengan kehidupanku, pemahamanku lebih tegas daripada-Nya"
"Aku melihat Ka’bah berjalan mengitariku"
"Musa menginginkan melihat Tuhan; aku tidak menginginkan melihat Tuhan; Dia ingin melihatku"
Kuil/masjid Sufi di Chittagong (nama kunonya Chatigaon), Bangladesh diperuntukkan untuk Bayazid. Legenda lokal menyebutkan bahwa dia atau pengikutnya telah mengunjungi Bengal sebagai pendakwah pada perjalanan ke India atau China. Namun tidak ada rekam jejak bahwa Bayazid betul-betul mengunjungi (tempat tersebut), Chittagong adalah pelabuhan besar pada rute selatan jalur sutera dan menarik para pedagang dan pendakwah Islam sejak abad ke VIII. Lebih lanjut, Sufisme memainkan peran utama dalam penyebaran Islam di Bengal.
Beberapa kalimatnya yang dikutip dari Tadhkiratul Awliya oleh Farid al-Din Attar:
Aku tidak pernah melihat lampu manapun yang bersinar lebih terang daripada lampu keheningan.
Aku menuju ke belantara, cinta telah turun dan menutupi bumi, sebagaimana kaki menginjak salju, aku temukan kakiku tertutup oleh cinta.
Aku berdiri dengan khusyu’ dan aku tidak menemukan perubahan dengan (melakukan)nya.
Aku berdiri dengan para pejuang dalam sebab dan aku tidak menemukan satu pun langkah kemajuan dengan mereka.
Kemudian aku berkata, “Ya Allah, mana jalan menuju Engkau?”
Dan Allah menjawab, “Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
878 M, Muslim penyusun hadits dengan mengikuti anjuran Imam Syafii wafat.
909 M, Syiah Fatimiyyah membangun kerajaan di Tunisia, menguasai Afrika Utara, Mesir dan sebagian Syria.
910 M, Junayd Al Bagdadi ‘sufi tangis’ wafat. Ide dasarnya berhubungan dengan suatu proses penyempurnaan menuju peniadaan diri (fana), sedemikian sehingga bersatu dengan Tuhan. Manusia perlu melepaskan diri dari hawa nafsunya, untuk membersihkan diri dari sifat (attribute) manusianya, membuang dorongan egoisnya, menumbuhkan qualitas spiritual, mengabdikan dirinya kepada kesejatian, melakukan yang terbaik demi keabadian, berharap baik demi umat, yaqin kepada Tuhan dan mengikuti syariat yang dicontohkan Rasulullah saw.
Proses ini dimulai dengan menjalankan hidup zuhud and dilanjutkan dengan menarik diri dari masyarakat, intensif melakukan ibadah dan dzikr kepada Tuhan, ikhlash dan mendekatkan diri. Pendekatan diri (muraqaba) menghasilkan fana. Perjuangan memahami makna menghasilkan ujian (bala) adalah kunci ajaran Junayd. Proses ini akan membuat manusia mencapai keadaan fana.
Junaid membagi keadaan fana menjadi tiga bagian, yaitu:
1) memulai dengan menanggalkan satu attribut menuju upaya konstan melawan dorongan keegoisan dirinya (nafs);
2) dimulai dengan menanggalkan rasa pencapaian, yaitu memulai menanggalkan satu bagian kemanisan gurun dan kesenangan akan ketaatan dan
3) memulai menanggalkan visi realitas dari kepuasanmu sebagai tanda telah sebenarnya menaklukkan dirimu.
Ketiga langkah ini membantu mencapai keadaan fana. Bila keadaan ini tercapai, seseorang berada dalam keadaan kekal (baqa). Dengan melalui tahap baqa, seseorang bisa menemui Tuhan atau Tuhan akan menemukannya. Mencapai keadaan baqa tidaklah mudah, menjalani ketiga tahap di atas memerlukan disiplin dan kesabaran yang keras.
Ketiga langkah ini menjadi bahan perdebatan para sarjana tentang apakah mungkin ketiga langkah ini dicapai. Junaid telah membantu dengan mendirikan sekolah tangis pengajaran sufi, yang berarti bahwa dia sangat logis dan ilmiah mengenai pengertiannya atas berbagai kebajikan, tauhid dan lain-lain. Sebutan Sufi tangis diberikan kepada orang yang mendapat pengalaman fana dan tidak berada di bawah keadaan terserap secara tulus ke dalam Tuhan namun menemukan dirinya dikembalikan ke perasaannya (sense) oleh Tuhan. Kembali seperti dari pengalaman tulus yang demikian adalah kembali sebagai diri yang baru, hampir seperti seseorang yang mabuk menangis tersedu. Sebagai contoh, Junaid dikutip mengatakan, “Air mengambil warna dari wadahnya.” Mungkin ini sedikit memusingkan pada awalnya, ‘Abd al-Hakeem Carney menjelaskannya sebagai berikut: “Ketika air di sini difahami sebagai penyingkapan diri cahaya Ilahy, kita dituntun kepada konsep penting dari “kapasitas”, dimana pencerahan Ilahy diterima oleh hati dari siapa saja tergantung dari kapasitas penerimaan masing-masing individu dan akan diwarnai oleh sifat individu tersebut. Sebagaimana kita lihat, satu frase sederhana saja menyimpan arti yang demikian dalam; itu membawa pembaca kembali ke pemahaman yang lebih dalam akan Tuhan melalui metafora pemikiran lebih.
Junaid percaya bahwa Sufisme adalah satunya jalan untuk orang-orang tertentu menggapai Tuhan, bukan untuk orang awam. “Tasawwuf,” katanya, “Adalah untuk mensucikan hati dari semua keinginan yang mengikuti jalan orang-orang awam.” Menurut Sells, “…Junaid nampaknya menganggap bahwa pendengar atau pembaca tulisannya telah memiliki pengalaman tentang apa yang dia bicarakan atau, lebih radikal lagi bahwa pendengar atau pembaca bisa meniru pengalaman tersebut, atau mampu menciptakan kembali pengalaman itu pada saat membaca tulisan atau mendengar ucapan Junaid.” Pernyataan ini seolah menyebut Junaid menulis kepada sekelompok orang tertentu yang telah digambarkan di depan. Orang-orang pilihan yang dimaksud adalah orang-orang terpilih atau saudara sinarawedi yang oleh Junayd digambarkan dengan frasa pilihan orang beriman atau yang disucikan. Mereka memainkan peran penting dalam komunitas orang beriman.
Sebagaimana disebutkan, Junaid selalu sulit difahami para sarjana karena kebanyakan tulisannya telah hilang bersama waktu. Junaid secara tetap menggunakan kata-kata yang pas dan bahasa khusus untuk mencoba dan menjelaskan tentang Tuhan, kerinduan kepada-Nya dan hakekat manusia. Bahasa kiasannya membingungkan banyak orang, namun Junaid punya alasan untuk menulisnya dengan samar. Berdasarkan buku Encyclopedia of Islam, Junaid menemukan bahwa sebuah surat yang ditulisnya telah dibuka oleh orang lain sebelum mencapai tujuannya: “Tidak diragukan (dibaca) oleh orang-orang berseberangan yang mencari bukti untuk menghukum sikapnya; Hal ini membuat Junaid sangat protektif terhadap tulisan-tulisannya.
922 M, Husain Al Mansur yang terkenal dengan panggilan Al Hallaj wafat dieksekusi. Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik kezuhudan keras semisal puasa dan salat sunnat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Pada tahun 892 M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan juga Junaid.
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hallaj yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus berusaha menemui Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada 923 M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
923 M, sejarahwan Abu Jafar Al Tabari wafat.
934 M, okultasi sebagian kaum Syi’ah kepada Imam Tersembunyi mulai diperkenalkan.
935 M, filsuf Hasan Al Asyari wafat. Namanya Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad.
Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. Namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah. Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya."
Beliau cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pemikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung pendapat/faham imam ini dinamakan kaum "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan Ahlussunnah Wal Jama'ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.
969 M, Cordoba mengawali sebagai pusat pendidikan.
972 M, dinasti Fatimiyyah memindahkan ibukota ke Kairo dan membangun universitas Al Azhar.
1037 M, Ibnu Sina wafat.
1085 M, Toledo jatuh oleh pasukan Kristen.
1094 M, kaisar Bisantium Alexius Comnenus I meminta bantuan negara-negara kristen di barat untuk melawan dinasti Seljuk.
1095 M, Paus Urban II memberkati pasukan salib I.
1099 M, Pasukan Salib menaklukkan Jerusalem dan membentuk pemerintahan di Palestina, Anatolia dan Syria.
1111 M, Al Ghazali wafat. Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Seljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.
Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.
1166 M, Abdul Qadir Al Jilani
Syekh Abdul Qadir Jaelani lahir pada 18 Maret 1077 (Rabu, 1/2 Ramadhan 470 H) di Jilan, sebelah selatan laut Kaspia, sekarang menjadi Provinsi Mazandaran di Iran. Beliau wafat pada usia 88 tahun, yaitu pada 15 Januari 1166 (561 H) di Baghdad Irak, karena tertular beberapa penyakit.
Ayah beliau bernama Abu Salih dan ibunya bernama Umm Khair Fatima. Anak-anak beliau adalah Shaikh Abdul-Wahab, Sheikh Abdul-Razzaq, Shaikh Abdul-Aziz, Shaikh Isa, Shaikh Musa, Sheikh Yahya, Sheikh Abdullah, Sheikh Muhammed dan 41 lainnya. Sheikh Ibrahim.
Hadzrat Abu Muhammad Muhiyuddin Sheikh Abdul Qadir Jilani (ra) berkontribusi mendalam terhadap Sufisme dan Syariat, sehingga beliau terkenal sebagai salah satu kutub spiritual pada zamannya. Oleh karenanya beliau oleh pengikutnya disebut sebagai al Ghauts al A'zam. Beliau adalah seorang syekh yang sangat dihormati oleh ulama Sunni dan ulama Sufi. Beliau adalah orang Kurdi atau orang Persia. Syekh Abdul Qadir dianggap wali dan sehingga diberi penghormatan besar oleh kaum Muslim dari anak benua India, terutama di Pakistan dan India.
Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a, melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melalui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami r.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagai berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu". Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut:
Dari Ayahnya (Hasani): Syeh Abdul Qodir bin Abu Shalih bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun bin Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dari ibunya (Husaini): Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wassalam
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Beliau menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasihat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasihat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.
Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqih terkenal al Mughni. Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam salat fardhu."
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). "Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."
Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini. (Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."
Ibnu Taimiyah. Dalam Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari Nabi. Maka dari itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khususnya masalah akidah.
Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah keluar dari madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal. 56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah metode yang ditempuh adalah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pun, ketika menjelaskan tentang keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah wal jama’ah.
Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat dengan ahlus sunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota badan” (Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda, serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkata, “Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan kesalahannya.” Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya (Al-Ghinayah, I, 65).” Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah dan Murji’ah.
Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya, Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."
Selain itu, sebagaimana ulama ahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (Futuh Al-Ghaib, hal. 10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada selain-Nya (Al-Fath Ar-Rabbani).” Ketika menyikapi kasus Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud, perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir lainnya.”
Syeikh Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.
Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”. Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.
Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan diri-sendiri, serta merendahkan dan menghinakan orang lain. Padahal, ia dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,” (Al-Qashash: 83)
Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya. Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan karamah dari Allah, tidak lebih.
Ketika menilai sosok Syeikh Abdul Qadir Jailani, terutama mengenai karamah yang dinisbatkan kepadanya, terdapat 3 kelompok.
Kelompok pertama, mereka yang mencela Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menyifatinya dengan Dajjal. Mungkin yang menyebabkan mereka bersikap demikian karena adanya karamah dusta dan riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani. Di antara mereka adalah Ali bin Muhammad Al-Qirmani.
Kelompok kedua, mereka yang fanatik kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani dan menerima segala sesuatu yang diceritakan tentangnya atau yang dinisbatkan kepadanya, walaupun ditolak syariat dan diingkari akal. Di antara mereka adalah Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi
Kelompok ketiga, mereka yang mengambil sikap tengah-tengah, di satu sisi menerima karamah Syeikh Abdul Qadir Jailani yang benar dan dinukil dengan penukilan yang kuat, yang tidak bertentangan dengan syariat, dan sisi lain juga menolak yang tidak memenuhi kriteria itu. Di antara mereka adalah Imam Adz-Dzahabi .
Sikap terbaik dalam hal ini adalah sikap kelompok ketiga. Mereka seimbang dalam menilai Syeikh Abdul Qadir Jailani. Tidak ekstrim kanan, dan tidak ekstrim kiri.
1187 M, Sultan Saladin mengalahkan pasukan Salib dan mengambil alih Jerusalem.
1191 M, Yahya Suhrawardi meninggal dunia di Allepo?
1198 M, Ibnu Rusydi wafat di Cordoba.
1208 M, Yahya Suhrawardi meninggal dunia?
1220 M, Pasukan Monggolia menyerbu Persia.
1224 M, Golden Horde dari Monggolia menguasai bagian utara laut Kaspia dan laut Hitam serta memeluk Islam.
1225 M, kerajaan Islam di Spanyol hanya tinggal Granada.
1227 M, Jenghis Khan meninggal dunia.
Chaghaytay penguasa Monggolia menguasai Transoksania dan memeluk Islam.
1240 M, Ibnu Arabi wafat. Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 di Al-Andalus, Spanyol. Pada usianya yang ke 8, bersama keluarganya, ia pindah ke Sevilla. Pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko.
Ibnu Arabi sangat dikenal dengan konsep Wihdatul Wujud-nya. Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya.
Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna, menurutnya.
Ia juga seorang tokoh politik yang tidak pernah diperhitungkan keberadaannya dalam sejarah.
Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuf filosofis, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya. Di Indonesia, paham wihdat al-wujud Ibnu Arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip wihdat al-wujud, di antaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-Palimbani.
Ibnu Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman al-Asywaq. Futuhat adalah karya besar yang menyingkap ilmu gaibul gaib uluhiyat & rububiyyat yang sangat dalam sesuai dengan keterbukaan sang syech dari Yang Haqq berhubungan dengan permohonan sang syech ketika di Makkah.
1250 M, dinasti Mamluk yang bermula dari pasukan bayaran melakukan kudeta terhadap dinasti Ayyub dan menyusun pemerintahan di Mesir dan Syria.
1256 M, Il Khan dari Monggolia menguasai Irak dan Iran serta memeluk Islam.
1258 M, Il Khan menghancurkan Bagdad.
1273 M, Jalaluddin Rumi wafat. Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm.
Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khurasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengkritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah:
Jangan tanya apa agamaku
Aku bukan Yahudi
Bukan Zoroaster
Bukan pula Islam
Karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku
1288 M, Utsman membangun dinasti Utsmani di Anatolia
1328 M, Ibnu Taimiyyah wafat. Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).
Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.
Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.
Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya."
Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Sangat luar biasa, tidak hanya di lapangan ahli ilmu pengetahuan saja ia terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, beliau tetap mengajar sebagai profesor yang ulung.
Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf. Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa-fatwa dalam agama Islam.
Ibnu Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin". Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.
Jenazah ia disalatkan di masjid Jami’ Bani Umayyah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.
Menurut Syaikh Idahram, Ibnu Taymiyyah telah mengeluarkan fatwa untuk membakar buku-buku yang dianggap bertentangan dengan fahamnya dalam kitab Al Akhbar dan Al Jami’ yang digabung dengan kitab Mushannaf Ibnu Abu Syaibah 6/211 – 212, penerbit Dar al-Fikr, bab Tahriq al-Kutub. Namun diakhir hayatnya beliau mulai membenarkan tasawuf, suluk, dzikir dan perihal alam arwah melalui fatwanya yang dikumpulkan murid-muridnya, yaitu Majmu’ Fatawa li Ibni Taimiyyah.
1334 M, Al Hambra di Granada dibangun oleh Yusuf.
1350 M, Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin al-Hindi dan Isma'il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembahagian waris (fara'idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu Taimiyyah.
Beliau belajar ilmu faraidh dari bapaknya kerana beliau sangat berbakat dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali.
Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam firqah Islamiyah.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits, makna hadits, pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.
Begitu pula, pengetahuan beliau rahimahullah tentang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya Ahli tasawwuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Ia memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.
Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah :
Anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah
Anaknya yang lain bernama Ibrahim,
Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah
Al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah
Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi
Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy
Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy
Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i
Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky
Taqiyuddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i
Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.
Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid. Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 18 Rajab tahun 751 Hijriyah. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Syaikh Idahram mengutip pernyataan Ibnu Qayyim dalam bukunya Zad al-Ma’ad, penerbit Muasassah ar-Risalah, vol. 3, Beirut, Lebanon, h. 581 dengan kalimat, “... Begitu juga, tidak perlu untuk mengganti rugi dalam membakar kitab-kitab sesat dan melenyapkannya (itlafuha).”
1369 M, Timur Lane mengembalikan kekuasaan Chaghaytay di Samarkand, menaklukkan hampir seluruh Timur Tengah dan Anatolia, menyerbu Delhi.
1403 M, Mehmed I membangun kembali dinasti Utsmani setelah wafatnya Timur Lane.
1406 M, Ibnu Khaldun wafat. Ibn Khaldun merupakan salah seorang pakar sejarah Arab teragung, juga dikenali sebagai bapa kepada sejarah kebudayaan dan sains sosial moden. Ibn Khaldun turut mengembangkan falsafah tidak berasaskan keagamaan paling awal, terkandung dalam karyanya Muqaddimah (“Pengenalan”). Ibn Khaldun juga menulis sejarah Muslim di Afrika Utara yang terulung.
1421 M, Murad I dari dinasti Utsmani menguasai Hungaria dan Barat.
1453 M, Mehmed II menaklukkan Konstantinopel dan menetapkannya sebagai ibukota dengan mengganti namanya menjadi Istambul.
1492 M, Kerajaan katolik Ferdinand dan Isabella menaklukkan Granada.
1502 M, Ismail, pemimpin ordo Sufi Safawi menaklukkan Iran. Dia menetapkan aliran Syiah 12 Imam sebagai agama resmi dengan menekan orang-orang Sunni.
1514 M, Sultan Salim I dari dinasti Utsmani mengalahkan Ismail dalam perang di Chaldiran dan menahan perluasan dinasti Safawi.
Kalau kita cermati, ternyata banyak sekali perbedaan pandangan dalam hal pengamalan agama. Dan kita bisa jadi tidak memiliki data yang akurat untuk melakukan penilaian.
Jadi biarlah Allah Al Haqq sendiri yang menilai sebagai Al Hakim akan kadar ketaqwaan kita, karena Dia yang berhak memberikan sertifikat kelulusan atau sebaliknya. Sehingga tugas kita hanyalah berlomba berbuat kebaikan, semoga sekecil apa pun yang kita lakukan membuat kita lulus di hadapan Allah.


Tuban, 14 Jul 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)

Nasehat Kematian