Apa sih yang dijanjikan Allah (SWT) kepada Nabi Muhammad (saw) pada saat Mi’raj? Sehingga beliau (saw) bersedia menerima perintah sholat 5 kali sehari. Saya tidak tahu apa yang dijanjikan Allah kepada kita melalui beliau (saw). Namun karena saya sudah berkomitmen untuk mengikuti jejak beliau (saw), maka perjanjian itu juga berlaku untuk saya, sehingga saya wajib memenuhinya.
Dari pengertian yang saya terima melalui pikiran, akal saya
menyarankan untuk menyabda pada diri saya sendiri untuk selalu berjuang
memenuhi janji tersebut. Dari sabda yang saya turunkan ke dalam diri, maka
timbullah tekad untuk berjuang. Selanjutnya saya mengheningkan cipta kepada
raga saya dan alam semesta, sehingga muncul niat beraktifitas untuk mewujudkan
janji tersebut. Alhamdulillah, semenjak itu saya mendapatkan nikmat mendirikan
sholat. Saya bisa berdiri atau rukuk atau sujud atau duduk berlama-lama hadir
ke hadirat Allah.
Suatu ketika saya mendapatkan suatu wisik bahwa saya akan
mati sekarang. Lalu saya bangkit untuk mendirikan sholat Dhuhur dalam sikap
siap menghadapi kematian. Ternyata dengan sikap seperti itu, pada setiap
tahapan sholat, saya bisa lebih khusyu’. Pikiran yang biasanya membawa kepada
kelalaian, sudah tidak membawa angan-angan apapun. Benarlah, apa yang
difirmankan Allah dalam QS Al Baqarah 2 ayat 45-46: “Jadikanlah
sabar dan sholat
sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang menyangka, bahwa mereka
akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Padahal masih berupa sangkaan saja sudah membuat khusyu’, apalagi bila
bisa sampai kepada kepastian atau yaqin.
Semoga dengan membeber pengalaman
sholat bisa memberikan manfaat buat umat. Paling tidak bisa memperbaiki
hubungan dengan Allah (SWT).
1.
Berdiri
QS Al An’aam 6: 79, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama (sikap)
yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Saya berdiri dan menyaksikan alam. Keberadaan
alam yang bisa kita indrai, menunjukkan adanya yang tidak nampak, yaitu Sang
Pencipta yang menyebut DiriNya dengan Allah (SWT). Sebagai Pencipta alam
semesta, Dia pasti Kuasa, Tunggal tiada duanya, Suci, Sempurna, meliputi segala
sesuatu, tidak laki-laki tidak perempuan, tidak beranak apalagi diperanakkan.
Pada sikap ini, saya disadarkan bahwa Allah itu ada. Inilah yang saya sebut
dengan “Pengadaan”, yaitu menyadari keberadaan Allah. Saya menghadapkan diri
saya kepada Pencipta langit dan bumi, yaitu dengan Iftitah, yang
merupakan kunci untuk membuka. Kemudian saya buka pintu Al Fatihah dengan
kesadaran bahwa saya hidup di alam dunia diberi kecukupan, kenikmatan dan
lain-lain. Oleh karena itu saya tidak mau tersesat atau tidak mencapai tujuan
bahkan jangan sampai dimurkai Allah.
Berjuanglah untuk mengakui ada-Nya, yaitu suatu
keberadaan yang gaib, yang meliputi segala sesuatu, dari dulu, sekarang dan
nanti tetap dalam kesempurnaan.
2.
Ruku’
QS Al
Mursalatin 77: 47-48, “Kecelakaan yang besarlah pada hari itu
bagi orang-orang yang mendustakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Rukuklah”, niscaya mereka tidak mau ruku'.”
Di saat ruku’, saya disadarkan
akan adanya raga yang merupakan Rumah Kesucian Ilahi atau Baitul Muqaddas
yang dianugerahi kemampuan, seperti pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap
dan perasa (somatic) serta penggerak (a5’). Semuanya itu adalah bentuk-bentuk
kekuasaan yang bisa saya manfaatkan. Di sinilah saya disadarkan bahwa Dia (Huwa)
lah yang memiliki segala kekuasaan, berarti Dia adalah Kuasa. Inilah yang saya
maksud dengan “Pendekatan”, yaitu saya mulai menyaksikan keberadaan-Nya, yaitu
dengan sebutan Dia (Huwa).
Berusahalah dengan memperhatikan bahwa
Dia lah Kuasa yang menyaksikan dan yang menggerakkan atas segala sesuatu.
3.
I’tidal
QS Ath Thur 52: 48-49, “Dan
bersabarlah dalam menunggu keputusan Tuhan-mu, maka sesungguhnya kamu berada
dalam penglihatan Kami dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu
bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari
dan di waktu terbenam bintang-bintang.”
Diri saya kemudian ditarik kepada
hati yang merupakan Baitul Haram Ilahi, dimana saya terbiasa menilai segala
sesuatu. Saya menilai dengan rasa senang atau susah, suka atau tidak suka.
Emosi (ghadhab) saya akan bereaksi terhadap penilaian saya tersebut,
yang seringkali membuat saya mudah kerasukan. Padahal pada hati terdapat
perasaan a5’’ yang sejatinya adalah nilai-nilai Ilahi dan bukan nilai-nilai
saya. Dengan pengertian ini timbul kesadaran bahwa nilai-nilai pribadi yang
merupakan prasangka atau opini saya, rela untuk digantikan oleh nilai-nilai Dia
Yang Haqq. Dia lah yang menetapkan baik atau buruk. Maka saya pun mengosongkan
hati saya dari segala sesuatu selain Dia. Di situlah saya berkomunikasi dengan
sebutan “Anta”, yang artinya Engkau. Posisi ini lah yang saya fahami bahwa saya
semakin dekat dengan-Nya.
Kosongkanlah hati dari segala
sesuatu selain Allah, sehingga yang ada hanyalah penilaian dari Al Haqq.
4.
Sujud
QS Al Hajj 22: 77, “Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan
perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.”
Masih dalam Baitul HaramNya, saya
pun bersujud mengakui bahwa ambisi diri (syahwat) yang telah membuat
saya kesetanan diserahkan kepada IradatNya a6’’. Kecintaan saya kepada diri
sendiri, perlahan saya tanamkan ke dalam hati untuk cinta kepada Ilahi. Sehingga
saya sadari bahwa saya hanyalah hamba-Nya. Sebagai hamba, hanyalah menjalankan
perintah dengan penuh kesungguhan. Inilah puncak kedekatan kepada Allah, maka
sebutan “Anta” menjadi semakin jelas, yaitu berupa komunikasi hamba kepada-Nya.
Pasrahkanlah ambisi kepada
IradatNya, pasrahkan diri kepada-Nya, sehingga yang ada hanyalah hamba yang
sedang bersujud berserah diri! Bukankah berserah diri hanyalah kepada yang
dipercayai? Tanamkanlah cinta Ilahi sedalam-dalamnya!
5.
Duduk Tasyahud Awal
Berhubung totalitas diri sudah
diserahkan kepada Allah, maka yang ada adalah Dia sendiri yang selalu dalam
kesibukan. Maka sebagai hamba, dibawalah saya kepada Rumah KesibukanNya atau
Baitul Makmur, yaitu pikiran. Sebagai hamba yang sudah pasrah, hanya bisa diam
menyaksikan. Dia sendiri yang menyebut DiriNya dengan “Ana”. Inilah yang saya
fahami sebagai “Penghadiran”, yaitu saya hadir ke hadirat-Nya tanpa
menyekutukan-Nya. Awas! Bukan sebaliknya, karena bisa jadi tidak pantas dan
ketika Nabi Musa (as) meminta Allah hadir, yang terjadi adalah kehancuran bukit
Tsursina. Pada maqam ini, yang ada hanyalah menyaksikan kesibukan Ilahi dan Dia
mengilhamkan bahwa pengetahuan tentang Dia dimulai dengan asma Allah.
Saya hanyalah saksi atas
kesibukan Ilahi, yaitu tarikan menuju alam pengetahuan yang dibeberkan-Nya.
Pengetahuan yang merupakan konfirmasi atas apa yang saya saksikan melalui
ragawi dan hati dengan pengetahuan yang sudah menjadi nilai kebenaran yang ada
dalam ingatan a5’’’ saya. Pengetahuan itu bisa diakses dalam rupa kesan, baik
berupa gambaran maupun berupa tulisan atau sesuatu yang bisa diketahui atau
diingat.
Diam dan simaklah, laksanakan
yang diperintahkan!
6.
Sujud Kedua
Saya pun kemudian bersujud dalam
Baitul MakmurNya. Saya bersujud sebagai hamba yang berusaha menyaksikan sabda
Ilahi. Biasanya, rahasia atau sesuatu yang belum diketahui (sirr atau
bahkan akhfa) diungkapkan-Nya. Pengungkapan-Nya bisa berupa kesimpulan
atau manfaat apa yang bisa dipetik dari pengetahuan yang sudah disampaikan
sebagai input. Proses pengolahan input dengan menggunakan pengertian a6’’’ akan
menghasilkan kesimpulan. Dengan demikian dari ayat-ayat tentang Dia yang sudah
dibeber, bisa ditarik kesimpulan tentang Dia.
Saya hanya bisa terdiam menyaksikan
atas tersingkapnya rahasia-rahasia bahkan mungkin disingkapkan-Nya sesuatu yang
lebih tersembunyi. Kesimpulan dari pengertian adalah manfaat atau jawaban atas
pertanyaan, untuk apa?
Bersyukurlah atas anugerah
manfaat dari-Nya dan bertaubatlah!
7.
Duduk Tasyahud Akhir
QS Yaasiin
36: 58, “(kepada mereka dikatakan):
"Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan yang Maha Penyayang.”
Serta QS Ar Raad 13: 23 –
24, “(yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk
ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun
'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Saya pun kemudian duduk diam memuja-Nya.
Tarikan menuju alam akal a7’’’, dimana strategi dan cara untuk menjalankan
perintah-Nya dibeber. Bukankah satu-satunya cara untuk mengenal Yang Ghaib
hanyalah melalui pintu kepercayaan atau keyakinan? Bukankah akal pikiran sudah
tidak mampu menjangkau? Bukankah akal pikiran bilamana mampu menjangkau, lalu
menguasai? Sedangkan Dia Kuasa atas segala sesuatu. Tiada batas yang bisa
membatasi.
Tanamkan keyakinan tanpa goyah
sedikit pun! Perhatikan di atas kepala, bukankah ada langit? Bukankah ‘ilmu dan
‘alam memiliki dasar huruf yang sama, yaitu ‘ain lam mim? Carilah Dia di luar
ilmu dan alam hanya dengan bermodalkan kepercayaan atau keyakinan.
Semoga apa yang sudah dibeberkan bisa dikembangkan menuju
kepada kesempurnaan diri, hingga berbuah yang bermanfaat sebagai hamba Allah
yang rahmatan lil ‘alamin. Marilah berjuang tanpa kendor hingga kita
diminta kembali kepada-Nya.
Papahan, 12 Oktober 2022