Banyak pernyataan orang-orang bahwa kalau sudah hadir ke hadirat-Nya, janganlah berpaling atau mengaku sudah melihat Allah SWT dengan kesadaran atau mengaku sudah jadi ahli makrifat dan lain-lain. Hadits dari Muadz bin Jabal (r.a.) ini semoga menjadi pengingat kita semua bahwa itu hanyalah bagian dari proses perjuangan bukan berarti sudah mencapai maqam tersebut. Apalagi kalau ilmunya saja belum sampai kepadanya. Hadits di bawah menjelaskan bahwa syarat-syarat untuk menembus langit sedemikian ketat dan tidak bisa dilobi. Maka, janganlah mudah terhalusinasi dalam berketuhanan. Itu adalah cara setan untuk membuat kita paling tidak tersesat.
Telah diceritakan oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid bin Ma’dan, dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal (r.a.), salah seorang sahabat Nabi Muhammad (s.a.w.), “Wahai Mu’adz! Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah engkau dengar langsung dari Rasulullah (s.a.w.), suatu hadits yang engkau hafal dan selalu engkau ingat setiap harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits tersebut, sangat halus dan mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah yang menurut engkau yang paling penting?”
Kemudian,
Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat setelah ia mendengar
permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis sedemikian rupa sehingga
aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti dari menangisnya. Kemudian,
setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan
menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada Rasulullah, ingin rasanya aku
segera bersua dengan beliau”
Selanjutnya
Mu’adz bin Jabal (r.a.) mengisahkan sebagai berikut, “Ketika aku mendatangi
Rasulullah (s.a.w.), beliau sedang menunggangi unta dan beliau menyuruhku untuk
naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama beliau dengan
mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke
langit, kemudian bersabdalah Rasulullah (s.a.w.), “Alhamdulillah, segala puji
hanya bagi Allah yang memberikan ketentuan (qadha) atas segenap makhluk-Nya
menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”.
Aku
menjawab, “Labbaik yaa Sayyidal Mursaliin”.
“Wahai
Mu’adz! Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits yang jika engkau
mengingat dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi manfaat kepadamu
di hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak menjaga (hadits) ini
maka kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di hadhirat Allah Ta’ala!”
“Wahai
Mu’adz! Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tujuh Malaikat
sebelum Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi. Pada setiap langit tersebut
ada satu Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap pintu dari pintu-pintu
lelangit tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga, sesuai dengan kadar dan
keagungan (jalaalah) pintu tersebut.
Maka
naiklah al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan) dengan membawa amal
perbuatan seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak subuh hari hingga petang
hari. Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan menyala-nyala bagaikan sinar
matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik amal perbuatan tersebut
hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan mensucikan amal tersebut.
Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama, berkatalah Malaikat penjaga
pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya!
Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi perbuatan ghiibah (menggunjing
orang), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal ini
melewatiku untuk menuju ke langit yang berikutnya!”
Kemudian
naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal shalih diantara
amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar sehingga mereka
melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal tersebut sampai di
pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, karena
ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan duniawi belaka! Akulah
‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah diperintah Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya terhadap
manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat melaknat orang
tersebut hingga petang hari.
Dan
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang lain. Amal tersebut
demikian memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih, berupa amal-amal
shadaqah, shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr) yang lainnya.
Kecemerlangan amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub melihatnya, mereka
pun melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka diizinkan untuk
membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga, maka berkatalah
Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah
amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas
kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal
perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya!
Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di
lingkungan (majelis) mereka!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal seorang hamba yang
sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan bintang-bintang yang
gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya. Kegemerlapan amal tersebut
berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah. Diangkatlah amalan tersebut
hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah Malaikat penjaga pintu langit
kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah,
punggung, dan perut dari si pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ujbi’, malaikat
pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah diperintah oleh Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku menuju ke langit
berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan suatu amal
perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai ke Langit
Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang sedang diiring diboyong
menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit Kelima, amalan yang demikian
baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya menyala-nyala bagaikan sinar
matahari. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan
pikulkanlah pada pundaknya! Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad
(dengki), sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad)
dan iri hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama
yang sedang beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa
hasad kepada siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari
suatu ibadah dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah
oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju
ke langit berikutnya!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang
memancarkan cahaya yang terang benderang seperti cahaya matahari, yang berasal
dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat yang banyak, zakat, haji, umrah,
jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka angkat hingga mencapai pintu Langit
Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu ini kepada al-Hafadzah:
“Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya,
sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba Allah yang
sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit, bahkan ia merasa senang
dengan hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’, malaikat pengawas sifat rahmah
(kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan
seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya!”
Dan
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang lain,
amal-amal berupa shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan wara’ (memelihara diri dari
perkara-perkara yang haram dan subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung
seperti dengungan suara lebah, dan bersinar seperti sinar matahari. Dengan
diiringi oleh tiga ribu malaikat, diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai
pintu Langit Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada
al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya,
pukullah anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini!
Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin
disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan menghijab
dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi mengharap Wajah
Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini lebih mengharapkan
yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih mengharapkan ketinggian
posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli), lebih mengharapkan
penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para ulama, dan lebih
mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku
untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat dihadapanku! Setiap amal
perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena Allah Ta’ala adalah suatu
perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala amal perbuatan orang yang
riya’!”
Kemudian
naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba berupa shalat,
zakat, shaum, haji, umrah, berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh
malaikat langit yang tujuh mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan
tersebut, dan diangkatlah amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju
ke hadhirat Allah Ta’ala. Hingga sampailah di hadhirat-Nya, dan para malaikat
memberi kesaksian kepada-Nya bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan
secara ikhlash karena Allah Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga
atas segala amal perbuatan hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha
Mengawasi atas segenap lapisan hati sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan
amalannya ini tidaklah menginginkan Aku dan tidaklah mengikhlashkannya
untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan semata-mata demi mengharap sesuatu
yang selain Aku! Aku yang lebih mengetahui ihwal apa yang diharapkan dengan
amalannya ini! Maka baginya laknat-Ku, karena ini telah menipu orang lain dan
telah menipu kalian, tapi tidakklah ini dapat menipu Aku! Akulah Yang Maha
Mengetahui perkara-perkara yang ghaib, Maha Melihat segala apa yang ada di
dalam hati, tidak akan samar bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar, tidak akan
tersembunyi bagi-Ku setiap apa pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas segala
apa yang akan terjadi adalah sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang baqa
(kekal), Pengetahuan-Ku tentang yang awal adalah sama dengan Pengetahuan-Ku
tentang yang akhir! Aku lebih mengetahui perkara-perkara yang rahasia dan lebih
halus, maka bagaimana Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja
ia menipu segenap makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku Maha Mengetahui
Yang Ghaib, maka baginya laknat-Ku!” Maka berkatalah malaikat yang tujuh dan
3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu baginya dan
laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya
menjatuhkan la’nat kepadanya.
Setelah
mendengar semua itu dari lisan Rasulullah (s.a.w.), maka menangislah Mu’adz
dengan terisak-isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah
sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz, bagaimana aku dapat selamat dan
terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan ini?”
Berkatalah
Rasulullah (s.a.w.), “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam soal keyakinan
sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan. Wahai Mu’adz! Jagalah
lisanmu dari kebinasaan dengan mengghiibah manusia dan mengghiibah
saudara-saudaramu para pemikul Al-Quran. Tahanlah dirimu dari keinginan
menjatuhkan manusia dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah
engkau mensucikan dirimu dengan jalan menjelek-jelekan saudara-saudaramu!
Janganlah engkau meninggikan dirimu dengan cara merendahkan saudara-saudaramu!
Pikullah sendiri aib-aibmu dan jangan engkau bebankan kepada orang lain”
“Wahai
Mu’adz! Janganlah engkau masuk kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan
urusan akhiratmu! Janganlah berbuat riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui
oleh orang lain dan janganlah engkau bersikap takabbur di majelismu sehingga
manusia takut dengan sikap burukmu!”
“Janganlah
engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain!
Janganlah engkau mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya
engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata
kasar di majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu,
sebab akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh
anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau memahami makna Firman Allah Ta’ala: “Wa
naasyithaati nasythan!” (‘Demi yang mencabut/menguraikan dengan
sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)?” Aku berkata, “Demi bapakku, engkau,
dan ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Anjing-anjing di dalam Neraka yang
mengunyah-ngunyah daging manusia hingga terlepas dari tulangnya!”
Aku
berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang
bisa memenuhi seruanmu ini sehingga terhindar dari kebinasaan?”
Rasulullah
(s.a.w.) menjawab, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah
bagi siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal
tersebut, maka cukuplah engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih
sesuatu yang engkau sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan
membenci orang lain ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu
menimpa dirimu sendiri! Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan
pasti dirimu akan terhindar!”
Khalid
bin Ma’dan berkata, “Sayyidina Mu’adz bin Jabal (r.a.) sangat sering membaca
hadits ini sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Quran dan sering mempelajari
hadits ini sebagaimana seringnya beliau mempelajari Al-Quran di dalam
majelisnya.”
Bukankah
pengakuan bahwa kita sudah hadir di hadirat-Nya atau sudah melihat Allah SWT
dengan kesadaran adalah bentuk2 ujub?
________________________________________________________
Papahan, 10 November 2022 / 07 Jumadil
Awal 1446
Sumber:
1. Al
Qur`an Hafalan Al-Hufaz Per Kata, Cordoba, Bandung, 2020
2. http://nurisaomar.blogspot.com