Selasa, 27 Agustus 2024

Halusinasi Dalam Berketuhanan

Banyak pernyataan orang-orang bahwa kalau sudah hadir ke hadirat-Nya, janganlah berpaling atau mengaku sudah melihat Allah SWT dengan kesadaran atau mengaku sudah jadi ahli makrifat dan lain-lain. Hadits dari Muadz bin Jabal (r.a.) ini semoga menjadi pengingat kita semua bahwa itu hanyalah bagian dari proses perjuangan bukan berarti sudah mencapai maqam tersebut. Apalagi kalau ilmunya saja belum sampai kepadanya. Hadits di bawah  menjelaskan bahwa syarat-syarat untuk menembus langit sedemikian ketat dan tidak bisa dilobi. Maka, janganlah mudah terhalusinasi dalam berketuhanan. Itu adalah cara setan untuk membuat kita paling tidak tersesat.

Telah diceritakan oleh Ibnu al-Mubarak tentang seorang laki-laki yang bernama Khalid bin Ma’dan, dimana ia pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal (r.a.), salah seorang sahabat Nabi Muhammad (s.a.w.), “Wahai Mu’adz! Ceritakanlah kepadaku suatu hadits yang telah engkau dengar langsung dari Rasulullah (s.a.w.), suatu hadits yang engkau hafal dan selalu engkau ingat setiap harinya disebabkan oleh sangat kerasnya hadits tersebut, sangat halus dan mendalamnya hadits tersebut. Hadits yang manakah yang menurut engkau yang paling penting?”

Kemudian, Khalid bin Ma’dan menggambarkan keadaan Mu’adz sesaat setelah ia mendengar permintaan tersebut, “Mu’adz tiba-tiba saja menangis sedemikian rupa sehingga aku menduga bahwa beliau tidak akan pernah berhenti dari menangisnya. Kemudian, setelah beliau berhenti dari menangis, berkatalah Mu’adz: Baiklah aku akan menceritakannya, aduh betapa rinduku kepada Rasulullah, ingin rasanya aku segera bersua dengan beliau”

Selanjutnya Mu’adz bin Jabal (r.a.) mengisahkan sebagai berikut, “Ketika aku mendatangi Rasulullah (s.a.w.), beliau sedang menunggangi unta dan beliau menyuruhku untuk naik di belakang beliau. Maka berangkatlah aku bersama beliau dengan mengendarai unta tersebut. Sesaat kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, kemudian bersabdalah Rasulullah (s.a.w.), “Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah yang memberikan ketentuan (qadha) atas segenap makhluk-Nya menurut kehendak-Nya, ya Mu’adz!”.

Aku menjawab, “Labbaik yaa Sayyidal Mursaliin”.

“Wahai Mu’adz! Sekarang akan aku beritakan kepadamu suatu hadits yang jika engkau mengingat dan tetap menjaganya maka (hadits) ini akan memberi manfaat kepadamu di hadhirat Allah, dan jika engkau melalaikan dan tidak menjaga (hadits) ini maka kelak di Hari Qiyamah hujjahmu akan terputus di hadhirat Allah Ta’ala!”

“Wahai Mu’adz! Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menciptakan tujuh Malaikat sebelum Dia menciptakan tujuh lelangit dan bumi. Pada setiap langit tersebut ada satu Malaikat yang menjaga khazanah, dan setiap pintu dari pintu-pintu lelangit tersebut dijaga oleh seorang Malaikat penjaga, sesuai dengan kadar dan keagungan (jalaalah) pintu tersebut.

Maka naiklah al-Hafadzah (malaikat-malaikat penjaga insan) dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang telah ia lakukan semenjak subuh hari hingga petang hari. Amal perbuatan tersebut tampak bersinar dan menyala-nyala bagaikan sinar matahari, sehingga ketika al-Hafadzah membawa naik amal perbuatan tersebut hingga ke Langit Dunia mereka melipat gandakan dan mensucikan amal tersebut. Dan ketika mereka sampai di pintu Langit Pertama, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ghiibah’, yang mengawasi perbuatan ghiibah (menggunjing orang), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal ini melewatiku untuk menuju ke langit yang berikutnya!”

Kemudian naiklah pula al-Hafadzah yang lain dengan membawa amal shalih diantara amal-amal perbuatan seorang hamba. Amal shalih itu bersinar sehingga mereka melipat-gandakan dan mensucikannya. Sehingga ketika amal tersebut sampai di pintu Langit Kedua, berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, karena ia dengan amalannya ini hanyalah menghendaki kemanfaatan duniawi belaka! Akulah ‘Malakal Fakhr’, malaikat pengawas kemegahan, aku telah diperintah Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan ini melewatiku menuju ke langit berikutnya, sesungguhnya orang tersebut senantiasa memegahkan dirinya terhadap manusia sesamanya di lingkungan mereka!”. Maka seluruh malaikat melaknat orang tersebut hingga petang hari.

Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba yang lain. Amal tersebut demikian memuaskan dan memancarkan cahaya yang jernih, berupa amal-amal shadaqah, shalat, shaum, dan berbagai amal bakti (al-birr) yang lainnya. Kecemerlangan amal tersebut telah membuat al-Hafadzah takjub melihatnya, mereka pun melipat-gandakan amal tersebut dan mensucikannya, mereka diizinkan untuk membawanya. Hingga sampailah mereka di pintu Langit Ketiga, maka berkatalah Malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah pemiliknya! Akulah ‘Shaahibil Kibr’, malaikat pengawas kesombongan, aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini lewat dihadapanku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya pemilik amal ini telah berbuat takabbur di hadapan manusia di lingkungan (majelis) mereka!”

Kemudian naiklah al-Hafadzah yang lainnya dengan membawa amal seorang hamba yang sedemikian cemerlang dan terang benderang bagaikan bintang-bintang yang gemerlapan, bagaikan kaukab yang diterpa cahaya. Kegemerlapan amal tersebut berasal dari tasbih, shalat, shaum, haji dan umrah. Diangkatlah amalan tersebut hingga ke pintu Langit Keempat, dan berkatalah Malaikat penjaga pintu langit kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal ini ke wajah, punggung, dan perut dari si pemiliknya! Akulah ‘Shaahibul Ujbi’, malaikat pengawas ‘ujub (mentakjubi diri sendiri), aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya! Sesungguhnya si pemilik amal ini jika mengerjakan suatu amal perbuatan maka terdapat ‘ujub (takjub diri) didalamnya!”

Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal seorang hamba hingga mencapai ke Langit Kelima, amalan tersebut bagaikan pengantin putri yang sedang diiring diboyong menuju ke suaminya. Begitu sampai ke pintu Langit Kelima, amalan yang demikian baik berupa jihad, haji dan umrah yang cahayanya menyala-nyala bagaikan sinar matahari. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya dan pikulkanlah pada pundaknya! Akulah ‘Shaahibul Hasad’, malaikat pengawas hasad (dengki), sesungguhnya pemilik amal ini senantiasa menaruh rasa dengki (hasad) dan iri hati terhadap sesama yang sedang menuntut ilmu, dan terhadap sesama yang sedang beramal yang serupa dengan amalannya, dan ia pun juga senantiasa hasad kepada siapapun yang berhasil meraih fadhilah-fadhilah tertentu dari suatu ibadah dengan berusaha mencari-cari kesalahannya! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini melewatiku untuk menuju ke langit berikutnya!”

Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang memancarkan cahaya yang terang benderang seperti cahaya matahari, yang berasal dari amalan menyempurnakan wudhu, shalat yang banyak, zakat, haji, umrah, jihad, dan shaum. Amal perbuatan ini mereka angkat hingga mencapai pintu Langit Keenam. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu ini kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amal perbuatan ini ke wajah pemiliknya, sesungguhnya sedikitpun ia tidak berbelas kasih kepada hamba-hamba Allah yang sedang ditimpa musibah (balaa’) atau ditimpa sakit, bahkan ia merasa senang dengan hal tersebut! Akulah ‘Shaahibur-Rahmah’, malaikat pengawas sifat rahmah (kasih sayang), aku telah diperintahkan Rabb-ku untuk tidak membiarkan amal perbuatan seperti ini melewatiku menuju ke langit berikutnya!”

Dan naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba yang lain, amal-amal berupa shaum, shalat, nafaqah, jihad, dan wara’ (memelihara diri dari perkara-perkara yang haram dan subhat/meragukan). Amalan tersebut mendengung seperti dengungan suara lebah, dan bersinar seperti sinar matahari. Dengan diiringi oleh tiga ribu malaikat, diangkatlah amalan tersebut hingga mencapai pintu Langit Ketujuh. Maka berkatalah malaikat penjaga pintu kepada al-Hafadzah: “Berhentilah kalian! Pukulkanlah amalan ini ke wajah pemiliknya, pukullah anggota badannya dan siksalah hatinya dengan amal perbuatannya ini! Akulah ‘Shaahibudz-Dzikr’, malaikat pengawas perbuatan mencari nama-diri (ingin disebut-sebut namanya), yakni sum’ah (ingin termashur). Akulah yang akan menghijab dari Rabb-ku segala amal perbuatan yang dikerjakan tidak demi mengharap Wajah Rabb-ku! Sesungguhnya orang itu dengan amal perbuatannya ini lebih mengharapkan yang selain Allah Ta’ala, ia dengan amalannya ini lebih mengharapkan ketinggian posisi (status) di kalangan para fuqaha (para ahli), lebih mengharapkan penyebutan-penyebutan (pujian-pujian) di kalangan para ulama, dan lebih mengharapkan nama baik di masyarakat umum! Aku telah diperintah oleh Rabb-ku untuk tidak membiarkan amalan seperti ini lewat dihadapanku! Setiap amal perbuatan yang tidak dilakukan dengan ikhlash karena Allah Ta’ala adalah suatu perbuatan riya’, dan Allah tidak akan menerima segala amal perbuatan orang yang riya’!”

Kemudian naiklah al-Hafadzah dengan membawa amal perbuatan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum, haji, umrah, berakhlak baik, diam, dan dzikrullah Ta’ala. Seluruh malaikat langit yang tujuh mengumandang-kumandangkan pujian atas amal perbuatan tersebut, dan diangkatlah amalan tersebut dengan melampaui seluruh hijab menuju ke hadhirat Allah Ta’ala. Hingga sampailah di hadhirat-Nya, dan para malaikat memberi kesaksian kepada-Nya bahwa ini merupakan amal shalih yang dikerjakan secara ikhlash karena Allah Ta’ala.
Maka berkatalah Allah Ta’ala kepada al-Hafadzah, “Kalian adalah para penjaga atas segala amal perbuatan hamba-Ku, sedangkan Aku adalah Ar-Raqiib, Yang Maha Mengawasi atas segenap lapisan hati sanubarinya! Sesungguhnya ia dengan amalannya ini tidaklah menginginkan Aku dan tidaklah mengikhlashkannya untuk-Ku! Amal perbuatan ini ia kerjakan semata-mata demi mengharap sesuatu yang selain Aku! Aku yang lebih mengetahui ihwal apa yang diharapkan dengan amalannya ini! Maka baginya laknat-Ku, karena ini telah menipu orang lain dan telah menipu kalian, tapi tidakklah ini dapat menipu Aku! Akulah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib, Maha Melihat segala apa yang ada di dalam hati, tidak akan samar bagi-Ku setiap apa pun yang tersamar, tidak akan tersembunyi bagi-Ku setiap apa pun yang bersembunyi! Pengetahuan-Ku atas segala apa yang akan terjadi adalah sama dengan Pengetahuan-Ku atas segala yang baqa (kekal), Pengetahuan-Ku tentang yang awal adalah sama dengan Pengetahuan-Ku tentang yang akhir! Aku lebih mengetahui perkara-perkara yang rahasia dan lebih halus, maka bagaimana Aku dapat tertipu oleh hamba-Ku dengan ilmunya? Bisa saja ia menipu segenap makhluk-Ku yang tidak mengetahui, tetapi Aku Maha Mengetahui Yang Ghaib, maka baginya laknat-Ku!” Maka berkatalah malaikat yang tujuh dan 3000 malaikat yang mengiringi, “Yaa Rabbana, tetaplah laknat-Mu baginya dan laknat kami semua atasnya!”, maka langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya menjatuhkan la’nat kepadanya.

Setelah mendengar semua itu dari lisan Rasulullah (s.a.w.), maka menangislah Mu’adz dengan terisak-isak, dan berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau adalah utusan Allah sedangkan aku hanyalah seorang Mu’adz, bagaimana aku dapat selamat dan terhindar dari apa yang telah engkau sampaikan ini?”

Berkatalah Rasulullah (s.a.w.), “Wahai Mu’adz! Ikutilah Nabi-mu ini dalam soal keyakinan sekalipun dalam amal perbuatanmu terdapat kekurangan. Wahai Mu’adz! Jagalah lisanmu dari kebinasaan dengan mengghiibah manusia dan mengghiibah saudara-saudaramu para pemikul Al-Quran. Tahanlah dirimu dari keinginan menjatuhkan manusia dengan apa-apa yang kamu ketahui ihwal aibnya! Janganlah engkau mensucikan dirimu dengan jalan menjelek-jelekan saudara-saudaramu! Janganlah engkau meninggikan dirimu dengan cara merendahkan saudara-saudaramu! Pikullah sendiri aib-aibmu dan jangan engkau bebankan kepada orang lain”

“Wahai Mu’adz! Janganlah engkau masuk kedalam perkara duniamu dengan mengorbankan urusan akhiratmu! Janganlah berbuat riya’ dengan amal-amalmu agar diketahui oleh orang lain dan janganlah engkau bersikap takabbur di majelismu sehingga manusia takut dengan sikap burukmu!”

“Janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang sementara di hadapanmu ada orang lain! Janganlah engkau mengagung-agungkan dirimu dihadapan manusia, karena akibatnya engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat! Janganlah engkau berkata kasar di majelismu dan janganlah engkau merobek-robek manusia dengan lisanmu, sebab akibatnya di Hari Qiyamah kelak tubuhmu akan dirobek-robek oleh anjing-anjing neraka Jahannam!”
“Wahai Mu’adz! Apakah engkau memahami makna Firman Allah Ta’ala: “Wa naasyithaati nasythan!” (‘Demi yang mencabut/menguraikan dengan sehalus-halusnya!’, An-Naazi’aat [79]:2)?” Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Apakah itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Anjing-anjing di dalam Neraka yang mengunyah-ngunyah daging manusia hingga terlepas dari tulangnya!”

Aku berkata, “Demi bapakku, engkau, dan ibuku! Ya Rasulullah, siapakah manusia yang bisa memenuhi seruanmu ini sehingga terhindar dari kebinasaan?”

Rasulullah (s.a.w.) menjawab, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya hal demikian itu sangat mudah bagi siapa saja yang diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala! Dan untuk memenuhi hal tersebut, maka cukuplah engkau senantiasa berharap agar orang lain dapat meraih sesuatu yang engkau sendiri mendambakan untuk dapat meraihnya bagi dirimu, dan membenci orang lain ditimpa oleh sesuatu sebagaimana engkau benci jika hal itu menimpa dirimu sendiri! Maka dengan ini wahai Mu’adz engkau akan selamat, dan pasti dirimu akan terhindar!”

Khalid bin Ma’dan berkata, “Sayyidina Mu’adz bin Jabal (r.a.) sangat sering membaca hadits ini sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Quran dan sering mempelajari hadits ini sebagaimana seringnya beliau mempelajari Al-Quran di dalam majelisnya.”

Bukankah pengakuan bahwa kita sudah hadir di hadirat-Nya atau sudah melihat Allah SWT dengan kesadaran adalah bentuk2 ujub?

________________________________________________________

Papahan, 10 November 2022 / 07 Jumadil Awal 1446

Sumber:

1.     Al Qur`an Hafalan Al-Hufaz Per Kata, Cordoba, Bandung, 2020

2.     http://nurisaomar.blogspot.com

Sabtu, 24 Agustus 2024

Cara-cara Setan Yang Harus Kita Ketahui Sebagai Lawan

Strategi Iblis yang dilaknat Allah diimplementasikan dengan cara, yaitu:

1.     Godaan (an-nazgh)

QS Al A’raaf 7 ayat 200: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan (yanzaghannaka) syaitan, maka berlindunglah kepada Allah.

QS Yusuf 12 ayat 100: .... Dan sesungguhnya Rabb-ku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (an-nazagha) antaraku dan saudara-saudaraku. ....

QS Al Isra 17 ayat 53: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik.” Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan (yanzaghu) di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

QS Fushilat 41 ayat 36: Dan jika syaitan mengganggumu (yanzaghannaka) dengan suatu gangguan (nazghun), maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Godaan syaitan an-nazgh membuat kerusakan hubungan kasih sayang.

2.    Bisikan (al-hamaz)

QS Al Mu’minun 23 ayat 97: Dan katakanlah, “Ya Rabbi aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan (hamazati) syaitan.”

QS Al Qalam 68 ayat 11: yang banyak mencela (hammaazi), yang kesana kemari menghamburkan fitnah,

QS Al Humazah 104 ayat 1: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (humazatin) lagi pencela,

Dalam hadits Riwayat Ahmad, dari Ummu Salamah (r.a.), “Apabila Rasulullah (s.a.w.) bangun malam, beliau selalu berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan setan yang terkutuk, dari bisikan, hembusan dan tiupannya.”.”

Dalam hadits riwayat Ibnu Majah, para sahabat bertanya kepada Nabi (s.a.w.), “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan bisikan, hembusan dan tiupan syaitan itu?”

Nabi (s.a.w.) menjawab, “Yang dimaksud dengan bisikan adalah sesuatu yang mematikan (kebimbangan), yang bisa menimpa seseorang. Sedangkan tiupannya adalah takabur dan hembusannya adalah syair.”

Bisikan syaitan al-hamaz akan menimbulkan kebimbangan.

3.    Hembusan (an-nafts)

Hembusan syaitan an-nafts akan membangkitkan ketakaburan, yaitu menolak kebenaran dan / atau meremehkan yang lain.

4.    Tiupan (an-nafkh)

Tiupan syaitan an-nafkh adalah syair.

5.    Kehadiran (al-hudhur)

QS Al Mu’minun 23 ayat 98: Dan aku berlindung kepada Engkau, ya Rabbi dari kedatangan (yachdluruwni) mereka kepadaku.”

6.    Kerasukan (al-mass)

QS Al Baqarah 2 ayat 275: orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan (al-massi) syaitan lantaran penyakit gila. ….

7.    Kesenangan (al-istimta’)

QS Al An’am 6 ayat 128: Dan hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, “Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia, “Ya Rabbi, sesungguhnya sebahagian dari kami telah dapat kesenangan (astamta’a) dari sebahagian dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami.” Allah berfirman, “Nereka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali Allah menghendaki.” Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

8.    Waswas (al-waswasah)

QS Al A’raaf 7 ayat 20: Maka syaitan membisikkan pikiran jahat (fawaswasa) kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan syaitan berkata, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal.”

QS Thaha 20 ayat 120: Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat (fawaswasa) kepadanya dengan berkata, “Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?”

QS Qaf 50 ayat 16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan (tuwaswisu) oleh hatinya (nafsuhu) dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

QS An-Naas 114 ayat 4 - 5: Dari kejahatan bisikan (al-waswaasi) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (yuwaswisu) ke dalam dada manusia. Karena waswas diterima oleh dada, maka waswas itu bermakna penilaian a5’’ yang salah atau keinginan a6’’ untuk memenuhi hawa nafsu.

9.    Wahyu (wachyu)

QS Al-An’am 6 ayat 112: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan (yuwchiy) kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu. Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.

QS Al An’am 6 ayat 121: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (layuwchuwna) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.

10.  Hasutan (al-`uzz)

QS Maryam 19 ayat 83: Tidakkah kamu lihat bahwasanya Kami telah mengirim syaitan-syaitan itu kepada orang-orang kafir untuk menghasut (ta`uwzzuhum) mereka berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh?

Hasutan syaitan al-`uzz mendorong pada perbuatan maksiat.

11.   Turun (at-tanazzul)

QS Asy-Syu’ara ayat 26 ayat 221 – 222: Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun (tanazzalu)? Mereka turun (tanazzalu) kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran itu dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta.

12.  Mengobarkan nafsu syahwat (al-istihwa)

QS Al An’am 6 ayat 71: Katakanlah, “Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak mendatangkan kemudharatan kepada kita dan kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan (istahwat-hu) oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan, dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus, “Marilah ikuti kami”.” Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Rabbul ‘alamin.”

 

13.  Lupa (ath-thaif)

QS Al A’raaf 7 ayat 201 - 202: Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa, bila mereka ditimpa lupa (thaa`ifun) dari syaitan, mereka ingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya.

 

Pengetahuan ini diharapkan bisa menyadarkan kita bahwa Iblis beserta syaitan bala tentaranya adalah musuh yang nyata. Oleh karena itu sikapilah mereka sebagai musuh dengan cara memahami strategi dan cara mereka, agar kita tidak tersesat apalagi dimurkai Allah. Itulah kemenangan yang pasti.

☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫

Papahan, 11 Jul 2022

Sumber:

1.     Al Qur`an Hafalan Al-Hufaz Per Kata, Cordoba, Bandung, 2020

2.    Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim – Pengalaman Spiritual, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996

3.    Rahnip M, B.A., Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984

Selasa, 20 Agustus 2024

Strategi Setan Yang Perlu Kita Ketahui Sebagai Lawan

Wahai manusia! Ketika Allah mengeluarkan Iblis dari surga-Nya dan dari rahmat-Nya serta menyatakan bahwa dia sesat bahkan dimurkai, maka Iblis telah menyatakan akan menggelincirkan Bani Adam dari jalan-Nya dengan strategi:

1.     La-attakhidzanna

QS An Nisa 4 ayat 117-120: Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala (inatsan) dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah dan itu mengatakan, “Aku pasti akan mengambil bagian tertentu (la-attakhidzanna) dari hamba-hamba-Mu dan pasti akan kusesatkan mereka (la-udhillannahum) dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka (la-umanniyannahum) dan akan kusuruh mereka (la-amurannahum) memotong telinga-telinga binatang ternak dan akan aku suruh mereka (la-amurannahum) mengubah ciptaan Allah.” Barangsiapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh dia menderita kerugian yang nyata.

La-attakhidzanna adalah dengan mengambil alih bagian tertentu. Bagian tertentu ini utamanya adalah jendela tempat manusia memandang apa-apa yang tergelar, yaitu pandangan mata. Orang-orang indigo barangkali salah satunya. Dengan pengambilalihan pandangan mata, maka yang tampak bagi mereka akan berbeda dengan kenyataan, namun dipercaya sebagai kebenaran. Demikian pula para pengikut mereka, yaitu yang mempercayai mereka.

2.    La-udhillannahum

La-udhillannahum bermakna Bani Adam akan dibuat tersesat, yaitu tidak tercapainya tujuan sejati. Tujuan sejati Bani Adam adalah sebagai saksi, hamba & khalifah Allah. Tujuan sejati ini diubah menjadi mengejar karir demi kenikmatan duniawi. Dengan demikian, maka Bani Adam telah menuhankan hawa nafsunya (Ilahahu hawahu).

3.    La-umanniyannahum

La-umanniyannahum bermakna Bani Adam akan dibuat suka memanjangkan angan-angan hingga melupakan kematian. Angan-angan adalah menatap masa depan dan mewujudkan angan-angan adalah kewajiban hidup kita. Sedangkan kematian perlu disongsong dengan penyiapan diri berupa sikap siap mati kapan saja. Dengan demikian untuk mengelola dualisme keseimbangan antara perjuangan mewujudkan angan-angan dan penyiapan diri untuk menjemput kematian harus dilakukan. Yaitu dengan sikap selalu menempatkan diri akan mati, agar membangkitkan upaya untuk memberikan yang terbaik.

4.    La-amurannahum,

La-amurannahum Bani Adam yang menjadi pengikut setan diperintah untuk mengubah ciptaan Allah. Alasan mereka melakukan pengubahan ciptaan Allah adalah untuk membuat lebih menarik. Contohnya adalah fenomena operasi plastik yang semakin marak saat ini. Dengan menampakkan hasil yang lebih menarik, maka mendorong orang lain untuk mengikutinya. Termasuk penataan alam, karena bisa jadi Pembangunan perkotaan adalah lambang keakuan.

5.    La-aq’udanna

QS Al A’raaf 7 ayat 16-17: (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi (la-aq’udanna) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi (la`atiyannahum) mereka dari depan mereka dan dari belakang mereka dan dari kanan mereka dan dari kiri mereka dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.”

La-aq’udanna bermakna bahwa Iblis beserta pengikutnya dari golongan Jin dan Manusia akan menghalangi manusia dalam perjuangannya menjadi saksi, hamba dan khalifah Allah. Ini dilakukan dengan ajakan bahkan paksaan.

6.    La`atiyannahum

La`atiyannahum bermakna mendatangi dari segala arah, agar manusia gagal menjalankan perannya.

7.    La-uzayyinanna

QS Al Hijr 15 ayat 39: Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku oleh karena Engkau telah memutuskan aku sesat, aku pasti jadikan indah (la-uzayyinanna) bagi mereka di bumi dan aku akan menyesatkan / memerangkap (la-ughwiyannahum) mereka semuanya.”

La-uzayyinanna bermakna pandangan manusia dibuat sibuk mengejar dunia hingga lupa akan kehidupan akhirat, apalagi ingat akan Allah.

8.    La-ughwiyannahum

QS Shad 38 ayat 82: (Iblis) menjawab, “Demi Kemuliaan-Mu pasti aku akan menyesatkan / memerangkap (la-ughwiyannahum) mereka semuanya.”

La-ughwiyannahum bermakna manusia akan diperangkap oleh Iblis dan setan pengikutnya melalui nilai-nilai salah. Allah SWT berfirman dalam QS Shad 38 ayat 84: “Maka yang benar dan hanya kebenaran itulah yang Ku-katakan.”

9.    La-achtanikanna

QS Al Isra 17 ayat 62: Ia (Iblis) berkata, “Terangkanlah kepadaku inikah yang lebih Engkau muliakan daripada aku, sekiranya Engkau memberi waktu kepadaku sampai hari Kiamat, pasti akan aku sesatkan / sibukkan dengan pembicaraan (la-achtanikanna) keturunannya kecuali sebagian kecil.”

La-achtanikanna Bani Adam akan dibuat sibuk dengan pembicaraan, sehingga lalai akan pengamalan.

Pengetahuan akan strategi Iblis ini diharapkan bisa menyadarkan kita bahwa mereka adalah musuh yang nyata. Oleh karena itu sikapilah mereka sebagai musuh dengan cara memahami strategi dan cara mereka, agar kita tidak tersesat apalagi dimurkai Allah. Itulah kemenangan yang pasti.

☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫☫

Papahan, 11 Jul 2024

Sumber:

1.     Al Qur`an Hafalan Al-Hufaz Per Kata, Cordoba, Bandung, 2020

2.    Muhammad Isa Dawud, Dialog Dengan Jin Muslim – Pengalaman Spiritual, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996

3.    Rahnip M, B.A., Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984


Senin, 13 Mei 2024

Apa Sejatinya Makna Lubb Yang Merupakan Tempat Terbitnya Tauhid?

 

Sayyidina Ali KW menyatakan bahwa lubb adalah maqam terbitnya Tauhid. Bagaimana penjelasannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya yang sahih dalam menjawab adalah Allah dan Rasulullah SAW yang menerima wahyu berupa Al Quran tersebut. Allah tentunya sudah menjelaskan melalui Al Qur`an dan Rasulullah SAW telah menjelaskan dalam Haditsnya, namun kita akan melakukan penelitian akan istilah tersebut dalam Al Quran itu sendiri, dengan tak lupa meminta pemahaman kepada Allah SWT.

Tauhid difahami sebagai keyakinan akan keesaan Allah. Namun bisa diperluas maknanya, yaitu menegakkan kalimat Laa Ilaha Illallah, Muhammadar-Rasulullah. Makna Ilah sudah pernah dijelaskan, yaitu yang mendominasi diri kita adalah Allah dan caranya dengan mengikuti tauladan Rasulullah SAW. QS Al Anbiya ayat 25: Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad SAW), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tiada Ilah selain Aku, maka sembahlah Aku.

Sejujurnya, kalau kita ingin menegakkan kalimat Tauhid, yaitu menjadikan Allah dominan, maka pola pikir, sikap dan tindakan adalah karena Allah, oleh Allah dan untuk Allah, terutama dengan menolong Wali-wali Allah.

QS Al Baqarah 2 ayat 179: Dan dalam qishash itu ada hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal (ya`uwliy al-`albabi) agar kamu bertakwa. Untuk memahami bahwa pada qishash ada kehidupan, perlu perenungan yang dalam.; ayat 197: Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (ya`uwliy al-`albabi). Ini adalah perintah untuk orang-orang yang berakal; ayat 269: Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah (`uwluw al-`albabi) yang dapat mengambil pelajaran. Pada ayat-ayat tersebut ditunjukkan adanya hubungan antara lubb dengan perenungan yang dalam untuk memetik pelajaran, ketakwaan dan hikmah.

QS Ali Imran 3 ayat 7: Dialah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Diantaranya ada ayat-ayat muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al Qur`an dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya (quluwbihim) condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (warrasikhuwna fiy al-‘ilmi) berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal (`uwluw al-`albabi). Untuk bisa menarik pelajaran, kita perlu pemikiran yang dalam.; ayat 190-191: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (li`uwliy al-`albabi), yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Pada ayat ini sudah dijelaskan dengan gamblang bahwa yang dimaksud dengan lubb adalah diawali dengan pengamatan yang mana hasilnya diolah oleh pikiran. Data-data ditangkap oleh pengetahuan, diolah oleh pengertian hingga memperoleh kesimpulan dan akal yang akan menetapkan strategi dan cara untuk mewujudkan kesimpulan.

INPUT è PROSES è OUTPUT

Dengan demikian orang-orang yang mau mengamati, lalu menelaah hingga menarik kesimpulan kemudian menyikapinya dan mengambil tindakan secara tepat disebut Ulil Albab. Bukankah hasil pengamatan indra hanyalah berupa ini atau itu dan hasil penilaian hati hanyalah baik atau buruk? Namun semua data tersebut diolah oleh pikiran kita menjadi gambaran, hukum, rumus dan lain-lain. Oleh karena itu janganlah membiarkan kotor atau mengotori pikiran kita dengan kejahatan. Bersihkanlah untuk mendapatkan ketakwaan kepada Allah.

QS Al Maidah 5 ayat 100: Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal (ya`uwliy al-`albabi), agar kamu mendapatkan keberuntungan.”

QS Yusuf 12 ayat 111: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal (li`uwliy al-`albabi). Al Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

QS Ar Raad 13 ayat 19 - 21: Adakah yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu itu benar, sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal (`uwluy al-`albabi) saja yang dapat mengambil pelajaran, orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mereka takut kepada Rabb-nya dan takut kepada hisab yang buruk.

QS Ibrahim 14 ayat 52: (Al Qur`an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia dan supaya mereka diberi peringatan dengannya dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal (`uwluy al-`albabi) mengambil Pelajaran.

QS Shad 38 ayat 29: Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran (`uwluw al-`albabi).; ayat 43: Dan Kami anugerahi dia (Ayyub AS) keluarganya dan kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran (`uwluw al-`albabi).

QS Az Zumar 39 ayat 9: Ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada Akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya? Katakanlah, “Adakah sama, orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah (`uwluw al-`albabi) yang dapat menerima Pelajaran.; ayat 18: yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan itulah orang-orang yang mempunyai akal (`uwluw al-`albabi).; ayat 21: Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diatur-Nya menjadi sumber-sumber air di bumi, kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering, lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (li`uwliy al-`albabi).

QS Al Ghafir 40 ayat 54: Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir (li`uwliy al-`albabi).

QS Ath Thalaq 65 ayat 10: Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal (`uwliy al-`albabi), (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.

Dari penjelasan tersebut, makna lubb berhubungan dengan pikiran yang merupakan Baitul Makmur. Bukankah melalui pikiran kita bisa membahas apa saja, bahkan Allah, meski kita tetap tidak akan mampu mengenal-Nya secara utuh. Sehingga setelah memenangkan perang di Mihrab, maka waktunya mi’raj ke Baitul Makmur untuk hadir ke hadirat-Nya tanpa menyekutukan-Nya.

Pada maqam tersebut berjuanglah untuk menegakkan ketauhidan kedalam diri. Inilah posisi Tasyahud Awal karena kita mungkin sudah diizinkan untuk hadir ke hadirat-Nya.

Hasil daripada menegakkan ketauhidan akan membuat kita selalu berbasis pada Allah Yang Maha Esa.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papahan, 12 Syawal 1445 atau 21 Apr 2024

Sumber: Quran

Rabu, 01 Mei 2024

Apa Sejatinya Makna Syaghaf Yang Merupakan Tempat Terbitnya Mahabbatullah

 

Salah satu bagian dalam istana Allah disebut syaghaf, yang oleh Sayyidina Ali (KW) dijelaskan sebagai tempat terbitnya Mahabbatullah. Di Al Quran juga terdapat istilah syaghaf yang diterjemahkan sebagai sangat mendalam. QS Yusuf 12 ayat 30: Dan wanita-wanita di kota berkata, “Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya, sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghafa). Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.”

Apakah maksudnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya yang sahih dalam menjawab adalah Allah dan Rasulullah (SAW) yang menerima wahyu berupa Al Quran tersebut. Allah tentunya sudah menjelaskan melalui Al Qur`an dan Rasulullah (SAW) telah menjelaskan dalam Haditsnya. Namun karena keterbatasan informasi yang kita terima dan penjelasan dari ahlinya belum memuaskan, maka kita akan melakukan penelitian akan istilah tersebut dalam Al Quran itu sendiri dengan tidak lupa memohon pemahaman kepada Allah.

Dari penjelasan ayat di atas, makna syaghaf berhubungan dengan cinta yang sangat dalam. Bukankah setiap individu sangat mencintai dirinya? Apalagi karena sang diri diciptakan untuk kesenangan. Bukankah saat kita menyatakan, “Aku mencintaimu.”, sesungguhnya aku mencintai diriku sendiri, dimana diriku akan bahagia dengan engkau di sisiku. Karena cinta sejati atau cinta yang sangat dalam akan merelakan sang pecinta untuk mengorbankan eksistensi dirinya. Namun akibat terperosok dalam mencari kesenangan diri, dia menjadi lupa akan fitrahnya sebagai hamba dari Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian cinta yang sangat dalam itu berasal dari dirinya. Dia mencintai dirinya sendiri dengan sangat dalam (syaghaf).

Pertanyaan selanjutnya adalah maukah kita menerima kembali fitrah kita sebagai hamba ataukah kita tetap kepada keakuan kita, seperti Iblis?

Semua itu adalah pilihan dengan manfaat dan resiko yang akan dipertanggung-jawabkan sendiri-sendiri. Salah satu argumen yang dilontarkan bagi yang tidak mau adalah bahwa keberadaan kita di alam dunia adalah kehendak Ilahi, maka sudah sepantasnya Dia menyenangkan kita.

Argumen ini fitrah, namun juga menjadi hak Ilahi untuk diakui keberadaan-Nya dan diabdi serta dipuja, sebelum kenikmatan yang menjadi hak kita diberikan secara utuh.

Bagi yang mau, maka berjuanglah untuk menanamkan kecintaan yang sangat dalam dari diri kepada Allah dalam sujudmu. Sikap ini selalu kita lakukan dalam sholat saat sujud pertama. Ibaratnya mereka yang sudah menyaksikan, mengetahui, mampu dan mau menerima Allah sebagai Ilah-nya adalah sudah memasuki mihrab masjid. Bukankah mihrab adalah tempat kita berperang menaklukkan diri sendiri dan mengubahnya menjadi cinta kepada Allah secara mendalam?

Jangan lupa untuk selalu memohon kecintaan Dia, kecintaan kepada hamba-hamba yang mencintai-Nya dan kecintaan kepada amalan yang membuat kita dicintai-Nya. Karena hanya Allah lah yang bisa memastikan terwujudnya kecintaan tersebut. Sedangkan upaya kita hanyalah pendekatan untuk mencapai keberhasilan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papahan, 22 Syawal 1445 atau 1 Mei 2024

Sumber: Quran

Halusinasi Dalam Berketuhanan

Banyak pernyataan orang-orang bahwa kalau sudah hadir ke hadirat-Nya, janganlah berpaling atau mengaku sudah melihat Allah SWT dengan kesada...