Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah (Rabbunallah),"
kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah) mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan, "Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu.".
(QS Fushshilaat 41
ayat 30)
Cibubur, 19 Mei
2012 pada malam itu kami membantu salah seorang sahabat untuk berlatih hadir ke
hadirat Allah. Entah bagaimana caranya, serasa jiwanya terpegang oleh kami dan
kami lontarkan ke langit. Yang terjadi adalah yang bersangkutan merasa sudah
berada di surga dan tidak mau kembali ke dunia. Kami merenung, hebat sekali
diri kami ini bisa melontarkan jiwa seseorang ke surga. Ketika suasana mereda,
sahabat kami pun juga ikut tersadar bahwa dia masih berada di alam dunia.
Setelah meneliti
ayat di atas, ternyata bukan melontarkan sahabat kami ke surga. Akan tetapi
kami hanya membantu menguatkan pendiriannya agar mau mengakui Allah sebagai
Rabb-nya. Akibat penguatan dari kami, sahabat tersebut mendapat kesaksian.
Kesaksiannya adalah turunnya malaikat yang juga turut menyemangati agar jangan
takut atau bersedih dan mendongengkan tentang surga.
Lalu apa makna
pernyataan “Rabbunallah”?
Makna Rabbunallah
adalah Allah Sang Pengasuh atau Sang Pendidik. Kenapa saya harus memiliki
pendirian untuk bersedia diasuh dan dididik oleh Allah?
Saya amati diri
sendiri dan memang saya ingin semau sendiri. saya bahkan ingin memiliki
kekuasaan Allah agar hidup saya selalu dalam keadaan nikmat. Sedangkan pada
kenyataannya, hidup saya selalu berada pada dua titik, yaitu senang atau susah.
Akhirnya pertanyaan tersebut terjawab melalui penjelasan rumus A yang
dijelaskan oleh orang tua kami, yaitu bapak Mas Supranoto dari Manggisan
Banyuwangi.
Saya adalah yang
disabda turun karena ingin memiliki KUASA padahal KUASA tidak mungkin dikuasai.
Diturunkan dalam wadah berupa individu manusia atau orang. Saya yang merupakan
representasi dari kesadaran diri, diasuh dan dididik dalam kehidupan dunia dengan
raga dan ruhani saya untuk tahu diri. Saya yang mula-mula bersikap semaunya
sendiri, diasuh dan dididik dengan sikon positif dan negatif. Dibalik sikon
positif dan negative terdapat kuasa Ilahi yang di dalamnya terdapat cita Ilahi
akan keberadaan saya.
Saya teliti pula
dari kitab suci bahwa ketika saya dikeluarkan dari sulbi bapak saya, sudah
membuat perjanjian dengan Allah untuk bersaksi bahwa Dia adalah Pengasuh dan
Pendidik kita. Hal ini dikisahkan dalam QS Al ‘Araaf 7: 172, “Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (anfusakum),
"Bukankah Aku ini Tuhanmu (Rabbikum)?" Mereka menjawab, "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini."Jadi kebersediaan saya
sebenarnya adalah untuk memenuhi janji saya sendiri.
Proses pengasuhan
dari Sang Rabb adalah penuh cinta kasih, yaitu dibangun kekuatan dan kecerdasan
untuk mewujudkan cita-cita Allah di muka bumi, yaitu membangun peradaban.
Peradaban yang berujung kepada kenikmatan dari Allah untuk saya yang merupakan
bagian dari umat manusia.
Jadi fitrah saya
yang diturunkan ke dalam wadah yang disebut manusia adalah utusan dari KUASA
dan sekaligus pelaksana dari kehendak KUASA. Ini penting difahami agar manusia
tidak terseret dalam kehidupan yang salah kaprah seperti lari dari dunia atau
terlalu lekat kepada dunia. Sebagai manusia, saya harus melaksanakan tugas
sebagai sang utusan dan pelaksana atas kehendak KUASA atau disebut sebagai
Khalifah.
Jakarta, 09 Januari
2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar