Selasa, 27 Agustus 2013

Para Pencatut Nabi Muhammad (saw)


Dulu muncul Taliban yang mengatas-namakan Islam mendadak menguasai Afganistan setelah Rusia mundur, namun akhirnya ditaklukkan pasukan AS. Kemudian muncul ISIS yang juga mengatas-namakan Islam mendadak menguasai sebagian Irak dan Suriah, namun akhirnya juga ditaklukkan. Padahal dalam salah satu doa Nabi saw, Allah mengabulkan bahwa umat Islam tidak akan ditaklukkan oleh umat lainnya.
Sekarang muncul fenomena majelis-majelis yang awalnya mengatas-namakan Islam, namun kemudian bergeser menjadi agama baru dan tokohnya mengangkat dirinya menjadi nabi baru, seperti Lia Aminudin, Musadeq dan lain-lain.
Juga muncul tokoh-tokoh garis keras yang juga mengatas-namakan Islam. Karena emosinya, sehingga sering mengumpati yang berbeda pandangan. Padahal pengumpat dan pencela bukan akhlak yang dianjurkan Islam.
Muncul pula kelompok-kelompok dzikir yang konon mampu mendekatkan umat kepada Allah SWT. Umat dibawa kepada fenomena-fenomena menyenangkan, dibuat menangis tersedu-sedu merasa dekat dengan-Nya. Namun apakah itu yang disebut dengan kebenaran?
Sebelumnya muncul teknik-teknik menghadapi jin yang disebut rukyah, yang kemudian menjadi viral dan menjadi tontonan di media masa. Barangkali ide rukyah ini berdasarkan buku dialog dengan jin muslim yang ditulis oleh seorang wartawan dari Mesir. Teknik inipun kemudian berkembang untuk pengobatan penyakit.
Selalu timbul dalam diri pertanyaan, apakah ini yang disebut kebenaran? Pertanyaan dalam diri adalah menandakan bahwa kami belum yakin, kami masih meraba-raba. Artinya kami masih berada dalam kegelapan. Sedangkan ilmu pengetahuan yang kita pelajari menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan benar adalah bilamana sudah dibuktikan. Kebetulan dalam Quran terdapat surat no 102 Ats Tsakatsur yang menurut kami adalah menjelaskan proses kebenaran yang kebetulan hampir sama dengan ilmu pengetahuan. 
Perihal fenomena spiritual, kita perlu berhati-hati dalam mempercayainya. Sikap kehati-hatian tersebut juga dicontohkan oleh Nabi saw berdasarkan kisah berikut:
Awal turunnya Wahyu kepada Muhammad Al Amin dimulai dengan mimpi-mimpi yang nyata. Dan tidaklah beliau bermimpi, kecuali dating seperti cahaya subuh. Semenjak itu beliau dianugerahi kesenangan untuk menyendiri. Beliau memilih gua Hira untuk bertahanuts. Khadijah istri beliau selalu menyiapkan bekal untuk beliau bertahanuts, sampai akhirnya Al Haqq datang saat beliau di gua Hira.
Malaikat Jibril berkata, “Bacalah!”
Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam menjelaskan, maka malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!”
Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku dan berkata, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.”
Beliaupun pulang dalam kondisi gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya: Selimuti aku, selimuti aku.
Maka Khadijah pun menyelimutinya hingga hilang rasa takutnya.
Kemudian Nabi bertanya: “wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?” Lalu Nabi menceritakan kejadian yang beliau alami kemudian mengatakan, “Aku amat khawatir terhadap diriku.”
Maka Khadijah mengatakan, “Sekali-kali janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong orang yang menegakkan kebenaran.”
Setelah itu Khadijah pergi bersama Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah. Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah lanjut dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.”
Waraqah berkata, “Wahai anak saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya.
Waraqah berkata, “(Jibril) ini adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.”
Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?”
Waraqah menjawab, “Ya, betul. Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia.
Betapa Muhammad (saw) sangat ketakutan setelah menerima Wahyu. Bukannya beliau tereuforia karena merasa menjadi seseorang. Beliau bahkan ketakutan. Barangkali beliau merasa jangan-jangan terkena halusinasi atau bahkan kerasukan jin. Beliau merasa tenang setelah diberi pengertian oleh Waraqah bahwa tidak sedang terkena halusinasi apalagi kerasukan jin.
Sikap seperti ini adalah bentuk sikap kehati-hatian. Sikap yang membuat manusia tidak mudah tertipu dalam upaya menggali kebenaran. Berbeda dengan kebanyakan orang, begitu menerima fenomena yang tidak normal sudah merasa menjadi istimewa. Hal ini membawa kepada lupa diri yang berujung kepada ketersesatan.
Beliau merasa tenang setelah mengerti dari seseorang yang bisa dipercayai dan mendapat tambahan bukti bahwa yang dialami bukanlah halusinasi.
Muhammad Sang Nabi, bagi umat Islam dilihat sebagai sosok manusia sempurna yang tidak ada cacat celanya sampai-sampai informasi perihal “kecacatannya” dihapus dari khazanah sejarah. Akibatnya beliau sering dianggap sebagai manusia khusus yang tidak bisa ditiru. Padahal semestinya beliau dipandang sebagai orang biasa yang dengan itu bisa dijadikan teladan bagi orang lain.
Beliau seorang pahlawan, namun tidak membuat orang lain menjadi inferior. Beliau seorang penolong, namun mampu mendorong orang lain untuk juga menjadi penolong.
Namun mungkinkah orang lain bisa memahami Muhammad sebagaimana Muhammad bersikap, berfikir dan bertindak?
Ingat! Kebenaran selamanya hanyalah persepsi individu, kecuali bilamana sudah bisa dipastikan melalui siklus kebenaran.

Kalibata, 10 Feb 2019

Selasa, 06 Agustus 2013

Memahami Istilah Tuhan


Dulu pernah ada gurauan bahwa bangsa Indonesia yang mengaku bangsa yang bertuhan. Kenyataan ini ternyata tidak ditunjukkan dalam produk utama nasionalnya, yaitu mata uang rupiah. Karena pada mata uang rupiah ditulis “Barang siapa memalsukan ...”. Sedangkan mata uang orang Amerika saja menunjukkan sikap ketawakkalan, yaitu dengan penggunaan kalimat “In God we trust” dalam mata uang dollar mereka.
Akhirnya Gubernur BI setelah mendengar kritikan ini, mengganti tulisan dalam mata uang rupiah menjadi “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai ...”. Pada kenyataannya, beberapa anggota dewan Gubernur Bank Indonesia yang terlibat dalam penggantian tulisan tersebut masuk penjara. Dan rupiah juga tidak cukup kuat menghadapi gempuran mata uang asing.
Apakah ada hubungan antara masuknya beberapa anggota dewan Gubernur BI dengan tulisan di atas?
Berbeda dengan tulisan yang terdapat pada Pembukaan UUD 45, yaitu menggunakan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...”, ternyata Pembukaan UUD 45 ini dianggap lebih sakral. Buktinya dengan kekuasaan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa, bangsa Indonesia bisa membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masih berdiri hingga sekarang. Padahal ibukota NKRI Jakarta saja dikuasai Belanda lebih dari 3,5 abad. Dimana logikanya bangsa Indonesia tidak akan memiliki kemampuan memerdekakan diri, karena ketidakmampuan orang, persenjataan dan finansial. Kenyataannya terbentuk.
Tulisan dari Agus Sunyoto[1] menjelaskan tentang siapakah Tuhan itu. Berikut ini adalah penjelasannya:
Kapitayan, kepercayaan yang ada pada zaman Jawa Kuno. Sang Hyang Taya adalah sumber segala kejadian, yang tidak bisa dilihat oleh mata, tak bisa didengar dengan telinga, tak bisa diraba dengan kulit, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu. Dia adalah Taya (Jawa kuno artinya hampa, suwung, awang-uwung). Dia tidak dilahirkan, tidak berawal, tidak berakhir. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa mengenal keberadaannya yang sejati.
Manusia bisa mengenal dan menyembahnya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaannya di alam ini sebagai pribadi Ilahi yang menjadi sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta. Pribadi Ilahi yang memiliki nama dan sifat sebagai pengenal keberadaan dirinya. Mengejawantah dalam pribadi Ilahi inilah yang disebut dengan Tu atau To yang secara samar-samar bisa diketahui dan dikenal baik sifat maupun namanya. Tu, pribadi Ilahi, meskipun tunggal, dia memiliki dua sifat berbeda, seperti telapak tangan ada sisi depan yang terang dan sisi belakang yang lebih gelap.
Sifat Tu yang baik yaitu yang mendatangkan kebaikan, kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia. Sifat yang baik disebut Tu-han yang dikenal dengan nama Sang Hyang Tunggal (Esa), juga bersifat wenang atau maha kuasa. Sifat Tu yang tidak baik disebut han-Tu. Itulah yang disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya (Jawa Kuno artinya permata khayalan; manik artinya permaya, maya artinya khayalan). Sang Hyang Manikmaya adalah pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifatnya, pengejawantahan yang menyesatkan.
Sang Hyang Tunggal, memiliki nama dan sifat wenang adalah pengejawantahan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi petunjuk kepada makhluknya. Sehingga ada pemujaan terhadap Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Manikmaya, padahal dzatnya hanya satu, yang berbeda hanya jalannya saja.
Kepercayaan ini hampir sama dengan Islam, sehingga masih berlangsung hingga saat ini. Sang Hyang Tunggal sama dengan Sang Ahad, yaitu Huwa, Dia Yang Maha Gaib, Yang Tak Terbandingkan dengan segala sesuatu, yaitu Laisa Kamitslihi Syai’un. Yang disebut Tu adalah sama dengan Allah, yaitu Dia, Pribadi Ilahi yang menjadi pusat segala nama, sifat dan perbuatan Ilahiah. Yang darinya terdapat nama dan sifat Rabb, seperti Maha Tunggal (Al Wahid), Maha Kuasa (Al Qaqir), Maha Suci (Al Quddus), Maha Pemberi Petunjuk (Al Hadi), Maha Menyesatkan (Al Mudhill), Maha Pembinasa (Al Mumit), Maha Penyiksa (Al Muttaqin), Maha Pemberi Bahaya (Adh Dharr).
Kalau memuja Sang Hyang Tunggal, hanya melewati satu jalan. Pemujaan Pribadi Ilahi yang disebut Sang Hyang Tunggal (Tuhan) melalui sarana bantu sesuatu yang kasat mata seperti tubuh, dalam Islam disebut Shalat. Pemujaan Pribadi Ilahi yang disebut Sang Hyang Manikmaya (hantu) dengan sarana bantu benda-benda kasat mata seperti: wa-tu, tu-gu, un-tu (gigi), pin-tu, tu-lang, tu-nggul, tu-mbak, tu-kup, tu-nggak, tu-tumbuhan (beringin), tu-ban (air terjun), tu-k (mata air), to-peng, to-san (pusaka), to-pong (mahkota), to-parem (rompi), to-wok (lembing), to-ya (air) dengan sesaji tu-mpeng, tu-d (bunga pisang), tu-mbu (besek). Pemujaan ini tidak hilang dalam dunia Islam di Jawa, misalnya adanya tahlilan dengan tu-mpengan.
Pemujaan terhadap Sang Hyang Taya akan menghasilkan limpahan kekuatan dan kekuasaan gaib yang bersifat memberkati, melindungi, mengayomi, menyelamatkan yang disebut tu-ah. Kekuatan dan kekuasaan gaib yang bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan bencana disebut tu-lah. Tu-ah dan Tu-lah  yang diperoleh para pemuja Sanghyang Taya itulah yang ditandai dengan kata kunci pi (jawa kuno berarti rahasia/tersembunyi). Dengan Tu-ah dan Tu-lah  itu maka segala sesuatu yang terkait dengan mereka yang dilimpahi kekuatan gaib bersifat Ilahiah oleh Sanghyang Taya, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai dengan pi, yaitu kekuatan rahasia Ilahi yang tersembunyi. Jika mereka menyebut kata ganti diri sendiri dikatakan Pi-naka Hulun, jika orang tersebut telah memiliki kuasa berbicara dikatakan pi-dato, mendengar atau pi-harsa, mengajar atau pi-wulang, memberi nasehat atau pi-tutur, memberi petunjuk atau pi-tuduh, menghukum atau pi-dana, memancarkan kekuatan atau pi-deksa, memberikan keteguhan atau pi-andel, mengobati atau jam-pi. Orang yang telah memiliki tu-ah dan tu-lah berhak menjadi pemimpin bagi manusia. Orang-orang tersebut disebut dengan julukan yang terhormat, yaitu pi-nituha, pi-nituhu, dha-tu, ra-tu. Jika mereka meninggal, mereka dianggap tetap hidup dan disebut pi-tara (arwah leluhur).
Dalam Islam, pemujaan kepada Huwa, Sang Ahad melalui shalat dan wirid juga menghasilkan kekuatan dan kekuasaan gaib. Bahkan kepercayaan orang-orang Islam terhadap ziarah kubur para Wali, para Nabi, para Ulama menjadi bukti bahwa kepercayaan kuno tersebut tidak terhapus.
Golongan orang-orang yang menyembah Sang Hyang Taya secara sempurna melalui sarana tubuh dengan swadikep (jawa kuno: swa artinya keakuan diri, dikep artinya menangkap dengan telapak tangan), yakni mengamati keberadaan tubuh, meresapi gerak-gerik tubuh, mencermati kecenderungan jiwa, menata pikiran, mengatur pernafasan, menyatukan kiblat hati dan pikiran guna mencari keakuan dalam diri melalui meresapi rasa suwung dalam tu-tud/hati yang ada dalam diri manusia. Kalau sudah mengenal Sang Hyang Tunggal yaitu Sang Suwung/Sang Hyang Taya, golongan ini disebut tu-tug. Manusia yang menyembah tidak menggunakan sarana batu, tidak mengenal pamrih kehidupan dunia, hati dan pikirannya terarah kepada Sang Hyang Taya disebut Tu-ha atau pi-nituha. Yaitu manusia suci yang memancarkan tu-ah dan tu-lah tanpa kehendak pribadi. Dalam Islam golongan ini disebut khawash al khawash, yaitu golongan manusia yang diberi karunia kekuatan dan kuasa gaib yang disebut karamah yang dapat mendatangkan berkah/tu-ah dan rahmat/tu-lah.
Kalau penjelasan Agus Sunyoto tersebut bisa diterima, maka makna Tuhan adalah Tu yang baik. Berarti penggunaan kata Tuhan akan menjadi akar kemusyrikan. Yaitu pengakuan akan adanya dua Ke-Maha-Kuasa-an. Semestinya kalimat Tuhan Yang Maha Esa dirubah menjadi Tu Yang Maha Esa. Namun kalau kita sudah mengerti dan yang dimaksud adalah bukan sekedar Kuasa baik, tetapi Allah Yang Maha Kuasa, penyebutan itu barangkali tidak akan menjadi masalah.
Kami sendiri mempercayai bahkan meyakini bahwa penggunaan sebutan Allah Yang Maha Kuasa seperti di Pembukaan UUD 1945 hasilnya lebih baik. Hal ini kemudian kami uji pada tahun 2018 melalui facebook, dimana hanya dengan pernyataan ternyata bisa mempengaruhi nilai tukar dollar agar tidak membuat rupiah terpuruk.
Untungnya ini hanyalah masalah bahasa saja, selama penggunaan kata Tuhan dimaknai sebagai Allah Yang Maha Kuasa, pasti tidak menjadi masalah. Sayangnya kebanyakan manusia memang suka menyembah kepada Tuhan yang menyenangkannya dan menolak yang tidak menyenangkan mereka. Semoga kita semua tidak termasuk yang terakhir ini.

Tuban, 1 Juni 2013


[1] Drs Agus Sunyoto MPD, Suluk Sang Pembaharu – Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, 2004, 135-151

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...