Dulu muncul Taliban yang
mengatas-namakan Islam mendadak menguasai Afganistan setelah Rusia mundur,
namun akhirnya ditaklukkan pasukan AS. Kemudian muncul ISIS yang juga
mengatas-namakan Islam mendadak menguasai sebagian Irak dan Suriah, namun
akhirnya juga ditaklukkan. Padahal dalam salah satu doa Nabi saw, Allah
mengabulkan bahwa umat Islam tidak akan ditaklukkan oleh umat lainnya.
Sekarang muncul fenomena
majelis-majelis yang awalnya mengatas-namakan Islam, namun kemudian bergeser
menjadi agama baru dan tokohnya mengangkat dirinya menjadi nabi baru, seperti
Lia Aminudin, Musadeq dan lain-lain.
Juga muncul tokoh-tokoh garis
keras yang juga mengatas-namakan Islam. Karena emosinya, sehingga sering
mengumpati yang berbeda pandangan. Padahal pengumpat dan pencela bukan akhlak
yang dianjurkan Islam.
Muncul pula kelompok-kelompok
dzikir yang konon mampu mendekatkan umat kepada Allah SWT. Umat dibawa kepada
fenomena-fenomena menyenangkan, dibuat menangis tersedu-sedu merasa dekat
dengan-Nya. Namun apakah itu yang disebut dengan kebenaran?
Sebelumnya muncul teknik-teknik
menghadapi jin yang disebut rukyah, yang kemudian menjadi viral dan menjadi
tontonan di media masa. Barangkali ide rukyah ini berdasarkan buku dialog
dengan jin muslim yang ditulis oleh seorang wartawan dari Mesir. Teknik inipun
kemudian berkembang untuk pengobatan penyakit.
Selalu timbul dalam diri
pertanyaan, apakah ini yang disebut kebenaran? Pertanyaan dalam diri adalah
menandakan bahwa kami belum yakin, kami masih meraba-raba. Artinya kami masih
berada dalam kegelapan. Sedangkan ilmu pengetahuan yang kita pelajari
menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan benar adalah bilamana sudah dibuktikan.
Kebetulan dalam Quran terdapat surat no 102 Ats Tsakatsur yang menurut kami
adalah menjelaskan proses kebenaran yang kebetulan hampir sama dengan ilmu pengetahuan.
Perihal fenomena spiritual, kita
perlu berhati-hati dalam mempercayainya. Sikap kehati-hatian tersebut juga
dicontohkan oleh Nabi saw berdasarkan kisah berikut:
Awal turunnya Wahyu kepada
Muhammad Al Amin dimulai dengan mimpi-mimpi yang nyata. Dan tidaklah beliau
bermimpi, kecuali dating seperti cahaya subuh. Semenjak itu beliau dianugerahi
kesenangan untuk menyendiri. Beliau memilih gua Hira untuk bertahanuts.
Khadijah istri beliau selalu menyiapkan bekal untuk beliau bertahanuts, sampai
akhirnya Al Haqq datang saat beliau di gua Hira.
Malaikat Jibril berkata,
“Bacalah!”
Beliau menjawab,
“Aku tidak bisa membaca.”
Nabi Shallallahu
‘alaihi wasalam menjelaskan, maka malaikat itu memegangku dan memelukku sangat
kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi, “Bacalah!”
Beliau menjawab,
“Aku tidak bisa membaca.”
Malaikat itu
memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu
melepaskanku dan berkata, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah.”
Beliaupun pulang dalam kondisi
gemetar dan bergegas hingga masuk ke rumah Khadijah. Kemudian Nabi berkata kepadanya:
Selimuti aku, selimuti aku.
Maka Khadijah pun menyelimutinya
hingga hilang rasa takutnya.
Kemudian Nabi bertanya: “wahai
Khadijah, apa yang terjadi denganku ini?” Lalu Nabi menceritakan kejadian yang
beliau alami kemudian mengatakan, “Aku amat khawatir terhadap diriku.”
Maka Khadijah mengatakan, “Sekali-kali
janganlah takut! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selama-lamanya.
Sungguh engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, pemikul beban
orang lain yang susah, pemberi orang yang miskin, penjamu tamu serta penolong
orang yang menegakkan kebenaran.”
Setelah itu Khadijah pergi bersama
Nabi menemui Waraqah bin Naufal, ia adalah saudara dari ayahnya Khadijah.
Waraqah telah memeluk agama Nasrani sejak zaman jahiliyah. Ia pandai menulis Al
Kitab dalam bahasa Arab. Maka disalinnya Kitab Injil dalam bahasa Arab seberapa
yang dikehendaki Allah untuk dapat ditulis. Namun usianya ketika itu telah
lanjut dan matanya telah buta.
Khadijah berkata kepada Waraqah,
“Wahai paman, dengarkan kabar dari anak saudaramu ini.”
Waraqah berkata, “Wahai anak
saudaraku. Apa yang terjadi atas dirimu?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menceritakan kepadanya semua peristiwa yang telah dialaminya.
Waraqah berkata, “(Jibril) ini
adalah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya
masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.”
Nabi bertanya, “Apakah mereka akan
mengusir aku?”
Waraqah menjawab, “Ya, betul.
Tidak ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau kecuali pasti dimusuhi
orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu
sekuat-kuatnya”. Tidak berapa lama kemudian Waraqah meninggal dunia.
Betapa Muhammad (saw) sangat ketakutan
setelah menerima Wahyu. Bukannya beliau tereuforia karena merasa menjadi
seseorang. Beliau bahkan ketakutan. Barangkali beliau merasa jangan-jangan
terkena halusinasi atau bahkan kerasukan jin. Beliau merasa tenang setelah
diberi pengertian oleh Waraqah bahwa tidak sedang terkena halusinasi apalagi
kerasukan jin.
Sikap seperti ini adalah bentuk sikap
kehati-hatian. Sikap yang membuat manusia tidak mudah tertipu dalam upaya
menggali kebenaran. Berbeda dengan kebanyakan orang, begitu menerima fenomena
yang tidak normal sudah merasa menjadi istimewa. Hal ini membawa kepada lupa
diri yang berujung kepada ketersesatan.
Beliau merasa tenang setelah mengerti
dari seseorang yang bisa dipercayai dan mendapat tambahan bukti bahwa yang
dialami bukanlah halusinasi.
Muhammad Sang Nabi, bagi umat Islam
dilihat sebagai sosok manusia sempurna yang tidak ada cacat celanya
sampai-sampai informasi perihal “kecacatannya” dihapus dari khazanah sejarah.
Akibatnya beliau sering dianggap sebagai manusia khusus yang tidak bisa ditiru.
Padahal semestinya beliau dipandang sebagai orang biasa yang dengan itu bisa
dijadikan teladan bagi orang lain.
Beliau seorang pahlawan, namun tidak
membuat orang lain menjadi inferior. Beliau seorang penolong, namun mampu
mendorong orang lain untuk juga menjadi penolong.
Namun mungkinkah orang lain bisa
memahami Muhammad sebagaimana Muhammad bersikap, berfikir dan bertindak?
Ingat! Kebenaran selamanya hanyalah
persepsi individu, kecuali bilamana sudah bisa dipastikan melalui siklus
kebenaran.
Kalibata, 10 Feb 2019