Memahami Istilah Tuhan


Dulu pernah ada gurauan bahwa bangsa Indonesia yang mengaku bangsa yang bertuhan. Kenyataan ini ternyata tidak ditunjukkan dalam produk utama nasionalnya, yaitu mata uang rupiah. Karena pada mata uang rupiah ditulis “Barang siapa memalsukan ...”. Sedangkan mata uang orang Amerika saja menunjukkan sikap ketawakkalan, yaitu dengan penggunaan kalimat “In God we trust” dalam mata uang dollar mereka.
Akhirnya Gubernur BI setelah mendengar kritikan ini, mengganti tulisan dalam mata uang rupiah menjadi “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia mengeluarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai ...”. Pada kenyataannya, beberapa anggota dewan Gubernur Bank Indonesia yang terlibat dalam penggantian tulisan tersebut masuk penjara. Dan rupiah juga tidak cukup kuat menghadapi gempuran mata uang asing.
Apakah ada hubungan antara masuknya beberapa anggota dewan Gubernur BI dengan tulisan di atas?
Berbeda dengan tulisan yang terdapat pada Pembukaan UUD 45, yaitu menggunakan kalimat, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa...”, ternyata Pembukaan UUD 45 ini dianggap lebih sakral. Buktinya dengan kekuasaan yang diberikan oleh Allah Yang Maha Kuasa, bangsa Indonesia bisa membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang masih berdiri hingga sekarang. Padahal ibukota NKRI Jakarta saja dikuasai Belanda lebih dari 3,5 abad. Dimana logikanya bangsa Indonesia tidak akan memiliki kemampuan memerdekakan diri, karena ketidakmampuan orang, persenjataan dan finansial. Kenyataannya terbentuk.
Tulisan dari Agus Sunyoto[1] menjelaskan tentang siapakah Tuhan itu. Berikut ini adalah penjelasannya:
Kapitayan, kepercayaan yang ada pada zaman Jawa Kuno. Sang Hyang Taya adalah sumber segala kejadian, yang tidak bisa dilihat oleh mata, tak bisa didengar dengan telinga, tak bisa diraba dengan kulit, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu. Dia adalah Taya (Jawa kuno artinya hampa, suwung, awang-uwung). Dia tidak dilahirkan, tidak berawal, tidak berakhir. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa mengenal keberadaannya yang sejati.
Manusia bisa mengenal dan menyembahnya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaannya di alam ini sebagai pribadi Ilahi yang menjadi sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta. Pribadi Ilahi yang memiliki nama dan sifat sebagai pengenal keberadaan dirinya. Mengejawantah dalam pribadi Ilahi inilah yang disebut dengan Tu atau To yang secara samar-samar bisa diketahui dan dikenal baik sifat maupun namanya. Tu, pribadi Ilahi, meskipun tunggal, dia memiliki dua sifat berbeda, seperti telapak tangan ada sisi depan yang terang dan sisi belakang yang lebih gelap.
Sifat Tu yang baik yaitu yang mendatangkan kebaikan, kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia. Sifat yang baik disebut Tu-han yang dikenal dengan nama Sang Hyang Tunggal (Esa), juga bersifat wenang atau maha kuasa. Sifat Tu yang tidak baik disebut han-Tu. Itulah yang disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya (Jawa Kuno artinya permata khayalan; manik artinya permaya, maya artinya khayalan). Sang Hyang Manikmaya adalah pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifatnya, pengejawantahan yang menyesatkan.
Sang Hyang Tunggal, memiliki nama dan sifat wenang adalah pengejawantahan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi petunjuk kepada makhluknya. Sehingga ada pemujaan terhadap Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Manikmaya, padahal dzatnya hanya satu, yang berbeda hanya jalannya saja.
Kepercayaan ini hampir sama dengan Islam, sehingga masih berlangsung hingga saat ini. Sang Hyang Tunggal sama dengan Sang Ahad, yaitu Huwa, Dia Yang Maha Gaib, Yang Tak Terbandingkan dengan segala sesuatu, yaitu Laisa Kamitslihi Syai’un. Yang disebut Tu adalah sama dengan Allah, yaitu Dia, Pribadi Ilahi yang menjadi pusat segala nama, sifat dan perbuatan Ilahiah. Yang darinya terdapat nama dan sifat Rabb, seperti Maha Tunggal (Al Wahid), Maha Kuasa (Al Qaqir), Maha Suci (Al Quddus), Maha Pemberi Petunjuk (Al Hadi), Maha Menyesatkan (Al Mudhill), Maha Pembinasa (Al Mumit), Maha Penyiksa (Al Muttaqin), Maha Pemberi Bahaya (Adh Dharr).
Kalau memuja Sang Hyang Tunggal, hanya melewati satu jalan. Pemujaan Pribadi Ilahi yang disebut Sang Hyang Tunggal (Tuhan) melalui sarana bantu sesuatu yang kasat mata seperti tubuh, dalam Islam disebut Shalat. Pemujaan Pribadi Ilahi yang disebut Sang Hyang Manikmaya (hantu) dengan sarana bantu benda-benda kasat mata seperti: wa-tu, tu-gu, un-tu (gigi), pin-tu, tu-lang, tu-nggul, tu-mbak, tu-kup, tu-nggak, tu-tumbuhan (beringin), tu-ban (air terjun), tu-k (mata air), to-peng, to-san (pusaka), to-pong (mahkota), to-parem (rompi), to-wok (lembing), to-ya (air) dengan sesaji tu-mpeng, tu-d (bunga pisang), tu-mbu (besek). Pemujaan ini tidak hilang dalam dunia Islam di Jawa, misalnya adanya tahlilan dengan tu-mpengan.
Pemujaan terhadap Sang Hyang Taya akan menghasilkan limpahan kekuatan dan kekuasaan gaib yang bersifat memberkati, melindungi, mengayomi, menyelamatkan yang disebut tu-ah. Kekuatan dan kekuasaan gaib yang bersifat menghukum, mengutuk, mendatangkan bencana disebut tu-lah. Tu-ah dan Tu-lah  yang diperoleh para pemuja Sanghyang Taya itulah yang ditandai dengan kata kunci pi (jawa kuno berarti rahasia/tersembunyi). Dengan Tu-ah dan Tu-lah  itu maka segala sesuatu yang terkait dengan mereka yang dilimpahi kekuatan gaib bersifat Ilahiah oleh Sanghyang Taya, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai dengan pi, yaitu kekuatan rahasia Ilahi yang tersembunyi. Jika mereka menyebut kata ganti diri sendiri dikatakan Pi-naka Hulun, jika orang tersebut telah memiliki kuasa berbicara dikatakan pi-dato, mendengar atau pi-harsa, mengajar atau pi-wulang, memberi nasehat atau pi-tutur, memberi petunjuk atau pi-tuduh, menghukum atau pi-dana, memancarkan kekuatan atau pi-deksa, memberikan keteguhan atau pi-andel, mengobati atau jam-pi. Orang yang telah memiliki tu-ah dan tu-lah berhak menjadi pemimpin bagi manusia. Orang-orang tersebut disebut dengan julukan yang terhormat, yaitu pi-nituha, pi-nituhu, dha-tu, ra-tu. Jika mereka meninggal, mereka dianggap tetap hidup dan disebut pi-tara (arwah leluhur).
Dalam Islam, pemujaan kepada Huwa, Sang Ahad melalui shalat dan wirid juga menghasilkan kekuatan dan kekuasaan gaib. Bahkan kepercayaan orang-orang Islam terhadap ziarah kubur para Wali, para Nabi, para Ulama menjadi bukti bahwa kepercayaan kuno tersebut tidak terhapus.
Golongan orang-orang yang menyembah Sang Hyang Taya secara sempurna melalui sarana tubuh dengan swadikep (jawa kuno: swa artinya keakuan diri, dikep artinya menangkap dengan telapak tangan), yakni mengamati keberadaan tubuh, meresapi gerak-gerik tubuh, mencermati kecenderungan jiwa, menata pikiran, mengatur pernafasan, menyatukan kiblat hati dan pikiran guna mencari keakuan dalam diri melalui meresapi rasa suwung dalam tu-tud/hati yang ada dalam diri manusia. Kalau sudah mengenal Sang Hyang Tunggal yaitu Sang Suwung/Sang Hyang Taya, golongan ini disebut tu-tug. Manusia yang menyembah tidak menggunakan sarana batu, tidak mengenal pamrih kehidupan dunia, hati dan pikirannya terarah kepada Sang Hyang Taya disebut Tu-ha atau pi-nituha. Yaitu manusia suci yang memancarkan tu-ah dan tu-lah tanpa kehendak pribadi. Dalam Islam golongan ini disebut khawash al khawash, yaitu golongan manusia yang diberi karunia kekuatan dan kuasa gaib yang disebut karamah yang dapat mendatangkan berkah/tu-ah dan rahmat/tu-lah.
Kalau penjelasan Agus Sunyoto tersebut bisa diterima, maka makna Tuhan adalah Tu yang baik. Berarti penggunaan kata Tuhan akan menjadi akar kemusyrikan. Yaitu pengakuan akan adanya dua Ke-Maha-Kuasa-an. Semestinya kalimat Tuhan Yang Maha Esa dirubah menjadi Tu Yang Maha Esa. Namun kalau kita sudah mengerti dan yang dimaksud adalah bukan sekedar Kuasa baik, tetapi Allah Yang Maha Kuasa, penyebutan itu barangkali tidak akan menjadi masalah.
Kami sendiri mempercayai bahkan meyakini bahwa penggunaan sebutan Allah Yang Maha Kuasa seperti di Pembukaan UUD 1945 hasilnya lebih baik. Hal ini kemudian kami uji pada tahun 2018 melalui facebook, dimana hanya dengan pernyataan ternyata bisa mempengaruhi nilai tukar dollar agar tidak membuat rupiah terpuruk.
Untungnya ini hanyalah masalah bahasa saja, selama penggunaan kata Tuhan dimaknai sebagai Allah Yang Maha Kuasa, pasti tidak menjadi masalah. Sayangnya kebanyakan manusia memang suka menyembah kepada Tuhan yang menyenangkannya dan menolak yang tidak menyenangkan mereka. Semoga kita semua tidak termasuk yang terakhir ini.

Tuban, 1 Juni 2013


[1] Drs Agus Sunyoto MPD, Suluk Sang Pembaharu – Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, 2004, 135-151

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)