Suluk Ling Lung; Pupuh III; Durma
Menerobos
hutan, naik gunung, turun jurang, lereng ditelusuri, jurang tanjakan dilintasi.
Diceritakan bahwa perjalanannya tiba di tepi pantai. Memutar otak merenung
bagaimana cara mengatasi halangan ini.
Di
tepi pantai, terlihat samudra yang jauh tak terkira. Ia hanya tercenung lama
sekali di tepi samudra. Syahdan diceritakan Sang Pajuningrat memperhatikan
kedatangan yang patut dikasihi.
Sebab
tahu betul terhadap perjalanan Syekh Malaya yang tengah prihatin karena ingin memahami
hidayah, karena turun-temurun, berkali-kali menjelma, (penjelmaan) tetap
tersamar, tetap tak akan tahu jika tidak mendapat anugerah Allah.
Ternyata
Syekh Malaya maju terjun masuk ke dalam lautan luas, tanpa memperhatikan nasib
jiwanya. Syekh Malaya terus menuju ke tengah samudra, berserah kepada apa
kehendak Hyang Widhi. Seketika itu juga, sampailah ia di pusat samudra.
(Dikisahkan
lagi) Sunan Kalijaga ada di pusat samudra, ia melihat seseorang yang sedang
berjalan tenang, yang dipanggil dengan nama Nabi Khidhir as[1],
yang tidak diketahui dari mana datangnya, bertanya dengan lemah lembut,
“Hai
Syekh Malaya, apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan?
Padahal di sini sepi tidak ada apa-apa? Tidak ada yang dapat dimakan, dan
makanan, juga tak ada pakaian apapun.
Yang
ada hanyalah daun kering yang ditiup angin, jatuh di depanku. Itu yang aku
makan. Kalau tidak ada tentu tidak makan.” Terkejut hati Kanjeng Sunan,
menangis dalam hati, ketika mendengar kata-kata itu.
Sang
Nabi jagad berkata lagi kepada yang datang, “Cucu di sini ini, banyak bahaya.
Kalau tidak berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di
tempat ini. Di tempat ini memang banyak yang menginginkan.
Mengandalkan
ciptamu saja masih belum cukup, meski dengan tekad tidak takut mati. Sabda itu
(memang) patut diluhurkan, (memang benar) sebab apakah ada, orang yang demikian
itu?” Hati sang Kaswasih kebingungan bagaimana cara menjawabnya, karena tidak
mengerti apa sebenarnya niatnya.
Kemudian
dengan pelan Syekh Malaya berkata, “Terserah kepada Sang Mahaguru.” Sang Wiku
menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan memperoleh hidayatullah. Ujung
jagad, jelasnya ya sekarang ini?
Menjalankan
petunjuk gurumu Sunan Benang, gurumu itu memberi petunjuk padamu menyuruh pergi
ke kota Mekah dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu nak, sungguh
sulit menjalankan lika-liku kehidupan itu.
Jangan
pergi kalau belum tahu yang kamu tuju dan jangan makan kalau belum tahu apa
yang akan dimakan, jangan pula berpakaian juga kalau belum tahu kegunaan
berpakaian.
Asal
mula bisa memahami adalah dengan bertanya kepada sesama manusia, dengan cara
memperhatikan perbuatannya, selanjutnya kamu jalani. Demikian itulah perjalanan
hidup, ibarat orang berpakaian, namun belum tahu mana pakaian yang indah.
Warna
kuning dianggap emas, seperti itu orang berbakti kepada Gusti, namun belum
mengerti siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya mendengar nasehat Sang
Nabi jagad tadi, seketika terduduk di hadapan sang Wiku Sidik (Pendeta yang
jujur).
Dengan
niat bersedia mejalankan segala nasehat, Syekh Malaya memohon belas kasihan,
memohon keterangan yang jelas, “Siapakah nama tuan ini? Mengapa di sini
sendirian?” Sang Pajuningrat (menjawab), “Sesungguhnya saya ini Nabi Khidhir.”
“Saya menghaturkan hormat
sedalam-dalamnya kepada tuan, saya mohon dibelas-kasihani, saya juga tidak tahu
tata krama belajar, tidak beda seperti hewan di hutan, tidak patut jika menemui
yang disucikan ini.
Lang
lung dungu serta tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi. Saya
ini ibarat keris tanpa warangka, ibarat kalimat tanpa tata bahasa.” Maka
berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidhir.
Suluk Ling Lung; Sang Nabi Khidhir;
Pupuh IV; Dhandhanggula
“Jika kamu berkehendak naik haji ke
Mekah, apa yang akan kamu dapatkan? Ketahuilah, Mekah itu hanyalah napak tilas
Nabi Ibrahim (as) zaman dulu saja. Beliaulah yang membuat bangunan masjid,
serta petilasan Ka’bah yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang bergantung di
dinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang akan kamu sembah?
Kalau itu, hanya jadi berhala(mu) saja.
Ya seperti perbuatan orang
kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja, lalu menyembah kepada
berhalanya. Seperti kamu meski sudah naik haji, bila belum tahu tujuan yang
sebenarnya dari ibadah haji. Ka’bah bukan (sekedar) tempat yang terbuat dari
tanah atau kayu apalagi batu. Maka tanpa perlu harus pergi berkunjung ke
Ka’bah, kalau ingin mengetahui Ka’bah sejati, yaitu sejatinya hidayat iman.
[1] Nabi Khidhir (as)
disebutkan dalam hadits Bukhari maupun Muslim sehubungan dengan kisah Nabi Musa
(as). Disebut Khidhir karena tanah yang ditempatinya akan berubah menjadi
hijau. Khidhir secara keilmuan(A9) bisa difahami sebagai pengertian (a6”)
karena membimbing Sunan Kalijaga menjadi mengerti. Secara realitas (A8)
dipersonifikasikan sebagai sosok Nabi Khidir as. Kisah ini mirip dengan kisah
Dewa Ruci dengan Bima. Mungkin banyak dilakukan modifikasi oleh para
pendongeng.