Nabi Khidir = Dewa Ruci 1/4

Suluk Ling Lung; Pupuh III; Durma
Menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, lereng ditelusuri, jurang tanjakan dilintasi. Diceritakan bahwa perjalanannya tiba di tepi pantai. Memutar otak merenung bagaimana cara mengatasi halangan ini.
Di tepi pantai, terlihat samudra yang jauh tak terkira. Ia hanya tercenung lama sekali di tepi samudra. Syahdan diceritakan Sang Pajuningrat memperhatikan kedatangan yang patut dikasihi.
Sebab tahu betul terhadap perjalanan Syekh Malaya yang tengah prihatin karena ingin memahami hidayah, karena turun-temurun, berkali-kali menjelma, (penjelmaan) tetap tersamar, tetap tak akan tahu jika tidak mendapat anugerah Allah.
Ternyata Syekh Malaya maju terjun masuk ke dalam lautan luas, tanpa memperhatikan nasib jiwanya. Syekh Malaya terus menuju ke tengah samudra, berserah kepada apa kehendak Hyang Widhi. Seketika itu juga, sampailah ia di pusat samudra.
(Dikisahkan lagi) Sunan Kalijaga ada di pusat samudra, ia melihat seseorang yang sedang berjalan tenang, yang dipanggil dengan nama Nabi Khidhir as[1], yang tidak diketahui dari mana datangnya, bertanya dengan lemah lembut,
“Hai Syekh Malaya, apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal di sini sepi tidak ada apa-apa? Tidak ada yang dapat dimakan, dan makanan, juga tak ada pakaian apapun.
Yang ada hanyalah daun kering yang ditiup angin, jatuh di depanku. Itu yang aku makan. Kalau tidak ada tentu tidak makan.” Terkejut hati Kanjeng Sunan, menangis dalam hati, ketika mendengar kata-kata itu.
Sang Nabi jagad berkata lagi kepada yang datang, “Cucu di sini ini, banyak bahaya. Kalau tidak berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di tempat ini. Di tempat ini memang banyak yang menginginkan.
Mengandalkan ciptamu saja masih belum cukup, meski dengan tekad tidak takut mati. Sabda itu (memang) patut diluhurkan, (memang benar) sebab apakah ada, orang yang demikian itu?” Hati sang Kaswasih kebingungan bagaimana cara menjawabnya, karena tidak mengerti apa sebenarnya niatnya.
Kemudian dengan pelan Syekh Malaya berkata, “Terserah kepada Sang Mahaguru.” Sang Wiku menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan memperoleh hidayatullah. Ujung jagad, jelasnya ya sekarang ini?
Menjalankan petunjuk gurumu Sunan Benang, gurumu itu memberi petunjuk padamu menyuruh pergi ke kota Mekah dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu nak, sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan itu.
Jangan pergi kalau belum tahu yang kamu tuju dan jangan makan kalau belum tahu apa yang akan dimakan, jangan pula berpakaian juga kalau belum tahu kegunaan berpakaian.
Asal mula bisa memahami adalah dengan bertanya kepada sesama manusia, dengan cara memperhatikan perbuatannya, selanjutnya kamu jalani. Demikian itulah perjalanan hidup, ibarat orang berpakaian, namun belum tahu mana pakaian yang indah.
Warna kuning dianggap emas, seperti itu orang berbakti kepada Gusti, namun belum mengerti siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya mendengar nasehat Sang Nabi jagad tadi, seketika terduduk di hadapan sang Wiku Sidik (Pendeta yang jujur).
Dengan niat bersedia mejalankan segala nasehat, Syekh Malaya memohon belas kasihan, memohon keterangan yang jelas, “Siapakah nama tuan ini? Mengapa di sini sendirian?” Sang Pajuningrat (menjawab), “Sesungguhnya saya ini Nabi Khidhir.”
“Saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan, saya mohon dibelas-kasihani, saya juga tidak tahu tata krama belajar, tidak beda seperti hewan di hutan, tidak patut jika menemui yang disucikan ini.
Lang lung dungu serta tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi. Saya ini ibarat keris tanpa warangka, ibarat kalimat tanpa tata bahasa.” Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidhir.
Suluk Ling Lung; Sang Nabi Khidhir; Pupuh IV; Dhandhanggula
“Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, apa yang akan kamu dapatkan? Ketahuilah, Mekah itu hanyalah napak tilas Nabi Ibrahim (as) zaman dulu saja. Beliaulah yang membuat bangunan masjid, serta petilasan Ka’bah yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang bergantung di dinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang akan kamu sembah? Kalau itu, hanya jadi berhala(mu) saja.
Ya seperti perbuatan orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja, lalu menyembah kepada berhalanya. Seperti kamu meski sudah naik haji, bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji. Ka’bah bukan (sekedar) tempat yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu. Maka tanpa perlu harus pergi berkunjung ke Ka’bah, kalau ingin mengetahui Ka’bah sejati, yaitu sejatinya hidayat iman.



[1] Nabi Khidhir (as) disebutkan dalam hadits Bukhari maupun Muslim sehubungan dengan kisah Nabi Musa (as). Disebut Khidhir karena tanah yang ditempatinya akan berubah menjadi hijau. Khidhir secara keilmuan(A9) bisa difahami sebagai pengertian (a6”) karena membimbing Sunan Kalijaga menjadi mengerti. Secara realitas (A8) dipersonifikasikan sebagai sosok Nabi Khidir as. Kisah ini mirip dengan kisah Dewa Ruci dengan Bima. Mungkin banyak dilakukan modifikasi oleh para pendongeng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)