Selasa, 25 Maret 2025

Kisah Uwais Al-Qarni (r.a.) dengan Haram bin Hayyan (r.a.)

Hamba berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang tetap memberi petunjuk makhluk-Nya meski tahu kebanyakan dari mereka akan mengabaikan. Salam dan sholawat bagi Nabi Muhammad (s.a.w.) hamba-Nya yang menjadi rahmatan lil alamin dengan kasih sayang. Demikian pula untuk keluarga dan keturunannya.

Dalam sebuah Riwayat yang diceritakan oleh Haram bin Hayan, dia berkata, “Telah sampai kepadaku dan telah aku terima sebuah hadits Nabi (s.a.w.) yang menjelaskan tentang Uwais (r.a.). Maka untuk menyatakan Riwayat tersebut, aku datang ke Kufah. Di sana aku tidak mempunyai tujuan yang lain, kecuali semata-mata untuk mencarinya. Akhirnya aku dapat menemuinya di tepi Sungai Efrat, di sekitar daerah Bagdad, dia sedang duduk berwudhu di siang hari. Aku mengetahui dia sesuai dengan ciri-ciri yang telah disampaikan oleh Nabi (s.a.w.) dalam salah satu haditsnya. Dia adalah seorang yang berbadan kurus, berkulit putih kemerah-merahan, rambutnya selalu tidak teratur, tatapannya menakutkan dan berwibawa.“

Aku menyampaikan salam kepadanya dan dia pun menjawab salam dari aku. Dia menatapku lantas aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya, namun dia tidak berkenan berjabat tangan denganku. Dalam situasi semacam itu, aku lalu mengucapkan doa: “Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu wahai Uwais (r.a.) dan semoga Allah memberikan ampunan kepadamu.” Tiba-tiba aku tidak tahan melihat keadaannya, timbullah rasa cinta dan ibaku kepadanya. Aku lalu menangis.

Dan dia pun menangis serasa berkata, “Dan semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepadamu wahai Haram bin Hayyan. Bagaimana pula keadaanmu wahai saudaraku dalam iman? Laa Ilaha Illallah, Maha Suci Rabb kami, sungguh janji-Nya pasti terbukti.” Uwais (r.a.) melanjutkan pembicaraannya.

“Darimana engkau tahu namaku dan juga nama bapakku? Padahal aku sebelum ini tidak pernah berjumpa dengan engkau?”

“Yang memberitahu kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Waspada. Ruhku telah mengenal ruhmu ketika kita saling berbicara, sehingga ruhku dapat berbicara dengan ruhmu.” Jawab Uwais (r.a.). “Sesungguhnya ruh/jiwa[i] orang-orang mukmin itu dapat saling mengenal antara sebagian mereka dengan yang lainnya. Mereka saling berkasih sayang karena Allah, walaupun antara mereka itu belum pernah bertemu, walaupun kampung halaman mereka berjauhan, walaupun tempat tinggal mereka berlainan.” Uwais (r.a.) melanjutkan, seperti kepada dirinya sendiri.

“Berikanlah aku sebuah hadits dari Rasulullah (s.a.w.), wahai Uwais (r.a.)!”

“Sesungguhnya aku menjumpai masa Rasulullah (s.a.w.). Tetapi aku tidak menjadi sahabat beliau. Aku tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah (s.a.w.). Namun kami hanya bertemu dengan para sahabat beliau dan aku pun telah menerima hadits Rasulullah (s.a.w.) melalui mereka. Hanya aku tidak senang menjadi juru fatwa. Aku mempunyai kesibukan yang menyibukkan diriku dari para manusia. Aku lebih suka menyendiri.”

Haram bin Hayyan memohon dan meminta agar Uwais (r.a.) bersedia memberikan wasiat, “Wahai saudaraku, bacakanlah kepadaku akan ayat-ayat dari Kitabullah, sehingga aku dapat mendengarkan ayat-ayat tersebut darimu. Berilah aku wasiat, sehingga aku dapat memeliharanya darimu. Sungguh aku bersahabat denganmu di jalan Allah.”

Uwais (r.a.) lalu menggenggam tangan Haram bin Hayyan lalu mengucapkan, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk. Rabb-ku telah berfirman, suatu firman yang paling hak adalah firman Rabb-ku dan ucapan yang paling benar adalah ucapan Rabb-ku.” Lalu Uwais Al-Qarni (r.a.) membacakan ayat: Dan Kami  tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan hak, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Sungguh hari Keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya. Yaitu hari yang seorang karib tidak dapat memberi manfaat kepada karibnya sedikit pun dan mereka tidak akan mendapat pertolongan kecuali orang yang diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. QS Ad Dukhan 44 ayat 38 – 42. Selesai membaca ayat tersebut, Uwais (r.a.) berteriak keras.

Haram bin Hayyan menduga bahwa dia telah pingsan.

Dalam keadaan seperti itu, Uwais (r.a.) berkata, “Wahai putra Hayyan, ayahmu telah wafat dan engkau pun akan wafat. Adakalanya ke Surga dan adakalanya ke neraka. Bapakmu Adam (a.s.) telah wafat, ibumu Hawa (a.s.) Nabi Musa (a.s.) telah wafat, Nabi Dawud (a.s.) telah wafat dan Nabi Muhammad (s.a.w.) juga telah wafat, sahabat Abu Bakar (r.a.) telah wafat, demikian pula Umar bin Al-Khathab juga telah wafat.”

“Sesungguhnya Umar bin Al-Khathab belum wafat.” Kata Haram bin Hayyan.

Uwais (r.a.) menyambung perkataannya, “Betul Umar (r.a.) telah wafat, Rabb-ku telah memberitahukan tentang kematiannya. Dan diriku sendiri telah memberitahukan tentang kematiannya. Aku dan engkau tergolong orang yang wafat.” Setelah ucapan ini, Uwais (r.a.) membaca sholawat atas Nabi (s.a.w.) dan berdoa dengan doa yang hanya sebentar dia panjatkan. Uwais (r.a.) berkata lagi, “Wasiat berikut ini adalah wasiat dariku untukmu. Tetaplah engkau selalu berpegang pada Kitabullah dan terimalah tentang berita kematian para Rasul, berita kematian para mukminin. Ingatlah selalu akan kematian. Janganlah ingat mati engkau lepaskan dari hatimu sekejap mata selama engkau masih hidup. Berilah segenap umat Islam akan nasihat-nasihat yang baik. Janganlah engkau memisahkan diri dari jamaah. Sebab kalau demikian, engkau tentu akan berpisah dengan agamamu sedang engkau sendiri tidak mengerti, yang akibatnya engkau masuk neraka. Doakanlah dirimu dan juga diriku.”

Sesudah menyampaikan wasiat seperti itu, lalu dia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya Haram bin Hayyan ini telah menduga dirinya mahabbah kepadaku di jalan-Mu. Dan dia telah mengunjungi aku karena Engkau. Perlihatkanlah wajahnya di Surga. Masukkanlah dia ke dalam negeri-Mu, di negeri Kesejahteraan. Peliharalah dia selama masih hidup di dunia. Berilah dia rasa rela di dunia dengan kehidupan yang serba sedikit. Jadikanlah dia golongan orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadanya, berilah dia balasan yang baik dariku.”

Selesai berdoa, Uwais (r.a.) mengucapkan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh sebagai tanda perpisahan. “Setelah hari ini aku tidak dapat melihatmu walaupun engkau mencariku. Aku tidak senang dimasyhurkan, aku lebih senang menyendiri. Karena aku banyak mengalami kesedihan selama aku hidup bersama umat manusia. Janganlah engkau bertanya tentang aku. Janganlah engkau mencariku. Ketahuilah bahwa engkau berada dalam suatu tingkah diriku walau aku tidak melihatmu dan walaupun engkau ingin melihatku. Ingatlah padauk, doakanlah aku, sebab aku akan berdoa untukmu dan insya Allah aku akan selalu mengingatmu.” Uwais (r.a.) kemudian melanjutkan, “Engkau di sini dan aku akan pergi ke tempat lain.”

Haram bin Hayyan berkata, “Mendengar penuturan Uwais (r.a.) itu, aku merasa sangat berkeinginan untuk mengikuti berjalan barang satu jam saja. Namun dia terus meninggalkan aku dengan menangis dan aku pun ikut menangis. Aku melihatnya waktu dia berjalan hingga dia masuk ke suatu jalan tikungan. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bertanya-tanya tentang dia dan aku pun selalu mencari dia. Namun tidak seorang pun yang memberitahukan kepadaku tentang dia. Dan dalam setiap minggu aku selalu melihatnya dalam mimpi lebih dari satu kali.”

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papahan, 4 Ramadhan 1446 / 4 Maret 2025

Referensi :

1.     Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi.



[i] Penggunaan istilah ruh atau jiwa seringkali membingungkan, apalagi kalau bukan dari naskah asli. Menurut hemat kami, istilah yang tepat adalah jiwa yang saat berupa sperma sudah mampu menyaksikan (syahadat), meski ruhNya belum dihembuskan.


Kamis, 13 Maret 2025

Pertemuan Uwais Al-Qarni (r.a.) dengan Umar (r.a.) & Ali (k.w.)

Hamba berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang tetap memberi petunjuk makhluk-Nya meski tahu kebanyakan dari mereka akan mengabaikan. Salam dan sholawat bagi Nabi Muhammad (s.a.w.) hamba-Nya yang menjadi rahmatan lil alamin dengan kasih sayang. Demikian pula untuk keluarga dan keturunannya.

Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) mencarinya selama sepuluh tahun, namun belum juga berhasil menjumpai Uwais Al-Qarni (r.a.). Setahun sebelum Umar (r.a.) wafat, Umar (r.a.) menjumpai sekelompok kabilah di gunung Abi Qubais. Pada pertemuan dengan kabilah itu, Umar (r.a.) memanggil kabilah tersebut dengan suara lantang, “Wahai penduduk Yaman, adakah di antara kalian ada orang yang bernama Uwais (r.a.)?”

Mendengar ucapan Umar (r.a.), berdirilah seorang tua renta dengan rambut janggutnya yang Panjang. Dengan tertunduk dia berkata, “Aku tidak mengenal Uwais (r.a.) itu, tetapi ada anak saudaraku yang bernama Uwais (r.a.), dia tidak terkenal Namanya. Dia miskin dan sangat terhina bahkan orang menganggapnya gila. Dia suka bertempat di padang sahara, dia tidak memiliki teman dan tidak ada orang yang mau mendekatinya.” Orang itu mengakhiri jawabannya kepada Umar.

Umar (r.a.) menatap dalam-dalam orang tua itu.

“Uwais (r.a.) sedang menggembala unta-unta kami, dia adalah orang yang hina di kalangan kami.” Orang tua itu melanjutkan ceritanya.

“Dimanakah anak saudaramu itu? Apakah dia berada bumi Haram ini?” tanya Umar (r.a.).

“Ya, dia berada di sini.”

“Dimanakah dia dapat kutemui?”

“Di sekitar pepohonan Kurma di bukit Arafah.” Jawab orang tua itu sambil menunjuk kea rah pepohonan Kurma yang dimaksud.

Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) lalu menuju bukit Arafah. Mereka berdua melihat Uwais (r.a.) sedang sholat menghadap ke arah pohon Kurma, sementara di sekelilingnya terdapat unta-unta yang sedang digembalakan. Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) segera menambatkan keledai yang ditumpanginya dan seraya menghampiri Uwais (r.a.) lantas menyapanya dengan ucapan: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.

Mendengar ucapan salam itu, Uwais (r.a.) segera mempercepat sholatnya. “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Uwais begitu selesai mengerjakan sholat. “Aku ini pengembala unta dan aku hanyalah seorang buruh di antara penduduk kabilah ini.” Uwais (r.a.) berkata kepada Umar (r.a.) dan Ali (k.w.)

“Kami berdua tidak bertanya kepadamu mengenai pekerjaan menggembala dan mengenai upah mengupah. Siapakah sebenarnya nama engkau?”

“Namaku Abdullah,” jawab Uwais (r.a.).

“Kami mengerti bahwa penduduk langit dan bumi seluruhnya adalah Abdullah. Tetapi sebenarnya siapakah namamu yang telah diberikan orang tuamu kepadamu?”

“Wahai saudara berdua, apakah keperluanmu berdua datang menemuiku?”

“Nabi Muhammad (s.a.w.) telah memberikan tanda-tanda dan ciri-ciri orang yang bernama Uwais Al-Qarni (r.a.) kepada kami. Dan sekarang kami telah menemui sedikit tanda-tanda itu, yaitu raut muka yang kelihatan pucat dan kulit putih kemerah-merahan. Nabi Muhammad (s.a.w.) juga memberitahu kepada kami bahwa di bawah pundak orang yang bernama Uwais (r.a.) sebelah kiri terdapat kulit putih yang mengkilat. Maka sudilah kiranya engkau memperlihatkan kepada kami. Seandainya ternyata ada tanda-tanda itu, maka tentulah engkau Uwais Al-Qarni (r.a.) yang telah disebutkan Nabi (s.a.w.) itu.”

Uwais (r.a.) lalu memperlihatkan tanda-tanda itu, ternyata memang benar.

Melihat tanda-tanda itu, Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) yakin bahwa orang yang di hadapannya itu adalah Uwais (r.a.) yang dimaksud Nabi (s.a.w.). dengan serta merta mereka berdua segera mencium Uwais (r.a.) sebagai tanda penghormatan.

Uwais (r.a.) kini merasa serba salah.

“Kami berdua bersaksi bahwa engkau adalah Uwais Al-Qarni (r.a.). Berdoalah kepada Allah, mohonkanlah ampunan kepada kami berdua, semoga Allah akan mengampuni.”

“Aku tidak mengkhususkan permohonan ampunan kepada Allah hanya bagi diriku dan juga bagi salah seorang anak Adam. Tetapi istighfar ini diperuntukkan bagi orang-orang mukmin dan orang-orang muslim, baik laki-laki maupun Perempuan, baik di darat maupun di laut.” Uwais (r.a.) memandangi Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) yang kini ada di hadapannya. Lalu meneruskan, “Wahai saudara seiman, Allah telah mengenalkan kepadamu berdua mengenai keadaanku dan Allah telah memperkenalkan pula perkara dan urusanku. Siapakah sebenarnya kalian berdua?” tanya Uwais (r.a.) tanpa ekspresi.

“Yang datang bersamaku adalah Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab dan aku adalah Ali bin Abi Thalib.”

Sampai di sini, Uwais (r.a.) segera berdiri tegak lalu berkata, “Kesejahteraan bagimu wahai Amirul Mukminin dan semoga rahmat dan berkat-Nya pun senantiasa dilimpahkan kepadamu. Dan engkau wahai putra Abi Thalib, semoga Allah membalas kebaikan kepadamu selama engkau memegang pimpinan umat.”

“Semoga Allah membalas kepadamu dengan balasan yang baik.” Jawab Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) serempak.

“Tetaplah engkau berada di tempat ini sampai aku kembali dari kota Mekah untuk datang menemuimu dengan membawa pemberianku sebagai hadiah untukmu dariku. Aku akan menemuimu di tempat ini lagi.” Kata Umar (r.a.).

“Wahai Amirul Mukminin, sudah tidak ada tempat bertemu lagi antara engkau dan aku. Setelah ini aku tidak dapat melihatmu lagi. Dan engkau pun tidak dapat melihatku lagi. Aku tidak membutuhkan hadiah dan aku juga tidak membutuhkan pakaian. Tidakkah engkau tahu bahwa aku hanya mempunyai dua buah pakaian dari bulu? Kapankah engkau mengetahui aku merusakkannya? Aku memiliki uang dari upah kerjaku empat dirham sebagai bekal hidupku. Itu saja sudah cukup, hingga sisanya aku serahkan kepada ibuku. Wahai Amirul Mukminin, sungguh antara engkau dan aku terbentang jalan yang sulit untuk ditempuh. Tiada orang yang dapat menempuhnya kecuali orang-orang yang kurus tubuhnya. Rajin-rajinlah wahai Umar (r.a.), semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”

Mendengar kata-kata Uwais Al-Qarni (r.a.) itu, Umar (r.a.) menyesal lantas memukulkan cambuknya ke atas tanah. Kemudian dengan suara lantang Umar (r.a.) berkata, “Hendaknya dahulu ibuku tidak melahirkanku. Hendaknya dahulu ia mandul dan tidak usah melahirkanku. Ingatlah, siapa sebenarnya yang pantas memegang jabatan Khalifah?” Umar (r.a.) menyesali tindakannya. [Perihal saran Nabi (s.a.w.) kepada Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) barangkali karena beliau sudah disaksikan akan adanya konflik antara Umar (r.a.) dan Ali (k.w.) yang berhubungan dengan pemilihan Khalifah. Ini merupakan bentuk teguran halus Nabi (s.a.w.) kepada para sahabat dengan cara yang netral dan lembut.].

“Wahai Amiirul Mukminin, perkenankanlah aku akan pergi, engkau tidak usah mencariku.” Kata Uwais (r.a.).

Umar (r.a.) lalu Kembali ke Mekah. Sementara Uwais (r.a.) berlalu menggiring unta-unta yang digembalakan dan diserahkannya unta-unta itu kepada kabilah yang memperkerjakannya.

Diceritakan bahwa Uwais (r.a.) senantiasa menggunakan waktu-waktunya untuk beribadat dan menyembah kepada Allah, hingga akhirnya meninggal dunia.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Papahan, 4 Ramadhan 1446 / 4 Maret 2025

Referensi :

1.     Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi.

Selasa, 04 Maret 2025

Uwais Al-QArni hamba yang dicintai Allah SWT

Hamba berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang tetap memberi petunjuk makhluk-Nya meski tahu kebanyakan dari mereka akan mengabaikan. Salam dan sholawat bagi Nabi Muhammad (s.a.w.) hamba-Nya yang menjadi rahmatan lil alamin dengan kasih sayang. Demikian pula untuk keluarga dan keturunannya.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah (r.a.) bahwa suatu ketika Rasulullah (s.a.w.) bercerita: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung sangat mencintai kepada para hamba-Nya yang:

o   Bersih hatinya (tidak suka ghibah, tidak mengejar manfaat duniawi belaka, tidak sombong, tidak ujub, tidak suka iri apalagi dengki, berbelas kasih kepada yang terkena musibah dan tidak mencari kemasyhuran),

o   Selalu bersembunyi,

o   Selalu berbakti,

o   Tidak pernah mengatur rambut kepalanya,

o   Raut mukanya kelihatan berdebu,

o   Selalu lapar perutnya,

[Rasulullah (s.a.w.) tidak mengisyaratkan pentingnya nasab. Barangkali dengan meninggikan nasab akan menjadi pemicu orang lain merasa lebih inferior. Dan ini melenceng jauh dari Islam yang mengutamakan kesetaraan bagi semua orang. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya (QS Al Hujurat 49 ayat 13).]

Yaitu orang-orang yang:

o   manakala mereka diminta untuk datang kepada para penguasa, mereka tidak mau memberi kesempatan,

o   manakala mereka dipinang oleh wanita-wanita cantik, mereka tidak mau menerima dan tidak bersedia menikahi,

o   manakala mereka pergi, tiada orang yang merasa kehilangan,

o   manakala mereka datang, maka tiada sambutan yang menggembirakan,

o   manakala mereka sakit, tiada orang yang menjenguk,

o   manakala mereka wafat, tiada orang yang mengunjungi.”

“Wahai Rasulullah (s.a.w.), bagaimana kita mengenal salah seorang dari mereka?” tanya para sahabat.

“Salah seorang dari mereka adalah Uwais bin Amir Al-Qarni (r.a.).” Jawab Rasulullah (s.a.w.).

“Bagaimanakah ciri-ciri Uwais Al-Qarni (r.a.) itu?”

“Dia adalah seorang yang raut mukanya kelihatan pucat, kulitnya putih kemerah-merahan, lapang dadanya, tingginya sedang, raut mukanya cukup manis, selalu mendekatkan janggutnya kea rah dada, selalu melihat ke arah tempat sujudnya, selalu meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya, selalu menangisi dirinya, hanya mempunyai dua potong pakaian dan tidak punya pakaian lain selain itu, dia mengenakan pakaian sarung dari bulu dan selendang dari bulu, dia tidak dikenal oleh para penghuni bumi, tetapi dia dikenal oleh para penghuni langit, seandainya dia bersumpah tentu dia tepati dalam sumpahnya. Ingatlah bahwa di bawah Pundak kirinya terdapat kulit putih yang mengkilat, ingatlah kelak di hari Kiamat akan dikatakan kepada sekalian hamba, “Masuklah ke Surga.” Dan dikatakan kepada Uwais Al-Qarni (r.a.), “Diamlah! Berikan syafaat!” Maka Allah berkenan memberikan izin kepada Uwais Al-Qarni (r.a.) untuk memberikan syafaat kepada golongan sejumlah suku Rabiah dan suku Mudhar.”

“Wahai Umar (r.a.), wahai Ali (k.w.), jika engkau berdua dapat bertemu dengan dia, mintalah kepada dia agar dia memintakan ampunan kepada Allah untuk kalian berdua. Tentu Allah akan memberikan ampunan terhadap kalian.” Lanjut Nabi (s.a.w.).

[Uwais (r.a.) belum pernah bertemu Nabi (s.a.w.) meski hidup sezaman. Namun tidak menghalangi Uwais (r.a.) bisa menjadi hamba yang dicintai Allah SWT. Dan kita tidak tahu pasti amalan apa yang telah membuatnya dicintai Allah SWT. Namun hadits ini menyemangati kita yang hidup tidak bertemu Nabi (s.a.w.), bahwa kita juga memiliki potensi yang sama untuk dicintai Allah. Untuk menjadi dicintai Allah tidak perlu menjadi orang lain, cukup dengan menjalani fitrah kita masing-masing untuk berjuang meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah dengan selalu membersihkan hati (tazkiyatun-nafs).]

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

Salamun 'ala minat-taba'al-huda.

Papahan, 4 Ramadhan 1446 / 4 Maret 2025

Referensi :

1.     Samsul Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi. 

Kisah Uwais Al-Qarni (r.a.) dengan Haram bin Hayyan (r.a.)

Hamba berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat ya...