Di tahap inilah manusia sudah bisa menguasai kecintaan
dirinya karena sudah bersedia mengikuti tuntunan akal (a7’’), sehingga Allah mencintai dan mempersilahkan hamba-Nya memasuki jama’ah-Nya dan memasuki surga-Nya
sebagaimana difirmankan dalam QS Al Fajr 89 ayat 29-30: “Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Barangkali inilah makna dari firman
Allah dalam QS Al An’aam 6 ayat 94, “Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya; ....” Hingga mendapatkan ucapan selamat dari
Yang Maha Pengasih sebagaimana disebutkan dalam QS Yaasiin 36 ayat 58: “(kepada mereka dikatakan):
"Salam", sebagai ucapan selamat dari Rabb Yang Maha Penyayang.”
Mereka yang sudah bersedia kembali
dengan suka cita, akan mendapatkan cinta Ilahi. Cinta Allah ini dinyatakan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan sebagai berikut,
“Rasulullah (saw) bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar
berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengumumkan
perang kepadanya. Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang
paling Aku sukai, daripada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunat-sunat sampai Aku mencintainya. Apabila
Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran untuk pendengarannya,
penglihatan untuk penglihatannya, tangan untuk perbuatannya dan kaki untuknya
berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya, jika
ia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan
Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan, seperti kebimbangan-Ku
terhadap jiwa (nafsi) hamba-Ku yang beriman yang tidak senang
mati, sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadap-Nya.”
Di sinilah pintu kepercayaan terbuka
dan orang tersebut sudah menyatu kembali kepada Yang Kuasa.
Itulah barangkali makna sholat yang merupakan mi’raj orang-orang yang beriman kepada
Allah. Sehingga dalam setiap gerakan sholat harus ada “sentuhan” dengan Allah, maka pantaslah bahwa Al
Ghazali menyatakan bahwa sholat menjadi tidak sempurna kalau tidak menyebut yaa
Allah ... yaa Allah, berdasarkan hadits, “Rasulullah (saw) menyampaikan, “Sesungguhnya Sholat
itu adalah Ketetapan Hati (Tamaskun), Ketundukan Diri (Tawadlu’), Kerendahan Hati (Tadlarru’), ratapan Batin (Ta-assafu), Penyesalan Diri (Nadamu) dan Engkau Rendahkan Dirimu (Tadla’u Yadayka), seraya berucap, “Allahumma …, Allahumma …, Allahumma …,” Barang
siapa yang tidak berbuat demikian, maka sholatnya tidak sempurna.””
Apalagi kalau sampai lalai dalam sholat,
akan dinilai Allah sebagai pendusta agama. QS Al Maa’uun 117 ayat 1-7, “Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya,
orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Proses ini harus dilakukan dengan kesungguhan agar pantas menduduki sebutan sebagai hamba
Allah, sebagai Yang Dicintai Allah. Apalagi kalau bersedia menjadi hamba-Nya
dan pantas untuk menjadi penghuni RumahNya, yaitu sebagai Ahlul Bait Allah.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS Al Ahzab 33 ayat 33, “Dan hendaklah kamu tetap
di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah
Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Jadi mengingat Allah dengan
menggunakan fitrah kemanusiaan, pada hakekatnya adalah penyembahan tertinggi.
Namun ingat, hanya Allah yang tahu, dengan cara bagaimana Dia ingin disembah. Proses ini akan nampak dalam diri
orang berupa akhlaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar