Nabi Khidir = Dewa Ruci 4/4

Habislah sudah wejangan Jeng Nabi Khidhir as, hati Syekh Malaya terbuka memahami namanya sendiri. Kemudian hatinya terasa terbang, tanpa sayap menjelajahi batinnya yang meliputi jagad raya. Jasadnya sudah terkuasai, menguasai hakekat semua ilmu. Umpama bunga yang lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang.
Tambahan lagi baunya, semerbak karena sudah mendapatkan sang pancaretna. Kemudian disuruh keluar dari raga Nabi Khidhir kembali ke alam semula. Lalu Nabi Khidhir berkata, “He Malaya, kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menebarkan aroma kasturi yang sebenarnya dan yang memanaskan hatimu pun lenyap.
Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi, kamu sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan yang mengganggu hatimu, mantapkan pemahamanmu (penerimaanmu). Ibarat memakai pakaian sutera yang indah, selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus diresapkan ke dalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihias dengan keselamatan dan dipajang seperti permata (manik-manik). Tahu akan tingkah laku yang mengenakkan.
Perhaluslah budi pekertimu bagaikan wajah gadis cantik yang sedang mekar. Dinamakan kasturi jati, sebagai pertanda bahwa tidak mudah tertarik pada ilmu pangawikan (pengetahuan) hati yang tajam (karena tinggi ilmunya), memamerkan kepandaian, pengetahuan tentang jiwa (nyawa) yang salah, tambahan lagi cara berpakaian, pakaiannya dihiasi bunga yang indah, demikian juga tutup kepala (destar) dan kainnya.
Sebagai pengingat apa yang dahulu diperbuatnya, bagaikan mati di dalam garbaku, cahaya jelas terbayang pada dirinya. Yang merah dan kuning itu sebagai penghalang yang menghalangi laku. Warna putih yang di tengah yang akhirnya diakuinya. Kelimanya itu harus diwaspadai. Peganglah kuat-kuat jangan sampai lupa. Teguhkan watakmu.
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat, untuk alat pembebas sifat berbangga diri (sum’ah). Yang selalu disembah siang dan malam, bukankah banyak sekali yang kamu ketahui dariku. Tingkah laku para pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran dan penyampaian keterangan. Anggapannya sudah benar tahunya, akhirnya malah mematikan pengertian yang benar, akibatnya terperosok (salah) dalam penerapannya.
Ada pemuka agama yang menjelma menjadi burung, hanya sibuk mencari tempat bertengger, yaitu pada batang kayu yang indah warnanya, ada yang kembali kepada pohon nagasari, ada tanjung, ada beringin, akhirnya di pinggir pasar, burung Engkuk bertengger (nongkrong), di atas orang sepasar, seolah mencari kemuliaan yang sepele, akhirnya tersesat-sesat.
Ada pula yang menitis menjadi raja, berharta banyak dan beristri banyak. Ada pula yang menitis pada anaknya, anak yang bakal menguasai kharisma masing-masing orang. Semuanya ingin mendapatkan serba lebih dalam penitisan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka itu pantas disebut pemuka agama.
Tatanan (aturan) yang tercela (mengecewakan) yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya mendapatkan kebahagiaan, senang kekayaan dan merasa memiliki kelebihan. Bila kemudian tertimpa bencana, terlanjur terlunta-lunta dalam upaya penitisan belaka, jerih payah tanpa menghasilkan dan tanpa hasil, tak bisa sama sekali.
Kalau gagal memimpin dunia, apa kebiasaan (kesenangan) ketika hidup di dunia, ketika menghadapi maut, di situlah kebiasaannya (kesenangannya) tidak kuat menerima ajal. Merasa berat (bingung) dalam membedakan yang benar (nyata) dan yang palsu (yang menyamar). Itulah beratnya memperoleh kemuliaan. Tidak boleh menoleh pada anak-isteri saat menghadapi sakaratul maut.
Bila salah menjawab pertanyaan bumi, lebih baik jangan menjadi manusia. Binatang mudah penyelesaiannya, karena matinya tanpa pertanggung-jawaban. Bila kau sudah merasa bertindak dengan benar, akan hidup abadi tanpa hisab, ibarat bumi itu, keterdiamannya tidak membatu, kebeningannya tidak menjadi air, berita tanpa informasi.
Ingatlah pada agamawan yang menyepi, yang moksa (hilang) adalah kehendaknya. Tekun sekali tapanya, mengira moksa itu dapat dicapai (diangkah). Kalau tanpa petunjuk, kecuali hanya semedi semata, tidak dengan berguru, kosong melompong, karena hanya mengandalkan daya ciptanya saja. Belum-belum (tak mungkin) mendapatkan pelajaran tata cara hidup yang benar. Mantapnya itu hanya ‘ngaya-wara’, harapan yang sia-sia.
Bertapa sampai kurus kering. Sudah demikian kuatnya menggapai kesempurnaan mati. Hilangnya (kematiannya) tanpa kabar. Sudah bersungguh-sungguh tapanya. Adapun cara yang benar, tapa itu hanya sebagai pemantap (bumbu) pendapat. Sedangkan ilmu sebagai ikannya. Bertapa tanpa ilmu tidak jadi (berhasil), kalau ilmu tanpa tapa.
Tak ayal menjadi jeplang-jeplang, sungguh tidak selaras cara menerapkan ajarannya, keuntungannya selalu gagal. Mantap di hatinya (dadanya) karena banyak pendeta (agamawan) palsu. Ajarannya setengah-setengah kepada sahabatnya. Para sahabatnya menjadi pintar sendiri. Yang tersimpan di hati segera dilontarkan uneg-unegnya, disampaikan kepada gurunya.
Penyampaiannya hanya berdasarkan perkiraan belaka. Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Karena tidak enak rasanya, lalu disampaikan kepada gurunya. Lebih menyedihkan, gurunya ikut-ikutan membenarkan adanya, biar dianggap sebagai pendeta besar yang pasti pendapatnya benar. Nyata, hal itu adalah sabda anugerah yang Ilahi khusus diberikan kepada pribadi, akhirnya sahabatnya diaku anak.
Selalu disanjung-sanjung dan ditanyakan kepada sesuatu, kalau guru sudah akan memberikan wejangan (ajaran). Duduknya dekat gurunya. Akhirnya sobat menjadi guru, guru menjadi sobatnya. Tajamnya pikiran (pangrahita), semuanya dianggap merupakan wahyu Allah. Keduanya sama utamanya. Guru dan sobat keduanya sama-sama memahaminya setengah-setengah, seperti pendeta itu tadi.
Harus ditaati segala apa yang diucapkan. Kalau sedang berjalan juga harus disembah. Tempat tapanya di puncak-puncak gunung. Kalau berbicara suaranya memenuhi pertapaannya. Kalau ada orang mendekat, akhirnya lepas suaranya, seperti gong besar (beri), yang dibunyikan, bergema tanpa isi, rugilah yang berguru kepadanya.
Janganlah seperti itu, orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang, digerakkan di tempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bernama bulan purnama. Layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu buah pikir manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukimnya wayang (manusia). Hidupnya ditopang (oleh) Yang nanggap.
Yang menanggap ada dalam rumah, istana. Tidak diganggu siapa pun, boleh berbuat menurut kehendak-Nya. Hyang Permana dalangnya (sutradaranya), wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara, ke selatan, ke barat dan ke timur. Seluruh gerakannya digerakkan oleh dalang. Bila semuanya digerakkan berjalan, semua di tangan dalang.
Dialognya menyampaikan pesan. Bila bercakap, lisannya itu menyampaikan nasihat semau-maunya. Yang menonton memperhatikan, pandangannya diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya (kamu) tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada dalam rumah. Ia tanpa warna itulah Hyang Sukma.
Cara Hyang Premana mendalang wayang, mempercakapkan dirimu tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlihat sebagai pelaku? Misalnya dalam tubuhmu atau ibarat minyak dalam susu (santan) atau api dalam kayu. Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan dengan beralaskan sesama batang pohon.
Gesekan itu disebabkan angin. Hanguslah kayu, keluarlah kukusnya (asapnya) tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahsa?
Manusia itu paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Hanya saja manusia itu, penguasanya satu, yang menghidupi seluruh jagad seisinya. Demikianlah tekad sempurna itu.
“Hai Syekh Malaya sudahlah, segeralah kembali kamu ke pulau Jawa. Bukankah sebenarnya itu adalah dirimu juga.” Syekh Melaya bergegas bersembah dan berkata dengan beriba kasih (menyanjung). Hamba benar-benar akan taat. Nabi Khidhir lenyap. Syekh Melaya tampak ada di samudera tapi tidak tersentuh air.
Syekh Melaya sangat tajam pandangan hatinya atas peringatan (ajaran) guru yang sempurna. Ia masih sangat ingat, hasrat hati yang telah mengandung isi dunia dikuasai oleh batinnya, mantap dan teliti bahasanya, ilmunya tidak salah, diresapi emas yang benar-benar emas. Lulus dari sumber aroma Kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panas hatinya lenyap.
Sesudah itu Syekh Melaya pulang. Hatinya tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam bathin. Ia tidak salah lihat lagi siapa dirinya sebenarnya. Penjelmaan semua yang berwujud, tetapi secara lahiriah dirahasiakan. Norma tata cara (perilaku) jiwa satria berhasil dikuasainya dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Awalnya dunia besar sudah menggunakan mata bathinnya yang tajam tanpa membeda-bedakan, ibarat hewan dengan bebannya.
Sudah tak akan ada (terjadi), kematian dalam kehidupan. Setelah ia menerima ajaran gurunya, sama sekali tidak diragukan lagi seluruh ajaran gurunya. Sudah tamat dan dikuasai dengan tersimpan dalam hati. Serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru, perbuatan, pikiran dan rasa. Bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening. Benar-benar sebagai anugerah Ilahi.
Sesungguhnya sang guru benar-benar. Yang sudah hilang raganya tidak ada. Selalu terbayang dalam hatinya dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasa tenang dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah ditemukan.
Memang sudah jelas terwujud dalam wangsit, tidak takut pada kematian, tidak eman kepada raganya, karena mati sempurna kembali kepada Hyang Widhi. Tidak ada perasaan merasa bisa, karena rasa yang demikian itu sudah sirna, suci, abadi, mulia seperti awal mula.
Tidak takut dengan kematian sejati, yang merasa bisa mati setiap saat. Yang rusak hanyalah nafsu, raga sukma selamat sejahtera, suka mulia merdeka, sudah mencapai yang dituju, sudah bersih, langgeng suci sudah tercapai, sudah mengenal ketunggalan.
Tidak khawatir ketika kematian tiba, yang sempurna adalah yang terpilih, tidak nampak wujudnya (tak berwujud). Kesempurnaan itu kan sudah betul-betul selamat sejahtera, hilang rasa akunya (nikmat senikmat-nikmatnya), ketujuh alam sirna, karena sudah bersih sirnanya alam itu, menyatu dengan asalnya.
Ratu alam sudah kelihatan jelas, itu namanya Abirawa, alam yang keenam. Itu maknanya sudah hilang arah utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah. Serta kayu, batu, demikian pula dunia kecil kosong (awang uwung) terlihat dalam angin, air dan api.
Matahari, bulan alam ini, dua puluh tiga alam penasaran, karena semuanya itu baru, sama-sama qadimnya. Syekh Malaya tidak lupa kalau ini penasaran, karena seluruh alam sudah difahaminya, merajai alam semuanya, yang menghilangkan (yang ada) hanya alam yang tergelar ini, menebar bau yang harum.

Jakarta, 19 Jul 2019; 16 Dzulhijjah 1440

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)