Suatu saat seorang teman yang suka mencari nomor buntut, menyepi ke tempat
angker. Pada malam harinya, muncul sesosok makhluk yang dikenal dengan sebutan jenglot.
Lalu jenglot tersebut ditanya, kamu siapa? Jenglot menjawab bahwa dia dulunya
adalah manusia, namun karena suka bertapa mencari kesaktian, akhirnya menjadi
jenglot.
Dalam kisah lain, ada juga orang yang diselamatkan dari ancaman siluman
harimau oleh seorang wanita yang tinggal sebagai pembantu di alam siluman
tersebut. Ketika ditanya, dia siapa? Wanita itu menjawab bahwa dia adalah
manusia yang dulunya mempelajari ilmu siluman harimau dan ketika dia mati, maka
dia menjadi pembantu di masyarakat siluman harimau tersebut.
Kedua kisah ini, tidak bisa kita ukur kebenarannya. Namun paling tidak demi
keselamatan sebaiknya kisah ini dijadikan pelajaran untuk tidak mencari
ilmu-ilmu kesaktian dengan memanfaatkan makhluk-makhluk tidak kasat mata.
Karena bisa-bisa apa yang disampaikan dalam kisah-kisah tersebut benar dan mereka
yang memanfaatkannya akhirnya menjadi budak mereka sebelum meninggal atau setelah
meninggal.
Wilayah raga, jiwa dan ruhani adalah wilayah yang sulit untuk difahami.
Kita tahu bahwa ketika manusia mati, raganya dikubur atau dibakar atau bahkan
hilang tak ketahuan rimbanya. Sedangkan Nabi s.a.w. ketika ditanya apakah ada
arwah gentayangan? Beliau menjawab bahwa ruh kembali kepada PemilikNya, yaitu
Allah. Dengan demikian bagaimana dengan jiwa manusia yang sudah meninggal?
Kemana perginya?
Idealnya sang jiwa pergi bersama ruhaninya kembali kepada Allah. Namun
kalau seandainya mereka tidak mengenal Allah, kemana mereka akan pergi.
Barangkali bisa diduga bahwa setiap sesuatu akan berkumpul dengan yang
dicintainya. Bilamana demikian, maka jiwa-jiwa itu akan berkumpul dengan yang
dicintainya, seperti kisah siluman harimau di atas.
Lalu apakah siksa kubur itu ada?
Dari berbagai informasi yang tersedia, jelas ada. Sedangkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari r.a. #2:422-S.A.:
Diriwayatkan dari Anas r.a.:
Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, “Ketika manusia berbaring di dalam kuburnya
dan para sahabatnya pulang, ia mendengar langkah kaki mereka.
Dua malaikat datang
kepadanya, menyuruhnya duduk dan bertanya kepadanya: “Apa yang pernah
kaukatakan tentang Muhammad s.a.w.?”
Ia akan berkata: “Aku
bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian akan dikatakan
padanya, “Lihatlah tempatmu di neraka, Allah telah menukarnya dengan sebuah
tempat di Surga karena itu.””
Kemudian Nabi Muhammad
s.a.w. menambahkan, “Orang itu akan melihat kedua tempat itu.
Tetapi orang kafir atau
munafik akan berkata kepada dua malaikat itu, “Aku tidak tahu, tetapi aku
mengatakan apa yang dikatakan orang-orang!”
Akan dikatakan kepadanya, “Kau
tidak tahu tetapi kau tidak mengambil petunjuk.” Kemudian ia akan dipukuli
dengan palu besi di antara kedua telinganya, ia akan menjerit dan jeritannya
terdengar oleh apa pun yang ada di dekatnya, kecuali manusia dan jin.”
Permasalahannya adalah bagaimana mekanisme siksa kubur tersebut? Mengingat
antara raga dan jiwa sudah terpisah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruqutni,
Zawaid Zahid:
Seorang pendeta Zoroaster
membawa tiga tengkorak bersamanya datang ke Khalifah Umar r.a. dan mengatakan
bahwa menurut tuannya seseorang yang beragama selain Islam dan meninggal akan
dimasukkan ke dalam neraka. Kemudian pendeta itu membacakan sebuah ayat yang
berbunyi:
Orang-orang itu dibakar
dengan api neraka siang-malam.
Umar r.a. mengatakan bahwa
penjelasan Nabi kami adalah benar tanpa sedikit pun keraguan.
Mendengar hal itu, pendeta
itu mengeluarkan ketiga tengkorak itu dan memberitahukan bahwa tengkorak
pertama adalah tengkorak ayahnya, yang kedua adalah ibunya dan tengkorak yang
ketiga adalah saudara perempuannya. Dia memberitahukan lebih lanjut bahwa pada
saat kematian, mereka beragama Zoroaster. Ketika dia menyentuh
tengkorak-tengkorak itu, dia rasakan semuanya dingin.
Mendengar hal itu Umar r.a.
memanggil Ali k.w.. Ketika Ali datang, Umar r.a. meminta pendeta itu mengulangi
sanggahannya.
Lalu dia mengulangi
sanggahannya.
Waktu mendengar sanggahan
itu, Ali k.w. meminta diambilkan sebatang besi dan batu. Ketika sudah
dibawakan, dia meminta pendeta itu menyentuh benda-benda itu dan memberitahukan
apakah benda itu dingin atau panas.
Pendeta itu menyentuh dan
berkata bahwa benda-benda itu dingin.
Kemudian Ali k.w. memintanya
memukulkan batang besi ke batu secara bersamaan.
Dengan melakukan hal itu,
keluarlah percikan api.
Lalu Ali k.w. memanggil
pendeta itu dan berkata, “Itulah Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuasaan-Nya
telah menciptakan api dari besi dan batu yang dingin. Dalam cara yang sama, Dia
dengan kekuasaan-Nya telah mengeluarkan api dari tengkorak-tengkorak itu yang
tidak dapat dirasakan. Tengkorak-tengkorak itu tampak baginya dingin karena
Allah telah membakarnya sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat merasakan rasa
panas yang dikeluarkan tengkorak itu meskipun mereka terus terbakar di dalam
api neraka.”
Hal itu membuat pendeta
tersebut tidak dapat bicara.
Dalam riwayat yang lain dikisahkan:
Ibnu Abbas mengatakan bahwa
jiwa akan berselisih dengan raga dan jiwa akan berkata bahwa tanggung jawab
semua perbuatan ada pada raga.
Lalu raga mengatakan bahwa
ia mengikuti perintah-perintah jiwa dan bertindak hal yang sama sebagaimana
yang digambarkan kepadanya.
Allah memerintahkan malaikat
agar menyelesaikan perselisihan mereka.
Malaikat mengatakan bahwa
kasus mereka sama dengan kasus seorang yang pincang dan seorang yang buta.
Orang yang pincang memberitahu yang buta bahwa ia telah melihat buah tetapi
berada di luar jangkauannya. Kemudian orang buta menyuruhnya naik di
punggungnya. Orang yang pincang itu naik dan memetik buah itu. Setelah mengutip
contoh ini, malaikat menyuruh kepada jiwa dan raga mengatakan yang mana dari
keduanya yang melakukan pelanggaran?
Kedua jiwa dan raga mengatakan
bahwa kedua orang itu sama-sama bertanggung jawab.
Anas merujuk ke sebuah
hadits yang mengatakan bahwa pada hari kiamat, jiwa dan raga berselisih. Raga
berkata, “Aku terbaring seperti pohon palem, jika jiwa tidak ada. aku tidak
mungkin melakukan apa pun dengan cara menggerakkan tangan dan kakiku.”
Jiwa berkata, “Aku seringan
udara, bila raga tidak ada, aku kehilangan daya untuk melakukan apa pun.”
Setelah itu, kasus jiwa dan
raga akan dirujuk dengan kisah orang pincang dan orang buta seperti dikisahkan
di depan. Kemudian mereka akan sama-sama dimintai pertanggungjawaban.
Marilah meneladani Nabi Muhammad s.a.w. melalui doa beliau, “Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari azab kubur, azab neraka, fitnah hidup, fitnah mati
dan dari fitnah Dajjal (HR Bukhari #2:459-S.A.).”
Tuban, 15 Jun 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar