Tawakal (Kisah Adipati Surabaya Jaya Puspita)

Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH. Inilah yang disebut tawakkal.
Orang zaman sekarang kebanyakan sudah kehilangan sikap tawakkal kepada Allah. Mereka percaya kepada pendapat dokter, hasil laboratorium dan lain-lain, sampai-sampai takut makan ini, takut makan itu. Hidupnya banyak dihantui dengan pelbagai ketakutan. Demikian pula harapannya, diletakkan kepada pemimpin, kepada orang kaya, kepada orang pintar.
Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya dilatih dengan menanamkan percaya Allah ke dalam diri kita. Bahkan dalam QS Al Mujadilah 58 ayat 22 dinyatakan agar orang-orang menanamkan keimanan hingga ke dalam qalbu. Sebagai contoh, ada teman yang terkena asam urat. Saat teman yang lain membawakan oleh-oleh kacang mete yang konon menjadi penyebab sakit asam urat otomatis dia tidak mau memakannya, takut terkena asam urat. Lalu kamu menggodanya dengan kalimat, “Sampeyan ini beriman kepada asam urat atau Allah? Ndak ada lho dalil beriman kepada asam urat?”
Tertantang dengan teguran tersebut, teman tersebut kemudian menanamkan percaya Allah kepada dirinya dan mengambil kacang mete sampai habis satu kantung plastik. Kebetulan esoknya kami ketemuan lagi, dan saya perhatikan tidak ada tanda-tanda sakit asam urat. Lalu ketika kami tanya, “Apakah kemarin sakit asam urat sehabis menghabiskan satu kantung plastic kacang mete?” Ternyata dia tertawa dan mengatakan, ndak apa-apa. Lalu dia bersaksi bahwa betul, kita harus melatih menanamkan iman hingga ke dalam qalbu.
Tentunya sebelum kita berhak menggoda teman tersebut, kita sudah harus membuktikan terlebih dahulu bahwa percaya itu ya kepada Allah Yang Kuasa.
Dalam sejarah terdapat pula contoh sikap tawakkal, salah satunya adalah perjuangan Adipati Surabaya yang bernama Jaya Puspita ketika menghadapi Belanda dan Kartasura. Kisah ini dituliskan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut:
Para bupati Pesisiran dan Madura juga memperkuat kubu-kubu masing-masing. Serdadu Kompeni sebanyak empat bregada. Bala Surabaya setelah mengetahui Kompeni memperkuat kubu-kubunya, ditanggapi dengan sikap berhati-hati dan siaga, serta menyiagakan meriam-meriamnya. Perang pun sudah dimulai dengan perang meriam yang ditembakkan kubu mereka masing-masing. Adipati Jaya Puspita naik ke panggung menabuh tengara perang Kyai Balen.
Tuan Amral (Brikman) melihat tingkah laku sang Adipati yang santai-santai saja dalam situasi tegang itu cuma geleng-geleng kepala. Lalu perintah menembakinya dengan meriam bertubi-tubi, tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati tetap masih enak-enak menabuh Balen. Balanya pun juga tak ada yang panik, malah bernyanyi, menembang, seakan-akan tak ada apa-apa. Ada yang bersenandung, memainkan seruling, clempungan dan alat gamelan lainnya. Sungguh membuat penasaran musuh yang telah mengepungnya. Setelah agak siang kelihatan banyak perempuan istri-istri mereka datang mengirim makan dan minuman kepada suami-suami mereka di benteng itu. Luar biasa, begitu batin para musuhnya.
Setelah dilihat oleh serdadu Kompeni, lalu ditembak dengan meriam, tetapi juga tak ada yang kena. Para perempuan juga tak ada yang merasa takut, enak-enak saja. Dengan santainya mereka berjalan sambil menggendong ceting berisi nasi, menjing bakul berisi lauk-pauk dan kelengkapannya. Waktu itu barisan Surabaya seolah-olah berlindung dalam kekuatan doa, berintangkan puji.
Memang demikianlah yang terjadi. Setiap orang laki-laki maupun perempuan di Surabaya semua diwajibkan salat dan mengaji oleh sang Adipati. Jika mau melaksanakan perintah itu, yang bersangkutan dibebaskan dari pajak dan upeti, malah ada yang mendapat ganjaran. Jika kebetulan seluruh desa melaksanakan, desa itu dibebaskan dari pajak. Maka semua orang segan tapi sayang dengan sang Adipati.
Adapun perang meriam itu sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Orang-orang Surabaya selamat semua, tak ada yang kena peluru meriam. Apalagi rumah-rumah yang kejatuhan bom api, pecahan bom dan senjata pemusnah lainnya tidak tak ada yang rusak atau pun terbakar.
Dalam perang itu semua orang di Surabaya berniat rela mati untuk membalas kebaikan sang Adipati. Sebab begitu baiknya kepada kawulanya, tebal keyakinannya kepada kekuasaan Allah.
Panji Sureng Rana dan Panji Kertayuda terus berusaha minta bantuan kepada orang Bali. Mereka datang bertemu di Lamongan dengan seorang bernama Panji Baleleng yang membawa bala seribu orang. Begitu dihormati oleh Sureng Rana dan Kertayuda serta banyak ganjaran yang diberikannya. Kedua ksatria itu lalu memberi tahu kepada kakaknya sang Adipati, dimohon untuk berkenan menemui Panji Baleleng tadi. Sang Adipati tidak mau menemui, tetapi kedua adiknya diperintah untuk selalu menyenangkannya agar jangan sampai kecewa lalu pulang ke Bali lagi. Batin sang Adipati, jika umpamanya kelak kalah perang, orang Bali itu bisa diadu perang.
Pikiran sang Adipati yang demikian, seakan-akan menyangsikan kekuatan kekuasaan Allah, maka beliau kena hukuman dari Allah sebab masih percaya dengan kekuatan manusia. Akibatnya hilang kekuatan dalam peperangan. Tanda-tandanya muncul ketika sang Adipati belum tahu bahwa kedua adiknya minta bantuan kepada orang Bali, rumah-rumah di barisan Surabaya tidak ada yang terbakar oleh senjata musuh dan orang-orangnya tidak ada yang kena senjata lawan. Tetapi setelah sang Adipati mau menerima bantuan orang Bali itu, bala di Surabaya banyak yang terkena peluru lawan, rumah-rumah juga banyak yang terbakar terkena peluru-peluru bakar dari meriam orang Kompeni.
Tuan Amral, Tuan Kumendur dan Ki Patih mengadakan dialog. Tuan Kumendur berbicara dengan Ki Patih, “Raden Adipati, bagaimana perkara perang ini? Jika hanya mengandalkan meriam saja, saya kira sampai satu windu tidak akan selesai. Bubuk mesiu saya tidak urung akan habis. Menurut pendapat saya lebih baik perang dada. Bila kalah ya musnah, bila jaya ya mulia. Jadi segera ada penyelesaiannya. Lagi pula, saya rasa sudah tak ada kekurangan. Prajurit Jawa dan serdadu Kompeni sudah banyak sekali, senjata pun tak kekurangan. Apalagi yang ditunggu?”
Tuan Amral dan Ki Patih setuju atas pendapat itu, segera memerintahkan mengatur baris untuk siap berperang. Sayap kiri terdiri dari Pangeran Cakraningrat dengan bala dari Sumenep, Pamekasan, Gresik dan Sidayu. Para bupati Pesisir yang lain menjadi sayap kanan. Ki Patih bersama serdadu Kompeni jadi dada. Jumlah bala tak terbilang.
Adapun Ki Adipati Jaya Puspita juga sudah mengetahui bahwa musuhnya sudah akan siap berperang. Bala sang Adipati juga sudah diatur, lalu dipukullah tengara tanda maju perang.
Perang campuh sudah terjadi. Begitu seru dan seram peperangan itu berkecamuk, sebab sama-sama ingin menang perangnya. Suara senjata bagai turunnya hujan. Jenazah bergelimpangan dimana-mana di sembarang tempat. Serdadu Kompeni yang telah tumpas ada dua bregada. Kapten yang gugur bernama Kapten Krasbun. Letnannya yang tewas dua orang, yaitu Letnan Panderlin dan Letnan Pambandem. Bala Pesisir dan bala Madura yang mati tak terbilang. Bala Surabaya banyak yang mati daripada yang masih hidup. Bala yang tewas di peparangan bermacam-macam penyebabnya. Ada yang mati karena senjata, yang lain mati karena gamang menyaksikan banyaknya jenazah. Ada yang mabuk mencium bau darah, yang lain kelaparan dan kehausan dan penyebab lain di luar itu semua.
Untuk sementara perang berhenti karena datangnya malam. Pihak-pihak yang terlibat perang menahan diri mundur ke kubu mereka masing-masing. Lain hari sang Adipati Jaya Puspita beserta balanya meninggalkan kota bergeser ke sebelah timur sungai, bertahan di pintu gerbang. Kotanya diduduki oleh bala Ki Patih dan serdadu Kompeni. Lalu bantuan Kompeni dari Betawi datang di sana pula, sebanyak dua bregada. Dipimpin oleh Mayor Gustap, kapten Pardenes, Letnan Jakim dan Kapten Tonar.
Tuan Kumendur bicara dengan Ki Patih dan Tuan Amral mengajak melanjutkan perang lagi sebab Kumendur kurang sabaran dan pemberani. Tuan Amral dan Ki Patih menurut. Pagi harinya lalu memberangkatkan pasukan.
Tata barisan tidak diubah seperti kemarin. Keluar dari kota banyak pasukan bagaikan air keluar goa. Adipati Jaya Puspita sudah keluar dari Kori Seketeng siap menjemput lawan di sebelah barat sungai. Balanya dibagi tiga. Sebagian ditempatkan di sayap kiri dipimpin oleh Ki Jaka Tangkeban, sebagian lagi dibuat sayap kanan dipimpin Ngabehi Jangrana. Bala lainnya menjadi dada dipimpin sang Adipati sendiri satu dengan prajurit kaum. Sang Adipati itu punya prajurit Dulang Mangap dua ribu orang, mengawal di belakangnya.
Lalu bala Kartasura dari Kompeni datang, terjadilah perang ramai. Suara senjata seperti gunung roboh, suaranya sorak seperti suara lampar, suara setan brekasakan balanya Nyai Rara Kidul dalam cerita.
Bala Kartasura dan serdadu Kompeni banyakyang tewas, juga bala dari Surabaya. Ramai peperangan serta banyaknya yang gugur melebihi perang-perang sebelumnya. Matinya suara senjata, hingga terjadi perang jarak dekat yang semakin mengerikan. Tuan Kumendur serta para opsir gerakannya berputar-putar, yang diterjang tumpas.
Sang Adipati Jaya Puspita santai di tengah pertempuran, masih enak-enakan, duduk dan dipayungi, serta merokok berbaja pranakan berwarna putih, berikat kepala gurat ungu, berkain limaran. Beliau dilayani anak kecil yang membawa upet dan kinang.
Tuan Kumendur begitu melihat sang Adipati memerintahkan kepada serdadunya agar memberondong senjata dan menerjang dengan meriam. Tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati melambaikan tangannya sambil berkata, “Kumendur, majulah kemari! Jika bubuk mesiumu habis, mengusunglah lagi!”
Bala Surabaya di sayap kanan tumpas habis. Ki Jangrana apes perangnya. Di sayap kiri juga ramai perangnya. Pemimpinnya bernama Jaka Tangkeban. Balanya banyak yang tewas. Jaka Tangkeban setelah melihat Adipati Jaya Puspita dikerubut Kompeni, dihujani senjata segera meninggalkan perangnya dan sengaja mendatangi tempatnya sang Adipati sambil naik kuda. Tetapi perjalanannya disambut dengan peluru, panah dan paser. Kuda Jaka Tangkeban melompat mendekati sang Adipati sambil unjuk atur sambil menangis, memohon agar mundur.
Sang Adipati berkata, “Tole, berhenti dulu, jangan mengamuk.” Lalu sang Adipati diberitahu bahwa adiknya Ki Ngabehi Jangrana gugur, balanya tumpas habis. Sang Adipati setelah mendengar berita itu segera mengambil tombak hendak mengamuk  serta memerintahkan prajuritnya Dulang Mangap serta dua ribu prajurit Talang Pati, “Ayo bocah Dulang Mangap dan Talang Pati mengamuk bersamaku. Dekatlah kepadaku. Biar hilang takutmu tutup saja mata kalian. Inilah nilai atau harga masuk surga.” Bala yang diperintahkan maju, mereka bangkit dalam semangat.
Para menteri dan prajurit kaum unjuk atur kepada sang Adipati, “Jangan masuk ikut berperang. Paduka di belakang saja sebab bala masih banyak serta masih bersemangat perang.”
Sang Adipati menjawab, “Sehari ini saya tidak bisa kalian halang-halangi. Ayo bersama mengamuk.”
Para menteri dan para prajurit kaum lalu mendahului mengamuk menerjang serdadu Kompeni. Banyak yang mati. Mayor Gustap memberi aba-aba pada serdadu Kompeninya yang membawa meriam sebanyak delapan puluh. Lebih akurat menggempur musuh yang nekad. Akibatnya tumpaslah bala Surabaya itu kena granat dan senjata karabin. Orang-orang Surabaya semakin banyak yang gugur. Para garwa sang Adipati dan para sentana akhirnya tahu bahwa Ki Ngabehi Jangrana gugur. Mereka menyusul ke peperangan dengan tangis yang memilukan. Bersama membujuk kepada sang Adipati agar berkenan mundur, menata baris lagi, sebab balanya sudah banyak yang tewas. Agar bersatu dengan Panji Sureng Rana dan Panji Karta Yuda baru maju perang lagi.
Pada kisah tersebut aneh, masakan orang-orang tidak bisa di meriam. Ini semua menjadi tanda bukti bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah Yang Kuasa akan dilindungi. Namun bilamana muncul keraguan, walau sedikit, maka perlindungan tersebut bisa dicabut.

Tuban, 25 Jun 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)