Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain
ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi
atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila
seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan
mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak
takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH.
Inilah yang disebut tawakkal.
Orang zaman
sekarang kebanyakan sudah kehilangan sikap tawakkal kepada Allah. Mereka percaya
kepada pendapat dokter, hasil laboratorium dan lain-lain, sampai-sampai takut
makan ini, takut makan itu. Hidupnya banyak dihantui dengan pelbagai ketakutan.
Demikian pula harapannya, diletakkan kepada pemimpin, kepada orang kaya, kepada
orang pintar.
Untuk mengatasi
masalah ini, sebaiknya dilatih dengan menanamkan percaya Allah ke dalam diri
kita. Bahkan dalam QS Al Mujadilah 58 ayat 22 dinyatakan agar orang-orang
menanamkan keimanan hingga ke dalam qalbu. Sebagai contoh, ada teman yang
terkena asam urat. Saat teman yang lain membawakan oleh-oleh kacang mete yang
konon menjadi penyebab sakit asam urat otomatis dia tidak mau memakannya, takut
terkena asam urat. Lalu kamu menggodanya dengan kalimat, “Sampeyan ini beriman
kepada asam urat atau Allah? Ndak ada lho dalil beriman kepada asam urat?”
Tertantang dengan
teguran tersebut, teman tersebut kemudian menanamkan percaya Allah kepada
dirinya dan mengambil kacang mete sampai habis satu kantung plastik. Kebetulan esoknya
kami ketemuan lagi, dan saya perhatikan tidak ada tanda-tanda sakit asam urat. Lalu
ketika kami tanya, “Apakah kemarin sakit asam urat sehabis menghabiskan satu
kantung plastic kacang mete?” Ternyata dia tertawa dan mengatakan, ndak
apa-apa. Lalu dia bersaksi bahwa betul, kita harus melatih menanamkan iman
hingga ke dalam qalbu.
Tentunya sebelum
kita berhak menggoda teman tersebut, kita sudah harus membuktikan terlebih
dahulu bahwa percaya itu ya kepada Allah Yang Kuasa.
Dalam
sejarah terdapat pula contoh sikap tawakkal, salah satunya adalah perjuangan
Adipati Surabaya yang bernama Jaya Puspita ketika menghadapi Belanda dan
Kartasura. Kisah ini dituliskan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut:
Para bupati Pesisiran dan Madura juga memperkuat kubu-kubu
masing-masing. Serdadu Kompeni sebanyak empat bregada. Bala Surabaya setelah
mengetahui Kompeni memperkuat kubu-kubunya, ditanggapi dengan sikap
berhati-hati dan siaga, serta menyiagakan meriam-meriamnya. Perang pun sudah dimulai
dengan perang meriam yang ditembakkan kubu mereka masing-masing. Adipati Jaya
Puspita naik ke panggung menabuh tengara perang Kyai Balen.
Tuan Amral (Brikman) melihat tingkah laku sang Adipati yang
santai-santai saja dalam situasi tegang itu cuma geleng-geleng kepala. Lalu
perintah menembakinya dengan meriam bertubi-tubi, tetapi tidak ada yang kena.
Sang Adipati tetap masih enak-enak menabuh Balen. Balanya pun juga tak ada yang
panik, malah bernyanyi, menembang, seakan-akan tak ada apa-apa. Ada yang bersenandung,
memainkan seruling, clempungan dan alat gamelan lainnya. Sungguh membuat
penasaran musuh yang telah mengepungnya. Setelah agak siang kelihatan banyak
perempuan istri-istri mereka datang mengirim makan dan minuman kepada
suami-suami mereka di benteng itu. Luar biasa, begitu batin para musuhnya.
Setelah dilihat oleh serdadu Kompeni, lalu ditembak dengan meriam,
tetapi juga tak ada yang kena. Para perempuan juga tak ada yang merasa takut,
enak-enak saja. Dengan santainya mereka berjalan sambil menggendong ceting
berisi nasi, menjing bakul berisi lauk-pauk dan kelengkapannya. Waktu itu
barisan Surabaya seolah-olah berlindung dalam kekuatan doa, berintangkan puji.
Memang demikianlah yang terjadi. Setiap orang laki-laki maupun
perempuan di Surabaya semua diwajibkan salat dan mengaji oleh sang Adipati.
Jika mau melaksanakan perintah itu, yang bersangkutan dibebaskan dari pajak dan
upeti, malah ada yang mendapat ganjaran. Jika kebetulan seluruh desa
melaksanakan, desa itu dibebaskan dari pajak. Maka semua orang segan tapi
sayang dengan sang Adipati.
Adapun perang meriam itu sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam.
Orang-orang Surabaya selamat semua, tak ada yang kena peluru meriam. Apalagi
rumah-rumah yang kejatuhan bom api, pecahan bom dan senjata pemusnah lainnya
tidak tak ada yang rusak atau pun terbakar.
Dalam perang itu semua orang di Surabaya berniat rela mati untuk
membalas kebaikan sang Adipati. Sebab begitu baiknya kepada kawulanya, tebal
keyakinannya kepada kekuasaan Allah.
Panji Sureng Rana dan Panji Kertayuda terus berusaha minta bantuan
kepada orang Bali. Mereka datang bertemu di Lamongan dengan seorang bernama
Panji Baleleng yang membawa bala seribu orang. Begitu dihormati oleh Sureng
Rana dan Kertayuda serta banyak ganjaran yang diberikannya. Kedua ksatria itu
lalu memberi tahu kepada kakaknya sang Adipati, dimohon untuk berkenan menemui
Panji Baleleng tadi. Sang Adipati tidak mau menemui, tetapi kedua adiknya
diperintah untuk selalu menyenangkannya agar jangan sampai kecewa lalu pulang ke
Bali lagi. Batin sang Adipati, jika umpamanya kelak kalah perang, orang Bali
itu bisa diadu perang.
Pikiran sang Adipati yang demikian, seakan-akan menyangsikan kekuatan
kekuasaan Allah, maka beliau kena hukuman dari Allah sebab masih percaya dengan
kekuatan manusia. Akibatnya hilang kekuatan dalam peperangan. Tanda-tandanya
muncul ketika sang Adipati belum tahu bahwa kedua adiknya minta bantuan kepada
orang Bali, rumah-rumah di barisan Surabaya tidak ada yang terbakar oleh
senjata musuh dan orang-orangnya tidak ada yang kena senjata lawan. Tetapi
setelah sang Adipati mau menerima bantuan orang Bali itu, bala di Surabaya
banyak yang terkena peluru lawan, rumah-rumah juga banyak yang terbakar terkena
peluru-peluru bakar dari meriam orang Kompeni.
Tuan Amral, Tuan Kumendur dan Ki Patih mengadakan dialog. Tuan Kumendur
berbicara dengan Ki Patih, “Raden Adipati, bagaimana perkara perang ini? Jika
hanya mengandalkan meriam saja, saya kira sampai satu windu tidak akan selesai.
Bubuk mesiu saya tidak urung akan habis. Menurut pendapat saya lebih baik
perang dada. Bila kalah ya musnah, bila jaya ya mulia. Jadi segera ada
penyelesaiannya. Lagi pula, saya rasa sudah tak ada kekurangan. Prajurit Jawa
dan serdadu Kompeni sudah banyak sekali, senjata pun tak kekurangan. Apalagi
yang ditunggu?”
Tuan Amral dan Ki Patih setuju atas pendapat itu, segera memerintahkan
mengatur baris untuk siap berperang. Sayap kiri terdiri dari Pangeran
Cakraningrat dengan bala dari Sumenep, Pamekasan, Gresik dan Sidayu. Para
bupati Pesisir yang lain menjadi sayap kanan. Ki Patih bersama serdadu Kompeni
jadi dada. Jumlah bala tak terbilang.
Adapun Ki Adipati Jaya Puspita juga sudah mengetahui bahwa musuhnya
sudah akan siap berperang. Bala sang Adipati juga sudah diatur, lalu dipukullah
tengara tanda maju perang.
Perang campuh sudah terjadi. Begitu seru dan seram peperangan itu
berkecamuk, sebab sama-sama ingin menang perangnya. Suara senjata bagai
turunnya hujan. Jenazah bergelimpangan dimana-mana di sembarang tempat. Serdadu
Kompeni yang telah tumpas ada dua bregada. Kapten yang gugur bernama Kapten
Krasbun. Letnannya yang tewas dua orang, yaitu Letnan Panderlin dan Letnan
Pambandem. Bala Pesisir dan bala Madura yang mati tak terbilang. Bala Surabaya
banyak yang mati daripada yang masih hidup. Bala yang tewas di peparangan
bermacam-macam penyebabnya. Ada yang mati karena senjata, yang lain mati karena
gamang menyaksikan banyaknya jenazah. Ada yang mabuk mencium bau darah, yang
lain kelaparan dan kehausan dan penyebab lain di luar itu semua.
Untuk sementara perang berhenti karena datangnya malam. Pihak-pihak
yang terlibat perang menahan diri mundur ke kubu mereka masing-masing. Lain
hari sang Adipati Jaya Puspita beserta balanya meninggalkan kota bergeser ke
sebelah timur sungai, bertahan di pintu gerbang. Kotanya diduduki oleh bala Ki
Patih dan serdadu Kompeni. Lalu bantuan Kompeni dari Betawi datang di sana
pula, sebanyak dua bregada. Dipimpin oleh Mayor Gustap, kapten Pardenes, Letnan
Jakim dan Kapten Tonar.
Tuan Kumendur bicara dengan Ki Patih dan Tuan Amral mengajak
melanjutkan perang lagi sebab Kumendur kurang sabaran dan pemberani. Tuan Amral
dan Ki Patih menurut. Pagi harinya lalu memberangkatkan pasukan.
Tata barisan tidak diubah seperti kemarin. Keluar dari kota banyak
pasukan bagaikan air keluar goa. Adipati Jaya Puspita sudah keluar dari Kori
Seketeng siap menjemput lawan di sebelah barat sungai. Balanya dibagi tiga.
Sebagian ditempatkan di sayap kiri dipimpin oleh Ki Jaka Tangkeban, sebagian
lagi dibuat sayap kanan dipimpin Ngabehi Jangrana. Bala lainnya menjadi dada
dipimpin sang Adipati sendiri satu dengan prajurit kaum. Sang Adipati itu punya
prajurit Dulang Mangap dua ribu orang, mengawal di belakangnya.
Lalu bala Kartasura dari Kompeni datang, terjadilah perang ramai. Suara
senjata seperti gunung roboh, suaranya sorak seperti suara lampar, suara setan
brekasakan balanya Nyai Rara Kidul dalam cerita.
Bala Kartasura dan serdadu Kompeni banyakyang tewas, juga bala dari
Surabaya. Ramai peperangan serta banyaknya yang gugur melebihi perang-perang
sebelumnya. Matinya suara senjata, hingga terjadi perang jarak dekat yang
semakin mengerikan. Tuan Kumendur serta para opsir gerakannya berputar-putar,
yang diterjang tumpas.
Sang Adipati Jaya Puspita santai di tengah pertempuran, masih
enak-enakan, duduk dan dipayungi, serta merokok berbaja pranakan berwarna
putih, berikat kepala gurat ungu, berkain limaran. Beliau dilayani anak kecil
yang membawa upet dan kinang.
Tuan Kumendur begitu melihat sang Adipati memerintahkan kepada
serdadunya agar memberondong senjata dan menerjang dengan meriam. Tetapi tidak
ada yang kena. Sang Adipati melambaikan tangannya sambil berkata, “Kumendur,
majulah kemari! Jika bubuk mesiumu habis, mengusunglah lagi!”
Bala Surabaya di sayap kanan tumpas habis. Ki Jangrana apes perangnya.
Di sayap kiri juga ramai perangnya. Pemimpinnya bernama Jaka Tangkeban. Balanya
banyak yang tewas. Jaka Tangkeban setelah melihat Adipati Jaya Puspita
dikerubut Kompeni, dihujani senjata segera meninggalkan perangnya dan sengaja
mendatangi tempatnya sang Adipati sambil naik kuda. Tetapi perjalanannya
disambut dengan peluru, panah dan paser. Kuda Jaka Tangkeban melompat mendekati
sang Adipati sambil unjuk atur sambil menangis, memohon agar mundur.
Sang Adipati berkata, “Tole, berhenti dulu, jangan mengamuk.” Lalu sang
Adipati diberitahu bahwa adiknya Ki Ngabehi Jangrana gugur, balanya tumpas
habis. Sang Adipati setelah mendengar berita itu segera mengambil tombak hendak
mengamuk serta memerintahkan prajuritnya
Dulang Mangap serta dua ribu prajurit Talang Pati, “Ayo bocah Dulang Mangap dan
Talang Pati mengamuk bersamaku. Dekatlah kepadaku. Biar hilang takutmu tutup
saja mata kalian. Inilah nilai atau harga masuk surga.” Bala yang diperintahkan
maju, mereka bangkit dalam semangat.
Para menteri dan prajurit kaum unjuk atur kepada sang Adipati, “Jangan
masuk ikut berperang. Paduka di belakang saja sebab bala masih banyak serta
masih bersemangat perang.”
Sang Adipati menjawab, “Sehari ini saya tidak bisa kalian
halang-halangi. Ayo bersama mengamuk.”
Para menteri dan para prajurit kaum lalu mendahului mengamuk menerjang
serdadu Kompeni. Banyak yang mati. Mayor Gustap memberi aba-aba pada serdadu
Kompeninya yang membawa meriam sebanyak delapan puluh. Lebih akurat menggempur
musuh yang nekad. Akibatnya tumpaslah bala Surabaya itu kena granat dan senjata
karabin. Orang-orang Surabaya semakin banyak yang gugur. Para garwa sang
Adipati dan para sentana akhirnya tahu bahwa Ki Ngabehi Jangrana gugur. Mereka
menyusul ke peperangan dengan tangis yang memilukan. Bersama membujuk kepada
sang Adipati agar berkenan mundur, menata baris lagi, sebab balanya sudah
banyak yang tewas. Agar bersatu dengan Panji Sureng Rana dan Panji Karta Yuda
baru maju perang lagi.
Pada kisah
tersebut aneh, masakan orang-orang
tidak bisa di meriam. Ini semua menjadi tanda bukti bahwa siapa pun yang
beriman kepada Allah Yang Kuasa akan dilindungi. Namun bilamana muncul
keraguan, walau sedikit, maka perlindungan tersebut bisa dicabut.
Tuban, 25 Jun 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar