Kepemimpinan

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
QS An Nisaa’ 4: 59.
Zaman sekarang, semakin banyak pemimpin yang memaksakan anak buahnya untuk menanggung kesalahannya. Memaksa anak buah untuk melanggar aturan demi kepentingannya. Bahkan perintahnya pun lisan sehingga sulit untuk ditelusuri dalam sidang-sidang peradilan. Sebagai anak buah, situasi ini akan sulit. Tidak patuh salah, patuh pun salah. Maju kena mundur kena. Barangkali ayat di atas merupakan solusi, yaitu diserahkan kepada Allah dan Rasulullah (s.a.w.).
Hadits berikut juga memperkuat usulan atas sikap tersebut. Al Mawardiy menyatakan[1] bahwa mentaati perintah Ulil Amri itu wajib bagi kita, berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang menyatakan, “Pada zaman sesudahku akan ada penguasa yang memerintah kamu, maka penguasa yang baik akan memerintah kamu dengan kebaikannya. Dan akan memerintah kamu penguasa yang jahat dengan kejahatannya. Maka dengarkanlah (perintah) mereka dan taatilah setiap perintah yang sesuai dengan kebenaran, maka jika mereka itu berbuat baik, maka kebaikan itu akan mengenai kamu dan mengenai mereka juga, dan jika mereka berbuat kejahatan, maka kejahatan itu akan menimpa kamu dan mereka yang akan menanggung kejahatannya.”
Namun bisa jadi sikap seperti ini hanya bisa dilaksanakan oleh orang-orang yang yaqin kepada Allah. Karena mereka yaqin bahwa Allah tidak akan menjerumuskan mereka. Karena sudah menjadi ketentuan (qadha) Allah bahwa Dia akan menurunkan nikmat.
Pentingnya kepatuhan kepada pemimpin sangat diperlukan, mengingat ketidak-patuhan akan membawa kepada berbagai konflik. Zaman sekarang dan nanti, dengan kemampuan akal-budinya, manusia akan semakin tidak patuh kepada pemimpinnnya. Mereka akan selalu berupaya mendongkel untuk menggantkannya. Oleh karena itu, hadits berikut mengingatkan agar patuh kepada pemimpin.
Suatu ketika Nabi s.a.w. mengutus Khalid bin Walid untuk memimpin sepasukan tentara untuk menaklukkan sebuah desa di pedalaman Arab dan diikuti oleh seorang sahabat, ‘Ammar bin Yasir. Pada suatu malam Khalid dengan rombongan itu berangkat dan sampai pada suatu tempat yang dekat sebuah desa yang penduduknya sedang berkumpul menghadiri sebuah pesta pernikahan. Mendengar kedatangan tentara Islam itu, orang-orang itu pun lari meninggalkan pesta itu. Ada seorang yang tidak ikut lari, karena dia sudah beragama Islam dan dia menemui ‘Ammar bin Yasir dan berkata, “Wahai Abu Yaqzan, saya ini termasuk golonganmu. Ada pun kaumku setelah mendengar kedatangan kamu sekalian terus lari. Sedang saya tetap di sini karena saya beragama Islam. Apakah keislamanku itu menjadi jaminan keselamatanku atau saya harus lari seperti kaumku itu?
‘Ammar bin Yasir berkata, “Tetap tinggallah di sini, karena keislamanmu menjadi jaminan.”
Kemudian orang itu pun kembali ke keluarganya dan mengajak mereka untuk tetap tinggal, tidak lari untuk mengungsi.
Maka ketika Khalid bin Walid selaku komandan memasuki tempat itu, tidak mendapati orang-orang kecuali orang yang sudah masuk Islam tersebut. ‘Ammar bin Yasir pun menemui Khalid bin Walid dan berkata, “Berilah kebebasan pada orang ini, dia seorang muslim. Saya telah memberikan jaminan keamanan baginya dan saya telah menyuruhnya untuk tetap tinggal di sini.”
Khalid bin Walid berkata, “Engkau telah memberikan jaminan keamanan atas nama saya, padahal sayalah pemimpinnya.”
‘Ammar bin Yasir menjawab, “Ya, saya memberi jaminan keamanan atas nama engkau dan engkau sebagai pemimpinnya.”
Perselisihan antara Khalid dan ‘Ammar kemudian dilaporkan kepada Nabi Muhammad s.a.w.. Rasulullah s.a.w. pun memberikan jaminan kemanan kepada orang itu dan membolehkan ‘Ammar bin Yasir memberikan jaminan keamanan terhadap orang tersebut dengan pesan agar lain kali tidak memberikan jaminan kepada seseorang tanpa adanya izin dari pemimpin (Amir), karena pemimpin diadakan untuk ditaati.[2]
Karena kejadian itulah Allah menurunkan ayat 59 surah An Nissa’ yang dikutip di depan.
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Bahwa apabila ada tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka menjadikan salah seorangnya sebagai pemimpin.” HR Abu Dawud.
Sabda Nabi s.a.w. yang lain mengatakan, “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu kawasan di bumi, kecuali mereka harus menjadikan salah seorang di antaranya sebagai pemimpin. HR Ahmad.
Nabi s.a.w. sudah memperingatkan tentang perlunya penguasa berdaulat. Beliau bersabda, “Sittuuna sanatan ma’a imaamin jaa’irin aslahu min lailatin bilaa sultaanin (Enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim itu masih lebih baik dari pada semalam tanpa penguasa).”
Saduran dari tulisan Samudi Abdullah dari Jawa Tengah dalam lembaran dakwah Uswatun Hasanah no 1346/Thn. XXVI/Jum’at II, 12 Syawwal 1435 H/08 Agustus 2014.



[1] Al-Ahkamus-Sultaniyyah, hal. 5
[2] An-Nisaburiy, Asbabun Nuzul, hal 106

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)