Buhul Tali Allah Bukan Thaghut

Cileungsi, 12 Desember 2014

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS Al Baqarah 2 ayat 256)

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
(QS Luqman 31 ayat 22)

Thaghut menurut para ulama berasal dari kata thagha yang berarti melampaui batas. Atas dasar itulah, saya memahami Thaghut sebagai segala sesuatu yang membuat manusia bersikap dan bertindak melampaui batas.

Batas sendiri dalam dunia manusia dikenal dengan sebutan hukum. Otomatis mereka yang melakukan di luar batas atau di luar hukum akan mendapatkan hukuman. Bagi Tuhan, Dia sudah menetapkan batas berupa fitrah. Dalam diri manusia terdapat batas itu yang sering disebut dengan hati nurani. Kalau batas ini dilanggar, maka manusia akan berdosa dan akan mendapatkan hukuman. Istilah hati nurani ini berarti hati yang bercahaya, yaitu hati yang mau menerima pengertian. Dalam Quran istilah yang digunakan adalah bashirah atau yang menyaksikan. Kalau kita diam merenung, maka akan bisa kita saksikan bashirah tersebut aktif, yaitu yang tahu kalau kita berbohong, tahu kalau kita sedang berfikir, tahu kalau kita sedang mengakali.

Siapa saja yang disebut melampaui batas?

Yaitu mereka yang menolak fitrah atau kebenaran (kafir), yang berbohong (munafik) dan yang mendua (musyrik). Orang kafir berarti mereka yang menolak mengikuti arahan hati nurani atau pengertian. Orang munafik berarti dia membohongi pengertiannya. Sedangkan orang musyrik adalah dia sudah mengerti namun dirinya menyeret kepada perasaan dan kemauannya.

Oleh karena itu supaya hidup kita nikmat, maka kita wajib percaya kepada Yang Kuasa. Bukankah Yang Kuasa itu pasti mampu memberikan kenikmatan? Oleh karena itu tanamkanlah kepercayaan kepada Yang Kuasa itu ke dalam diri kita sedalam-dalamnya. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan memegang buhul tali Allah. Wujud nyata dari memegang buhul tali Allah adalah dengan memunculkan kerelaan kita berserah diri kepada Allah dan berbuat kebaikan (ihsan). 

Rela kepada Allah itu bukan seperti kata orang banyak, tetapi sesuatu yang pribadi. Dimana kita menyerahkan keakuan kita kepada Allah Yang Kuasa. Tanda bukti bahwa kita sudah rela adalah akhlak kita, dimana kita rela menerima hidup ini dan berjuang dengan sungguh-sungguh memberikan yang terbaik atas setiap kewajiban yang harus kita penuhi. Jadi kalau berkarya, tidak asal-asalan.

Berbuat kebaikan atau ihsan itu artinya sampai kita bisa menyaksikan Allah. Misalnya kita seorang pegawai, kita bekerja sungguh-sungguh untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Namun bukan nilainya saja yang membuat kita bahagia, tetapi kita juga berbahagia bisa menyaksikan bagaimana Allah Yang Maha Kuasa yang juga disebut dengan Ar Razaq Sang Pemberi rezeki hadir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)