Kaum Rabbani, Kaum Pencari Kesejatian Diri

Dalam hidup, sering kita bertanya untuk apa kita hidup? Ada dari kita yang berjuang untuk mencari kenikmatan hidup, yaitu mereka yang disebut kaum hedonis. Ada yang sibuk dalam ritual agama atau agamis. Ada yang sibuk mencari ilmu, yaitu para guru, para penemu. Ada yang ingin kembali menyatu dengan Tuhan, yaitu kaum sufi. Ada yang sekedar menjalani hidup. Bahkan ada yang bosan hidup. Saya sepertinya sudah menjalani semuanya dan masih belum mampu membuat diri saya puas.

Mencari jawaban yang pasti yang saya fahami sendiri yang bukan menurut orang sepertinya lebih memuaskan bagi diri saya. Setelah belajar kesana kemari dan menemui beberapa orang bijak, terutama bapak Mas Supranoto dari Manggisan Banyuwangi baru terasa jalan saya mulai tegak dan menatap kepada tujuan yang semakin jelas. Yaitu menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahkan. Akal pikiran yang membuat saya berbeda dengan makhluk lain, yaitu binatang dan tumbuhan. Bahkan berbeda dengan Homo Erektus.

Maka saya pun memulai berkisah dengan menggali sejarah perihal penciptaan akal. Kisah penciptaan akal dicatat dalam hadits qudsy yang ditulis pada kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir[1]: Ketika Allah menciptakan akal (a7’’), Dia bertanya kepada akal (a7’’), “Siapa Aku dan siapa kamu?”

Akal (a7’’) menjawab, “Engkau Yang Kuasa (Al-Ilah)-ku dan aku hamba-Mu.”

Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal (a7’’).

Namun ketika Dia menciptakan jiwa, lalu jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”

Jiwa  menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Al-Ilah-ku.”

Dalam kisah lain, yaitu dalam Injil Barnabas[2] disampaikan sebagai berikut: Berkata Yesus, “Adakah seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi kemampuan rasa tiada bekerja padanya?”

“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.

“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana rasanya? Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”

Kemudian para pengikut itu telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, rasa dan daging (a1 s/d a4). Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad (a1 s/d a4), sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan rasa. Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”

“Demi Allah [yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan rasa. Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan rasa adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka dapatkan ruh berakal (a7’’) tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan tanpa rasa dan kehendak (a6’) sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana rasa meninggalkannya.”

Thaddeus menjawab, “O Guru, apabila rasa meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”

Yesus menjawab, “Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh (a1 s/d a4), terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi rasa akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh (sang) rasa. Justru rasa itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh (a1 s/d a4) itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.

Rasa memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?

Sungguh aku berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.

Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Al-Ilah di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti rasa itu, memungkiri akal (a7’’) dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak menyenangkan dan tak beramal shalih.”

Jiwa dalam hadits Qudsy bisa jadi adalah rasa yang dimaksud dalam Injil Barnabas. Siapakah yang dimaksud?

Kalau memperhatikan diri saya sendiri, saya terdiri atas raga, diri saya yang menyebut dengan aku/saya dan ada hidup atau disebut dengan ruh. Kalau disepadankan dengan kitab-kitab di depan, maka jiwa atau rasa adalah diri atau yang menyebut dengan aku/saya. Namun kebanyakan orang juga menyebut dengan hati atau kalbu, namun yang dimaksud bukan wujud fisik. Pada tulisan ini, saya akan gunakan sebutan diri untuk mewakili jiwa atau rasa atau hati atau kalbu.

Melalui pengamatan atas pertumbuhan bayi, diri yang diturunkan ke alam dunia melalui keberadaan raga ini adalah tidak memiliki kuasa apa pun. Paling jelas adalah saat masih bayi, meski bisa bergerak namun lemah. Setelah tumbuh dewasa, baru kemampuan dianugerahkan. Anugerah kemampuan ini diberikan dengan dimulainya pernafasan, yang kebetulan sejalan dengan ditiupkannya ruh pada saat 4 bulan dalam kandungan. Bilamana begitu bisa diduga atau bahkan dipastikan bahwa kemampuan yang dimiliki, seperti sensorik & motoric (a5[3]), perasaan (a5’), kemauan (a6’), mengingat (a5”), mengerti (a6”) dan akal (a7”) merupakan perbuatan (af’al) dari Yang Kuasa atau Ilahi.

Dengan adanya kemampuan ini, diri bisa menikmati kehidupan. Tanpa kemampuan, diri tidak bisa apa-apa. Berarti ada kesatuan yang tidak terpisahkan antara Kuasa (Ilahi) dengan yang dikuasai (diri) pada diri seseorang. Namun diri yang dikuasai ini tidak tahu diri bahkan berbalik makar ingin menguasai. Kuasa melalui Yang Maha Kuasa kemudian mendidik manusia ini untuk bisa mengerti dan sadar diri.

Salah satu cara Sang Pendidik (Rabb) adalah dengan memberi diri berbagai masalah agar mengerti, lalu sadar. QS Al An’aam 6 ayat 42: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” Ini merupakan awal kesadaran diri seseorang akan keberadaan Ilahi. Mereka ini seperti budak yang harus diancam agar takut supaya merendahkan dirinya untuk menuruti tuannya.

Ada pula dengan cara diberi pengertian (a6”) akan anugerah berupa nikmat. Mereka ini seperti pekerja yang semangat bekerja ketika diberi bonus. Mereka tunduk merendahkan diri kepada sang pemberi bonus. QS An Nahl 16 ayat 81:Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”

Selain mereka, ada lagi diri yang bersedia tunduk karena memahami bahwa hanya Yang Kuasalah yang paling pantas untuk ditunduki. Karena ini sejatinya adalah fitrah dirinya. Merekalah yang tunduk dengan penuh kehormatan kepada Allah. QS Al Baqarah 2 ayat 128: “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

Kaum seperti ini adalah para Nabi dan mereka yang mengikutinya sehingga disebut sebagai kaum Rabbani. QS Ali Imran 3 ayat 79: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi, “Hendaklah kamu menjadi Rabbani, karena kamu selalu menjelaskan (tu’allimuna) Al Kitab dan disebabkan kamu mengambil pelajaran (tadarus).”

Konon pula ketika Yang Kuasa menciptakan manusia dan meminta kesaksian atas dirinya, maka seluruh manusia bersaksi kepada-Nya. Ketika Dia menciptakan dunia, maka 90% saya manusia lari kepada dunia dan tersisa 10% yang masih menerima-Nya sebagai Tuhannya. Kemudian ketika Surga diciptakan, maka dari sisa yang 10%, 90% saya lari menuju Surga dan meninggalkan Yang Kuasa. Maka yang tersisa adalah 10% dari 10% umat manusia atau 1% dari keseluruhan umat manusia yang masih bersedia berserah diri kepada Allah.

Dengan demikian ada 90% manusia tetap tidak mau tahu dan sibuk memuaskan dirinya. Lalu ada 9% manusia yang masih mengejar kenikmatan namun mengerti bahwa Yang Maha Kuasa itulah yang bisa memberikan kenikmatan.

Oleh karena itu dari sisi niat ibadahnya, manusia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kaum budak, kaum pekerja dan kaum Rabbani.

Kaum budak yaitu yang beribadah kepada Allah karena takut. Mereka beribadah karena takut akan hukuman. Ketika mereka dibangkitkan dari kubur konon dikatakan kepada mereka: “Engkau selamat dari api neraka.”

Kaum pekerja adalah yang menyembah Allah karena mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Ketika mereka dibangkitkan dari kubur konon dikatakan kepada mereka: “Masuklah ke dalam surga.”

Kaum Rabbani adalah orang yang menyembah Allah tanpa mengharap dunia-akhirat ataupun surga-neraka bahkan tidak memedulikan apa itu jiwa-ruh. Ketika mereka dibangkitkan dari kubur konon dikatakan kepada mereka: “Ini adalah kekasihmu dan yang engkau cari. Ini adalah tujuanmu. Demi keagungan dan kemuliaanKu, Aku tidak menciptakan surga, kecuali karena ada orang sepertimu.[4]

Berjuang menjadi kaum Rabbani inilah yang menjadi jawaban atas pencarian saya selama ini.

Jakarta, 7 September 2019; 8 Muharram 1441



[1] Terjemah Durratun Nasihin karya Al Allama bin Hasan bin Ahmad Asy Syakir Al Khaubawi oleh Idrus H. Alkaf, CV Karya Utama, Surabaya, hal 28.

[2] The Gospel of Barnabas/The Emperial Library of Wina, penerjemah Lonsdale & Laura Ragg, alih Bahasa Rahnip M, cet-4, Surabaya, PT Bina Ilmu, 1984, hal 141-142.

[3] Simbol ini difahami memakai Rumus A

[4] An-Nawadir/Syekh Syihabuddin Al-Qalyubi, penerjemah Awy Amru, editor M. Saifullah Rohman, cet-1, Yogyakarta, DIVA Press, 2015, hal 119.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)