Imam Al-Ghazali mengisahkan suatu cerita dalam kehidupan Isa bin Maryam:
Pada suatu hari Nabi Isa (as) melihat orang-orang duduk bersedih di sebuah tembok, di pinggir jalan.
Tanyanya, “Apa gerangan yang merundungmu semua?”
Jawab mereka, “Kami menjadi seperti ini lantaran ketakutan kami menghadapi neraka.”
Nabi Isa (as) pun meneruskan perjalanannya dan
melihat sejumlah orang berkelompok berduka dalam berbagai gaya di pinggir jalan.
Katanya, “Apa gerangan yang merundung kalian?”
Mereka menjawab, “Keinginan akan surga telah membuat kami semua begini.”
Nabi Isa (as) pun melanjutkan
perjalanannya, sampai ia bertemu dengan kelompok ketiga. Tampaknya orang-orang itu telah menderita amat sangat, tetapi wajah mereka bersinar bahagia.
Nabi Isa (as) bertanya, “Apa gerangan yang telah membuatmu
begitu?”
Mereka menjawab, “Semangat kebenaran. Kami telah melihat kenyataan dan hal itu telah menyebabkan kami melupakan tujuan-tujuan lain yang sepele.”
Nabi Isa (as) berkata, “Orang-orang itu telah sampai.
Pada Hari Perhitungan nanti, merekalah yang akan berada di Sisi Tuhan.”
QS
Adz-Dzariyyat 51 ayat 56:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Bagi kami, tugas manusia adalah beribadah dalam
kehidupan ini, yaitu mengabdi kepada Allah.
Beribadah berarti berkarya yang berkualitas, hingga bisa dinikmati oleh umat
manusia dan kita sendiri bangga serta diridhai Allah. Beribadah juga berarti
senantiasa dalam kesibukan menggali kebesaran Allah. Tidak berhenti sampai di
situ, bahkan harus bisa menumbuhkan sikap bersyukur dan memahami bahwa semuanya
terjadi karena adanya Sang Rabb. Inilah makna
ibadah yang kami fahami.
Mengapa Sang Pencipta yang tidak
memerlukan bantuan menyuruh kita beribadah kepada-Nya, melalui penciptaan kita?
Ternyata Dia menjawab pertanyaan ini
melalui sebuah hadits qudsy, “Kuntu Kanzan makhfiyyan ahbabtu an ‘urifa fa khalaqtul
khalqa fabi ‘arafu-ni[1] (Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, Aku cinta
dikenal, Aku ciptakan makhluk-Ku, agar
mengenal Aku).” Dalam riwayat yang lain disebutkan
“dengan Allah lah mereka mengenal Aku”. Dari ini kami memahami bahwa Sang
Pencipta alam semesta ini bernama Allah. Perbuatan-Nya (Af’al) adalah
menciptakan makhluk karena cinta. SifatNya adalah ingin dikenal tetapi tersembunyi.
DzatNya adalah Perbendaharaan yang menyebut DiriNya dengan Aku.
Sang Perbendaharaan bermakna suatu wujud
yang paling berharga, yang (semestinya) paling dicintai, sehingga pantas untuk
diperjuangkan mati-matian. Sedangkan disebut sebagai Pencipta adalah bila telah
menciptakan. Masalahnya adalah Dia tersembunyi, sehingga memerlukan perjuangan yang tidak mudah untuk menemui-Nya.
Oleh karena itu, sudah semestinya
beribadah kepada Allah secara sempurna adalah dengan penyerahan diri kepada-Nya (Islam sempurna), yang
tentunya diawali dengan penerimaan diri kita atas-Nya (Islam awal). Bagaimana
kita akan menyerahkan diri, kalau kita tidak mencintai-Nya (Mahabbatullah). Dan
bagaimana kita akan bisa mencintai-Nya tanpa pengenalan
kepada-Nya (Ma’rifatullah). Mengenal berarti sudah bertemu (Mulaqu Rabbihim).
Sudah bertemu berarti ada upaya untuk menemui-Nya atau pendekatan (Taqarrub
Illallah). Dorongan pendekatan akan muncul dari ingat (Dzikrullah). Ingat karena ketundukan dirinya menerima Allah sebagai
Ilah-nya (Islam awal). Tunduk karena terkena masalah, tunduk karena ingin
sesuatu dan tunduk karena sudah sepantasnya kita tunduk.
Proses tersebut dijalani bukan dengan
diam bertapa menghadap Sang Pencipta, tetapi dengan bertapa dalam kesibukan untuk menggali nikmat Allah di
muka bumi secara berkeseimbangan. Dengan demikian akan sekaligus menjadi saksi
akan Kebesaran Allah.
Untuk bisa mewujudkan keinginannya dan
menyaksikan kebesaran Rabb semesta alam, maka manusia harus mengenal jati
dirinya dan memahami sarana-sarana kehidupannya. Kata dirinya
pasti akan menunjuk kepada yang bersinggasana dalam dada, yaitu yang menyebut
dirinya sebagai “aku”. Penyebutan aku ini adalah untuk mewakili dirinya yang
merupakan kesatuan dari jasmani dan ruhaninya. Hal ini dijelaskan dalam QS As
Sajdah 32 ayat 7-9: Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia
dari tanah. Kemudian
Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati (al af’idah); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa
sarana-sarana kehidupan manusia seperti pendengaran, penglihatan dan hati (al
af’idah – kemampuan mengambil manfaat) diberikan setelah ditiupkannya sang ruh.
Namun sayang, manusia mulai melupakan
pemahaman ini. Manusia zaman sekarang dan di masa akan datang akan semakin
terjebak kepada pengakuan kepada jasmaninya saja. Mereka menganggap bahwa hanya jasmaninya adalah akunya, sehingga
mereka hanya berfokus memperindah jasmaninya, dengan latihan maupun dengan
mengkonsumsi yang bermanfaat buat jasmaninya.
Ada juga manusia yang akan terjebak
kepada kemampuannya, seperti hati yang terdiri dari pikiran dan
perasaan atau sering kali disebut sebagai akal-budi atau cipta-rasa,
karena dengan kemampuan itulah manusia bisa menarik manfaat. Kemampuan yang
hanya tahu bila diberi tahu dan hanya mampu mengekspresikan benar-salah dan
baik-buruk akan dijadikan pedoman hidup manusia. Sebagai akibatnya manusia
secara umum akan bersikap memperjuangkan kepentingan dirinya atau yang dianggap
benar dengan menyingkirkan yang dianggap salah.
Penggunaan kemampuan ini akan menjadi
agama baru, agama yang memperjuangkan kebenaran dirinya. Inilah yang dimaksud
dengan agama pakerti. Padahal pakerti adalah sarana hidup manusia yang dengan
itu manusia bisa berkarya di muka bumi. Sayangnya dengan mengandalkan pakerti,
manusia menjadi sering berubah pikiran dan akan melemahkan tekad perjuangan serta melupakan Tuhan.
Agama pakerti ini tidak sesuai dengan
fitrah penciptaan manusia, karena kemampuan akal-budi tidak akan mampu
dipergunakan untuk mengenal Sang Pencipta, sehingga tidak mungkin bisa sempurna
dalam beribadah kepada-Nya. Agama pakerti akan mendorong manusia memperjuangkan
kebenaran dirinya. Inilah sumber fitnah yang
akan membuat umat manusia terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kebenaran
versi masing-masing.
Melalui kemampuan seperti indra,
akal-budi dan cipta-rasa, manusia akan memiliki keinginan atau kehendak. Jadi
di atas nilai benar-salah atau baik-buruk versi masing-masing individu atau
kelompok, masih ada kehendak diri. Kita memilih yang ini dan bukan yang itu,
tidak bisa dinilai, karena bersifat khusus atau pilihan individu. Pada kenyataannya
pula, ada manusia-manusia yang sibuk mengejar kehendaknya, cita-citanya. Setiap
waktu, setiap saat mereka sibuk berjuang mewujudkan kehendaknya.
Semestinya manusia memahami bahwa yang
berkehendak adalah sang pelaku, yaitu sang aku. Di sini manusia akan terjebak
ke dalam ego dirinya. Manusia pasti mencintai dirinya dan berjuang dalam hidup
ini untuk menyenangkan akunya. Peran Rabb akan dikesampingkan. Manusia akan
semakin mandiri dan Rabb pun diabaikan.
Kalau saja manusia ingat bahwa adanya
sang ruhani yang berasal dari Dia, tentunya akan mengenal siapa Rabb-nya dan
melepaskan diri dari keakuannya. Sang ruhani ini tak pernah tidur, tak perlu
bernafas, tak perlu makan. Dia tahu apa yang kita lakukan, apa yang kita
pikirkan, apa yang kita maui. Dia tahu siapa diri kita. Dia tahu bahwa kepada
Rabb-nya lah semuanya akan
kembali. Inilah sebenarnya kebenaran sejati.
Jadi semestinya yang kita perjuangkan
adalah Sang Pencipta itu sendiri. Dia yang langgeng, dari dulu ada, sekarang
ada dan nanti pun tetap ada tanpa pernah tiada. Dialah yang semestinya dikenali
sebagai Yang Meliputi segala sesuatu, yang tentunya Dia adalah dekat.
Kedekatannya tak berjarak tapi juga tak bersentuhan.
Bila
kita menelusuri sejarah peradaban, setelah Nabi Adam (as) dan Hawa (as) yang diciptakan
di Surga diturunkan ke bumi, beliau-beliau banyak berinteraksi dengan yang
gaib. Interaksi ini terjadi karena Nabi Adam (as) beserta keluarga dan
keturunannya masih berupa masyarakat yang masih sedikit, dengan demikian mereka
banyak menggunakan sarana bathin,
jiwanya, ruhaninya dan belum banyak menggunakan sarana jasmaninya
terutama akal-budinya. Melalui sarana ruhani, maka Nabi Adam (as) beserta
keturunannya menggunakan bashirah untuk memahami tuntunan Allah dan menggunakan
sarana kemanusiaannya untuk mewujudkan tuntunan Allah tersebut untuk dinikmati
bersama dan menyaksikan KebesaranNya. Barangkali ini lah yang dimaksud dengan
moksa atau mati sajroning urip atau menjadi wayang yang digerakkan oleh sang
dalang (sang ruhani) atau meraga sukma.
QS
Al-Anaam 6 ayat 94:
Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami
sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu
tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu;
dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka
itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian)
antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai
sekutu Allah).
Berhubung manusia kian sibuk dengan
perahunya, sibuk dalam mengejar nikmat dunia, sedangkan sebagian besar lagi
semakin sibuk dalam perahu amalnya karena mengharapkan pahala. Siapa yang
kemudian akan berupaya beribadah untuk mengenal-Nya?
Ini akan berakibat semakin hilangnya
manusia-manusia yang berupaya mengenal Allah. Kondisi ini akan mendorong
menguatnya fitrah-Nya yang lain, yaitu Yang Ingin Dikenal. Sebagai akibatnya,
Dia akan menghadirkan DiriNya. Ini berarti alam semesta, alam ciptaan sudah
waktunya kembali terserap kepada Yang Gaib. Ini akan ditandai dengan banyaknya
bencana. Bukti hancurnya bukit Tsursina ketika Nabi Musa (as) meminta agar Rabb
hadir agar bisa difahami dengan indra penglihatan adalah contoh nyata. Belum
lagi tanda-tanda fisik seperti lafaz Allah di pohon, di laut, pada api, pada binatang dan lain-lain yang umumnya muncul
sebelum atau selama adanya bencana alam.
Api Lapindo – Sidoarjo.
Para Nabi yang ditutup oleh Nabi
Muhammad (saw) adalah pejuang yang konsisten dalam beribadah dengan sempurna
melalui upaya beliau mengenal Allah di PersembunyianNya. Beliau adalah contoh
dan realitas, namun karena ketidak-fahaman segelintir manusia, jejak-jejak
fisik beliau satu demi satu dihancurkan. Satu demi satu jejak-jejak sejarah
beliau akan hilang dari ingatan manusia. Dan ketika kesemuanya itu hilang, lalu
terserap kembali kepada Yang Gaib, beliau akan menjadi mitos. Maka alam semesta
ini akan segera digulung.
Bukankah manusia diciptakan oleh Allah - Rabb
semesta alam sebagai khalifah (wakil) Allah di
bumi dengan memiliki fitrah keagungan dan kemuliaan sebagai
makhluk paling sempurna (insan kamil)? Dengan menduduki derajad insan kamil dan menyandang jabatan wakil Allah di
muka bumi, sesungguhnya secara fitrah keberadaan manusia merupakan makhluk yang
menyandang qudrat dan iradat Allah,
Rabb semesta alam.
QS Al Baqarah 2 ayat 30-34: Ingatlah ketika Rabb berfirman kepada para
Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka
berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Menurut hemat kami, para Malaikat mengacu kepada keberadaan homo erektus.
Karena Malaikat seperti halnya makhluk lainnya tidak memahami rencana Allah,
kecuali Allah memberi tahu. Mereka hanya menduga-duga bahwa manusia yang
dimaksud adalah seperti persangkaan mereka itu.
Rabb
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Mereka
menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui
(Al ‘Alim) lagi Maha Bijaksana (Al Hakim)."
Di sini para Malaikat menyadari bahwa
mereka hanya menduga-duga.
Allah
berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu,
Allah berfirman, "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya
Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan/karena takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir.
Manusia sebagai pengelola bumi yang
disujudi para Malaikat karena perjuangannya dan adanya sang
ruhani menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia. Semestinya
manusia dalam mewujudkan keinginannya selalu berdasarkan kepada cara-cara mulia
dan terhormat. Sayangnya manusia semakin banyak yang
lalai dari fitrah ini. Manusia sibuk berlomba mengejar kenikmatan dunia untuk
kesenangan dirinya, bahkan kalau perlu dengan cara merendahkan dirinya.
Yaitu menggunakan cara-cara yang tidak terhormat, seperti korupsi, mencuri atau
merampok dan yang tidak patut seperti mengemis atau meminta bantuan manusia
lain atau bahkan makhluk lain. Semestinya manusia akan terbukti mulia
bilamana mampu mewujudkan keinginannya sebagai sarana penyaksian atas kebesaran
Rabb semesta alam.
Ini semua terwujud berkat pendidikan Sang Rabb. Dia lah yang mendidik
manusia dari posisi terendah, melalui pelatihan kekuatan, kecerdasan dan
kelurusan/kemurnian.
QS At Tiin 95 ayat 4-6:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;
maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Bukankah kekuatan menghasilkan nikmat
lebih? Dan kecerdasan menghasilkan kualitas lebih? Sedangkan
kelurusan/kemurnian hanya untuk Allah menghasilkan kemuliaan dan kehormatan.
Ibarat emas murni lebih berharga dari pada emas campuran.
Dengan
menyadari bahwa sebagai hamba dan wakil Allah di
muka bumi, maka sesungguhnya setiap manusia secara fitrah diberi kemampuan menguasai bumi, menebar rezeki, memberi, menghakimi, memelihara bumi dan sebagainya.
Semestinya dengan keberadaan min ruhi yang merupakan
manifestasi Ruh al Haqq yang ditiupkan oleh-Nya saat
menyempurnakan kejadiannya, manusia sebagai wakil Allah di muka bumi wajib mengakui, menghargai, dan menghormati
manusia lain sebagai individu yang memiliki hak-hak fitrah sebagai makhluk paling
sempurna. Hal ini diwujudkan dalam hak fitrah manusia yang diakui keberadaannya
melalui kebebasan berkarya yang bertanggung jawab.
Karya yang bertanggung jawab adalah karya yang mendapat
tuntunan Ilahi. Manusia juga wajib menerima kenyataan, karena kenyataan adalah kebenaran (haq). Dan dari kenyataan tersebut manusia belajar untuk
menyempurnakan dirinya sebagai wakil dan hamba Allah SWT.
Kesempurnaan insan kamil terletak pada kenyataan bahwa ada manusia yang meski terbuat dari tanah liat yang kepadanya ditiupkan ruh Allah, mampu berjuang dari maqam yang paling rendah hingga menggapai maqam
tertinggi, insan kamil.
QS At Tiin 95 ayat 4-6: … sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Karena perjuangan yang hebat dari tempat yang rendah (dunia)
hingga mampu menjadi hamba Allah yang terdekat, maka makhluk lain
yang dicipta lebih dulu, yaitu para malaikat dan jin diminta bersujud kepada
manusia pertama tersebut, yaitu Nabi Adam (as). Iblis[2],
makhluk yang dicipta lebih dahulu dari Nabi Adam (as) menolak bersujud,
barangkali Iblis menganggap bahwa perjuangan Adam
(as) mampu menggapai maqam tertinggi
akibat adanya min Ruhy. Lantaran sikapnya yang keras
mengingkari keagungan dan kemuliaan perjuangan Nabi Adam
(as) dan sikap enggan & takaburnya (atau enggan sehingga bersikap takabur), Iblis dimurkai
dan dilaknati Allah.
Jadi jika di dunia ini kita menemukan ajaran,
aturan, pandangan dan tindakan dari orang-orang yang mengingkari keagungan dan
kemuliaan perjuangan manusia,
maka itu adalah cerminan dari sifat Iblis yang terkutuk. Jika kita mendapati
ada ajaran yang menista manusia sebagai makhluk yang rendah, maka itu adalah
ajaran Iblis. Jika kita menemukan ada manusia yang suka merendahkan dan menista
sesamanya, maka itulah manusia pengikut Iblis. Jika kita menemukan
manusia-manusia malas berkarya dan mengajak manusia lain untuk enggan berkarya,
maka itulah manusia pengikut Iblis.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk paling
sempurna belum cukup untuk membuktikan keagungan dan kemuliaan manusia sebagai
wakil Allah di muka bumi. Karena ruh Ilahiyyah yang ada pada diri manusia hanyalah sebagai pemberi peringatan, pemberi informasi.
Ruh suci yang ditiupkan dalam tubuh manusia
hampir selalu dikalahkan oleh nafsu rendah
manusia, sehingga disebut ruh yang lemah (ruh idhafi).
Nafsu rendah atau dorongan manusia
adalah jasmani yang cenderung kepada kejahatan,
kemampuan (qudrat) yang cenderung pamer,
keinginan (iradat) yang cenderung memanfaatkan
dan jiwa manusia yang cenderung berhasrat kuat mencintai dirinya dan mencintai
kenikmatan duniawi. Kecuali mereka yang memegang tujuan
(ke Allah) sungguh-sungguh dengan segenap daya dan kekuatan untuk berserah diri
kepada Allah.
Untuk
bisa melepaskan diri dari nafsu rendah dan menjadi insan kamil, maka kita harus menggunakan daya dan kekuatan untuk meninggalkan dorongan nafsu tanpa rahmat Allah itu. Kemauan yang dimotivasi untuk
memperoleh kebenaran sejati
yang berasal dari tuntunan Ilahi, bukan kebenaran semu/angan-angan yang
terkuasai oleh hawa nafsu. Karena
kebenaran sejati adalah mutlak milik al Haqq, maka kita harus memiliki sikap berserah diri kepada-Nya (Islam), agar kita dituntun-Nya menjadi insan kamil dan melaksanakan tugas kita sebagai
khalifah-Nya. Ini juga bermakna bahwa sebagai
wakil, kita hanyalah hamba dan saksi dari Sang Rabb alam semesta. Dengan
demikian kita tidak boleh membuat pernyataan pengakuan atas suatu karya, tetapi
kita harus memfanakan diri dan memberikan pengakuan itu kembali kepada Allah.
Perjuangan
mengelola hawa nafsu ini bukan perjuangan satu kali
atau beberapa kali, namun perjuangan terus-menerus seumur hidup. Oleh karena
itu, sangat memerlukan sikap ketabahan (istiqomah)
dalam berjuang, hingga kita
kembali kepada-Nya dengan ridha-Nya.
[1] Whatever the case, the contents of this text are
interesting enough to grant it a second look. That is mainly because the hadīth
commented upon has a long tradition in Sufi literature and can in fact be
considered as one of the best known and most widely celebrated apocryphal
traditions of mysticism. Its earliest known occurrence seems to be in ‘Abdallāh
Anshārī’s (d. 1089) Tabaqāt al-Sūfiyya. However, from the eleventh century
onwards references to it multiply and there seem to be very few mystical works
that do not quote it. Jalāl al-Dīn Rūmī (d. 1273), for example, alludes to it
in his Mathnawī, even to an extent that Nicholson considered ‘certain motifs,
such as that of the “hidden treasure”’ to be ‘overworked.’ In his commentary on
the Mathnawī Furūzānfar quotes the following from the Lu’lu’ al-marshū. Ibn
Taymiyya said, this [hadīth] was not uttered by the prophet (pbuh), and no
isnād for it, either solid or weak, is known. He was followed [in this] by
al-Zarkashī and Ibn Hajar. But its content is correct (wa-lākin ma’nāhu sahīh)
and clear and it circulates among the Sūfīs (Armin Eschraghi).
[2] Dalam An Nawadir disebutkan bahwa ketika
Iblis diusir dari surga, diturunkan Allah di Basrah -menurut pendapat lain di
Naisabur-. Ia dihukum dengan sepuluh hal, yaitu:
1. Dilepaskan dari jabatan
pemimpin malaikat langit dan bumi serta Bendahara surga.
2. Diharamkannya surga.
3. Berubah menjadi setan.
4. Namanya diubah dari Azazil
menjadi Iblis yang berarti putus asa dari rahmat Allah.
5. Dijadikan sebagai pemimpin
orang-orang sengsara.
6. Dilaknat sampai kiamat.
7. Kemakrifatan ditarik,
sehingga tidak ada sedikit pun rasa ta’zhim kepada Allah SWT.
8. Tertutupnya pintu taubat.
9. Tidak memiliki kebaikan.
10. Diangkat sebagai juru
kutbah penghuni neraka.