Tugas Manusia (Islam Itu Universal)



Imam Al-Ghazali mengisahkan suatu cerita dalam kehidupan Isa bin Maryam:
Pada suatu hari Nabi Isa (as) melihat orang-orang duduk bersedih di sebuah tembok, di pinggir jalan.
Tanyanya, Apa gerangan yang merundungmu semua?
Jawab mereka, Kami menjadi seperti ini lantaran ketakutan kami menghadapi neraka.
Nabi Isa (as) pun meneruskan perjalanannya dan melihat sejumlah orang berkelompok berduka dalam berbagai gaya di pinggir jalan.
Katanya, Apa gerangan yang merundung kalian?
Mereka menjawab, Keinginan akan surga telah membuat kami semua begini.
Nabi Isa (as) pun melanjutkan perjalanannya, sampai ia bertemu dengan kelompok ketiga. Tampaknya orang-orang itu telah menderita amat sangat, tetapi wajah mereka bersinar bahagia.
Nabi Isa (as) bertanya, Apa gerangan yang telah membuatmu begitu?
Mereka menjawab, Semangat kebenaran. Kami telah melihat kenyataan dan hal itu telah menyebabkan kami melupakan tujuan-tujuan lain yang sepele.
Nabi Isa (as) berkata, Orang-orang itu telah sampai. Pada Hari Perhitungan nanti, merekalah yang akan berada di Sisi Tuhan.


QS Adz-Dzariyyat 51 ayat 56: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Bagi kami, tugas manusia adalah beribadah dalam kehidupan ini, yaitu mengabdi kepada Allah. Beribadah berarti berkarya yang berkualitas, hingga bisa dinikmati oleh umat manusia dan kita sendiri bangga serta diridhai Allah. Beribadah juga berarti senantiasa dalam kesibukan menggali kebesaran Allah. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan harus bisa menumbuhkan sikap bersyukur dan memahami bahwa semuanya terjadi karena adanya Sang Rabb. Inilah makna ibadah yang kami fahami.
Mengapa Sang Pencipta yang tidak memerlukan bantuan menyuruh kita beribadah kepada-Nya, melalui penciptaan kita?
Ternyata Dia menjawab pertanyaan ini melalui sebuah hadits qudsy, Kuntu Kanzan makhfiyyan ahbabtu an ‘urifa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni[1] (Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, Aku cinta dikenal, Aku ciptakan makhluk-Ku, agar mengenal Aku).”  Dalam riwayat yang lain disebutkan “dengan Allah lah mereka mengenal Aku”. Dari ini kami memahami bahwa Sang Pencipta alam semesta ini bernama Allah. Perbuatan-Nya (Af’al) adalah menciptakan makhluk karena cinta. SifatNya adalah ingin dikenal tetapi tersembunyi. DzatNya adalah Perbendaharaan yang menyebut DiriNya dengan Aku.
Sang Perbendaharaan bermakna suatu wujud yang paling berharga, yang (semestinya) paling dicintai, sehingga pantas untuk diperjuangkan mati-matian. Sedangkan disebut sebagai Pencipta adalah bila telah menciptakan. Masalahnya adalah Dia tersembunyi, sehingga memerlukan perjuangan yang tidak mudah untuk menemui-Nya.
Oleh karena itu, sudah semestinya beribadah kepada Allah secara sempurna adalah dengan penyerahan diri kepada-Nya (Islam sempurna), yang tentunya diawali dengan penerimaan diri kita atas-Nya (Islam awal). Bagaimana kita akan menyerahkan diri, kalau kita tidak mencintai-Nya (Mahabbatullah). Dan bagaimana kita akan bisa mencintai-Nya tanpa pengenalan kepada-Nya (Ma’rifatullah). Mengenal berarti sudah bertemu (Mulaqu Rabbihim). Sudah bertemu berarti ada upaya untuk menemui-Nya atau pendekatan (Taqarrub Illallah). Dorongan pendekatan akan muncul dari ingat (Dzikrullah). Ingat karena ketundukan dirinya menerima Allah sebagai Ilah-nya (Islam awal). Tunduk karena terkena masalah, tunduk karena ingin sesuatu dan tunduk karena sudah sepantasnya kita tunduk.
Proses tersebut dijalani bukan dengan diam bertapa menghadap Sang Pencipta, tetapi dengan bertapa dalam kesibukan untuk menggali nikmat Allah di muka bumi secara berkeseimbangan. Dengan demikian akan sekaligus menjadi saksi akan Kebesaran Allah.
Untuk bisa mewujudkan keinginannya dan menyaksikan kebesaran Rabb semesta alam, maka manusia harus mengenal jati dirinya dan memahami sarana-sarana kehidupannya. Kata dirinya pasti akan menunjuk kepada yang bersinggasana dalam dada, yaitu yang menyebut dirinya sebagai “aku”. Penyebutan aku ini adalah untuk mewakili dirinya yang merupakan kesatuan dari jasmani dan ruhaninya. Hal ini dijelaskan dalam QS As Sajdah 32 ayat 7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af’idah); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sarana-sarana kehidupan manusia seperti pendengaran, penglihatan dan hati (al af’idah – kemampuan mengambil manfaat) diberikan setelah ditiupkannya sang ruh.
Namun sayang, manusia mulai melupakan pemahaman ini. Manusia zaman sekarang dan di masa akan datang akan semakin terjebak kepada pengakuan kepada jasmaninya saja. Mereka menganggap bahwa hanya jasmaninya adalah akunya, sehingga mereka hanya berfokus memperindah jasmaninya, dengan latihan maupun dengan mengkonsumsi yang bermanfaat buat jasmaninya.
Ada juga manusia yang akan terjebak kepada kemampuannya, seperti hati yang terdiri dari pikiran dan perasaan atau sering kali disebut sebagai akal-budi atau cipta-rasa, karena dengan kemampuan itulah manusia bisa menarik manfaat. Kemampuan yang hanya tahu bila diberi tahu dan hanya mampu mengekspresikan benar-salah dan baik-buruk akan dijadikan pedoman hidup manusia. Sebagai akibatnya manusia secara umum akan bersikap memperjuangkan kepentingan dirinya atau yang dianggap benar dengan menyingkirkan yang dianggap salah.
Penggunaan kemampuan ini akan menjadi agama baru, agama yang memperjuangkan kebenaran dirinya. Inilah yang dimaksud dengan agama pakerti. Padahal pakerti adalah sarana hidup manusia yang dengan itu manusia bisa berkarya di muka bumi. Sayangnya dengan mengandalkan pakerti, manusia menjadi sering berubah pikiran dan akan melemahkan tekad perjuangan serta melupakan Tuhan.
Agama pakerti ini tidak sesuai dengan fitrah penciptaan manusia, karena kemampuan akal-budi tidak akan mampu dipergunakan untuk mengenal Sang Pencipta, sehingga tidak mungkin bisa sempurna dalam beribadah kepada-Nya. Agama pakerti akan mendorong manusia memperjuangkan kebenaran dirinya. Inilah sumber fitnah yang akan membuat umat manusia terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kebenaran versi masing-masing.
Melalui kemampuan seperti indra, akal-budi dan cipta-rasa, manusia akan memiliki keinginan atau kehendak. Jadi di atas nilai benar-salah atau baik-buruk versi masing-masing individu atau kelompok, masih ada kehendak diri. Kita memilih yang ini dan bukan yang itu, tidak bisa dinilai, karena bersifat khusus atau pilihan individu. Pada kenyataannya pula, ada manusia-manusia yang sibuk mengejar kehendaknya, cita-citanya. Setiap waktu, setiap saat mereka sibuk berjuang mewujudkan kehendaknya.
Semestinya manusia memahami bahwa yang berkehendak adalah sang pelaku, yaitu sang aku. Di sini manusia akan terjebak ke dalam ego dirinya. Manusia pasti mencintai dirinya dan berjuang dalam hidup ini untuk menyenangkan akunya. Peran Rabb akan dikesampingkan. Manusia akan semakin mandiri dan Rabb pun diabaikan.
Kalau saja manusia ingat bahwa adanya sang ruhani yang berasal dari Dia, tentunya akan mengenal siapa Rabb-nya dan melepaskan diri dari keakuannya. Sang ruhani ini tak pernah tidur, tak perlu bernafas, tak perlu makan. Dia tahu apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita maui. Dia tahu siapa diri kita. Dia tahu bahwa kepada Rabb-nya lah semuanya akan kembali. Inilah sebenarnya kebenaran sejati.
Jadi semestinya yang kita perjuangkan adalah Sang Pencipta itu sendiri. Dia yang langgeng, dari dulu ada, sekarang ada dan nanti pun tetap ada tanpa pernah tiada. Dialah yang semestinya dikenali sebagai Yang Meliputi segala sesuatu, yang tentunya Dia adalah dekat. Kedekatannya tak berjarak tapi juga tak bersentuhan.
Bila kita menelusuri sejarah peradaban, setelah Nabi Adam (as) dan Hawa (as) yang diciptakan di Surga diturunkan ke bumi, beliau-beliau banyak berinteraksi dengan yang gaib. Interaksi ini terjadi karena Nabi Adam (as) beserta keluarga dan keturunannya masih berupa masyarakat yang masih sedikit, dengan demikian mereka banyak menggunakan sarana bathin, jiwanya, ruhaninya dan belum banyak menggunakan sarana jasmaninya terutama akal-budinya. Melalui sarana ruhani, maka Nabi Adam (as) beserta keturunannya menggunakan bashirah untuk memahami tuntunan Allah dan menggunakan sarana kemanusiaannya untuk mewujudkan tuntunan Allah tersebut untuk dinikmati bersama dan menyaksikan KebesaranNya. Barangkali ini lah yang dimaksud dengan moksa atau mati sajroning urip atau menjadi wayang yang digerakkan oleh sang dalang (sang ruhani) atau meraga sukma.
QS Al-Anaam 6 ayat 94: Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
Berhubung manusia kian sibuk dengan perahunya, sibuk dalam mengejar nikmat dunia, sedangkan sebagian besar lagi semakin sibuk dalam perahu amalnya karena mengharapkan pahala. Siapa yang kemudian akan berupaya beribadah untuk mengenal-Nya?
Ini akan berakibat semakin hilangnya manusia-manusia yang berupaya mengenal Allah. Kondisi ini akan mendorong menguatnya fitrah-Nya yang lain, yaitu Yang Ingin Dikenal. Sebagai akibatnya, Dia akan menghadirkan DiriNya. Ini berarti alam semesta, alam ciptaan sudah waktunya kembali terserap kepada Yang Gaib. Ini akan ditandai dengan banyaknya bencana. Bukti hancurnya bukit Tsursina ketika Nabi Musa (as) meminta agar Rabb hadir agar bisa difahami dengan indra penglihatan adalah contoh nyata. Belum lagi tanda-tanda fisik seperti lafaz Allah di pohon, di laut, pada api, pada binatang dan lain-lain yang umumnya muncul sebelum atau selama adanya bencana alam.
Api Lapindo – Sidoarjo.
Para Nabi yang ditutup oleh Nabi Muhammad (saw) adalah pejuang yang konsisten dalam beribadah dengan sempurna melalui upaya beliau mengenal Allah di PersembunyianNya. Beliau adalah contoh dan realitas, namun karena ketidak-fahaman segelintir manusia, jejak-jejak fisik beliau satu demi satu dihancurkan. Satu demi satu jejak-jejak sejarah beliau akan hilang dari ingatan manusia. Dan ketika kesemuanya itu hilang, lalu terserap kembali kepada Yang Gaib, beliau akan menjadi mitos. Maka alam semesta ini akan segera digulung.
Bukankah manusia diciptakan oleh Allah - Rabb semesta alam sebagai khalifah (wakil) Allah di bumi dengan memiliki fitrah keagungan dan kemuliaan sebagai makhluk paling sempurna (insan kamil)? Dengan menduduki derajad insan kamil dan menyandang jabatan wakil Allah di muka bumi, sesungguhnya secara fitrah keberadaan manusia merupakan makhluk yang menyandang qudrat dan iradat Allah, Rabb semesta alam.
QS Al Baqarah 2 ayat 30-34: Ingatlah ketika Rabb berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Menurut hemat kami, para Malaikat mengacu kepada keberadaan homo erektus. Karena Malaikat seperti halnya makhluk lainnya tidak memahami rencana Allah, kecuali Allah memberi tahu. Mereka hanya menduga-duga bahwa manusia yang dimaksud adalah seperti persangkaan mereka itu.
Rabb berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab, "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui (Al ‘Alim) lagi Maha Bijaksana (Al Hakim)."
Di sini para Malaikat menyadari bahwa mereka hanya menduga-duga.
Allah berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman, "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan/karena takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Manusia sebagai pengelola bumi yang disujudi para Malaikat karena perjuangannya dan adanya sang ruhani menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia. Semestinya manusia dalam mewujudkan keinginannya selalu berdasarkan kepada cara-cara mulia dan terhormat. Sayangnya manusia semakin banyak yang lalai dari fitrah ini. Manusia sibuk berlomba mengejar kenikmatan dunia untuk kesenangan dirinya, bahkan kalau perlu dengan cara merendahkan dirinya. Yaitu menggunakan cara-cara yang tidak terhormat, seperti korupsi, mencuri atau merampok dan yang tidak patut seperti mengemis atau meminta bantuan manusia lain atau bahkan makhluk lain. Semestinya manusia akan terbukti mulia bilamana mampu mewujudkan keinginannya sebagai sarana penyaksian atas kebesaran Rabb semesta alam.
Ini semua terwujud berkat pendidikan Sang Rabb. Dia lah yang mendidik manusia dari posisi terendah, melalui pelatihan kekuatan, kecerdasan dan kelurusan/kemurnian.
QS At Tiin 95 ayat 4-6:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Bukankah kekuatan menghasilkan nikmat lebih? Dan kecerdasan menghasilkan kualitas lebih? Sedangkan kelurusan/kemurnian hanya untuk Allah menghasilkan kemuliaan dan kehormatan. Ibarat emas murni lebih berharga dari pada emas campuran.
Dengan menyadari bahwa sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi, maka sesungguhnya setiap manusia secara fitrah diberi kemampuan menguasai bumi, menebar rezeki, memberi, menghakimi, memelihara bumi dan sebagainya.
Semestinya dengan keberadaan min ruhi yang merupakan manifestasi Ruh al Haqq yang ditiupkan oleh-Nya saat menyempurnakan kejadiannya, manusia sebagai wakil Allah di muka bumi wajib mengakui, menghargai, dan menghormati manusia lain sebagai individu yang memiliki hak-hak fitrah sebagai makhluk paling sempurna. Hal ini diwujudkan dalam hak fitrah manusia yang diakui keberadaannya melalui kebebasan berkarya yang bertanggung jawab. Karya yang bertanggung jawab adalah karya yang mendapat tuntunan Ilahi. Manusia juga wajib menerima kenyataan, karena kenyataan adalah kebenaran (haq). Dan dari kenyataan tersebut manusia belajar untuk menyempurnakan dirinya sebagai wakil dan hamba Allah SWT.
Kesempurnaan insan kamil terletak pada kenyataan bahwa ada manusia yang meski terbuat dari tanah liat yang kepadanya ditiupkan ruh Allah, mampu berjuang dari maqam yang paling rendah hingga menggapai maqam tertinggi, insan kamil.
QS At Tiin 95 ayat 4-6: … sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Karena perjuangan yang hebat dari tempat yang rendah (dunia) hingga mampu menjadi hamba Allah yang terdekat, maka makhluk lain yang dicipta lebih dulu, yaitu para malaikat dan jin diminta bersujud kepada manusia pertama tersebut, yaitu Nabi Adam (as). Iblis[2], makhluk yang dicipta lebih dahulu dari Nabi Adam (as) menolak bersujud, barangkali Iblis menganggap bahwa perjuangan Adam (as) mampu menggapai maqam tertinggi akibat adanya min Ruhy. Lantaran sikapnya yang keras mengingkari keagungan dan kemuliaan perjuangan Nabi Adam (as) dan sikap enggan & takaburnya (atau enggan sehingga bersikap takabur), Iblis dimurkai dan dilaknati Allah.
Jadi jika di dunia ini kita menemukan ajaran, aturan, pandangan dan tindakan dari orang-orang yang mengingkari keagungan dan kemuliaan perjuangan manusia, maka itu adalah cerminan dari sifat Iblis yang terkutuk. Jika kita mendapati ada ajaran yang menista manusia sebagai makhluk yang rendah, maka itu adalah ajaran Iblis. Jika kita menemukan ada manusia yang suka merendahkan dan menista sesamanya, maka itulah manusia pengikut Iblis. Jika kita menemukan manusia-manusia malas berkarya dan mengajak manusia lain untuk enggan berkarya, maka itulah manusia pengikut Iblis.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna belum cukup untuk membuktikan keagungan dan kemuliaan manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Karena ruh Ilahiyyah yang ada pada diri manusia hanyalah sebagai pemberi peringatan, pemberi informasi. Ruh suci yang ditiupkan dalam tubuh manusia hampir selalu dikalahkan oleh nafsu rendah manusia, sehingga disebut ruh yang lemah (ruh idhafi). Nafsu rendah atau dorongan manusia adalah jasmani yang cenderung kepada kejahatan, kemampuan (qudrat) yang cenderung pamer, keinginan (iradat) yang cenderung memanfaatkan dan jiwa manusia yang cenderung berhasrat kuat mencintai dirinya dan mencintai kenikmatan duniawi. Kecuali mereka yang memegang tujuan (ke Allah) sungguh-sungguh dengan segenap daya dan kekuatan untuk berserah diri kepada Allah.
Untuk bisa melepaskan diri dari nafsu rendah dan menjadi insan kamil, maka kita harus menggunakan daya dan kekuatan untuk meninggalkan dorongan nafsu tanpa rahmat Allah itu. Kemauan yang dimotivasi untuk memperoleh kebenaran sejati yang berasal dari tuntunan Ilahi, bukan kebenaran semu/angan-angan yang terkuasai oleh hawa nafsu. Karena kebenaran sejati adalah mutlak milik al Haqq, maka kita harus memiliki sikap berserah diri kepada-Nya (Islam), agar kita dituntun-Nya menjadi insan kamil dan melaksanakan tugas kita sebagai khalifah-Nya. Ini juga bermakna bahwa sebagai wakil, kita hanyalah hamba dan saksi dari Sang Rabb alam semesta. Dengan demikian kita tidak boleh membuat pernyataan pengakuan atas suatu karya, tetapi kita harus memfanakan diri dan memberikan pengakuan itu kembali kepada Allah.
Perjuangan mengelola hawa nafsu ini bukan perjuangan satu kali atau beberapa kali, namun perjuangan terus-menerus seumur hidup. Oleh karena itu, sangat memerlukan sikap ketabahan (istiqomah) dalam berjuang, hingga kita kembali kepada-Nya dengan ridha-Nya.


[1] Whatever the case, the contents of this text are interesting enough to grant it a second look. That is mainly because the hadīth commented upon has a long tradition in Sufi literature and can in fact be considered as one of the best known and most widely celebrated apocryphal traditions of mysticism. Its earliest known occurrence seems to be in ‘Abdallāh Anshārī’s (d. 1089) Tabaqāt al-Sūfiyya. However, from the eleventh century onwards references to it multiply and there seem to be very few mystical works that do not quote it. Jalāl al-Dīn Rūmī (d. 1273), for example, alludes to it in his Mathnawī, even to an extent that Nicholson considered ‘certain motifs, such as that of the “hidden treasure”’ to be ‘overworked.’ In his commentary on the Mathnawī Furūzānfar quotes the following from the Lu’lu’ al-marshū. Ibn Taymiyya said, this [hadīth] was not uttered by the prophet (pbuh), and no isnād for it, either solid or weak, is known. He was followed [in this] by al-Zarkashī and Ibn Hajar. But its content is correct (wa-lākin ma’nāhu sahīh) and clear and it circulates among the Sūfīs (Armin Eschraghi).
[2] Dalam An Nawadir disebutkan bahwa ketika Iblis diusir dari surga, diturunkan Allah di Basrah -menurut pendapat lain di Naisabur-. Ia dihukum dengan sepuluh hal, yaitu:
1.       Dilepaskan dari jabatan pemimpin malaikat langit dan bumi serta Bendahara surga.
2.      Diharamkannya surga.
3.      Berubah menjadi setan.
4.      Namanya diubah dari Azazil menjadi Iblis yang berarti putus asa dari rahmat Allah.
5.      Dijadikan sebagai pemimpin orang-orang sengsara.
6.      Dilaknat sampai kiamat.
7.      Kemakrifatan ditarik, sehingga tidak ada sedikit pun rasa ta’zhim kepada Allah SWT.
8.      Tertutupnya pintu taubat.
9.      Tidak memiliki kebaikan.
10.     Diangkat sebagai juru kutbah penghuni neraka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)