Perihal ruh sendiri memang sulit untuk difahami, bahkan Al Qur’an pun
tidak menjelaskan, kecuali sedikit.
QS Al Isra’ 17 ayat 85: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit.”
Dalam Injil Barnabas dijelaskan
perbedaan antara rasa-perasaan dengan ruh sebagai berikut:
“Demi Allah
[yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai
kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan
(sense). Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah hal
yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka
menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang
cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah
satu, yang berfikir (sadar) dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka
dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan
tanpa perasaan dan kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan
ketidak-sadaran, dimana rasa perasaan meninggalkannya.
Thaddeus
menjawab, “O Guru, apabila rasa perasaan meninggalkan kehidupan, seorang
manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab,
“Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh
meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh
mukjizat. Akan tetapi rasa perasaan akan hilang lantaran ketakutan yang
dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh jiwa. Justru rasa perasaan
itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri,
dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup
dengan ilmu dan kasih sayang.
Rasa perasaan
memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah
kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang
paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak
ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku
berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka
dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia
adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan
membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah
seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang
ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa perasaan bekerja pada orang kafir?
Pasti itu adalah sebagai Ilah di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti
perasaan itu, memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi
tak menyenangkan dan tak beramal shalih.””
Rasa perasaan yang dimaksud dalam Injil Barnabas tersebut adalah jiwa itu
sendiri.
Bilamana kita perhatikan diri kita, misalnya tangan. Kita tahu bahwa kita
punya tangan yang bisa digerakkan. Siapakah yang menggerakkan tangan kita? Kita
tidak tahu karena gaib, namun kita tahu bahwa tangan kita bergerak kalau ada
kekuatan atau kuasa gerak. Karena tangan yang lumpuh tidak bisa digerakkan.
Gerakan tangan itu sendiri kita tahu ada yang memerintahkan, yaitu
keinginan/kehendak. Lalu siapakah yang berkehendak? Tentunya diri kita sendiri,
kecuali kalau kita kesurupan atau terkuasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar