Membahas perihal hakekat manusia, tidak bisa terlepas dari
proses penciptaan alam semesta. Kalau dirunut, asal mula alam semesta berasal
dari suatu materi dengan kondisi sangat padat dan sangat panas. Berarti yang
pertama kami ada adalah “AWAL”, baru adanya “PANAS”.
Materi ini kemudian mengembang dan terlontarlah
bintang-bintang dan pada masing-masing bintang terdapat planet-planet. Bila
kita ambil galaksi kita Bimasakti, maka awalnya adalah matahari, kemudian
karena dampak dari ekspansi atau pengembangan, terbentuklah bumi yang masih
panas. Karena posisi bumi menjauh dari pusat keberadaan Bimasakti, maka
terbentuklah atmosfer atau “UDARA”. Semakin mengembang, berarti semakin jauh
dari sumber panas, terjadilah pengembunan dan terbentuklah “AIR”. Dengan proses
yang sama selanjutnya terbentuklah pembekuan materi, sehingga terjadilah
“TANAH”.
Dengan keberadaaan keempat elemen materi tersebut, maka terjadilah
reaksi fotosintesa, yaitu terbentuklah “TUMBUHAN”. Tumbuhan memiliki ciri punya
rasa/sense jasmaniah. Tumbuhan ini kemudian menjadi konsumsi wujud yang memiliki kemauan, yaitu “HEWAN”. Setelah semua
sarana kehidupan lengkap, baru terbentuklah “MANUSIA”.
Kalau kita perhatikan, semua materi tersebut punya awal dan
selalu mengandung komponen dirinya dan komponen di bawahnya. Keberadaan materi
ini kan tercipta, berarti ada Yang Kuasa Menciptakan.
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah memiliki kemampuan
untuk mengembangkan peradaban, yaitu “AKAL”. Akal memiliki tiga fungsi utama,
yaitu “MEMORI”, “PENGERTIAN” dan “AKAL” itu sendiri. Memori adalah data atau
informasi yang kita terima atau kita warisi. Sedangkan pengertian adalah ketika
kita bisa menemukan data yang kita butuhkan dan bisa memahami informasi
tersebut. Ibaratnya kita menemukan di perpustakaan buku yang kita cari. Sedangkan
akal adalah rencana atau strategi bagaimana memanfaatkan informasi tersebut
untuk mewujudkan keinginan atau cita-cita atau tugas.
Bagaimana mekanisme akal dalam menyampaikan informasi?
Ambil contoh seorang guru bernama pak Budi menjelaskan pelajaran
matematika. Berarti matematika adalah risalah yang dibawa oleh pak Budi. Darimana
risalah matematika tersebut berasal? Bukankah dari pengertian yang dimiliki
oleh pak Budi? Pengertian matematika yang tersimpan dan dimengerti oleh akal disampaikan
kepada pak Budi. Berarti pak Budi sebagai pembawa risalah, akal juga sebagai
pembawa risalah dari Sang Penguasa akal.
Dengan demikian, kita baru bisa disebut manusia kalau sudah
mau mendaya-gunakan akal yang dianugerahkan kepada kita.
Allah sebelum menciptakan manusia, telah terlebih
dahulu menciptakan akal dan jiwa, tertera dalam kitab Durratun Nasihin karya Syekh Ustman bin Hasan Asy Syakir, dalam hadist Qudsi disebutkan, saat Allah menciptakan Akal, Allah mengajukan pertanyaan
pada Akal, “Yaa ayyuhal aqli, man anta
wa man Ana? Artinya: Wahai Akal, siapakah kamu dan
siapakah Aku? Ketika menerima pertanyaan, “Siapa
kamu dan siapa Aku?” Akal menjawab “Ana ‘Abdun wa anta Rabbun.” Artinya: saya hamba-Mu dan Engkau Tuhanku.
Nabi Muhammad SAW bersabda: Agama adalah
pengunaan akal, tiada agama bagi orang yang tak berakal. Kemudian
dalam sebuah hadis qudsi juga disebutkan: Demi Kekuasaan dan Keagungan-Ku, tidaklah Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau,
karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah Aku menurunkan pahala
dan menjatuhkan hukuman.
Di sisi lain, saat Allah menciptakan
jiwa, dan diajukan pertanyaan
yang sama, jiwa menjawab, “Ana ana,
wa Anta anta.” Artinya: Aku ya aku dan kamu ya kamu. Lantas Allah memasukkan ke neraka panas selama 1000 tahun. Setelah itu jiwa ditanya lagi, namun tetap tidak kapok juga dengan menjawab
hal yang sama. Lantas dimasukkan ke neraka dingin selama 1000 tahun. Setelah itu ditanya lagi,
tetap juga sama jawabannya. Lalu dimasukkan ke neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu diangkat dan ditanya
lagi, baru menjawab Ana abdun wa Anta Robbun. Artinya: Aku hamba-Mu dan
Engkau Tuhanku.
Manusia
yang diciptakan dari anasir alam semesta yang pada awalnya berupa awan
elektron, proton dan neutron, hingga mewujud menjadi bentuk
manusia. Wujud ini memiliki dorongan-dorongan sama dengan
makhluk alam semesta yang hidup,
seperti misalnya berupaya mempertahankan hidupnya, berkembang biak, mengejar
kesenangan dan lain-lain.
Proses pertumbuhannya pun hampir mengikuti evolusi
makhluk hidup.
Pada tahap awal adalah seperti binatang
dari jenis reptilia yang cenderung tidak
memiliki naluri kecerdasan dan kasih sayang. Pada tataran ini seperti seorang
kanak-kanak yang telah sempurna pertumbuhan pangkal otaknya, dimana yang
berkembang adalah syaraf sensorik dan motorik yang menghasilkan dorongan
(naluri) untuk reproduksi atau mempertahankan diri. Jadi mereka hanya memiliki
naluri memuja dan memuaskan dirinya sendiri. Sikap reaktif yang pertama kita
lakukan dalam menghadapi permasalahan adalah selalu berupaya untuk membela diri.
Evolusi lanjutannya adalah menjadi golongan
mamalia.
Golongan ini selain memiliki dorongan seperti
reptilia, namun hewan mamalia memiliki kecerdasan lebih dan berkasih sayang.
Misalnya mereka melakukan observasi dan memiliki strategi bersama untuk
mencapai tujuannya serta merawat anak-anaknya. Sedangkan pada manusia, pertumbuhan bayi manusia yang selanjutnya menjadi kanak-kanak yang berkembang
kemampuan sensorik dan motoriknya,
akibat semakin sempurnanya pangkal otak (otak reptilia). Fase selanjutnya
kanak-kanak tadi menjadi semakin cerdas, baik intelektualitas ( IQ) maupun emosinya (EQ), dimana otak mamalianya berkembang sempurna.
Evolusi makhluk hidup lebih lanjut lagi adalah makhluk mirip
manusia, yaitu homo erektus, selain memiliki kemampuan reptilia dan mamalia, juga memiliki kecerdasan lebih serta
memiliki kehendak bebas, yaitu mengembangkan teknologi baik berupa peralatan
maupun komunikasi, artinya homo erektus memiliki kemampuan mengembangkan
peradaban. Perbedaan dengan manusia hanyalah
adanya ruhani yang ditiupkan Ilahi. Pada
fase terakhir pertumbuhan manusia adalah
kemampuan menarik manfaat, kemampuan menangkap ide, mengolah ide dan
mewujudkannya. Perkembangan otak semakin sempurna dengan sempurna neo
korteksnya. Secara umum, akhirnya manusia diberi anugerah berupa panca indra,
dilengkapi dengan akal-budi (pikiran–perasaan) dan daya cipta-kreatif serta
kehendak bebas atau iradat. Tentunya dengan adanya kesadaran, maka manusia akan diminta pertanggung-jawaban atas apa yang dia telah
lakukan.
Fakta-fakta
yang kita temukan diantaranya adalah manusia makhluk penghuni bumi, yang
dilahirkan oleh orang tua kita. Orang tua yang kita kenal melalui pengakuan
beliau sendiri beserta saksi-saksinya. Juga bilamana kita amati proses
keberadaan kita yang dimulai dari pembuahan sperma dengan sel telur terbentuk
embrio yang kemudian menjadi bayi. Selanjutnya bayi tersebut menunjukkan
tanda-tanda kehidupannya mulai dari berproses hingga keluar detak jantung dan
gerakannya. Sampai bayi tersebut dikeluarkan dari perut ibunya. Saat bayi lahir
atau saat kita melihat bayi dilahirkan kita akan menemukan bahwa bayi telah
diberi anugerah kemampuan mendengar, kemudian diberi anugerah bisa melihat.
Pada
tahap pertama, aku akan terikat kepada jasmani. Pada tataran ini, jasmani hanya
memiliki aturan yakni dipuaskan. Misalnya pada saat perut kita lapar, maka yang
diinginkannya adalah mengisi kekosongan perut, yakni dengan melahap makanan.
Demikian pula bilamana syahwat kita muncul maka akan menghasilkan dorongan yang
sama, yakni dipuaskan. Karena aturannya hanya satu yaitu dipuaskan, maka pada
posisi ini, kita disebut dengan lebih rendah daripada binatang ternak
(mamalia), yakni binatang dari jenis reptilia.
QS
Al A’raaf 17 ayat 179:
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.
Di
atas jasmani manusia, kita juga memiliki kemampuan akal-budi, perasaan dan daya cipta. Dengan kemampuan
ini, maka kualitas kehidupan kita akan meningkat, dimana kita banyak
mengembangkan teknologi demi kepuasan lebih. Bilamana dengan jasmani saja, maka
kita hanya mengambil apa yang ada, sedangkan dengan kemampuan yang kita miliki,
maka kita bisa menggapai kenikmatan lebih. Ambil contoh makanan, kita bisa menikmati makanan dari alam, yang dimasak,
atau yang disajikan dengan cita rasa yang tinggi. Ini sebenarnya untuk
menunjukkan bahwa nikmat Allah tak terbatas. Permasalahannya
adalah dengan adanya kemampuan ini, maka akan
timbul sikap membanggakan diri, merendahkan
yang lain dan mencela. Selain itu,
dengan kemampuan, kita cenderung untuk mengakali agar tujuan kita terpenuhi.
Meski kemampuan itu hebat, namun kemampuan hanya berguna saat
ada perintah, yaitu kehendak. Kehendak ini yang mendorong kemampuan mengerahkan
kekuatannya dan jasmani sebagai pelaksananya. Dengan kehendak tak
terbatas ini, manusia mengembangkan peradaban, tanpa ada batasan, selain umur
yang akan menghentikan upayanya. Kehendak yang tidak terbatas ini akan
mendorong manusia melakukan eksploitasi terhadap alam, makhluk lain bahkan
kepada sesama manusia. Tujuan dari kehendak juga sama, yaitu kenikmatan diri.
Istilah kenikmatan diri berarti ada yang dipuja, yang membuat semua
pergerakan ini berlangsung, yang sangat dicintai bahkan disembah. Itulah diri
manusia. Sang diri inilah yang menyebut dirinya dengan “aku”. Aku inilah yang mewakili jasmani, kemampuan, kehendak dan
dirinya sendiri sebagai suatu totalitas manusia. Sang diri inilah
yang mengetahui
dan menikmati semuanya.
Dengan cara yang lain untuk memahami
jati diri, semisal kita urai wujud diri kita, maka tubuh kita ini terdiri atas
organ-organ tubuh. Setiap organ tersusun atas sel-sel. Sedangkan setiap sel
dibangun oleh DNA-DNA yang membawa fitrah masing-masing sel yang membentuk organ
tubuh. Kalau seandainya DNA tersebut kita urai, maka yang ada adalah
unsur-unsur. Unsur terdiri atas inti atom yang bermuatan positif yang terdiri
atas positron dan netron dengan elektron yang mengelilinginya yang bermuatan
negatif. Jumlah muatan inti atom haruslah bersifat netral. Bilamana bermuatan
maka disebut ion dan akan membentuk ikatan dengan ion lain yang bermuatan
berbeda dan terbentuk senyawa. Sedangkan pada penelitian para ahli, ternyata
materi yang kita anggap pejal, pada kenyataannya tersusun atas atom-atom yang
ternyata lebih banyak ruang kosongnya. Ruang kosong ini, secara keilmuan kita
sebut dengan medan. Bisa berupa medan magnet, medan listrik, medan gravitasi,
dan lain-lain. Masing-masing medan memiliki kekuatan masing-masing. Kekuatan masing-masing
medan ini spesifik, jadi memiliki cita masing-masing yang membentuk perwujudan.
Masing-masing perwujudan membawa suatu fitrah (image) tertentu.
Pendekatan lain adalah menggunakan dalil
Al Qur’an seperti berikut:
QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah)
ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”
QS An Nahl 16 ayat
78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati/al af’idah, agar kamu bersyukur.
QS As Sajdah 32 ayat 7-11: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati/al af’idah; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dan
mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami
benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan
menemui Rabb-nya. Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawa)-mu
akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Rabb-mulah kamu akan dikembalikan.”
QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Rabb kamu, Rabb yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Rabb selain Dia; Maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?
QS Al Mu’minuun 23 ayat 12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian
benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan
(dari kuburmu) di hari Kiamat.
Perbedaan dengan manusia atau homo
sapiens adalah adanya ruh yang dihembuskan dalam diri manusia,
yang dengan itu, Allah menempatkan manusia sebagai wakil-Nya di bumi. Injil Barnabas menjelaskan perbedaan antara ruh dengan jiwa (rasa
perasaan/nyawa) sebagai berikut:
“Demi Allah
[yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai
kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan
(sense). Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah hal
yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka
menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang
cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah
satu, yang berfikir (sadar) dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka
dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan
tanpa perasaan dan kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan
ketidak-sadaran, dimana rasa perasaan meninggalkannya.
Thaddeus
menjawab, “O Guru, apabila rasa perasaan meninggalkan kehidupan, seorang
manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab,
“Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh
meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali
oleh mukjizat. Akan tetapi rasa perasaan akan hilang lantaran ketakutan yang
dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh jiwa. Justru rasa perasaan
itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri,
dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup
dengan ilmu dan kasih sayang.
Rasa perasaan
memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah
kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang
paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak
ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku
berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka
dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia
adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan
membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah
seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang
ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa perasaan bekerja pada orang kafir?
Pasti itu adalah sebagai Ilah di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti
perasaan itu, memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi
tak menyenangkan dan tak beramal shalih.””
Sedangkan bilamana kita perhatikan diri kita, misalnya tangan. Kita tahu
bahwa kita punya tangan yang bisa digerakkan. Siapakah yang menggerakkan tangan
kita? Kita tidak tahu karena gaib, namun kita tahu bahwa tangan kita bergerak
kalau ada kekuatan atau kuasa gerak. Karena tangan yang lumpuh tidak bisa
digerakkan. Gerakan tangan itu sendiri kita tahu ada yang memerintahkan, yaitu
keinginan/kehendak. Lalu siapakah yang berkehendak? Tentunya diri kita sendiri,
kecuali kalau kita kesurupan atau terkuasai.
Sebagai tanda bahwa manusia telah mampu
menaklukkan jasmani, kuasa, kehendak dan dirinya, maka pantas diberi sebutan insan
kamil. Yaitu manusia yang mampu menjaga diri dari bahaya dorongan
diri (hawa nafsu) manusia yang di dalamnya terkumpul segala hal yang
berhubungan dengan dorongan makhluk penghuni bumi. Insan kamil berarti telah
mampu mensucikan dirinya (man zakaha), menyatu dengan ruhaninya. Dengan demikian, pada tahap ini insan
kamil sudah memahami jati diri kemanusiaannya, yakni wayang yang mengikuti
kehendak sang Dalang – Min Ruhi. Inilah moksa[1]
dalam pemahaman zaman itu atau meraga sukma. Ingat sang Dalang hanyalah menjalankan perintah dan Sang Penanggap lah
yang memerintahkan!
Dalam sejarah Islam, juga dicatat adanya
kejadian moksa, yaitu wafatnya sahabat yang bernama Amir ibn Fuhayra (ra), sebagaimana
dikisahkan berikut:
Setelah
perang Uhud, Rasulullah (saw) menikahi Zaynab (ra) putri Khuzaymah dari suku ‘Amir,
janda dari ‘Ubaydah (ra) yang dikenal sebagai ‘ibu kaum papa’. Perkawinan ini
mendekatkan Abu Bara’ dari suku ‘Amir kepada Rasulullah (saw). Ketika Islam
diperkenalkan kepadanya, ia tidak menolaknya. Saat itu ia belum memeluk Islam,
namun meminta agar beberapa orang muslim diutus untuk mendakwahkan Islam kepada
seluruh warga sukunya.
Rasulullah
(saw) mengatakan bahwa beliau khawatir bahwa utusan beliau akan diserang oleh
suku Ghatafan.
Abu
Bara’ sebagai kepala suku ‘Amir berjanji akan melindungi para utusan, maka
Rasulullah (saw) mengutus empat puluh sahabat yang benar-benar mengenal Islam
dan menunjuk Mundzir ibnu ‘Amr (ra) sebagai pemimpin. Di antara para utusan terdapat
‘Amir ibnu Fuhayrah (ra), bekas budak Abu Bakar (ra) yang dipilih menemaninya
dan Nabi (saw) ketika hijrah dengan cara mengembalakan kambing di belakang
perjalanan Rasulullah (saw) dan Abu Bakar (ra) untuk menghapus jejak.
Keponakan
Abu Bara’ yang berambisi menggantikan kedudukannya sebagai kepala suku membunuh
salah seorang sahabat yang diutus Rasulullah (saw) untuk mengantarkan surat
kepada Abu Bara’. Abu Bara’ meminta warga sukunya agar menghentikan pembunuhan
terhadap sahabat Rasulullah (saw) yang lain. Ketika warga suku ‘Amir ternyata
lebih mematuhi Abu Bara’, sang keponakan yang frustasi menghasut dua kabilah
dari suku Sulaym yang baru-baru ini terlibat permusuhan dengan Madinah. Mereka
segera mengirim satu pasukan berkuda dan membantai habis semua utusan Rasulullah
(saw) di dekat sumur Ma’unah, kecuali dua sahabat yang sedang memberi makan
unta di padang rumput, yaitu Harits ibnu Simmah (ra) dan ‘Amr dari Dhamrah (ra),
salah satu warga kabilah Kinanah.
Saat
mereka berdua kembali dari padang rumput, mereka terkejut melihat banyak sekali
burung bangkai terbang rendah di atas perkemahan mereka, seakan berada di suatu
medan perang dimana pertempuran baru saja berakhir. Mereka melihat
sahabat-sahabatnya terkapar wafat di atas genangan darah, sementara para
penunggang kuda dari Bani Sulaym berdiri di dekat mereka asyik berbincang dan
tidak menyadari kehadiran mereka berdua. Melihat pemandangan tersebut, ‘Amr
hendak melarikan diri, namun Harits berkata, “Aku tak akan pernah mundur dari
medan perang, dimana Mundzir telah wafat di atasnya.” Maka Harits segera maju
menghadapi para penunggang kuda itu, menyerang dengan tangkas dan menewaskan
dua orang sebelum akhirnya ia terkalahkan dan tertawan.
Anehnya
para penunggang kuda tersebut nampaknya enggan membunuh atau membalas dendam,
meskipun dua teman mereka telah tewas. Lalu mereka menanyakan apa yang
diinginkan Harits dan ‘Amr dari mereka?
Harits
menjawab bahwa ia ingin tahu dimana mayat Mundzir dan meminta dilepaskan untuk
bertarung dengan mereka. Mereka mengabulkan permintaannya dan ia berhasil
membunuh dua musuhnya sebelum dia sendiri akhirnya terbunuh.
‘Amr
dibebaskan dan mereka menyuruhnya memperkenalkan nama-nama sahabatnya yang
telah wafat satu per satu. ‘Amr mengamati sahabat-sahabatnya satu per satu dan
memperkenalkan mereka. Kemudian mereka menanyakan adakah sahabat ‘Amr yang
tidak ditemukan di situ? “Aku tidak menemukan jasad ‘Amir ibnu Fuhayrah (ra)
bekas budak Abu Bakar (ra),” jawabnya.
“Apa
kedudukannya di antara kalian?” tanya mereka.
“Dia
adalah orang yang terbaik di antara kami, salah seorang sahabat utama Rasulullah
(saw).” jawab ‘Amr.
“Maukah
engkau mendengar cerita kami tentang dia?” Tanya mereka. Maka dipanggillah
seorang pria bernama Jabbar yang mengaku telah membunuh ‘Amir. Jabbar bercerita
bahwa dia telah menusuk ‘Amir dengan tombak dari belakang hingga tembus ke
dadanya. Dan pada tarikan nafas terakhir, ia mengucapkan “Aku telah mendapatkan
kemenangan dari Allah!” “Bagaimana mungkin ia mengatakan itu?” Pikir Jabbar
yang merasa dirinya lebih berhak merasa menang. Dengan takjub dia mencabut
tombaknya dan lebih takjub lagi, ketika dia menyaksikan tubuh ‘Amir terangkat
ke atas oleh tangan-tangan gaib, terus naik ke atas langit, hingga tak terlihat
lagi.
Ketika
dijelaskan oleh ‘Amir bahwa yang dimaksudkan ‘kemenangan dari Allah’ adalah
surga, Jabbar langsung masuk Islam.
Setelah
Rasulullah (saw) mendengar peristiwa itu, beliau mengatakan bahwa para malaikat
telah mengangkat ‘Amir ke atas ‘Illiyun, yaitu surga tertinggi.[2]
Orang-orang Sulaym kembali ke suku
mereka, dimana cerita tentang mukjizat itu terus diulang dan itu menjadi awal
mereka untuk memeluk Islam.
Penjelasan tentang hakekat manusia juga dijelaskan dalam kitab Al Ghazali yang
konon berasal dari Hudzaifah Ibnu Yaman (ra):
Diri yang menyaksikan dan bersikap belajar
[bertafakur] dan diterangi misykat cahaya Allah SWT [berdzikir] memperhatikan
kertas yang halamannya hitam karena tinta. Sesungguhnya kertas tidak
menghitamkan halamannya sendiri, tetapi tintalah yang melakukan.
Tinta yang dikumpulkan
dalam botol sebagai tempatnya menetap terpaksa pergi meninggalkan tempatnya
karena paksaan oleh pena. Tinta tidak bisa mengalir keluar dari botolnya,
kecuali karena adanya paksaan. Pena telah menculik tinta dari tempat
menetapnya.
Pena pun sesungguhnya
tidak mampu melakukan apa-apa. Karena tangan dan jari lah yang menggerakkan
pena dan mengarahkan tinta untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya melalui
sang pena.
Tangan tidak lain
hanyalah sepotong daging, darah, saraf dan tulang yang tidak mampu bergerak dengan
sendirinya. Sesungguhnya tangan dan jari adalah alat yang ditundukkan dan
dikendarai oleh sang penguasa yang disebut al qudrah/kekuasaan dan al ‘izzah /
keagungan. Mereka itulah yang membolak-balikkan tangan dan menggerakkannya ke
segenap penjuru. Bukankah lumpur, batu dan pepohonan tidak melampaui sedikit
pun dari tempatnya berada dan tidaklah ia bergerak dengan sendiri, apabila
tidak digerakkan oleh penguasa ini, yang kuat dan perkasa.
Al qudrah sesungguhnya
juga tidak menggerakkan dan tidak pula menundukkan tangan. Bahkan al qudrah
tidur dengan tenang, tidur seperti mati atau bahkan tidak ada. Karena
sesungguhnya al qudrah tidak bergerak dan tidak pula menggerakkan, sampai
didatangi oleh seorang wakil yang mengejutkan dan memaksanya melakukan sesuatu.
Al qudrah memiliki kemampuan/kekuatan untuk menolong, tetapi tidak memiliki
kekuatan untuk menentangnya. Wakil inilah yang disebut iradah/kehendak.
Al iradah tidak
bangkit sendiri, melainkan dibangkitkan. Dia tidak bergerak, melainkan
digerakkan dengan kekuasaan yang memaksa dan perintah yang pasti. Al iradah
dalam keadaan tenang sebelum hati datang. Akan tetapi datang ke hadapannya,
hati yang memahami ilmu karena penerangan lampu akal dengan memberikan
ketentuan pada al iradah. Maka hati menentukannya dengan paksaan.
Sesungguhnya hati yang
tenang ini ditundukkan di bawah paksaan ilmu dan akal. Hati tidak mengerti
karena dosa apa dia jatuh padanya dan ditundukkan. Hati diharuskan menaatinya.
Namun hati memahami bahwa dia berada dalam ketenangan dan ketenteraman sebelum
datang padanya ilmu dan yang memaksa, serta hakim yang adil atau pun yang
zalim. Hati telah diserahkan kepadanya dengan suatu penyerahan. Hati telah
diharuskan menaatinya dengan suatu keharusan. Bahkan bersamaan dengan itu tidak
ada lagi kemampuan baginya untuk menentangnya ketika telah diyakinkan pemahaman
dan hukumnya. Demi umurku, selama hati masih berada dalam keraguan /
ketidak-fahaman dan keheranan pada hukumnya, maka hati tidak merasa tenang
tetapi dengan perasaan dan penantian pada hukumnya. Maka apabila telah
diyakinkan hukumnya, niscaya hati dikejutkan dengan pasti dan paksaan di bawah
ketaatannya. Maka hati itu menentukan untuk berdiri dengan yang diwajibkan
hukumnya. Maka tanyakanlah kepada ilmu tentang ihwal hati.
Kemudian sang diri
yang memperhatikan itu berkata, ‘Engkau benar.’ Lalu ia pergi kepada akal, hati
dan ilmu untuk menuntut dan mencela mereka karena telah membangkitkan al iradah
dan menundukkannya kepada al qudrah.
Maka akal berkata,
‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti lampu. Aku tidak menyala sendiri.
Melainkan aku dinyalakan.’
Hati berkata, ‘Adapun
aku, keberadaanku adalah seperti papan tulis. Aku tidak terbentang sendiri.
Melainkan dibentangkan.’
Ilmu pun berkata,
‘Adapun aku, keberadaanku adalah seperti ukiran. Aku diukirkan pada putihnya
papan tulis yaitu hati, ketika lampu akal menyala cemerlang. Aku tidak tergores
sendiri. Betapa banyak papan tulis yang sebelumnya luput daripadaku. Maka
tanyakanlah kepada pena tentang diriku. Karena, sesungguhnya garis-garis itu
tidak terbentuk kecuali dengan pena.’
Maka ketika itu
berguncanglah diri yang bertanya dan merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban
itu. Ia berkata, ‘Telah lama jerih payahku pada jalan ini dan telah banyak pula
tempat-tempatku. Senantiasa aku dibingungkan oleh yang aku harapkan darinya
untuk mengetahui perkara ini dari yang lain. Akan tetapi aku menghibur hatiku
dengan banyaknya mondar-mandir ketika aku mendengar sebuah perbincangan yang
dapat diterima dalam hati dan alasan yang jelas untuk menolak pertanyaan.’
‘Adapun perkataanmu,
‘Sesungguhnya aku ini adalah garis dan ukiran, dan sesungguhnya aku ini adalah
digoreskan oleh pena,’ maka itu tak bisa difahami. Sesungguhnya aku tidak
mengenal pena melainkan terbuat dari bambu. Aku tidak mengenal papan tulis
melainkan ia terbuat dari besi atau kayu. Aku tidak mengenal garis melainkan ia
terbuat dengan pena. Aku tidak mengenal lampu, melainkan ia terbentuk dari api.
Sesungguhnya di tempat ini aku mendengar percakapan papan, lampu, garis dan
pena, tetapi aku tidak menyaksikan sesuatu pun darinya. Aku juga mendengar
suara gilingan tetapi aku tidak melihat sesuatu yang digiling.”
Kemudian ilmu berkata
kepada penanya itu, “kalau engkau benar dengan apa yang engkau ucapkan, maka
harta bendamu itu bercampur dan bekalmu itu sedikit. Kendaraanmu itu lemah.
Ketahuilah bahwasanya kebinasaan-kebinasaan di jalan yang engkau hadapi itu
banyak jumlahnya. Maka yang benar bagimu adalah apabila engkau berpaling dan
meninggalkan tempat engkau berada. Maka segala sesuatu itu dimudahkan bagi
tujuan penciptaannya. Kalau engkau senang menyelesaikan perjalanan menuju
tujuan, maka pasanglah pendengaranmu dan senantiasa menyaksikan.
Ketahuilah bahwasanya
alam-alam di jalanmu ada tiga, yaitu:
v
Alam al mulk wa asy syahadah
Itulah yang pertama.
Adapun kertas, tinta, pena dan tangan berada pada alam ini. Engkau telah
melalui tempat-tempat itu dengan mudah. Setiap yang berjalan di atas bumi, maka
ia berjalan di alam al mulk wa asy syahadah.
v
Alam Jabarut
Itu adalah yang kedua.
Alam Jabarut berada di antara alam mulk dan alam malakut. Engkau telah menempuh
darinya tiga tempat. Pada permulaannya adalah tempat al qudrah, al iradah dan
ilmu. Sesungguhnya alam Jabarut yang berada di antara alam Mulk dan alam
Malakut adalah ibarat perahu, dimana hal itu berada dalam gerakan antara bumi
dan air. Hal itu berada dalam batas goncangan air, bukan pada batas ketenangan
dan tetapnya bumi. Maka apabila kekuatan orang itu berlebih hingga mampu
mengendarai perahu itu, maka ia adalah seperti orang yang berjalan di alam
Jabarut.
v
Alam Malakut.
Alam itu dibelakangku.
Apabila engkau dapat melewatiku, niscaya engkau sampai ke tempat itu. Pada
tempat itu adalah lembah yang penuh kenikmatan, jurang yang menakutkan, padang
pasir yang membosankan, gunung-gunung riya’, rimba pamer, lautan kesombongan
dan kota keakuan. Aku tidak mengerti, bagaimanakah engkau akan bisa selamat
darinya. Perjalanan di alam Malakut lebih sukar daripada perjalanan di alam
Jabarut. Apabila ia mampu berjalan di atas air tanpa menggunakan perahu, maka
ia telah berjalan di alam Malakut tanpa ada goncangan. Apabila engkau tidak
mampu berjalan di atas air, maka hendaklah engkau berpaling. Engkau telah
melewati bumi dan membelakangi perahu. Tidak ada lagi di hadapanmu kecuali air
yang jernih.
Permulaan alam Malakut
adalah musyahadah al qalam (menyaksikan al qalam) yang dipergunakan untuk
menulis ilmu pada papan tulis hati. Maka diperolehlah keyakinan, yang dengan
keyakinan itu, ia berjalan di atas air. Apakah engkau tidak mendengar sabda
Rasulullah saw tentang Nabi Isa as, “Seandainya Isa keyakinannya bertambah,
niscaya ia dapat berjalan di udara.”, yaitu ketika dikatakan kepadanya bahwa ia
dapat berjalan di atas air.
Maka sang diri yang
bertanya itu akhirnya berkata, “Sungguh aku heran tentang urusanku dan hatiku
merasa takut terhadap yang engkau sifatkan dari bahayanya perjalanan. Aku tidak
tahu, apakah aku mampu menempuh padang pasir yang engkau sifatkan itu atau
tidak? Apakah yang demikian itu memiliki tanda?”
Maka ilmu menjawab,
“Benar ada.” “Bukalah pandangan matamu dan kumpulkan sinar cahaya kedua matamu
dan biji matamu ke arahku. Maka apabila tampak bagimu al qalam yang
dipergunakan untuk menulis pada papan tulis hati, maka engkau hampir berhasil
menempuh jalan ini, karena setiap orang yang melewati alam Jabarut dan mengetuk
salah satu pintu-pintu malakut, niscaya dibukakan baginya dengan pena. Tidakkah
kita perhatikan bahwa Rasulullah saw pada permulaan urusannya dibukakan dengan
al qalam, yaitu ketika turun kepadanya QS Al-‘Alaq 96 ayat 1–5: Bacalah dengan
nama Rabb-mu yang menciptakan, Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabb-mu lah yang Maha Pemurah, Yang mengajar insan
dengan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Maka sang diri itu
berkata, “Engkau telah membuka pandangan mataku dan bijinya. Demi Allah, aku
tidak melihat sebatang bambu dan sebatang kayu. Aku tidak melihat pena kecuali
yang seperti ini.”
Maka ilmu berkata,
“Engkau telah pergi jauh mencari sesuatu pada tempatnya. Apakah engkau tidak
mendengar bahwa harta benda rumah itu menyerupai pemilik rumah? Apakah engkau
tidak tahu bahwa Allah swt tidak menyerupai dzat-Nya pada zat-zat lain?
Demikian pula tangan Allah tidak menyerupai tangan-tangan makhluk. Qalam-Nya
tidak menyerupai pena-pena yang lain. Pembicaraan Allah tidak menyerupai
pembicaraan-pembicaraan yang lain. Garis tulisan-Nya tidak menyerupai
garis-garis tulisan lain.
Urusan-urusan
ketuhanan ini datang dari alam malakut. Maka tidak ada tubuh pada dzat Allah.
Allah tidak berada pada suatu tempat, berbeda dengan selain-Nya. Tangan-Nya
bukanlah daging, tulang dan darah, berbeda dengan tangan-tangan yang lain.
Qalam-Nya bukanlah dari bambu. Papan tulis-Nya bukanlah dari kayu.
Pembicaraan-Nya bukan dengan suara dan huruf. Garis tulisan-Nya bukanlah angka
dan tulisan. Tinta-Nya bukanlah garam dan kelat.
Kalau engkau tidak
menyaksikannya seperti ini, maka aku tidak melihatmu melainkan seorang banci
diantara tanzih / transenden dan tasybih / imanen yang bolak-balik antara ini
dan itu, tidak kepada mereka yang ini dan tidak pula kepada mereka yang itu.
Bagaimanakah engkau menyucikan zat dan sifat Allah swt dari jisim dan
sifat-sifat-Nya? Bagaimanakah engkau menyucikan kalam Allah dari makna-makna
huruf dan suara, serta berhenti pada pada tangan, pena, papan tulis dan
garis-Nya?
Apabila engkau
memahami dari sabda Rasulullah saw, ‘Sesungguhnya Allah SWT menciptakan Adam
menurut bentuk / fitrahnya,’ bentuk lahir yang dapat ditangkap oleh pandangan
mata, maka engkau adalah orang yang menyerupakan secara mutlak, sebagaimana
dikatakan, ‘Jadilah engkau orang Yahudi sejati. Jika tidak, maka janganlah
engkau mempermainkan Taurat.’ Kalau kita memahami dari sabda itu ‘bentuk’ batin
yang dapat ditangkap dengan pandangan hati, bukan dengan pandangan mata, maka
kita telah menyucikan Allah secara murni dan telah mengkuduskan-Nya secara
nyata.
Pendekkanlah jalan,
karena sesungguhnya engkau berada di lembah Sang Rabb yang disucikan. Dengarkanlah dengan batin hatimu apa yang
diwahyukan kepadamu. Maka barangkali menemukan petunjuk di atas api. Barangkali
engkau dipanggil dari kemah ‘Arsy dengan apa yang dipanggilkan kepada Nabi Musa
as, sesungguhnya Aku adalah
Ilah-mu ... (QS
Thaha 20 ayat 12).
Ketika sang diri itu
mendengar ilmu yang demikian, maka ia merasakan kelengahan dirinya.
Sesungguhnya ia adalah banci diantara tasybih / imanen dan tanzih / transenden.
Maka hatinya menyala menjadi api karena besarnya amarah pada dirinya sendiri
ketika ia melihatnya dengan mata kekurangan.
Minyaknya yang
terdapat dalam lubuk hatinya yang tidak tembus telah hampir menerangi,
sekalipun tidak tersentuh api. Maka ketika ilmu meniup padanya dengan
ketajamannya, maka minyak itu pun menyala. Kemudian ia menjadi cahaya di atas
cahaya. Kemudian ilmu berkata kepadanya, “Pergunakanlah kesempatan ini sekarang
dan bukalah matamu, barangkali engkau menemukan petunjuk pada api itu.”
Kemudian ia membuka
matanya, maka dibukakan baginya Qalam Ilahiah. Tiba-tiba hal itu tampak seperti
yang disifatkan ilmu dalam penyucian. Qalam itu bukanlah terbuat dari bambu dan
bukan pula dari batang kayu, tidak mempunyai kepala dan tidak pula mempunyai
ekor. Senantiasa ia menuliskan bermacam-macam ilmu dalam hati semua manusia.
Seolah-olah dia memiliki kepala Qalam pada setiap hati, sedangkan ia sendiri tak
memilki kepala.
Maka berlalulah
keheranan dari sang diri itu. Ia berkata, “sebaik-baik teman adalah ilmu. Maka
semoga Allah membalasnya dengan kebaikan jasanya padaku. Karena, kini telah
jelas bagiku akan kebenaran ceritanya tentang sifat-sifat Qalam. Maka
sesungguhnya, aku melihatnya sebagai Qalam, bukan pena-pena yang lain.” Maka
pada saat itu ia berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada ilmu. Ia
berkata, “Aku telah lama berada padamu dan mondar-mandir kepadamu. Aku sekarang
berazam untuk berkelana kepada junjungan Qalam dan menanyakan tentang
ihwalnya.”
Maka ia berkelana dan
berkata kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu? Engkau senantiasa menuliskan ke
dalam diri / hati bermacam-macam ilmu dan pengetahuan yang membangkitkan al
iradah kepada al qadar dan meneruskannya kepada yang ditakdirkan.”
Kemudian Al Qalam
menjawab pertanyaan sang diri, “Apakah engkau lupa terhadap yang engkau lihat
di alam mulk wa asy syahadah dan engkau mendengar dari jawaban pena ketika
engkau menanyakannya, kemudian engkau dipindahkan kepada tangan?”
Maka ia menjawab, “Aku
tidak melupakan hal itu.”
Al Qalam berkata lagi,
“Maka jawaban itu seperti jawabannya.”
Sang diri itu
bertanya, “Bagaimanakah engkau tidak menyerupakannya?”
Al Qalam balik
bertanya, “Apakah tidak mendengar bahwa Allah swt telah menciptakan Adam
menurut bentuknya?”
Sang diri itu
menjawab, “Benar.”
Maka Al Qalam berkata,
“Maka tanyakanlah tentang diriku yang digelar dengan tangan kanan Raja (Al
Malik). Maka sesungguhnya aku berada dalam genggaman-Nya. Raja itulah yang
membolak-balikkanku. Aku dipaksa dan ditundukkan. Maka tidak ada bedanya antara
Qalam Ilahi dan pena manusia dalam arti sama-sama ditundukkan. Sesungguhnya
perbedaannya dalam bentuk saja.”
Sang diri itu
bertanya, “Maka siapakah Tangan Kanan Raja (Al Malik) itu?”
Qalam balik bertanya,
“Apakah kamu tidak mendengar firman Allah SWT dalam QS Az Zumar 39 ayat 67: Dan langit digulung dengan Tangan
Kanan-Nya?
Sang diri itu
menjawab, “Ya.”
Selanjutnya Qalam itu
bertanya, “Qalam-qalam seluruhnya juga berada dalam genggaman Tangan Kanan-Nya.
Dialah yang membolak-balikkannya,”
Kemudian dari sisi Al
Qalam, sang diri itu pergi menuju Tangan Kanan, sehingga ia disaksikan. Dari
keajaiban-keajaibannya ia melihat sesuatu yang menambah keajaiban Al Qalam.
Tidak boleh menyifatkan sesuatu dari yang demikian. Juga tidak boleh
menjelaskannya. Akan tetapi berjilid-jilid yang banyak tidak memuat
sepersepuluhnya. Kesimpulannya, bahwa itu di Tangan Kanan, yang tidak seperti
tangan kanan – tangan kanan yang lain dan jarinya pun tidak seperti jari-jemari
yang lain. Maka ia melihat Al Qalam itu bergerak-gerak dalam Genggaman-Nya.
Sehingga jelaslah baginya alasan Al Qalam. Kemudian ia bertanya kepada Tangan
Kanan tentang keadaannya dan sebabnya menggerakkan Al Qalam.
Maka Tangan Kanan itu
menjawab, “Jawabanku adalah seperti yang engkau telah dengar dari tangan kanan
yang engkau lihat di alam syahadah, yaitu penyerahan kepada Al Qudrah. Karena
Tangan Kanan itu tidak mempunyai hukum pada dirinya sendiri. Sesungguhnya yang
menggerakkan Tangan adalah Al Qudrah secara pasti.”
Maka sang diri itu
berkelana ke alam Al Qudrah. Dari keajaiban-keajaibannya ia melihat sesuatu
yang dipandang hina oleh apa yang dipandang sebelumnya. Ia ditanya tentang
sebabnya menggerakkan Tangan Kanan.
Al Qudrah menjawab,
“Sesungguhnya aku hanyalah sifat. Tanyakanlah hal itu kepada Pemilik sifat Al
Qudrah. Karena yang dipegang adalah kepada yang disifati, bukan kepada sifat.
Ketika itu, ia hampir tergelincir dan melepaskan lisan pertanyaan dengan
berani. Ia diseru dari belakang dinding kemah junjungan Ilahi, ‘Dia
tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, namun merekalah yang akan
ditanyai (QS Al Anbiya 21 ayat
23).”
Maka ia jatuh pingsan
karena hebatnya ketakutan kepada junjungan Ilahi. Lalu ia jatuh tersungkur
dengan gemetar tubuhnya. Setelah sadar, ia berkata, “Maha Suci Allah, alangkah
Agung Keadaan-Mu. Aku bertaubat kepada-Mu. Aku bertawakkal kepada-Mu. Aku yaqin
bahwa Engkau adalah Raja, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa.
Maka aku tidak takut kepada selain-Mu. Aku tidak mengharap kepada selain-Mu.
Aku tidak berlindung kecuali dengan pengampunan-Mu dari siksaan-Mu dan dengan
keridhaan-Mu dari murka-Mu.”
Para wali di tanah Jawa mengingatkan umat akan jati dirinya
sekaligus agar mengingat Allah Rabb semesta alam dalam bentuk tata kota. Seni tata kota Kabupaten atau Kota Praja
biasanya terdiri dari Alun-alun yang berbentuk segi empat, dengan pohon
beringin di tengahnya. Melambangkan diri manusia yang oleh orang Jawa disebut
dengan sedulur papat lima pancer.
Di bagian depan yang membelakangi
gunung, terdapat kadipaten yang merupakan simbol dari saudara yang pertama,
yakni jasmani. Jasmani memiliki naluri berupa keinginan untuk dipuaskan tanpa
memandang aturan hukum dan moralitas, sehingga digambarkan oleh Qur’an dengan
kalimat “An nafs al ammarah bis-suu’ yang artinya diri yang menyuruh pada
kejahatan”. Kadipaten yang harus dirawat dengan baik, karena melalui kadipaten
atau jasmani inilah manusia berkarya di dunia. Manusia yang terikat kepada
jasmaninya sangatlah berbahaya karena naluri ingin dipuaskan tidak mengenal
moral, hukum keadilan dan kesetaraan.
Di
sisi kanan kadipaten umumnya terdapat penjara, kodim dan sekolah. Tempat ini
melambangkan akal budi atau pikiran dan perasaan atau dengan kata lain
kemampuan/qudrat. Otak adalah tempat manusia mengolah data (informasi) agar
bisa mendapat manfaat sebesar-besarnya [al fu’ad]. Karena akal budi selalu
berbicara menggunakan ukuran benar-salah atau baik-buruk, maka Qur’an menyebut
dengan, “An nafs al lauwamah yang artinya diri yang suka mencela”. Mereka yang
terikat di singgasana ini akan memiliki kecenderungan mencela orang lain.
Kebanyakan manusia terpenjara oleh akal budinya, karena berupaya untuk
mengambil manfaat sebesar-besarnya. Padahal akal-budi adalah tentara yang
hebat. Sehingga akal-budi perlu dikembangkan dengan pendidikan agar semakin
sempurna dalam berkemampuan, yakni menciptakan atau mengkreasikan sesuatu.
Di sisi depan, yang menghadap ke laut,
terdapat pasar/tempat hiburan yang merupakan tempat kesibukan. Mereka-mereka
yang bisa mengelola informasi baik dan informasi buruk akan bisa menarik
manfaat terbesar. Mereka inilah yang mampu menggunakan kehendak/iradatnya
dengan memanfaatkan akal budi serta daya ciptanya untuk mendapatkan hasil
terbesar. Peradaban yang semakin berkembang merupakan kreasi manusia agar
semakin memperoleh nikmat. Qur’an melambangkannya dengan kalimat, “wa alhamaha fujuraha wa taqwaha, qad aflaha
man zakaha.” Yang
artinya “dan mengilhamkan kejahatan dan ketaqwaan, sungguh
beruntunglah mereka yang mensucikan dirinya.”
Yang mensucikan dirinya adalah yang menyerahkan kehendaknya kepada Yang
Menggelar Jagad.
Di
sisi kiri adalah masjid yang merupakan tempat bersujud, tempat mengabdi.
Seorang yang mengaku abdi adalah orang mereka yang menyerahkan dirinya kepada
sang tuan. Mereka yang sudah menyerahkan dirinya dan bersedia menjadi abdi,
digambarkan oleh Qur’an dengan panggilan mesra, “Wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha dan
diridhai.”
Sedangkan
alun-alun yang kosong yang meliputi semuanya itu adalah melambangkan ruhani
manusia. Di tengahnya terdapat pohon beringin yang rindang sebagai lambang
kehidupan. Melalui alun-alun tersebut, perintah dari sang raja (adipati)
disampaikan, melalui kebiasaan pepe dekat pohon beringin tersebut, keinginan rakyat
disampaikan.
Dari kenyataan hidup dan dari kitab suci
menginformasikan bahwa jelas manusia terdiri atas jasmani yang tersusun dari
anasir alam semesta yang melingkupi ruhani yang ditiupkan Ilahi, yang kemudian
diberi kemampuan indra dan al fu’ad (kemampuan menarik manfaat) dan memiliki
kehendak bebas. Ini memang sesuai dengan kenyataan, yakni adanya jasmani dan
ruhani yang menimbulkan semangat atau kesadaran hidup dengan dilengkapi dengan
panca indra (indra pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap dan peraba),
kecerdasan reptilia [terdiri atas syahwat (ambisi) dan ghadhab (emosi) yang
dipakai untuk menyelamatkan diri dan bereproduksi], kecerdasan mamalia dan
kecerdasan manusia (kemampuan menangkap ide, mengolah data dan menciptakan
sesuatu). Masing-masing komponen manusia tersebut memiliki kecerdasan, ilmu,
daya, kekuatan, kekuasaan dan kehendak untuk dituruti.
Namun, perhatikan, siapakah yang
melihat, siapakah yang mendengar? Meski ada mata, ada telinga. Perhatikan yang
hidup, perhatikan tumbuhan, reptilia, mamalia, homo erektus. Yang hidup
bernafas, nafas adalah tanda hidup. Lalu apakah tanda adanya ruh? Siapakah ruh?
Perhatikan yang sadar! Perhatikan yang mati! Perhatikan proses kematian itu!
Dalam bahasa singkatnya, manusia (bani
Adam) adalah makhluk seperti homo erektus (al basyar) yang kepadanya ditiupkan
ruh. Ruh inilah yang akan membimbing kita, manusia untuk mengenal Allah.
Sebagai manusia dewasa, kita umumnya
duduk dalam kesadaran kita. Kita berupaya untuk mengambil faedah atau menikmati
dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita dengan mempergunakan semua daya
upaya yang kita miliki. Kita sangat mencintai diri kita, sehingga bersedia
melakukan apa saja yang akan memuaskan diri kita. Karena kecintaan kepada diri
yang semakin lama semakin berlebihan, maka kita menjadi kufur kepada Sang
Pencipta. Namun setelah mengalami hukuman berupa kesulitan hidup yang tidak
bisa kita atasi, barulah kita kembali sadar akan diri kita, sadar akan tugas
kita, yaitu menjalani fitrah penciptaan untuk mengenal Sang Pencipta serta menjadi
hamba-Nya yang bersyukur.
Sebagai diri, setelah kita memuaskan diri kita,
seringkali kita lupa untuk bersyukur / berterima kasih kepada yang telah
menganugerahkan manfaat tersebut. Oleh karena itu, marilah kita selalu berupaya
menikmati apa yang dianugerahkan kepada kita dan mensyukurinya melalui sikap
terima kasih kita kepada Allah SWT. Dengan demikian kita sedang menemui-Nya
melalui sikap bersyukur tersebut. Berulang-ulang harus kita alami, kita latih,
kita sempurnakan agar kita menjadi ainul yaqin atau isbatul yaqin, yakni
mengamalkannya sendiri, sampai terbukti.
Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada, yaitu
lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman, Karma Pala, Reinkarnasi, dan
Moksa. Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang
artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya
mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha
dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan, kemakmuran
kehidupan masyarakat dan negara.
Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan
yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa
dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari
penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda
(kebenaran, kesadaran, kebahagiaan).
Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai
moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti
moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan
sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebasan asal
persyaratan-persyaratan moksa dilakukan. Jadi kita mencapai moksa tidak
menunggu waktu sampai meninggal.
[2] Waqidi, rujukannya adalah edisi Marsden Jones dari Kitab Al Maghazi,
seputar dakwah-dakwah Nabi, oleh Muhammad ibnu ‘Umar al-Waqidi [Martin Lings
(Abu Bakr Siraj al-Din, Muhammad – Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik,
PT Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal 377 – 380.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar