Rasakan, dari dulu, sekarang bahkan nanti, selalu ada
keberadaan yang tetap, tidak berubah, kekal abadi. Dia kekal abadi dan tetap
dalam kesempurnaan.
Perhatikan pula diri kita, tumbuh dari kecil, menjadi
besar, lalu tua dan mati. Perhatikan pula nafas keluar masuk sendiri, jantung
berdetak sendiri, darah mengalir sendiri. Perhatikan pula dalam hidup, tak ada
angin tak ada hujan tahu-tahu ada masalah. Kemudian kita diberi jalan untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Berarti ada yang menumbuhkan, ada yang
memelihara, ada yang mendidik kita. Itulah Sang Rabb.
Dakwah bermakna seruan, yaitu seruan ke
Allah. Bukan seruan kepada diri kita atau
kelompok kita. Dakwah adalah mempromosikan Allah. Pemahaman ini
dijelaskan dalam QS Fushshilaat 41 ayat 33: “Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (da’aa) kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?"
Sekilas dakwah sedemikian mudahnya,
yaitu hanya berseru mengajak ke Allah. Namun pada kenyataannya sedemikian
sulitnya, mengingat bagaimana kita akan mengajak, kalau kita sendiri belum tahu
siapa Allah. Bagaimana caranya menuju ke Allah? Dengan apa kita harus ke Allah?
Inilah yang perlu dijelaskan. Penjelasan tentunya menggunakan ilmu, karena ilmu
bermakna kejelasan.
Nah, kalau kita kembalikan setting pada seribu lima ratus tahun yang lalu, dimana orang-orang
belum mengenal Islam, bagaimana menjelaskan kepada umat pada waktu itu yang
memiliki basis pengetahuan yang berbeda. Inilah salah tantangan yang harus
dihadapi oleh Rasulullah (saw).
Pada waktu itu Rasulullah (saw) berdakwah bukan mengutamakan penjelasan ilmu agama, tetapi fokus mengajak manusia ke Allah. Bersamaan dengan itu, individu dan masyarakat mendapatkan
permasalahan dan dengan memohon tuntunan Allah lah, maka terbentuklah model
masyarakat Madani lengkap dengan tatanannya.
Berhubung tujuan dakwah adalah mengajak
kepada Allah, kepada keselamatan, maka para pendakwah harus berupaya agar umat
tidak lari dari mereka. Oleh karena itu mereka harus mengembangkan
metode-metode yang cerdas yang sesuai dengan zamannya. Diantaranya adalah
dengan wejangan, cerita tutur berupa dongeng, hiburan termasuk tembang dan
tentunya keteladanan.
Proses belajar adalah dengan mengingat hingga ke dalam jiwa, karena lebih terhormat daripada
belajar dengan cara mencatat. Karena dengan
mengingat, maka dengan cepat bisa diamalkan dan kemampuan jiwa beserta
alat-alatnya seperti otak kita pun semakin berkembang.
Wejangan adalah penyampaian pendidikan
langsung ke dalam diri, sehingga bisa memberikan dampak langsung bagi sang
penerima. Wejangan adalah meniru kisah ketika para Nabi atau para Wali menerima
pendidikan berupa wahyu atau inzal atau ilham, yang langsung ke dalam diri
mereka. Mereka yang mendapatkan wejangan tidak diperbolehkan menggunakan
pikirannya untuk mereka-reka atau memahami, namun bersedia menerima pendidikan
tersebut dan mengendapkannya dalam dirinya. Seketika itu juga sang penerima
wejangan bisa langsung memahami, bahkan seringkali tanpa penjelasan lebih
lanjut.
Wejangan hanya diberikan kepada
mereka-mereka yang terpilih. Sebagaimana Murtadha Muthahhari (1996) mengisahkan
pengalaman pribadi ’Unwan Bashri salah seorang murid Imam Malik bin Anas (ra) pendiri
madzab Maliki yang mendapat nasehat dari Imam Ja’far Ash Shadiq (ra),
salah seorang keturunan Rasulullah (saw), “Hai
Abu Abdillah, ma’rifatullah dan nurul yaqin tidak bisa didapat hanya dengan
datang dan pergi atau hanya sekedar pintu fulan dan fulan saja. Orang lain
tidak akan bisa menuangkan cahaya ilmu ini kepadamu, karena itu bukan sejenis
ilmu pelajaran (pengetahuan). Itu adalah suatu cahaya, yang Allah akan berikan
kepada hamba-hamba-Nya yang patut menerima hidayah-Nya. Kalau ilmu dan cahaya
seperti ini yang kamu kehendaki, maka carilah hakikat ‘ubudiyah dari batin
ruhmu dan kedalaman jiwamu. Carilah ilmu ini dengan jalan beramal dan mohonlah
kepada Allah, niscaya Dia akan mengaruniakannya di hatimu (dirimu) ... .”
Demikian pula Allah mengingatkan Nabi Muhammad (saw) sebagaimana
tercatat dalam QS Thaha 20 ayat 114, “Maka
Maha Tinggi Allah, Sang Raja,
Yang Maha Benar. Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum
disempurnakan mewahyukannya kepadamu. Dan katakanlah, “Ya Rabb, tambahkanlah
kepadaku ilmuku.””
Melalui berbagai media yang disukai masyarakat, seperti lagu, film dan lain-lain dakwah juga bisa
disampaikan secara masal tanpa mereka merasa digurui, apalagi
dipaksa. Yang paling penting adalah membuat masyarakat tertarik
dan mudah mengingat dakwah tersebut agar nantinya memotivasi mereka untuk
menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan dakwah melalui keteladanan
adalah melalui karya nyata yang bermanfaat langsung untuk masyarakat. Melalui
manfaat yang langsung dinikmati oleh masyarakat, diharapkan mereka bisa
menikmati, mensyukuri dan mengakui Kebesaran Allah. Sehingga mereka terdorong
untuk mengamalkannya sendiri. Masyarakat hanya tinggal meniru saja sudah cukup.
Namun jika ada yang memiliki dorongan untuk menggali lebih lanjut, akan lebih
baik.
Karya merupakan bentuk ekspresi manusia
dalam menggali nikmat hidup. Media yang bisa digunakan untuk mengekspresikan
diri ada berbagai macam, seperti media lukis, tulis, instalasi, tembang, musik,
bahasa dan lain-lain. Bentuk-bentuk karya nyata seringkali berupa simbol-simbol
tanpa penjelasan, sehingga bisa menimbulkan multi tafsir. Misalnya adalah tata
kota kuno, bentuk rumah, bentuk masjid, tembang, wayang dan lain sebagainya.
Sebenarnya karya adalah untuk menunjukkan Kebesaran Allah dan ketidakterbatasan
nikmat-Nya. Walau bisa saja karya merupakan penjelasan Rabb akan Dirinya
mengingat semakin banyak manusia lalai kepada-Nya.
Berhubung dakwah disampaikan secara
lisan dan turun-temurun serta penggunaan simbolisasi (sanepa) dan juga karya
fisik, tentunya akan menghasilkan persepsi yang semakin beragam tergantung
tingkat pemahaman masing-masing penutur dan yang menerima. Kondisi ini
merupakan fitrah dalam kehidupan manusia agar manusia menyadari kelemahan
dirinya dan tidak terjebak kepada sikap sombong karena menganggap dirinya
mampu. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya kultus individu kepada sang
pendakwah. Karena yang tetap ada dan mampu memberikan penjelasan
adalah Al ‘Alim sendiri, maka hanya kepada-Nya lah kita mengharap tuntunan.
Tujuan dari dakwah adalah mengajak umat
untuk ke Allah. Itulah ibadah. Tentunya beribadah dengan sempurna hanya bisa
kita laksanakan setelah kita mengenal-Nya. Dan pengenalan hanya bisa terjadi
kalau kita berupaya untuk menemui-Nya. Pertemuan hanya terjadi
bilamana ada upaya terus-menerus mendekatkan diri kepada-Nya. Kita umumnya
tertarik untuk melakukan sesuatu, karena kita suka apalagi cinta. Oleh karena
itu, bukalah diri kita untuk menyukai bahkan bisa mencintai Allah. Niscaya kita
akan selalu ingat dan rindu untuk bertemu.
Pendekatan diri artinya mempergunakan
diri kita, yang bermakna keseluruhan diri. Jadi pendekatan
diri bukan sekedar mempergunakan tubuh atau pikiran atau perasaan saja.
Aku yang gaib dan bersinggasana dalam dada inilah yang harus dijadikan tuan
atas diri ini dan dikembalikan kepada Allah SWT. Otomatis sikap diri
yang seperti ini akan membawa umat kepada masyarakat yang mandiri dan hanya
bergantung kepada Allah, Rabb semesta alam yang senantiasa hidup dan tidak
pernah mati, apalagi meninggalkan makhluk-Nya. Jangan sampai umat ketika
ditinggalkan masih bergantung kepada sang pendakwah. Cukup dengan menyampaikan
salam penghormatan dan meneladani sikap mereka. Karena dengan meneladani sikap
mereka, kita akan berproses menuju kesempurnaan.
QS Al A’raaf 7 ayat 205: Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Dengan adanya pemahaman yang
berbeda-beda dan adanya dorongan dari informasi tersebut untuk disampaikan,
maka terjadilah penyampaian informasi yang simpang siur. Otomatis ini semuanya
akan menghasilkan distorsi sejarah. Oleh karenanya, selain melakukan penelitian
yang mendalam atas sumber sejarah, yang paling utama adalah dengan
menggantungkan diri kepada pemahaman yang diturunkan Rabb. Sebagaimana doa yang
diajarkan oleh Rasulullah (saw) dan disampaikan oleh guru-guru kita, yakni “Ya Rabbi, tambahkanlah ilmuku dan berilah
aku pemahaman.”
Pada kenyataannya, memang manusia tidak
mampu memberikan pemahaman. Yang bisa disampaikan kepada para pendengarnya
hanyalah informasi yang berupa peringatan atau berupa kabar yang secara umum
disebut dengan pengetahuan. Dengan perenungan dan melakukan serangkaian uji
coba atau verifikasi serta dengan melakukan pengamatan terhadap diri dan segala
kejadian di sekitar kita, baru kita bisa memperoleh pemahamannya. Sehebat apa
pun kita, kita tidak akan mendapatkan pemahaman tanpa pengamalan dan anugerah
Rabb. Sehingga diperlukanlah doa di atas.
QS Al Faathir 35 ayat 24: Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu
umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Dan pemahaman kita akan semakin sempurna
kalau kita sudah membuktikan sendiri kebenaran atas ilmu atau dakwah yang
dimaksud. Sebagai contoh, kita diberi tahu bahwa Presiden pertama Republik
Indonesia adalah Soekarno, maka dengan segera kita tahu dan bisa menyampaikan
kepada siapa saja, siapa presiden pertama Republik Indonesia. Namun ketika kita
ditanya, kenalkah kita kepadanya? Maka untuk mengiyakan pertanyaan ini, kita
perlu bukti bahwa kita mengenalnya, yaitu paling tidak pernah bertemu.
Pengenalan itulah pemahaman. Pemahaman dengan membuktikan sendiri hingga kita
menjadi ahli, akan lebih berdaya guna daripada melakukan analisa pikiran.
Perhatikanlah hadits-hadits Rasulullah (saw), pasti berupa pengamalan beliau
atau berupa wahyu, bukan hasil rekayasa pikiran. Maka Qur’an atau pun Hadits
memiliki daya untuk mendorong umat untuk bersikap positif.
Meski para pendakwah sudah berjuang untuk bisa membahasakan kepada
umatnya agar mudah untuk difahami, namun tanpa adanya kesediaan untuk menerima,
tentulah tidak akan banyak hasilnya.
Untuk bisa menangkap dengan sempurna dakwah
yang disampaikan, ada berbagai tingkat media dalam diri kita yang bisa kita
pergunakan. Media yang pertama adalah segala sesuatu yang tergelar ini bisa
kita ketahui melalui sarana tubuh, yakni melalui penggunaan panca indra.
Media yang kedua adalah segala sesuatu
yang sudah diketahui, kita olah dengan kemampuan (qudrat), seperti kemampuan
menarik manfaat seperti akal-budi atau kecerdasan otak (intelektualitas) atau
cipta-rasa, yakni dengan menganalisa benar-salah atau baik-buruknya. Maksudnya
dilihat dari besar kecilnya nikmat yang akan kita peroleh. Setelah diketahui tingkat
kenikmatannya kemudian kita upayakan dengan menggunakan kemampuan daya cipta
sehingga muncul gambaran-gambaran dalam daya kreasi kita.
Media ketiga adalah pemahaman atas karsa
atau kehendak (iradat) untuk mewujudkan gambaran-gambaran tersebut. Inilah yang
dimaksud dengan bahasa kehendak.
Media yang keempat adalah sang pelaku atau
sang diri atau sang jiwa, yang menyebut dirinya dengan ‘aku’. Sebagai contoh,
ketika kita sedang marah. Pada keadaan tersebut ada diri kita yang marah dan
ada yang memberitahu kita dengan istilah, bahwa suasana diri kita saat itu
diistilahkan sedang marah.
Di atas itu semua masih ada yang bisa
memahami bahasa Allah, yakni Sang Ruhani. Sang Ruhani yang langsung berhubungan
dengan dengan Dia, Sang Pemberi Perintah, Sang Pemberi Ilham, Sang Pengajar,
Sang Pencipta alam semesta.
Untuk memahami sesuatu, kita bisa juga melakukannya
melalui pendekatan atas namanya (asma), karyanya (af’al), sifatnya hingga
wujudnya (dzat). Karena setiap wujud pasti memiliki nama, punya karya atau perbuatan
dan punya sifat. Meski tidak kita pungkiri bahwa setiap wujud bisa jadi
memiliki asma yang sama atau sifat yang sama atau af’al yang sama.
Pendekatan yang berbeda adalah dengan
pendekatan melalui dzat yang cenderung spesifik kepada wujud yang dimaksud.
Berhubung wujud yang dimaksud sudah meninggal atau tidak ada atau ghaib, untuk
bisa memastikan wujud yang dimaksud, yang paling akurat adalah melalui
karyanya. Meski juga tidak bisa dipungkiri bahwa suatu karya bisa jadi
merupakan karya bersama.
Berbeda ketika kita ingin mengenal
Allah, karena Dia tidak sama dengan makhluk-Nya. Ini berarti bahwa Allah adalah
Asma, yang juga Af’al, yang juga Sifat dan juga Dzat; Allahu Ahad (QS Al Ikhlash 112 ayat 1). Jadi dengan pendekatan apa saja pasti mudah. Hanya
sayangnya kita selalu ketakutan untuk meyakini hal tersebut, bahkan
berprasangka negatif bahwa hal tersebut adalah sesat karena dampak pendekatan
kepada Allah yang terjadi pada diri kita dituduhkan berasal dari makhluk
golongan jin (setan).
Cara pandang seperti ini adalah cara
pandang orang-orang yang dekat dengan kemusyrikan, karena menganggap setan
sebagai pemegang kuasa kejahatan dan Allah sebagai pemegang kuasa kebaikan,
berarti menyekutukan Allah, karena menganggap Allah memiliki lawan sepadan.
Sebagai contoh kalau kita melihat, maka perlu penglihatan. Sedangkan Allah, PenglihatanNya
itulah Dia sendiri.
Bilamana kita memperhatikan hadits Qudsy
berikut, “Aku adalah Perbendaharaan
Tersembunyi. Aku cinta dikenal. Aku ciptakan makhluk-Ku, agar
mereka mengenal Aku (dengan Allah mereka mengenal Aku)”,
akan nampak proses pengenalan Allah sebagai berikut: Pada tahap awal,
kita akan mulai mengenal Sang Perbendaharaan Tersembunyi, dari Asma-Nya, yaitu
Allah yang terdiri atas huruf-huruf Alif-Lam-Lam-Ha. Nama yang
kita peroleh dari orang tua atau masyarakat kita. Maka syahadat kita
adalah laa ilaha illa Allah.
Selanjutnya, kalau kita semakin
mengenal-Nya dengan cara memperhatikan karya atau Af’al-Nya melalui pengamatan
terhadap diri kita dan alam semesta ini, maka kita akan menyebut-Nya dengan
kata Dia (Huwa). Maknanya kita sudah mengetahui siapa Allah itu. Bilamana kita
perhatikan susunan huruf yang menyusun Asma-Nya, maka kalau kita menghilangkan
huruf pertama Alif, sehingga tinggal huruf Lam-Lam-Ha. Dalam Qur’an biasanya
ditulis dengan kata Billah atau Lillah adalah menunjukkan Af’al Allah. Syahadat
kita yang sudah mengenal Dia melalui Af’al-Nya akan menjadi laa ilaha illa Huwa.
Bila kita beruntung untuk semakin mengenal-Nya,
maka kita akan mengenal Sifat-Sifat-Nya. Ini menunjukkan kedekatan, sehingga
ada dialog atau komunikasi. Dalam kedekatan komunikasi kita akan menyebut-Nya
dengan Engkau (Anta). Dengan metode yang sama, bila huruf pertama dan kedua
dihilangkan, maka tinggal Lam dan Ha, yang akan membentuk kata Lahu. Misalnya
Lahul Mulku wa-Lahul Hamdu. Syahadat kita berubah menjadi laa ilaha illa Anta.
Secara komunikasi, mampu berdialog
dengan Allah semestinya sudah memuncaki segala perjuangan kita. Namun ternyata
Allah menginginkan penyerahan diri secara total. Sayangnya yang mengenal Allah
adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, kita harus menyerahkan diri kita sampai
keberadaan diri kita fana dan yang tetap ada dan selalu ada adalah Allah
sendiri, sehingga Dia akan bersabda dengan AkuNya. Inilah makna cinta (hubb)
sejati. Bila Lam terakhir kita hilangkan, maka yang tertinggal adalah Ha, atau
terbaca Huuu yang merupakan eksistensi dari Sang Dzat. Karena Sang
Dzat menyebut DiriNya, maka menggunakan kata ganti Aku (Ana), sehingga Dia bersyahadat
untuk DiriNya sendiri dengan laa ilaha illa Ana.
Namun ingat, meskipun nampaknya mudah,
hanya Allah yang memahami Allah dan hanya Allah yang mengijinkan untuk dikenal,
bukan karena kemampuan atau kebisaan kita. Ingat, bukankah Dia hidup (Al
Hayyu)? Dan atas usaha kita yang sungguh-sungguh dalam perjuangan melalui sikap
berserah diri kepada-Nya, semoga Dia membuka hijab-hijab yang kita ciptakan, karena
Dia tersembunyi tanpa perlu menyembunyikan Diri. Oleh karena itu, teguhkan
bahwa yang kita tuju adalah Allah, palingkanlah diri kita dari selain Dia dan
jadikanlah wahyu Qur’an sebagai pegangan dan Rasulullah (saw) sebagai teladan.
Dengan media dan metode yang dijelaskan tadi,
kita bisa melakukan pengenalan kepada para wali,
kepada Nabi (saw), kepada Allah. Dalam proses pengenalan ini, pada tahap awal
kita memerlukan informasi baik berupa literatur ataupun tuturan dari
orang-orang yang merasa tahu ataupun jejak sejarah seperti makam, hasil karya,
petilasan dan lain-lain. Informasi ini masih sekedar info, sehingga hanya bisa
dijadikan sangkaan. Sedangkan sangkaan adalah baru tahap awal dari pemahaman,
dimana akan semakin disempurnakan melalui pemahaman dengan cara menghubungkan
informasi yang satu dengan informasi yang lain sampai mendapatkan pemahaman,
dimana informasi satu dengan informasi yang lain saling memperkuat atau kita
punya fakta-fakta. Pemahaman ini akan semakin sempurna dan menjadi pengenalan
bilamana kita sudah bisa bergaul dekat dengan obyek yang dimaksud.
Berdakwah sebaiknya melalui
keteladanan dan melalui akhlak yang terpuji dan tidak menggunakan pemaksaan, sebagaimana nasehat Imam Ja’far Ash Shadiq, “Tahukah kalian bahwa cara-cara Bani Umayyah
adalah dengan kekerasan dan penekanan. Tetapi metode dan cara kita adalah
dengan sopan santun, lemah lembut, bergaul dengan baik dan menarik hati (Murtadha Muthahhari, 1996).”
Kita harus mampu mengungkapkan ide-ide ataupun
cita-cita menjadi sesuatu yang memiliki nilai-nilai keilmuan dan mampu
mewujudkan ide atau cita-cita tersebut, cita-cita yang memberikan manfaat buat
umat manusia. Kita harus mampu
mengamalkan QS At Takatsur 102 dengan sempurna, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam
kubur.
Janganlah
begitu, kelak kamu akan mengetahui, dan janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui.
Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan 'ainul yaqin.
Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan.”
Bilamana dijelaskan nampak ada suatu
siklus penciptaan, yaitu diawali dengan adanya ide. Ide adalah sesuatu yang
masih belum ada (gaib / klenik), sehingga kita bisa berprasangka berasal dari Sang
Gaib. Dari ide, kita mengembangkannya menjadi ilmu dasar atau filsafat atau
teori yang bisa difahami dengan bahasa logika atau akal-budi (karang). Dari
teori, kita mengembangkan
teknologi rancang bangun dengan menggunakan daya cipta yang beliau miliki.
Bahkan lebih lanjut lagi sebagai bukti kesempurnaan maqam, kita harus mewujudkannya hingga bisa difahami dan
dinikmati dengan panca indra, yakni karya nyata (katon). Proses inilah yang
mestinya difahami sebagai proses menurun dalam proses cipta-karya oleh makhluk.
Agar siklus cipta-karya menjadi
sempurna, maka harus ada proses menaik. Proses ini bisa dijalankan dengan
menikmati apa yang terwujud (tergelar), diteruskan dengan mensyukuri bahwa
nikmat yang kita peroleh adalah anugerah-Nya. Kesempurnaan dari rasa syukur
adalah sampai kita mampu mengenal Allah itu sendiri melalui yang wujud
atau yang tergelar, hingga menjadi akhlak hidup sehari-hari.
Untuk mencapai cita-cita, kita harus
fokus kepada cita-cita tersebut, kita harus memiliki tekad yang tidak ada
habisnya dalam upaya mewujudkannya (istiqamah), kita juga harus memiliki
semangat untuk mewujudkan cita-cita dengan kualitas terbaik, bukan asal-asalan
dan tentunya jangan membiasakan diri menunda.
Keahlian ini, di Jawa dikenal dengan
nama ilmu Klenik-Karang-Katon. Klenik artinya sesuatu yang masih tersembunyi;
Karang adalah sesuatu yang direkayasa melalui akal-budi, dikarang-karang; Dan
Katon artinya terlihat dengan indra penglihatan. Pemahaman yang beragam dan
bertingkat-tingkat serta kemudian satu sama lain terkena euforia untuk
berlomba-lomba menyebarkan, akhirnya membuat kerancuan di masyarakat. Tentunya
ini adalah cara Allah untuk mengingatkan kita, bahwa kita ini adalah makhluk
yang tidak mampu. Ingatlah, hanya Allah yang mampu memberikan penjelasan,
sehingga Dia dipanggil dengan panggilan Al ‘Alim, yang bermakna Sang Penjelas.
Oleh karena itu, marilah kita berjuang
dengan bersungguh-sungguh untuk ke Allah melalui pewujudan cita-cita dan tugas secara
berkualitas. Dengan demikian kita bisa menikmati apa yang kita hasilkan serta
tidak lupa untuk bersyukur serta menjadikannya sebagai sarana ke Allah. Itulah hamba Allah.
Ingatlah! Dakwah adalah mendorong kepada ilmu dan laku, bukan sekedar ilmu. Karena ilmu hanya akan dipakai untuk mengukur atau menilai orang.
Ingatlah! Dakwah adalah mendorong kepada ilmu dan laku, bukan sekedar ilmu. Karena ilmu hanya akan dipakai untuk mengukur atau menilai orang.
Ibnu Syibrimah berkata, “Aku dan Abu Hanifah bertamu ke rumah
Ja’far ash-Shadiq. Aku berkata kepadanya, “Ini adalah seorang laki-laki alim
dari Irak.””
“Barangkali, ia yang mengukur agama dengan akalnya? Apakah ia
Nu’man bin Tsabit? Aku tidak mengetahui namanya,” timpal Ja’far ash-Shadiq.
Mendengar ucapan itu, aku hanya diam.
Lalu Abu Hanifah berkata, “Ya, aku orang yang anda maksud.
Semoga Allah SWT memberikan kebaikan kepadamu.”
“Bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan mengukur agama
dengan akalmu! Sebab makhluk yang pertama kali mengukur agama dengan akal
adalah Iblis, sekiranya ia berkata, “Aku lebih baik daripada dia.” Maka ia
melakukan kesalahan melalui ukurannya itu. Ia telah tersesat.”
Ja’far ash-Shadiq menambahkan, “Apakah engkau bisa mengukur
dengan baik antara akalmu dengan jasadmu?”
“Tidak.” Jawab Abu Hanifah.
“Wahai engkau, beritahu aku, mengapa Allah SWT menciptakan
asin pada dua mata dan pahit pada dua telinga? Mengapa hidung berair dan rasa
tawar pada dua bibir?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Abu Hanifah.
“Sesungguhnya, Allah SWT menjadikan itu sebagai pemberian
kepada hamba-Nya. Dua mata adalah dua lemak, seandainya tidak asin niscaya akan
rusak. Dua telinga sering dimasuki oleh hewan kecil, seandainya tidak pahit
rasanya, niscaya akan menyakitinya. Dua lubang hidung menghirup udara yang
bersih dan kotor, seandainya tidak berair, niscaya tidak bisa mencium bau. Dua
bibir untuk makan, seandainya tidak peka rasa, niscaya tidak akan ada
kenikmatan padanya,” jelas Ja’far ash-Shadiq.
“Wahai engkau, beritahu aku sebuah kalimat yang awalnya adalah
syirik dan akhirnya adalah iman?” Lanjut Ja’far ash-Shadiq.
“Aku tidak tahu.”
“Kalimat itu adalah laa ilaha illa Allah.”
“Beritahu aku dua hal yang lebih besar dosanya, pembunuhan
atau zina?” Lanjut Ja’far.
“Pembunuhan lebih besar dosanya!” Jawab Abu Hanifah.
“Dalam pembunuhan, Allah SWT menerima dua orang saksi, sedang
dalam zina, Allah SWT tidak menerimanya kurang dari empat!” Tegas Ja’far.
Abu Hanifah pun terdiam.
“Mana dua hal yang lebih utama, puasa atau shalat?” Tanya
Ja’far.
“Shalat lebih utama.”
“Kalau begitu, mengapa Allah SWT mewajibkan orang haid
mengqadha puasa, akan tetapi tidak pada shalat?” Ungkap Ja’far.
Abu Hanifah terdiam lagi.
“Wahai engkau, bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan
berkata dengan akalmu dalam agama. Sebab kita akan berdiri di hadirat Allah SWT
dan kita akan berkata, “Allah SWT berkata, “Rasulullah (saw) berkata, “Engkau
dan teman-temanmu berkata, “Menurut kami.”””” Sesungguhnya Allah SWT melakukan
sesuatu kepada kita dan kalian sekehendak-Nya.” Jelas Ja’far.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar