Dakwah (Islam Itu Universal)




Rasakan, dari dulu, sekarang bahkan nanti, selalu ada keberadaan yang tetap, tidak berubah, kekal abadi. Dia kekal abadi dan tetap dalam kesempurnaan.
Perhatikan pula diri kita, tumbuh dari kecil, menjadi besar, lalu tua dan mati. Perhatikan pula nafas keluar masuk sendiri, jantung berdetak sendiri, darah mengalir sendiri. Perhatikan pula dalam hidup, tak ada angin tak ada hujan tahu-tahu ada masalah. Kemudian kita diberi jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berarti ada yang menumbuhkan, ada yang memelihara, ada yang mendidik kita. Itulah Sang Rabb.
Dakwah bermakna seruan, yaitu seruan ke Allah. Bukan seruan kepada diri kita atau kelompok kita. Dakwah adalah mempromosikan Allah. Pemahaman ini dijelaskan dalam QS Fushshilaat 41 ayat 33: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (da’aa) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"
Sekilas dakwah sedemikian mudahnya, yaitu hanya berseru mengajak ke Allah. Namun pada kenyataannya sedemikian sulitnya, mengingat bagaimana kita akan mengajak, kalau kita sendiri belum tahu siapa Allah. Bagaimana caranya menuju ke Allah? Dengan apa kita harus ke Allah? Inilah yang perlu dijelaskan. Penjelasan tentunya menggunakan ilmu, karena ilmu bermakna kejelasan.
Nah, kalau kita kembalikan setting pada seribu  lima ratus tahun yang lalu, dimana orang-orang belum mengenal Islam, bagaimana menjelaskan kepada umat pada waktu itu yang memiliki basis pengetahuan yang berbeda. Inilah salah tantangan yang harus dihadapi oleh Rasulullah (saw). Pada waktu itu Rasulullah (saw) berdakwah bukan mengutamakan penjelasan ilmu agama, tetapi fokus mengajak manusia ke Allah. Bersamaan dengan itu, individu dan masyarakat mendapatkan permasalahan dan dengan memohon tuntunan Allah lah, maka terbentuklah model masyarakat Madani lengkap dengan tatanannya.
Berhubung tujuan dakwah adalah mengajak kepada Allah, kepada keselamatan, maka para pendakwah harus berupaya agar umat tidak lari dari mereka. Oleh karena itu mereka harus mengembangkan metode-metode yang cerdas yang sesuai dengan zamannya. Diantaranya adalah dengan wejangan, cerita tutur berupa dongeng, hiburan termasuk tembang dan tentunya keteladanan.
Proses belajar adalah dengan mengingat hingga ke dalam jiwa, karena lebih terhormat daripada belajar dengan cara mencatat. Karena dengan mengingat, maka dengan cepat bisa diamalkan dan kemampuan jiwa beserta alat-alatnya seperti otak kita pun semakin berkembang.
Wejangan adalah penyampaian pendidikan langsung ke dalam diri, sehingga bisa memberikan dampak langsung bagi sang penerima. Wejangan adalah meniru kisah ketika para Nabi atau para Wali menerima pendidikan berupa wahyu atau inzal atau ilham, yang langsung ke dalam diri mereka. Mereka yang mendapatkan wejangan tidak diperbolehkan menggunakan pikirannya untuk mereka-reka atau memahami, namun bersedia menerima pendidikan tersebut dan mengendapkannya dalam dirinya. Seketika itu juga sang penerima wejangan bisa langsung memahami, bahkan seringkali tanpa penjelasan lebih lanjut.
Wejangan hanya diberikan kepada mereka-mereka yang terpilih. Sebagaimana Murtadha Muthahhari (1996) mengisahkan pengalaman pribadi ’Unwan Bashri salah seorang murid Imam Malik bin Anas (ra) pendiri madzab Maliki yang mendapat nasehat dari Imam Ja’far Ash Shadiq (ra), salah seorang keturunan Rasulullah (saw), “Hai Abu Abdillah, ma’rifatullah dan nurul yaqin tidak bisa didapat hanya dengan datang dan pergi atau hanya sekedar pintu fulan dan fulan saja. Orang lain tidak akan bisa menuangkan cahaya ilmu ini kepadamu, karena itu bukan sejenis ilmu pelajaran (pengetahuan). Itu adalah suatu cahaya, yang Allah akan berikan kepada hamba-hamba-Nya yang patut menerima hidayah-Nya. Kalau ilmu dan cahaya seperti ini yang kamu kehendaki, maka carilah hakikat ‘ubudiyah dari batin ruhmu dan kedalaman jiwamu. Carilah ilmu ini dengan jalan beramal dan mohonlah kepada Allah, niscaya Dia akan mengaruniakannya di hatimu (dirimu) ... .”
Demikian pula Allah mengingatkan Nabi Muhammad (saw) sebagaimana tercatat dalam QS Thaha 20 ayat 114, “Maka Maha Tinggi Allah, Sang Raja, Yang Maha Benar. Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu. Dan katakanlah, “Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmuku.””
Melalui berbagai media yang disukai masyarakat, seperti lagu, film dan lain-lain dakwah juga bisa disampaikan secara masal tanpa mereka merasa digurui, apalagi dipaksa. Yang paling penting adalah membuat masyarakat tertarik dan mudah mengingat dakwah tersebut agar nantinya memotivasi mereka untuk menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan dakwah melalui keteladanan adalah melalui karya nyata yang bermanfaat langsung untuk masyarakat. Melalui manfaat yang langsung dinikmati oleh masyarakat, diharapkan mereka bisa menikmati, mensyukuri dan mengakui Kebesaran Allah. Sehingga mereka terdorong untuk mengamalkannya sendiri. Masyarakat hanya tinggal meniru saja sudah cukup. Namun jika ada yang memiliki dorongan untuk menggali lebih lanjut, akan lebih baik.
Karya merupakan bentuk ekspresi manusia dalam menggali nikmat hidup. Media yang bisa digunakan untuk mengekspresikan diri ada berbagai macam, seperti media lukis, tulis, instalasi, tembang, musik, bahasa dan lain-lain. Bentuk-bentuk karya nyata seringkali berupa simbol-simbol tanpa penjelasan, sehingga bisa menimbulkan multi tafsir. Misalnya adalah tata kota kuno, bentuk rumah, bentuk masjid, tembang, wayang dan lain sebagainya. Sebenarnya karya adalah untuk menunjukkan Kebesaran Allah dan ketidakterbatasan nikmat-Nya. Walau bisa saja karya merupakan penjelasan Rabb akan Dirinya mengingat semakin banyak manusia lalai kepada-Nya.
Berhubung dakwah disampaikan secara lisan dan turun-temurun serta penggunaan simbolisasi (sanepa) dan juga karya fisik, tentunya akan menghasilkan persepsi yang semakin beragam tergantung tingkat pemahaman masing-masing penutur dan yang menerima. Kondisi ini merupakan fitrah dalam kehidupan manusia agar manusia menyadari kelemahan dirinya dan tidak terjebak kepada sikap sombong karena menganggap dirinya mampu. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya kultus individu kepada sang pendakwah. Karena yang tetap ada dan mampu memberikan penjelasan adalah Al ‘Alim sendiri, maka hanya kepada-Nya lah kita mengharap tuntunan.
Tujuan dari dakwah adalah mengajak umat untuk ke Allah. Itulah ibadah. Tentunya beribadah dengan sempurna hanya bisa kita laksanakan setelah kita mengenal-Nya. Dan pengenalan hanya bisa terjadi kalau kita berupaya untuk menemui-Nya. Pertemuan hanya terjadi bilamana ada upaya terus-menerus mendekatkan diri kepada-Nya. Kita umumnya tertarik untuk melakukan sesuatu, karena kita suka apalagi cinta. Oleh karena itu, bukalah diri kita untuk menyukai bahkan bisa mencintai Allah. Niscaya kita akan selalu ingat dan rindu untuk bertemu.
Pendekatan diri artinya mempergunakan diri kita, yang bermakna keseluruhan diri. Jadi pendekatan diri bukan sekedar mempergunakan tubuh atau pikiran atau perasaan saja. Aku yang gaib dan bersinggasana dalam dada inilah yang harus dijadikan tuan atas diri ini dan dikembalikan kepada Allah SWT. Otomatis sikap diri yang seperti ini akan membawa umat kepada masyarakat yang mandiri dan hanya bergantung kepada Allah, Rabb semesta alam yang senantiasa hidup dan tidak pernah mati, apalagi meninggalkan makhluk-Nya. Jangan sampai umat ketika ditinggalkan masih bergantung kepada sang pendakwah. Cukup dengan menyampaikan salam penghormatan dan meneladani sikap mereka. Karena dengan meneladani sikap mereka, kita akan berproses menuju kesempurnaan.
QS Al A’raaf 7 ayat 205: Dan sebutlah (nama) Rabb-mu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Dengan adanya pemahaman yang berbeda-beda dan adanya dorongan dari informasi tersebut untuk disampaikan, maka terjadilah penyampaian informasi yang simpang siur. Otomatis ini semuanya akan menghasilkan distorsi sejarah. Oleh karenanya, selain melakukan penelitian yang mendalam atas sumber sejarah, yang paling utama adalah dengan menggantungkan diri kepada pemahaman yang diturunkan Rabb. Sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah (saw) dan disampaikan oleh guru-guru kita, yakni “Ya Rabbi, tambahkanlah ilmuku dan berilah aku pemahaman.”
Pada kenyataannya, memang manusia tidak mampu memberikan pemahaman. Yang bisa disampaikan kepada para pendengarnya hanyalah informasi yang berupa peringatan atau berupa kabar yang secara umum disebut dengan pengetahuan. Dengan perenungan dan melakukan serangkaian uji coba atau verifikasi serta dengan melakukan pengamatan terhadap diri dan segala kejadian di sekitar kita, baru kita bisa memperoleh pemahamannya. Sehebat apa pun kita, kita tidak akan mendapatkan pemahaman tanpa pengamalan dan anugerah Rabb. Sehingga diperlukanlah doa di atas.
QS Al Faathir 35 ayat 24: Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Dan pemahaman kita akan semakin sempurna kalau kita sudah membuktikan sendiri kebenaran atas ilmu atau dakwah yang dimaksud. Sebagai contoh, kita diberi tahu bahwa Presiden pertama Republik Indonesia adalah Soekarno, maka dengan segera kita tahu dan bisa menyampaikan kepada siapa saja, siapa presiden pertama Republik Indonesia. Namun ketika kita ditanya, kenalkah kita kepadanya? Maka untuk mengiyakan pertanyaan ini, kita perlu bukti bahwa kita mengenalnya, yaitu paling tidak pernah bertemu. Pengenalan itulah pemahaman. Pemahaman dengan membuktikan sendiri hingga kita menjadi ahli, akan lebih berdaya guna daripada melakukan analisa pikiran. Perhatikanlah hadits-hadits Rasulullah (saw), pasti berupa pengamalan beliau atau berupa wahyu, bukan hasil rekayasa pikiran. Maka Qur’an atau pun Hadits memiliki daya untuk mendorong umat untuk bersikap positif.
Meski para pendakwah sudah berjuang untuk bisa membahasakan kepada umatnya agar mudah untuk difahami, namun tanpa adanya kesediaan untuk menerima, tentulah tidak akan banyak hasilnya.
Untuk bisa menangkap dengan sempurna dakwah yang disampaikan, ada berbagai tingkat media dalam diri kita yang bisa kita pergunakan. Media yang pertama adalah segala sesuatu yang tergelar ini bisa kita ketahui melalui sarana tubuh, yakni melalui penggunaan panca indra.
Media yang kedua adalah segala sesuatu yang sudah diketahui, kita olah dengan kemampuan (qudrat), seperti kemampuan menarik manfaat seperti akal-budi atau kecerdasan otak (intelektualitas) atau cipta-rasa, yakni dengan menganalisa benar-salah atau baik-buruknya. Maksudnya dilihat dari besar kecilnya nikmat yang akan kita peroleh. Setelah diketahui tingkat kenikmatannya kemudian kita upayakan dengan menggunakan kemampuan daya cipta sehingga muncul gambaran-gambaran dalam daya kreasi kita.
Media ketiga adalah pemahaman atas karsa atau kehendak (iradat) untuk mewujudkan gambaran-gambaran tersebut. Inilah yang dimaksud dengan bahasa kehendak.
Media yang keempat adalah sang pelaku atau sang diri atau sang jiwa, yang menyebut dirinya dengan ‘aku’. Sebagai contoh, ketika kita sedang marah. Pada keadaan tersebut ada diri kita yang marah dan ada yang memberitahu kita dengan istilah, bahwa suasana diri kita saat itu diistilahkan sedang marah.
Di atas itu semua masih ada yang bisa memahami bahasa Allah, yakni Sang Ruhani. Sang Ruhani yang langsung berhubungan dengan dengan Dia, Sang Pemberi Perintah, Sang Pemberi Ilham, Sang Pengajar, Sang Pencipta alam semesta.
Untuk memahami sesuatu, kita bisa juga melakukannya melalui pendekatan atas namanya (asma), karyanya (af’al), sifatnya hingga wujudnya (dzat). Karena setiap wujud pasti memiliki nama, punya karya atau perbuatan dan punya sifat. Meski tidak kita pungkiri bahwa setiap wujud bisa jadi memiliki asma yang sama atau sifat yang sama atau af’al yang sama.
Pendekatan yang berbeda adalah dengan pendekatan melalui dzat yang cenderung spesifik kepada wujud yang dimaksud. Berhubung wujud yang dimaksud sudah meninggal atau tidak ada atau ghaib, untuk bisa memastikan wujud yang dimaksud, yang paling akurat adalah melalui karyanya. Meski juga tidak bisa dipungkiri bahwa suatu karya bisa jadi merupakan karya bersama.
Berbeda ketika kita ingin mengenal Allah, karena Dia tidak sama dengan makhluk-Nya. Ini berarti bahwa Allah adalah Asma, yang juga Af’al, yang juga Sifat dan juga Dzat; Allahu Ahad (QS Al Ikhlash 112 ayat 1). Jadi dengan pendekatan apa saja pasti mudah. Hanya sayangnya kita selalu ketakutan untuk meyakini hal tersebut, bahkan berprasangka negatif bahwa hal tersebut adalah sesat karena dampak pendekatan kepada Allah yang terjadi pada diri kita dituduhkan berasal dari makhluk golongan jin (setan).
Cara pandang seperti ini adalah cara pandang orang-orang yang dekat dengan kemusyrikan, karena menganggap setan sebagai pemegang kuasa kejahatan dan Allah sebagai pemegang kuasa kebaikan, berarti menyekutukan Allah, karena menganggap Allah memiliki lawan sepadan. Sebagai contoh kalau kita melihat, maka perlu penglihatan. Sedangkan Allah, PenglihatanNya itulah Dia sendiri.
Bilamana kita memperhatikan hadits Qudsy berikut, “Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi. Aku cinta dikenal. Aku ciptakan makhluk-Ku, agar mereka mengenal Aku (dengan Allah mereka mengenal Aku)”, akan nampak proses pengenalan Allah sebagai berikut: Pada tahap awal, kita akan mulai mengenal Sang Perbendaharaan Tersembunyi, dari Asma-Nya, yaitu Allah yang terdiri atas huruf-huruf Alif-Lam-Lam-Ha. Nama yang kita peroleh dari orang tua atau masyarakat kita. Maka syahadat kita adalah laa ilaha illa Allah.
Selanjutnya, kalau kita semakin mengenal-Nya dengan cara memperhatikan karya atau Af’al-Nya melalui pengamatan terhadap diri kita dan alam semesta ini, maka kita akan menyebut-Nya dengan kata Dia (Huwa). Maknanya kita sudah mengetahui siapa Allah itu. Bilamana kita perhatikan susunan huruf yang menyusun Asma-Nya, maka kalau kita menghilangkan huruf pertama Alif, sehingga tinggal huruf Lam-Lam-Ha. Dalam Qur’an biasanya ditulis dengan kata Billah atau Lillah adalah menunjukkan Af’al Allah. Syahadat kita yang sudah mengenal Dia melalui Af’al-Nya akan menjadi laa ilaha illa Huwa.
Bila kita beruntung untuk semakin mengenal-Nya, maka kita akan mengenal Sifat-Sifat-Nya. Ini menunjukkan kedekatan, sehingga ada dialog atau komunikasi. Dalam kedekatan komunikasi kita akan menyebut-Nya dengan Engkau (Anta). Dengan metode yang sama, bila huruf pertama dan kedua dihilangkan, maka tinggal Lam dan Ha, yang akan membentuk kata Lahu. Misalnya Lahul Mulku wa-Lahul Hamdu. Syahadat kita berubah menjadi laa ilaha illa Anta.
Secara komunikasi, mampu berdialog dengan Allah semestinya sudah memuncaki segala perjuangan kita. Namun ternyata Allah menginginkan penyerahan diri secara total. Sayangnya yang mengenal Allah adalah Allah sendiri. Oleh karena itu, kita harus menyerahkan diri kita sampai keberadaan diri kita fana dan yang tetap ada dan selalu ada adalah Allah sendiri, sehingga Dia akan bersabda dengan AkuNya. Inilah makna cinta (hubb) sejati. Bila Lam terakhir kita hilangkan, maka yang tertinggal adalah Ha, atau terbaca Huuu yang merupakan eksistensi dari Sang Dzat. Karena Sang Dzat menyebut DiriNya, maka menggunakan kata ganti Aku (Ana), sehingga Dia bersyahadat untuk DiriNya sendiri dengan laa ilaha illa Ana.
Namun ingat, meskipun nampaknya mudah, hanya Allah yang memahami Allah dan hanya Allah yang mengijinkan untuk dikenal, bukan karena kemampuan atau kebisaan kita. Ingat, bukankah Dia hidup (Al Hayyu)? Dan atas usaha kita yang sungguh-sungguh dalam perjuangan melalui sikap berserah diri kepada-Nya, semoga Dia membuka hijab-hijab yang kita ciptakan, karena Dia tersembunyi tanpa perlu menyembunyikan Diri. Oleh karena itu, teguhkan bahwa yang kita tuju adalah Allah, palingkanlah diri kita dari selain Dia dan jadikanlah wahyu Qur’an sebagai pegangan dan Rasulullah (saw) sebagai teladan.
Dengan media dan metode yang dijelaskan tadi, kita bisa melakukan pengenalan kepada para wali, kepada Nabi (saw), kepada Allah. Dalam proses pengenalan ini, pada tahap awal kita memerlukan informasi baik berupa literatur ataupun tuturan dari orang-orang yang merasa tahu ataupun jejak sejarah seperti makam, hasil karya, petilasan dan lain-lain. Informasi ini masih sekedar info, sehingga hanya bisa dijadikan sangkaan. Sedangkan sangkaan adalah baru tahap awal dari pemahaman, dimana akan semakin disempurnakan melalui pemahaman dengan cara menghubungkan informasi yang satu dengan informasi yang lain sampai mendapatkan pemahaman, dimana informasi satu dengan informasi yang lain saling memperkuat atau kita punya fakta-fakta. Pemahaman ini akan semakin sempurna dan menjadi pengenalan bilamana kita sudah bisa bergaul dekat dengan obyek yang dimaksud.
Berdakwah sebaiknya melalui keteladanan dan melalui akhlak yang terpuji dan tidak menggunakan pemaksaan, sebagaimana nasehat Imam Ja’far Ash Shadiq, “Tahukah kalian bahwa cara-cara Bani Umayyah adalah dengan kekerasan dan penekanan. Tetapi metode dan cara kita adalah dengan sopan santun, lemah lembut, bergaul dengan baik dan menarik hati (Murtadha Muthahhari, 1996).”
Kita harus mampu mengungkapkan ide-ide ataupun cita-cita menjadi sesuatu yang memiliki nilai-nilai keilmuan dan mampu mewujudkan ide atau cita-cita tersebut, cita-cita yang memberikan manfaat buat umat manusia. Kita harus mampu mengamalkan QS At Takatsur 102 dengan sempurna, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan.”
Bilamana dijelaskan nampak ada suatu siklus penciptaan, yaitu diawali dengan adanya ide. Ide adalah sesuatu yang masih belum ada (gaib / klenik), sehingga kita bisa berprasangka berasal dari Sang Gaib. Dari ide, kita mengembangkannya menjadi ilmu dasar atau filsafat atau teori yang bisa difahami dengan bahasa logika atau akal-budi (karang). Dari teori, kita mengembangkan teknologi rancang bangun dengan menggunakan daya cipta yang beliau miliki. Bahkan lebih lanjut lagi sebagai bukti kesempurnaan maqam, kita harus mewujudkannya hingga bisa difahami dan dinikmati dengan panca indra, yakni karya nyata (katon). Proses inilah yang mestinya difahami sebagai proses menurun dalam proses cipta-karya oleh makhluk.
Agar siklus cipta-karya menjadi sempurna, maka harus ada proses menaik. Proses ini bisa dijalankan dengan menikmati apa yang terwujud (tergelar), diteruskan dengan mensyukuri bahwa nikmat yang kita peroleh adalah anugerah-Nya. Kesempurnaan dari rasa syukur adalah sampai kita mampu mengenal Allah itu sendiri melalui yang wujud atau yang tergelar, hingga menjadi akhlak hidup sehari-hari.
Untuk mencapai cita-cita, kita harus fokus kepada cita-cita tersebut, kita harus memiliki tekad yang tidak ada habisnya dalam upaya mewujudkannya (istiqamah), kita juga harus memiliki semangat untuk mewujudkan cita-cita dengan kualitas terbaik, bukan asal-asalan dan tentunya jangan membiasakan diri menunda.
Keahlian ini, di Jawa dikenal dengan nama ilmu Klenik-Karang-Katon. Klenik artinya sesuatu yang masih tersembunyi; Karang adalah sesuatu yang direkayasa melalui akal-budi, dikarang-karang; Dan Katon artinya terlihat dengan indra penglihatan. Pemahaman yang beragam dan bertingkat-tingkat serta kemudian satu sama lain terkena euforia untuk berlomba-lomba menyebarkan, akhirnya membuat kerancuan di masyarakat. Tentunya ini adalah cara Allah untuk mengingatkan kita, bahwa kita ini adalah makhluk yang tidak mampu. Ingatlah, hanya Allah yang mampu memberikan penjelasan, sehingga Dia dipanggil dengan panggilan Al ‘Alim, yang bermakna Sang Penjelas.
Oleh karena itu, marilah kita berjuang dengan bersungguh-sungguh untuk ke Allah melalui pewujudan cita-cita dan tugas secara berkualitas. Dengan demikian kita bisa menikmati apa yang kita hasilkan serta tidak lupa untuk bersyukur serta menjadikannya sebagai sarana ke Allah. Itulah hamba Allah.

Ingatlah! Dakwah adalah mendorong kepada ilmu dan laku, bukan sekedar ilmu. Karena ilmu hanya akan dipakai untuk mengukur atau menilai orang.
Ibnu Syibrimah berkata, “Aku dan Abu Hanifah bertamu ke rumah Ja’far ash-Shadiq. Aku berkata kepadanya, “Ini adalah seorang laki-laki alim dari Irak.””
“Barangkali, ia yang mengukur agama dengan akalnya? Apakah ia Nu’man bin Tsabit? Aku tidak mengetahui namanya,” timpal Ja’far ash-Shadiq.
Mendengar ucapan itu, aku hanya diam.
Lalu Abu Hanifah berkata, “Ya, aku orang yang anda maksud. Semoga Allah SWT memberikan kebaikan kepadamu.”
“Bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan mengukur agama dengan akalmu! Sebab makhluk yang pertama kali mengukur agama dengan akal adalah Iblis, sekiranya ia berkata, “Aku lebih baik daripada dia.” Maka ia melakukan kesalahan melalui ukurannya itu. Ia telah tersesat.”
Ja’far ash-Shadiq menambahkan, “Apakah engkau bisa mengukur dengan baik antara akalmu dengan jasadmu?”
“Tidak.” Jawab Abu Hanifah.
“Wahai engkau, beritahu aku, mengapa Allah SWT menciptakan asin pada dua mata dan pahit pada dua telinga? Mengapa hidung berair dan rasa tawar pada dua bibir?”
“Aku tidak tahu.” Jawab Abu Hanifah.
“Sesungguhnya, Allah SWT menjadikan itu sebagai pemberian kepada hamba-Nya. Dua mata adalah dua lemak, seandainya tidak asin niscaya akan rusak. Dua telinga sering dimasuki oleh hewan kecil, seandainya tidak pahit rasanya, niscaya akan menyakitinya. Dua lubang hidung menghirup udara yang bersih dan kotor, seandainya tidak berair, niscaya tidak bisa mencium bau. Dua bibir untuk makan, seandainya tidak peka rasa, niscaya tidak akan ada kenikmatan padanya,” jelas Ja’far ash-Shadiq.
“Wahai engkau, beritahu aku sebuah kalimat yang awalnya adalah syirik dan akhirnya adalah iman?” Lanjut Ja’far ash-Shadiq.
“Aku tidak tahu.”
“Kalimat itu adalah laa ilaha illa Allah.”
“Beritahu aku dua hal yang lebih besar dosanya, pembunuhan atau zina?” Lanjut Ja’far.
“Pembunuhan lebih besar dosanya!” Jawab Abu Hanifah.
“Dalam pembunuhan, Allah SWT menerima dua orang saksi, sedang dalam zina, Allah SWT tidak menerimanya kurang dari empat!” Tegas Ja’far.
Abu Hanifah pun terdiam.
“Mana dua hal yang lebih utama, puasa atau shalat?” Tanya Ja’far.
“Shalat lebih utama.”
“Kalau begitu, mengapa Allah SWT mewajibkan orang haid mengqadha puasa, akan tetapi tidak pada shalat?” Ungkap Ja’far.
Abu Hanifah terdiam lagi.
“Wahai engkau, bertakwalah kepada Allah SWT dan jangan berkata dengan akalmu dalam agama. Sebab kita akan berdiri di hadirat Allah SWT dan kita akan berkata, “Allah SWT berkata, “Rasulullah (saw) berkata, “Engkau dan teman-temanmu berkata, “Menurut kami.”””” Sesungguhnya Allah SWT melakukan sesuatu kepada kita dan kalian sekehendak-Nya.” Jelas Ja’far.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)