Jakarta, 5 Oct 2016
Nasehat Nabi (saw) yang disampaikan kepada umat melalui para Wali sampai
hari ini masih relevan, namun sangat sulit dalam memahaminya. Kesulitan
pemahaman dimulai dari penyampaian tergantung dari tingkat pemahaman para
penyampai, pemilihan kata yang saat ini dimaknai berbeda dan juga kebanyakan
manusia zaman sekarang hanya melakukan analisa perenungan dan jarang memperhatikan
dirinya dan mempraktekkannya.
Sedangkan pada kenyataannya, ketika kita menerima informasi dan merenungkannya,
maka kita akan terjebak dalam tiga pilihan, yaitu:
- Faham, jangan hanya menjadi ilmu saja, praktekkan!
- Ragu-ragu, berteori dan praktekkan!
- Tidak faham, percaya dan praktekkan!
Semuanya dengan sikap percaya kepada Gusti Sang Penggelar Jagad dan
beristiqamah lah!
Dengan cara seperti ini, insya Allah kita akan berproses dari no 3 ke no
1, yaitu menjalankan (isbatul yaqin) dengan pemahaman (ilmul yaqin) sampai
terbukti (ainul yaqin) bahkan sampai tercapai kepastian kebenarannya (haqqul yaqin).
Nasehat yang disampaikan dari Nabi (saw) hingga ke para Wali, selalu
berdasarkan kepada kenyataan atau hakekatnya dan harus diteliti sampai kenal (ma’rifat).
Karenanya nasehat beliau-beliau disebut ilmu Hakekat-Makrifat.
Hakekat-Makrifat adalah suatu proses perjalanan diri hingga akhir hayat.
Tentunya terdiri dari beberapa langkah penyempurnaan.
Ingat bahwa yang mengajarkan kita apa-apa yang tidak kita ketahui adalah
Rabb Al Karim, sebagaimana Nabi (saw) menerima ayat Qur’an pertama kali, yaitu
QS Al ‘Alaq 96 ayat 1-5: Bacalah dengan
Nama Tuhan-mu Yang Menciptakan, DIA telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhan-mu lah Yang Maha Mulia (Rabb Al Karim), Yang Mengajar
dengan perantaraan qalam, DIA mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.
Jadi Mursyidnya adalah Rabb Al Karim, bukan mursyid
yang berupa makhluk. Sedangkan manusia tugasnya hanyalah memberi info dan
mengingatkan.
Dengan demikian kita perlu menetapkan diri bahwa pendidik kita adalah
Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS Fushshilaat 41 ayat 30: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan,
“Rabbunallah!” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan
ALLAH kepadamu.”
Sikap Diri
Agama atau Ad-Diyn itu adalah sikap diri. Beragama sempurna berarti
bersikap sempurna, yaitu memiliki tujuan yang jelas, yaitu Sang Penggelar alam
semesta ini; memiliki cara yang tepat, yaitu berserah diri kepada Sang
Penggelar alam semesta ini; memiliki ukuran keberhasilan yang tegas, yaitu
sebagaimana maunya Sang Penggelar alam semesta ini dan; melaksanakannya pada
waktunya, yaitu hanya DIA Sang Penggelar alam semesta ini yang mengetahui waktu
tepatnya.
Yang bersikap tentunya ya diri kita ini. Namun pada kenyataannya, kita
sering kehilangan siapa diri kita ini. Kita secara tidak sadar telah terseret
oleh alat-alat diri, sehingga kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu sadarkan
bahwa kita berada di saat ini di sini. Tujuannya agar kita bisa menempatkan
diri kita tanpa terseret oleh kebiasaan (memori) dan angan-angan atau harapan
(mimpi akan masa depan) atau dorongan dari wujud-wujud di sekitar kita.
Pada sikap ini, akan didapat ketenangan dan akan nampak, siapa saya,
pikiran saya, perasaan saya dan ada yang memperhatikan. Sehingga akan bisa
membuktikan suatu teori: Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.
Juga melaksanakan perintah QS Adz Dzariyat 51 ayat 21: Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Pengetahuan I: Adanya Dzat
Serat Wirid Hidayat Jati membeberkan bisikan Nabi (saw) kepada Ali (kw): Sebenarnya semua yang ada ini bermula dari
tidak ada. Semenjak dahulu masih dalam keadaan kosong, segala sesuatu ini belum
ada. Pertama-tama yang ada tak lain hanya AKU. Tidak ada Pangeran, yang ada AKU
sendiri. Sesungguhnya AKU adalah Dzat Yang Maha Mulia, Meliputi Sifat-KU,
Menyertai Asma-KU, Menandai Af’al-KU.
Siapakah AKU yang dimaksud? Bukankah yang dimaksud adalah KUASA itu sendiri? Disebut KUASA berarti harus ada yang dikuasai, yaitu AKU-NYA. KUASA pasti tunggal tidak ada duanya, sempurna dan tidak mungkin dikuasai. Berarti dari dulu, sekarang mau pun nanti, ini semua
tetap kekal abadi seperti ini.
Tahun 2007 saat melakukan ibadah haji ke Mekah, tepatnya suatu malam sebelum melakukan Thawaf Wada’ atau Thawaf Perpisahan karena akan pulang, ada ilham berupa doa, yaitu Ya ALLAH, temuilah hamba-MU di Rumah ENGKAU. Dan besoknya ketika Thawaf, istri mengajak untuk memegang Ka’bah. Selepas istri mengucap demikian, mendadak mereka yang sedang Thawaf menyingkir, sehingga mudah untuk mendekat dan memegang Ka’bah, hingga berdoa di Multazam dan masuk Hijr Ismail.
Tahun 2007 saat melakukan ibadah haji ke Mekah, tepatnya suatu malam sebelum melakukan Thawaf Wada’ atau Thawaf Perpisahan karena akan pulang, ada ilham berupa doa, yaitu Ya ALLAH, temuilah hamba-MU di Rumah ENGKAU. Dan besoknya ketika Thawaf, istri mengajak untuk memegang Ka’bah. Selepas istri mengucap demikian, mendadak mereka yang sedang Thawaf menyingkir, sehingga mudah untuk mendekat dan memegang Ka’bah, hingga berdoa di Multazam dan masuk Hijr Ismail.
Dalam Hijr Ismail yang penuh, banyak yang sholat sembari berdiri dan
memohon bahwa para hamba berada di Rumah-NYA dan mohon untuk ditemui. Tidak ada
apa-apa, semuanya biasa saja, namun ada suatu jawaban berupa pemahaman: AKU di
sini saat ini. Saat itu juga menjadi saksi akan keberadaan Sang Sejati, Yang Tetap
Abadi dalam Kesucian dan Kemuliaan, Yang Meliputi segala sesuatu. Mengakui
bahwa DIA ada. DIA Zhahir, DIA Bathin.
Ini semua adalah fadhlillah dan rahmat-NYA. Apalah artinya manusia yang
bergelimang salah dan khilaf, yang lemah dalam ibadah bisa mendapatkan anugerah
seperti ini. Artinya kita semua bisa mendapatkan ini semua. Berharaplah dengan
sepenuh keyakinan kepada-NYA!
Pengalaman tersebut sepertinya membenarkan informasi adanya firman Allah,
yaitu: Kuntu Kanzan makhfiyyan
ahbabtu an ‘urifa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni[1] (AKU adalah Perbendaharaan Tersembunyi, AKU cinta dikenal, AKU ciptakan makhluk-KU, agar mengenal AKU).” Dalam riwayat yang
lain disebutkan “dengan ALLAH lah mereka mengenal AKU”.
Dari informasi ini difahami
bahwa Sang Pencipta alam semesta ini bernama ALLAH.
PerbuatanNYA (Af’al) adalah menciptakan makhluk
karena cinta. SifatNYA adalah ingin dikenal tetapi
tersembunyi. DzatNYA adalah Perbendaharaan Tersembunyi yang menyebut DiriNYA dengan AKU.
Jadi sudah merupakan fitrah dari Sang Dzat untuk dikenal oleh makhluk-NYA.
Dan sudah menjadi fitrah pula bagi makhluk untuk mengenal-NYA. Oleh karena itu
paling tidak marilah selalu berusaha mengingat-NYA. Ingatlah kepada Sang Dzat
Yang Suci, Mulia, Kekal Abadi tadi dalam dirimu, sebagaimana dinyatakan dalam
QS Al A’raaf 7 ayat 205: Dan ingatlah
Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak
mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.
NAMUN INGAT, DIA KUASA DAN TIDAK MUNGKIN DIKUASAI!!!
NAMUN INGAT, DIA KUASA DAN TIDAK MUNGKIN DIKUASAI!!!
[1] Whatever the case, the contents of this text are
interesting enough to grant it a second look. That is mainly because the hadīth
commented upon has a long tradition in Sufi literature and can in fact be
considered as one of the best known and most widely celebrated apocryphal
traditions of mysticism. Its earliest known occurrence seems to be in ‘Abdallāh
Anshārī’s (d. 1089) Tabaqāt al-Sūfiyya. However, from the eleventh century
onwards references to it multiply and there seem to be very few mystical works that
do not quote it. Jalāl al-Dīn Rūmī (d. 1273), for example, alludes to it in his
Mathnawī, even to an extent that Nicholson considered ‘certain motifs, such as
that of the “hidden treasure”’ to be ‘overworked.’ In his commentary on the
Mathnawī Furūzānfar quotes the following from the Lu’lu’ al-marshū. Ibn
Taymiyya said, this [hadīth] was not uttered by the prophet (pbuh), and no
isnād for it, either solid or weak, is known. He was followed [in this] by
al-Zarkashī and Ibn Hajar. But its content is correct (wa-lākin ma’nāhu sahīh)
and clear and it circulates among the Sūfīs (Armin Eschraghi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar