Jakarta, 15 Sep 2016
Suatu hari kami
berkunjung ke mertua kami, yaitu Bp Mas Supranoto di Manggisan Banyuwangi untuk
menanyakan perihal Sangkan Paran. Kami menyampaikan kepada beliau, “Pak, ini
teman-teman ingin mengetahui perihal Sangkan Paran.”
Beliau menjawab,
“Belum waktunya kalian semua mengetahui perihal itu. Namun akan saya terangkan
perihal “Jagad Pitu”, agar kalian mengerti hakekat kalian tercipta sebagai
manusia.”
Beliau pun mengajak ke
ruangan yang lebih besar dan ada papan tulisnya untuk menjelaskan perihal Jagad
Pitu. Berikut penjelasannya (penjelasan tersebut kami beberkan menggunakan
bahasa kami):
Proses kejadian alam diawali dari adanya bumi yang dulunya merupakan
materi yang sangat padat dan sangat panas, contohnya adalah magma yang ada dalam
bumi atau matahari. Berarti materi yang pertama kali ada adalah materi yang
memiliki sifat panas. Agar memudahkan mengingat, disebut sebagai alam A1.
Mengingat kenyataan bahwa alam semesta mengalami ekspansi, maka terjadi
proses pendinginan. Sebagai akibatnya pada materi bumi yang saat itu masih
sangat panas, perlahan terbentuklah atmosfer atau udara. Udara ini memiliki
sifat memenuhi segala tempat, disebut alam A2.
Proses ekspansi terus berlangsung, maka terjadilah pengembunan dan
terbentuklah air. Air memiliki sifat selalu mengalir ke bawah, disebut alam A3.
Akhirnya terbentuklah daratan yang memiliki kecenderungan diam, disebut alam
A4.
Dengan adanya keempat materi tersebut, maka terciptalah tumbuhan. Tumbuhan
tercipta dari reaksi fotosintesis, yaitu udara (CO2) dengan air (H2O) didorong
adanya panas (UV) membentuk senyawa karbohidrat (C-H-O). Tumbuhan memiliki sifat
merasakan keberadaan dirinya, begitu pula jasmani manusia, disebut alam A5.
Dengan adanya tumbuhan dan tempat hidup beserta sarananya, maka
terciptalah hewan. Hewan memiliki sifat bisa bergerak bebas yang berbeda dengan
tumbuhan, yaitu didorong oleh kemauannya. Kemauan yang terdiri atas ambisi dan
emosi. Alam hewan ini disebut alam A6.
Setelah semuanya terwujud, maka terciptalah manusia. Ciri yang membedakan
manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan akalnya yang bisa mengembangkan
peradaban, disebut alam A7. Inilah alam materi yang tertinggi.
Semua materi alam tersebut memiliki awal. Disebut dengan alam A.
Karena tercipta, maka ada Yang Kuasa Menciptakan. Disebut dengan simbol.
Kalau kita simpulkan sebagai berikut:
Pada alam A terdapat A &
Pada alam A1 terdapat A1, A &
Pada alam A2 terdapat A2, A1, A &
Pada alam A3 terdapat A3, A2, A1, A &
Pada alam A4 terdapat A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A5 terdapat A5, A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A6 terdapat A6, A5, A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A7 terdapat A7, A6, A5, A4, A3, A2, A1, A &
Berarti ada dimana-mana atau
dikatakan meliputi segala sesuatu.
Inilah yang dimaksud dengan Jagad Pitu atau Alam Tujuh.
pada alam manusia A7 juga kita jumpai elemen-elemen sebagai berikut:
Awal disebut a
Panas disebut a1
Udara disebut a2
Air disebut a3
Padat disebut a4
Perasaan disebut a5
Kemauan disebut a6
Pikiran disebut a7
Komponen a, a1, a2, a3 dan a4 inilah yang membentuk jasmani manusia. Dalam
kajian ilmu Tasawuf yang tersebut dalam kitab Serat Wirid Hidayat Jati maupun
Jati Murti perasaan berpusat pada kemaluan dan disebut dengan Baitul Muqaddas.
Sedangkan kemauan berpusat pada diri manusia atau dinyatakan dalam dada manusia
yang disebut dengan Baitul Haram. Sedangkan pikiran berpusat di otak manusia
yang disebut dengan Baitul Makmur.
Sedangkan pada pikiran terdapat elemen-elemen sebagai berikut:
Awal disebut a’
Panas disebut a1’
Udara disebut a2’
Air disebut a3’
Padat disebut a4’
Memori disebut a5’
Pengertian disebut a6’
Akal disebut a7’
Komponen a’, a1’, a2’, a3’ dan a4’ merupakan komponen pembentuk otak atau
badan otak.
Melalui akal inilah manusia mengembangkan peradaban, baik berupa peradaban
untuk kemudahan hidupnya, untuk keselamatan hidupnya, maupun untuk penyembahan.
Dan kalau kita ringkas, peradaban berasal dari sesuatu yang diketahui dengan
pasti atau ilmiah, disebut a8. Peradaban dari sesuatu yang masih dikira-kira,
seperti teori atau filsafat, disebut a9. Dan peradaban yang berasal dari apa
yang kita percayai, disebut a10.
Apa perlunya kita mengetahui hal ini?
Dengan memahami Jagad Pitu ini, diharapkan manusia bisa mensikapinya,
yaitu senantiasa berada pada fitrahnya sebagai manusia. Janganlah kita disebut
manusia namun amal perbuatan kita hanyalah mengikuti perasaan (a5) seperti
tumbuhan dan/atau mengikuti kemauan (a6) seperti hewan. Kalau ini yang terjadi,
maka rusaklah alam semesta ini.
Berbeda dengan manusia yang memahami akan fitrah jati dirinya. Dia akan
selalu berusaha menempatkan akal (a7) sebagai pemandunya. Karena akal (a7) ini
lah posisi yang paling dekat dengan Tuhan dan yang paling bisa memahami
kehendak Tuhan.
Dikisahkan dalam hadits qudsy pada kitab Durratun Nasihin karya Syekh
Utsman bin Hasan Asy-Syakir bahwa ketika Allah menciptakan akal (a7), Dia
bertanya kepada akal (a7), “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal (a7) menjawab, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan
menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal (a7).
Berbeda ketika Dia menciptakan jiwa (a6). ketika jiwa ditanya Allah,
“Siapa Aku dan siap engkau?”
Jiwa (a6) menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya
lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun tetap menjawab, “Aku ya aku,
Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya
lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun tetap menjawab, “Aku ya aku,
Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya
lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun akhirnya menyerah dan menjawab,
“Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”
Ternyata dengan berlapar atau berpuasa lah jiwa (a6) bersedia tunduk
kepada Allah.
Menurut Yesus (as) dalam Injil
Barnabas sebagai berikut:
Berkata Yesus, “Adakah seorang
manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan (a5)
tiada bekerja padanya?”
“Tidak”, kata pengikut-pengikut
itu.
“Kamu menipu dirimu sekalian”,
kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung,
dimana perasaannya (a5)? Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu telah
bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu
ruh, rasa (a5) dan daging. Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita
menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum
mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan (a5). Oleh sebab itu besok kalau
Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”
…
“Demi Allah [yang]
pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan
kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan (a5). Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan
perasaan (a5) adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam
wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan
jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh
itu adalah satu, yang berfikir (sadar) dan hidup. Orang-orang dungu manakah
akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi
kehidupan tanpa perasaan (a5) dan kehendak (a6) sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran,
dimana rasa perasaan (a5) meninggalkannya.”
Thaddeus menjawab,
“O Guru, apabila rasa perasaan (a5) meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai
kehidupan.”
Yesus menjawab,
“Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh
meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali
oleh mukjizat. Akan tetapi rasa perasaan
(a5) akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan
yang sangat diderita oleh jiwa. Justru rasa perasaan (a5)
itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan
kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh
makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.
Rasa perasaan (a5)
memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini
berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu
adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani
bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah
kamu?
Sungguh aku
berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka
dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia
adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan
membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah
seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang
ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa perasaan (a5)
bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan
(Ilah) di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti
perasaan (a5) itu, memungkiri akal (a7) dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak menyenangkan
dan tak beramal shalih.”
Jiwa inilah yang memiliki kemauan (a6) pada manusia, yaitu yang memiliki ambisi
dan emosi.
Oleh karena itu bilamana jiwa selalu dalam panduan akal (a7), maka dia
akan dimuliakan Allah. Dan tentunya tidak akan melakukan perusakan terhadap
alam semesta seperti yang disinyalir oleh Malaikat dalam QS Al Baqarah 2 ayat
30:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak
menjadikan Khalifah di bumi.”
Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan
nama-Mu?”
Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Bisa jadi yang dimaksud Malaikat adalah Homo Erectus, yaitu manusia
pendahulu sebelum Nabi Adam (as) dan ibu Hawa (ra) diturunkan ke bumi.
PR terbesar kita selanjutnya adalah bagaimana kita bisa menempatkan akal
sebagai pemandu kita dalam menjalani kehidupan ini. Sedangkan pada kenyataannya
kita sudah terbiasa beraktifitas karena dorongan kesenangan dan kemauan dan
jarang mengikuti dorongan kewajiban?
Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus selalu menempatkan diri kita
sebagai pelaksana kewajiban, yaitu kewajiban kepada Tuhan, kewajiban kepada
negara, kewajiban kepada masyarakat, kewajiban kepada keluarga dan kewajiban
kepada diri sendiri. Dan dengan menggunakan akal itulah kita bisa menempatkan
diri agar kewajiban yang satu dan kewajiban yang lain tidak kita konflikkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar