Senin, 13 Juli 2020

Hakekat Yang Maha Kuasa & Cara Mendekat Kepada-Nya


Kuasa adalah kemampuan melakukan apa saja. Kuasa pasti tunggal tiada duanya, karena kalau ada kuasa yang lain pasti beradu, yang berarti tidak kuasa. Kuasa pasti mutlak, kalau tidak akan digerogoti sehingga menjadi tidak kuasa. Kuasa wajib ada yang dikuasai. Siapa yang dikuasai? Tentunya DiriNya sendiri. Kesatuan antara Kuasa dan DiriNya sendiri disebut Yang Maha Kuasa atau biasa kita sebut dengan Allah. Sebagai Yang Maha Kuasa, Allah pasti menunjukkan kekuasaannya, yaitu mengadakan karya-Nya atau biasa kita sebut dengan ciptaan atau makhluk.

Manusia mengetahui keberadaan Allah Yang Maha Kuasa melalui ciptaan-Nya. Ibarat jejak kaki orang di pantai, kita bisa mengetahui adanya orang yang berjalan di pantai. Tetapi tidak bisa memastikan siapa dia. Demikian pula dengan adanya ciptaan berupa diri kita dan alam ini. Kita bisa memastikan ada-Nya Allah Yang Maha Kuasa dengan pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang diafirmasi oleh memori, yang kemudian diproses oleh pengertian pikiran hingga memperoleh kesimpulan dan akal akan memberikan cara mensikapi dan menindak-lanjuti. Karena tidak bisa memastikan wujudNya, maka akal menasehatkan untuk meyakini akan ada-Nya. Kecuali Dia memperlihatkan DiriNya kepada kita. Bukankah Dia kuasa?

Ingat! Jangan membatasi pengertian kita akan keberadaan Allah Yang Maha Kuasa, karena ini berarti membatasi kuasaNya. Dia meliputi segala sesuatu. Melalui alam dunia yang bisa diindrai, kita selalu menyaksikan karya-Nya, yang dengan itu kita mempercayai bahkan bisa meyakini akan ada-Nya. Diharapkan kita bisa selalu dalam keadaan ingat akan Dia dan sadar bersama-Nya.

Semua yang tergelar di alam dunia tentunya berasal dari kehendak Allah. Kehendak tersebut akan turun menjadi cita atau fitrah alam untuk masing-masing perwujudan. Melalui sabda-Nya, maka cita alam akan terdorong mewujud menjadi benda atau makhluk (materi). Tentunya keduanya tidak bisa terlepas akan adanya yang bukan benda atau makhluk (non materi). Keduanya, materi dan non materi merupakan satu kesatuan, yang kalau terpisah, maka wujud materi akan hancur.

Di alam manusia, bilamana seseorang akan mewujudkan idenya, maka dia harus memulai dengan kepercayaan bahkan keyakinan akan terwujudnya. Artinya seseorang perlu memiliki otorisasi berupa kekuasaan untuk mewujukan dari Yang Maha Kuasa (izin) dan otorisasi bahwa dialah yang ditunjuk sebagai pelaksananya. Proses pengadaan atas ide pasti menggunakan ilmu, walau dimulai dari sekedar mencontek dari yang sudah ada. Proses pengadaannya pasti perlu modal dan perjuangan sungguh-sungguh. Sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh tingkat kualitas yang diharapkan.

Membuat karya melalui perwujudan ide adalah salah satu yang bisa dilakukan oleh manusia, sehingga berkembanglah peradaban. Manusia mengawali dari peradaban primitif lalu berkembang terus-menerus menjadi berperadaban canggih. Dimana ujung dari peradaban adalah untuk kenikmatan manusia itu sendiri.

Manusia hidup mengejar nikmat, melalui eksplorasi wilayah alam dunia yang bisa diindrai dan alam imajinasi. Alam dunia sudah jelas tidak perlu dibahas. Sedangkan alam imajinasi adalah alam dimana ide-ide manusia berasal. Ide-ide dimana isinya adalah kenikmatan yang bertingkat-tingkat dan tak terbatas. Diri manusia bisa menikmati apa yang bisa diindrai dan dirasakan di alam tampak. Namun bisa juga menikmatinya di alam imajinasi, semisal kenikmatan akan ilmu. Di alam ini, kita seperti sedang menemukan surga, namun lupa akan Allah Yang Maha Kuasa. [Namun ingatlah akan peran kita berada di alam dunia!]
Dari pengamatan atas proses terwujudnya benda dan makhluk di alam, maka kalau ini dianggap sebagai proses menurun karena seolah menjauh dari singgasana Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka untuk kembali kepada Allah sejatinya hanya dengan menjalani proses kembali menaik (mi’raj) melalui jalur yang sama. Bilamana disederhanakan, prosesnya adalah melalui pengadaan, pendekatan dan penghadiran akan adanya Allah Yang Maha Kuasa. Ketiga tahapan ini kebetulan juga disampaikan dalam Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (ra): Dari Anas bin Malik (ra), dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, “Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan mengharap hanya kepada-Ku, Aku memberi ampunan kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”””

Semoga menjadi jelas bahwa menghadap Allah harus melalui pengetahuan, yaitu dengan mengingat untuk mengakui keberadan-Nya. Karena dengan mengingat, maka kita sedang menghadap kepada-Nya (pengadaan). Selanjutnya kita berusaha mendekat, yaitu dengan pengertian (pendekatan), bukan dengan perasaan. Penggunaan perasaan berarti kita masih meraba-raba dalam kegelapan. Lalu kita berserah diri kepada-Nya, bukankah berserah diri itu menandai bahwa kita percaya seutuhnya (yaqin) kepada-Nya (penghadiran)?

Perihal diterima atau tidak itu hak prerogatif dari Allah Yang Maha Kuasa. Kewajiban kita adalah percaya hingga yaqin.

Jakarta, 12 Juli 2020


Minggu, 12 Juli 2020

Hakekat Jiwa/Diri/Aku-Raga-Kuasa-Ruh

Ketika masih anak-anak, dengan teman-teman sepermainan kami biasa berteka-teki dengan tantangan: “Siapa bisa memegang aku?” Dan teman-teman berebutan memegang tubuhku. Saat itu aku hanya bisa bilang bahwa ndak ada yang bisa memegang aku. Karena yang terpegang hanyalah bagian-bagian dari tubuhku. Dan kami pun bubar, karena sadar[1] bahwa kami tidak ada yang bisa memegang “aku”.

Sekarang marilah berupaya menggali siapa “aku”?

Kita tidak ingat, sejak kapan kesadaran diri ada. Bahkan ketika kita tidur ataupun mabuk ataupun pingsan, kita tidak sadar akan diri sendiri. Namun aneh, ada yang menyaksikan bahwa kita tidak sadar diri. Bahkan kita kemudian bisa bercerita tentang mimpi setelah terbangun. Siapakah yang menyaksikan itu? Akukah ataukah kita sebut dengan “yang (kuasa) menyaksikan”?

Saya jejaki masa-masa kecil diantaranya melalui informasi ilmiah, yaitu proses kelahiran bayi. Bayi yang dihasilkan dari pembuahan sperma bapak kepada sel telur ibu dalam rahimnya. Dari janin yang bisa diketahui dari detak jantungnya hingga mulai bernafas dan bergerak. Saat lahir si bayi mulai bisa mendengar melalui telinganya dan melihat dengan matanya. Dia mulai berjalan kian kemari sembari berteriak dan menangis. Saat daya ingat mulai muncul, dia mulai mengucapkan beberapa patah kata. Lalu dia akan mulai berimajinasi dan terakhir mulai berkarya.

Kapankah akunya aktif? Yaitu saat dia sadar.

Kalau diteliti, maka pada diri seseorang terdapat tiga hal, yaitu aku atau dirinya, raganya, kuasa dan ruhnya. Aku diketahui[2] dari adanya kesadaran diri. Raganya jelas bisa diketahui dengan indra. Adanya kuasa diketahui dari kemampuannya beraktifitas. Ruh diketahui karena ketika ruh tidak ada, maka orang tersebut telah wafat.

Bagaimana dengan hidup? Apakah tumbuhan dan hewan, demikian pula dengan mesin dan robot-robot seperti manusia, bisa disebut hidup?

Kita membangun pengetahuan melalui pengamatan atas diri, manusia dan alam dengan menggunakan sarana yang kita miliki. Keberadaan diri atau aku atau yang sadar adalah muncul ketika pikiran atau pengertian (a6’’’) seseorang sempurna, seperti dewasa, tidur, mabuk atau pingsan. Aku menjadi aktif atau bisa non aktif berhubungan dengan kondisi raganya. Setiap diri yang berwadahkan materi (nafsin), menurut Al Qur’an akan mengalami maut. Karena maut adalah lawan kata dari hidup, maka semua diri yang bisa beraktifitas dengan ragawi disebut hidup. Hidup diketahui dari adanya nafas. Kalau sudah hilang nafasnya, raganya disebut tidak hidup atau mati. Dengan demikian kematian adalah proses dimana ujungnya adalah terpisahnya hidup dari raga dengan ditandai hilangnya nafas.

Pada saat kematian, bagaimana dengan akunya? Sulit menjawab pertanyaan ini karena kita belum pernah mati. Sehingga hanya bisa berteori bahwa setelah terpisahnya raga dari hidup dan pada kenyataannya raga pun terurai menjadi anasir alam, maka aku almarhum pergi bersama hidupnya. Aku bisa apa tanpa raga? Aku bisa apa tanpa hidup? Tanpa hidup, aku dan raga pun juga tidak bisa apa-apa. Dengan demikian maka hidup adalah wakil dari Kuasa karena dengan hidup maka seseorang atau sesuatu bisa beraktifitas. Beraktifitas berarti menggunakan kuasa yang diotorisasikan kepadanya.

Bisa apa aku tanpa raga dan hidup? Tidak bisa apa-apa. Dengan demikian salah satu fakta yang bisa kita peroleh adalah aku tidak bisa apa-apa. Aku juga dipergunakan untuk mengidentifikasi keberadaan diri. Aku juga merupakan sebutan diri atas sesuatu.

Kalau ditarik kesimpulan, keberadaan atas sesuatu atau kelompok sesuatu selalu ditandai dengan adanya diri yang menyebut dirinya dengan aku, ada wujud entah gaib atau pun nyata (bisa diindrai), ada kuasa berupa hidup ataupun daya dan adanya sebutan atau nama. Namun karena yang bisa menyebut dirinya adalah yang memiliki kesadaran diri, maka di dunia nyata hanya manusia yang bisa menyebut dirinya dengan aku. Binatang, misalnya anjing barangkali hanya bisa menyebut dengan kami yang mewakili kelompok anjing. Karena tidak ada identifikasi semisal sebutan nama. Meski seekor anjing bisa dipanggil dengan namanya, namun yang memberi nama adalah orang yang memiliki anjing tersebut bukan anjing yang lain.

Bagaimana dengan penelitian atau pengamatan orang-orang terdahulu perihal ini?

Kitab Durratun Nasihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir[3] menyebutkan:

Ketika Allah menciptakan akal, Dia bertanya kepada akal, “Siapa Aku dan siapa kamu?”

Akal menjawab, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.”

Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal.

Berbeda ketika Dia menciptakan jiwa. Ketika jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”

Jiwa  menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”

Dalam referensi lain, yaitu Injil Barnabas[4] disampaikan sebagai berikut:

Berkata Yesus, “Adakah seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan[5] tiada bekerja padanya?”

“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.

“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana perasaannya? Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”

Kemudian para pengikut itu telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, perasaan dan daging. Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan. Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”

“Demi Allah [yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan. Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan tanpa perasaan dan kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana perasaan meninggalkannya.”

Thaddeus menjawab, “O Guru, apabila perasaan meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”

Yesus menjawab, “Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi perasaan akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh perasaannya. Justru perasaan itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.

Rasa perasaan memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?

Sungguh aku berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.

Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana perasaan bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) didalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti perasaan itu, memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak menyenangkan dan tak beramal shalih.”

Dari kisah-kisah di atas kita mengetahui kenapa manusia diciptakan di alam dunia, yaitu dihukum karena akunya tidak mau menerima Allah sebagai Ilah-nya. Bagaimana dengan kenyataannya?

Alam dunia menurut teori Big Bang berasal dari panas. Berarti alam dunia ini barangkali yang dimaksud dalam kitab-kitab di atas sebagai neraka panas.

Kembali kepada tempat kehidupan pertama, yaitu neraka panas; awal keberadaan aku seseorang di dunia disampaikan dalam QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”

Kata sulbi di sini menjelaskan bahwa pertanyaan ini disampaikan Allah ketika manusia masih berupa air yang akan dipancarkan. Hal ini tertulis dalam QS Ath Thariq 86 ayat 6-7: Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, individu orang tercipta melalui jiwa diturunkan ke raganya. Namun karena belum sempurnanya pengertiannya, maka kesadaran diri belum aktif. Baru pada kira-kira umur 5 tahunan muncul kesadaran diri. Hal ini berbarengan dengan sempurnanya pertumbuhan otak yang mengaktifkan pikiran berupa pengertian.

Dalam QS As Sajdah 32 ayat 7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af-idah)[6]; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”

QS An Nahl 16 ayat 78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af’idah), agar kamu bersyukur.

QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

QS Al Mu’minuun 23 ayat 12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang  belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.

Yang menarik dari ayat-ayat di atas adalah asal usul manusia yang dinyatakan berasal dari surga, yaitu Adam (as). Karena melanggar aturan Allah, sehingga beliau dikeluarkan dari Surga dan hidup di muka bumi. Demikian pula dengan keturunannya, yaitu kita. QS Al A’raf 7 ayat 24: Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka bumi sampai waktu yang ditentukan.” Menurut penelitian para ahli Arkeologi hingga sekarang belum diketemukan adanya bukti bahwa Homo Sapiens adalah hasil evolusi dari Homo Erectus. Bila dilihat dari sisi kemampuan otak, Homo Sapiens memiliki volume Neocortex jauh lebih besar daripada Homo Erectus. Dengan besarnya volume Neocortex ternyata manusia jauh lebih mampu mengembangkan peradaban daripada Homo Erectus.

Berarti memang benar bahwa manusia dihukum di neraka api yang disebut dengan dunia.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: Abu Abdurrahman bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Sesungguhnya, setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian meniupkan ruh kepadanya ….’’

Keberadaan ruh ditandai dengan adanya nafas. Hampir sama dengan hidup. Namun Isa Almasih dalam Injil Barnabas dengan tegas menyatakan bahwa ruh hidup dengan ilmu dan kasih sayang dan tidak ada pada tumbuhan dan hewan yang sama-sama disebut hidup. Berarti ruh inilah yang menyampaikan ilmu dan kasih sayang kepada diri manusia. Namun manusia kecenderungannya adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri bahkan menjadikan dirinya sebagai Ilahnya.

Mulai saat itulah perjalanan kehidupan sang aku di neraka panas atau alam dunia dimulai. Keberhasilan hidup di dunia adalah sang diri bisa menyadari bahwa dia adalah hamba dari Allah Yang Maha Kuasa. Kalau belum berhasil, maka dia akan disiksa di neraka dingin atau alam kubur. Bukankah manusia yang mati terpisah antara dirinya dengan raganya? Berarti lepas dan tersekatlah dia dari alam api, berarti masuk alam tanpa api yang dingin dan gelap. Dan hanya dengan cahaya ilmu dan amalnyalah mereka mendapatkan penerangan.

Alam kubur adalah alam jiwa setelah alam dunia. Menurut Nabi Muhammad s.a.w.: “Sesungguhnya liang kubur itu menyeru dengan lima kalimat. Ia berkata, “Aku adalah rumah kesendirian, maka bawalah teman kepadaku. Aku adalah rumah ular, maka bawalah penawar kepadaku. Aku adalah rumah kegelapan, maka bawalah lampu kepadaku. Aku adalah rumah tanah, maka bawalah permadani kepadaku. Aku adalah rumah kemiskinan, maka bawalah bekal kepadaku.”” Di alam kubur, manusia tidak mempunyai raga, hanya membawa diri dan hidupnya.

Bagaimana seandainya ada alam ketiga, dimana aku manusia dilengkapi dengan raga, namun tanpa ruh?

Niscaya di alam ketiga itu manusia mencapai puncak kesadaran akan adanya Allah Yang Maha Kuasa, namun hidup dalam keadaan lapar dan haus dan tiadanya ruh dan tiadanya makanan membuat mereka sadar akan ketidak-mampuannya. QS Ibrahim 14 ayat 46-51: Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada Rasul-Rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan kamu akan melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan belenggu. Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup oleh api Neraka, agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang dia usahakan. Sesungguhnya Allah maha cepat hisab-Nya.

Jadi jelaslah bahwa ketidak-taatan kita kepada Allah Yang Maha Kuasa bahkan menuhankan dirinya sendiri akan membuat kita nanti merana tanpa akhir. Ikutilah arahan ruhmu melalui pengetahuan, pengertian dan akalmu. Jangan biarkan ragamu menguasaimu. Jangan biarkan dirimu menjadi tuhan. Manfaatkanlah waktumu sekarang untuk hidupmu yang akan datang.


 

Jakarta, 11 Juli 2020

 

 



[1] Sadar artinya kita mengerti. Mengerti adalah bisa menarik manfaat atas pengetahuan yang diterima oleh kita. Misalnya orang mengetahui tentang listrik dari adanya lampu listrik, namun orang yang mengerti listrik dia bisa memanfaatkan pengertiannya untuk menguasai listrik dan memanfaatkannya. Mengerti adalah pemrosesan data untuk mendapatkan kesimpulan, umumnya berupa rumusan.

[2] Mengetahui adalah proses afirmasi fakta yang ditangkap indra oleh memori. Meski seseorang melihat sesuatu, namun di memorinya tidak ada sebutan untuk itu, maka dia tidak akan mampu mengekspresikan pengetahuannya. Mengetahui bisa disamakan dengan mengingat. Mengetahui adalah input data.

[3] Idrus H. Alkaf, Terjemah Durratun Nasihin, CV Karya Utama, Surabaya, hal. 28

[4] Rahnip M BA, Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal. 140-142

[5] Perasaan yang dimaksud dalam Terjemah Injil Barnabas barangkali adalah jiwa seperti yang dimaksud dalam Terjemah Durratun Nasihin atau diri yang disebut dengan “aku”, bukan perasaan hati atau indra kulit.

[6] Hati atau al af-idah adalah kemampuan menarik manfaat.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...