Ketika masih anak-anak,
dengan teman-teman sepermainan kami biasa berteka-teki dengan tantangan: “Siapa
bisa memegang aku?” Dan teman-teman berebutan memegang tubuhku. Saat itu aku
hanya bisa bilang bahwa ndak ada yang bisa memegang aku. Karena yang terpegang
hanyalah bagian-bagian dari tubuhku. Dan kami pun bubar, karena sadar[1]
bahwa kami tidak ada yang bisa memegang “aku”.
Sekarang marilah berupaya
menggali siapa “aku”?
Kita tidak ingat, sejak
kapan kesadaran diri ada. Bahkan ketika kita tidur ataupun mabuk ataupun
pingsan, kita tidak sadar akan diri sendiri. Namun aneh, ada yang menyaksikan
bahwa kita tidak sadar diri. Bahkan kita kemudian bisa bercerita tentang mimpi
setelah terbangun. Siapakah yang menyaksikan itu? Akukah ataukah kita sebut
dengan “yang (kuasa) menyaksikan”?
Saya jejaki masa-masa kecil
diantaranya melalui informasi ilmiah, yaitu proses kelahiran bayi. Bayi yang
dihasilkan dari pembuahan sperma bapak kepada sel telur ibu dalam rahimnya. Dari
janin yang bisa diketahui dari detak jantungnya hingga mulai bernafas dan
bergerak. Saat lahir si bayi mulai bisa mendengar melalui telinganya dan
melihat dengan matanya. Dia mulai berjalan kian kemari sembari berteriak dan
menangis. Saat daya ingat mulai muncul, dia mulai mengucapkan beberapa patah
kata. Lalu dia akan mulai berimajinasi dan terakhir mulai berkarya.
Kapankah akunya aktif? Yaitu
saat dia sadar.
Kalau diteliti, maka pada
diri seseorang terdapat tiga hal, yaitu aku atau dirinya,
raganya, kuasa dan ruhnya.
Aku diketahui[2] dari
adanya kesadaran diri. Raganya jelas bisa diketahui dengan indra. Adanya kuasa
diketahui dari kemampuannya beraktifitas. Ruh
diketahui karena ketika ruh tidak ada, maka orang tersebut telah wafat.
Bagaimana dengan hidup? Apakah tumbuhan dan hewan,
demikian pula dengan mesin dan robot-robot seperti manusia, bisa disebut hidup?
Kita membangun
pengetahuan melalui
pengamatan atas diri, manusia dan alam dengan
menggunakan sarana yang kita
miliki. Keberadaan diri atau aku
atau yang sadar adalah muncul
ketika pikiran atau pengertian (a6’’’) seseorang
sempurna, seperti
dewasa, tidur, mabuk atau pingsan. Aku
menjadi aktif atau bisa non aktif berhubungan
dengan kondisi raganya. Setiap diri yang berwadahkan materi (nafsin), menurut Al Qur’an akan
mengalami maut. Karena maut adalah lawan kata dari hidup, maka semua diri yang
bisa beraktifitas dengan ragawi disebut hidup. Hidup
diketahui dari adanya nafas. Kalau sudah hilang nafasnya, raganya disebut tidak
hidup atau mati. Dengan demikian kematian adalah proses dimana ujungnya adalah
terpisahnya hidup dari raga dengan ditandai hilangnya nafas.
Pada saat kematian,
bagaimana dengan akunya? Sulit menjawab pertanyaan ini karena kita belum pernah
mati. Sehingga hanya bisa berteori bahwa setelah terpisahnya raga dari hidup
dan pada kenyataannya raga pun terurai menjadi anasir alam, maka aku almarhum
pergi bersama hidupnya. Aku bisa apa tanpa raga? Aku bisa apa tanpa hidup?
Tanpa hidup, aku dan raga pun juga tidak bisa apa-apa. Dengan demikian maka hidup
adalah wakil dari Kuasa karena dengan hidup maka seseorang atau sesuatu bisa
beraktifitas. Beraktifitas berarti menggunakan kuasa yang diotorisasikan
kepadanya.
Bisa apa aku tanpa raga dan
hidup? Tidak bisa apa-apa. Dengan demikian salah satu fakta yang bisa kita
peroleh adalah aku tidak bisa apa-apa. Aku juga dipergunakan untuk
mengidentifikasi keberadaan diri. Aku juga merupakan sebutan diri atas sesuatu.
Kalau ditarik kesimpulan,
keberadaan atas sesuatu atau kelompok sesuatu selalu ditandai dengan adanya
diri yang menyebut dirinya dengan aku, ada wujud entah gaib atau pun nyata
(bisa diindrai), ada kuasa berupa hidup ataupun daya dan adanya sebutan atau
nama. Namun karena yang bisa menyebut dirinya adalah yang memiliki kesadaran
diri, maka di dunia nyata hanya manusia
yang bisa menyebut dirinya dengan aku. Binatang, misalnya anjing
barangkali hanya bisa menyebut dengan kami yang mewakili
kelompok anjing. Karena tidak ada
identifikasi semisal sebutan nama. Meski seekor anjing bisa dipanggil dengan namanya,
namun yang memberi nama adalah orang yang memiliki anjing tersebut bukan anjing
yang lain.
Bagaimana dengan penelitian
atau pengamatan orang-orang terdahulu perihal ini?
Kitab Durratun Nasihin karya
Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir[3]
menyebutkan:
Ketika Allah menciptakan
akal, Dia bertanya kepada akal, “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal menjawab, “Engkau
Tuhanku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban
tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih
mulia dari akal.
Berbeda ketika Dia
menciptakan jiwa. Ketika jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Jiwa menjawab, “Aku ya
aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”
Dalam referensi lain, yaitu Injil
Barnabas[4]
disampaikan sebagai berikut:
Berkata Yesus, “Adakah
seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan[5]
tiada bekerja padanya?”
“Tidak”, kata
pengikut-pengikut itu.
“Kamu menipu dirimu
sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan
cacat puntung, dimana perasaannya? Dan kapan seorang
manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu
telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia,
yaitu ruh, perasaan dan daging. Tiap satu
diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah
kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan.
Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada
kamu semua.”
…
“Demi Allah [yang] pada
hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita,
karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan.
Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah
hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka
menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang
cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu,
ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu
manakah akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak
pernah. Tetapi kehidupan tanpa perasaan dan
kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana perasaan
meninggalkannya.”
Thaddeus menjawab, “O Guru,
apabila perasaan meninggalkan kehidupan,
seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab, “Ini tidak
benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena
ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh mukjizat. Akan
tetapi perasaan akan hilang lantaran
ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh perasaannya.
Justru perasaan itu telah diciptakan
Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan
sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu
dan kasih sayang.
Rasa perasaan memberontak
menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan
kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama
untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin
hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku berkata kepadamu
bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam
salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah.
Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi
makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba
Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana perasaan
bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) didalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti perasaan itu,
memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak
menyenangkan dan tak beramal shalih.”
Dari kisah-kisah di atas kita
mengetahui kenapa manusia
diciptakan di alam dunia, yaitu dihukum karena akunya tidak mau
menerima Allah sebagai Ilah-nya. Bagaimana
dengan kenyataannya?
Alam dunia menurut
teori Big Bang berasal dari panas. Berarti alam dunia ini
barangkali yang dimaksud dalam kitab-kitab di atas
sebagai neraka panas.
Kembali kepada tempat kehidupan
pertama, yaitu neraka panas; awal keberadaan aku
seseorang di dunia disampaikan dalam QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
Kata sulbi di sini
menjelaskan bahwa pertanyaan ini disampaikan Allah ketika manusia masih berupa
air yang akan dipancarkan. Hal ini tertulis dalam QS Ath Thariq 86 ayat
6-7: Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Berdasarkan ayat-ayat
tersebut, individu orang tercipta melalui jiwa
diturunkan ke raganya.
Namun karena belum sempurnanya pengertiannya,
maka kesadaran diri belum aktif. Baru pada kira-kira
umur 5 tahunan muncul kesadaran diri. Hal ini
berbarengan dengan sempurnanya pertumbuhan otak yang mengaktifkan pikiran
berupa pengertian.
Dalam QS As Sajdah 32 ayat
7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya
dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati (al af-idah)[6];
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
QS Shaad 38 ayat 71-72:
(Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur
dengan bersujud kepadanya.”
QS An Nahl 16 ayat 78: Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al
af’idah), agar kamu bersyukur.
QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia
menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?
QS Al Mu’minuun 23 ayat
12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian,
sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.
Yang menarik dari ayat-ayat di atas adalah asal
usul manusia yang dinyatakan berasal dari surga, yaitu Adam (as). Karena
melanggar aturan Allah, sehingga beliau dikeluarkan dari Surga dan hidup di
muka bumi. Demikian pula dengan keturunannya, yaitu kita. QS Al A’raf 7 ayat
24: Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh
bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di
muka bumi sampai waktu yang ditentukan.” Menurut penelitian para ahli Arkeologi
hingga sekarang belum diketemukan adanya bukti bahwa Homo Sapiens adalah hasil
evolusi dari Homo Erectus. Bila dilihat dari sisi kemampuan otak, Homo Sapiens
memiliki volume Neocortex jauh lebih besar daripada Homo Erectus. Dengan
besarnya volume Neocortex ternyata manusia jauh lebih mampu mengembangkan
peradaban daripada Homo Erectus.
Berarti memang benar bahwa manusia dihukum di
neraka api yang disebut dengan dunia.
Pada hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: Abu Abdurrahman bin Mas’ud
ra berkata bahwa Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Sesungguhnya, setiap kalian
dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah,
kemudian menjadi ‘alaqah selama
itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama
itu juga, kemudian meniupkan ruh kepadanya ….’’
Keberadaan ruh
ditandai dengan adanya nafas. Hampir
sama dengan hidup. Namun Isa Almasih dalam Injil Barnabas dengan tegas
menyatakan bahwa ruh hidup dengan ilmu dan kasih sayang dan tidak ada pada
tumbuhan dan hewan yang sama-sama disebut hidup. Berarti ruh inilah yang menyampaikan
ilmu dan kasih sayang kepada diri manusia. Namun manusia kecenderungannya
adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri bahkan menjadikan dirinya sebagai
Ilahnya.
Mulai saat itulah
perjalanan kehidupan sang aku di neraka panas atau alam dunia dimulai. Keberhasilan
hidup di dunia adalah sang diri bisa menyadari bahwa dia adalah hamba dari
Allah Yang Maha Kuasa. Kalau belum berhasil, maka dia akan disiksa di neraka
dingin atau alam kubur. Bukankah manusia yang mati terpisah antara dirinya
dengan raganya? Berarti lepas dan tersekatlah dia dari alam api, berarti masuk
alam tanpa api yang dingin dan gelap. Dan hanya dengan cahaya ilmu dan
amalnyalah mereka mendapatkan penerangan.
Alam
kubur adalah alam jiwa setelah alam dunia. Menurut
Nabi Muhammad s.a.w.: “Sesungguhnya liang kubur itu menyeru dengan lima
kalimat. Ia berkata, “Aku adalah rumah kesendirian, maka bawalah teman
kepadaku. Aku adalah rumah ular, maka bawalah penawar kepadaku. Aku adalah
rumah kegelapan, maka bawalah lampu kepadaku. Aku adalah rumah tanah, maka
bawalah permadani kepadaku. Aku adalah rumah kemiskinan, maka bawalah bekal
kepadaku.”” Di alam kubur, manusia tidak mempunyai
raga, hanya membawa diri dan hidupnya.
Bagaimana
seandainya ada alam ketiga, dimana aku manusia dilengkapi dengan raga, namun
tanpa ruh?
Niscaya
di alam ketiga itu manusia mencapai puncak kesadaran akan adanya Allah Yang
Maha Kuasa, namun hidup dalam keadaan lapar dan haus dan tiadanya ruh dan
tiadanya makanan membuat mereka sadar akan ketidak-mampuannya. QS
Ibrahim 14 ayat 46-51: Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar
padahal di sisi Allah lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar
mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya. Karena
itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
Rasul-Rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai
pembalasan. (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan
(demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul
menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan kamu akan
melihat orang-orang yang berdosa pada hari itu diikat bersama-sama dengan
belenggu. Pakaian mereka adalah dari pelangkin (ter) dan muka mereka ditutup
oleh api Neraka, agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap
apa yang dia usahakan. Sesungguhnya Allah maha cepat hisab-Nya.
Jadi jelaslah bahwa ketidak-taatan kita kepada
Allah Yang Maha Kuasa bahkan menuhankan dirinya sendiri akan membuat kita nanti
merana tanpa akhir. Ikutilah arahan ruhmu melalui pengetahuan, pengertian dan
akalmu. Jangan biarkan ragamu menguasaimu. Jangan biarkan dirimu menjadi tuhan.
Manfaatkanlah waktumu sekarang untuk hidupmu yang akan datang.
Jakarta,
11 Juli 2020
[1] Sadar artinya kita mengerti. Mengerti adalah bisa menarik manfaat
atas pengetahuan yang diterima oleh kita. Misalnya orang mengetahui tentang
listrik dari adanya lampu listrik, namun orang yang mengerti listrik dia bisa
memanfaatkan pengertiannya untuk menguasai listrik dan memanfaatkannya.
Mengerti adalah pemrosesan data untuk mendapatkan kesimpulan, umumnya berupa
rumusan.
[2] Mengetahui adalah proses afirmasi fakta yang ditangkap indra oleh
memori. Meski seseorang melihat sesuatu, namun di memorinya tidak ada sebutan
untuk itu, maka dia tidak akan mampu mengekspresikan pengetahuannya. Mengetahui
bisa disamakan dengan mengingat. Mengetahui adalah input data.
[3] Idrus H. Alkaf, Terjemah Durratun Nasihin, CV Karya Utama,
Surabaya, hal. 28
[4] Rahnip M BA, Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984,
hal. 140-142
[5] Perasaan yang dimaksud dalam Terjemah Injil Barnabas barangkali
adalah jiwa seperti yang dimaksud dalam Terjemah Durratun Nasihin atau diri
yang disebut dengan “aku”, bukan perasaan hati atau indra kulit.
[6] Hati atau al af-idah adalah kemampuan menarik manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar