Hakekat Tuhan & Cara Mendekat Kepada-Nya


Kuasa adalah kemampuan melakukan apa saja. Kuasa pasti tunggal tiada duanya, karena kalau ada kuasa yang lain pasti beradu, yang berarti tidak kuasa. Kuasa pasti mutlak, kalau tidak akan digerogoti sehingga menjadi tidak kuasa. Kuasa wajib ada yang dikuasai. Siapa yang dikuasai? Tentunya DiriNya sendiri. Kesatuan antara Kuasa dan DiriNya sendiri disebut Yang Maha Kuasa atau biasa kita sebut dengan Allah. Sebagai Yang Maha Kuasa, Allah pasti menunjukkan kekuasaannya, yaitu mengadakan karya-Nya atau biasa kita sebut dengan ciptaan atau makhluk.

Manusia mengetahui keberadaan Allah Yang Maha Kuasa melalui ciptaan-Nya. Ibarat jejak kaki orang di pantai, kita bisa mengetahui adanya orang yang berjalan di pantai. Tetapi tidak bisa memastikan siapa dia. Demikian pula dengan adanya ciptaan berupa diri kita dan alam ini. Kita bisa memastikan ada-Nya Allah Yang Maha Kuasa dengan pengetahuan yang diperoleh melalui indra yang diafirmasi oleh memori, yang kemudian diproses oleh pengertian pikiran hingga memperoleh kesimpulan dan akal akan memberikan cara mensikapi dan menindak-lanjuti. Karena tidak bisa memastikan wujudNya, maka akal menasehatkan untuk meyakini akan ada-Nya. Kecuali Dia memperlihatkan DiriNya kepada kita. Bukankah Dia kuasa?

Ingat! Jangan membatasi pengertian kita akan keberadaan Allah Yang Maha Kuasa, karena ini berarti membatasi kuasaNya. Dia meliputi segala sesuatu. Melalui alam dunia yang bisa diindrai, kita selalu menyaksikan karya-Nya, yang dengan itu kita mempercayai bahkan bisa meyakini akan ada-Nya. Diharapkan kita bisa selalu dalam keadaan ingat akan Dia dan sadar bersama-Nya.

Semua yang tergelar di alam dunia tentunya berasal dari kehendak Allah. Kehendak tersebut akan turun menjadi cita atau fitrah alam untuk masing-masing perwujudan. Melalui sabda-Nya, maka cita alam akan terdorong mewujud menjadi benda atau makhluk (materi). Tentunya keduanya tidak bisa terlepas akan adanya yang bukan benda atau makhluk (non materi). Keduanya, materi dan non materi merupakan satu kesatuan, yang kalau terpisah, maka wujud materi akan hancur.

Di alam manusia, bilamana seseorang akan mewujudkan idenya, maka dia harus memulai dengan kepercayaan bahkan keyakinan akan terwujudnya. Artinya seseorang perlu memiliki otorisasi berupa kekuasaan untuk mewujukan dari Yang Maha Kuasa (izin) dan otorisasi bahwa dialah yang ditunjuk sebagai pelaksananya. Proses pengadaan atas ide pasti menggunakan ilmu, walau dimulai dari sekedar mencontek dari yang sudah ada. Proses pengadaannya pasti perlu modal dan perjuangan sungguh-sungguh. Sedangkan hasilnya akan ditentukan oleh tingkat kualitas yang diharapkan.

Membuat karya melalui perwujudan ide adalah salah satu yang bisa dilakukan oleh manusia, sehingga berkembanglah peradaban. Manusia mengawali dari peradaban primitif lalu berkembang terus-menerus menjadi berperadaban canggih. Dimana ujung dari peradaban adalah untuk kenikmatan manusia itu sendiri.

Manusia hidup mengejar nikmat, melalui eksplorasi wilayah alam dunia yang bisa diindrai dan alam imajinasi. Alam dunia sudah jelas tidak perlu dibahas. Sedangkan alam imajinasi adalah alam dimana ide-ide manusia berasal. Ide-ide dimana isinya adalah kenikmatan yang bertingkat-tingkat dan tak terbatas. Diri manusia bisa menikmati apa yang bisa diindrai dan dirasakan di alam tampak. Namun bisa juga menikmatinya di alam imajinasi, semisal kenikmatan akan ilmu. Di alam ini, kita seperti sedang menemukan surga, namun lupa akan Allah Yang Maha Kuasa. [Namun ingatlah akan peran kita berada di alam dunia!]
Dari pengamatan atas proses terwujudnya benda dan makhluk di alam, maka kalau ini dianggap sebagai proses menurun karena seolah menjauh dari singgasana Allah Yang Maha Kuasa. Dengan demikian, maka untuk kembali kepada Allah sejatinya hanya dengan menjalani proses kembali menaik (mi’raj) melalui jalur yang sama. Bilamana disederhanakan, prosesnya adalah melalui pengadaan, pendekatan dan penghadiran akan adanya Allah Yang Maha Kuasa. Ketiga tahapan ini kebetulan juga disampaikan dalam Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (ra): Dari Anas bin Malik (ra), dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, “Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan mengharap hanya kepada-Ku, Aku memberi ampunan kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya. Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”””

Semoga menjadi jelas bahwa menghadap Allah harus melalui pengetahuan, yaitu dengan mengingat untuk mengakui keberadan-Nya. Karena dengan mengingat, maka kita sedang menghadap kepada-Nya (pengadan). Selanjutnya kita berusaha mendekat, yaitu dengan pengertian (pendekatan), bukan dengan perasaan. Penggunaan perasaan berarti kita masih meraba-raba dalam kegelapan. Lalu kita berserah diri kepada-Nya, bukankah berserah diri itu menandai bahwa kita percaya seutuhnya (yaqin) kepada-Nya (penghadiran)?

Perihal diterima atau tidak itu hak prerogatif dari Allah Yang Maha Kuasa. Kewajiban kita adalah percaya hingga yaqin.

Jakarta, 12 Juli 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)