Kita mengawali hidup
dengan cara yang tidak sama dan juga berasal dari tempat yang berbeda-beda.
Tentunya dengan basis yang tidak sama, maka awal kita mengenal Tuhan pun juga
dengan cara berbeda-beda. Perbedaan adalah fitrah, tidak perlu dipersoalkan. Yang
tidak fitrah adalah ketika kita berupaya melakukan penyeragaman. Inilah watak
komunal. Entah apa tujuannya? Namun dugaan saya hanyalah kebutuhan akan
pengakuan atas eksistensinya. Demikian pula dengan pengenalan kita akan Tuhan.
Saya sendiri mengawali
pengenalan akan Tuhan dari orang tua, dimana bapak saya menyebutnya dengan
Allah ingkang Moho Luhur. Dan kepada-Nya saya diajarkan menghadap mengharap
perlindungan-Nya. Sehingga dalam setiap keadaan, saya terbiasa untuk meminta
pertolongan-Nya. Alhamdulillah, saya tidak pernah tidak mampu menghadapi
kesulitan dalam hidup. Sebagai dampaknya adalah adanya ketakutan bahwa Dia akan
menjauh kalau saya berbuat salah. Dengan berjalannya waktu, keinginan saya pun
semakin banyak dan Alhamdulillah semuanya terwujud berkat pertolongan-Nya.
Meskipun saya juga semakin banyak berbuat salah dan dosa.
Jadi pada awalnya saya
menganggap Tuhan adalah pengabul segala keinginan saya dan pengampun kalau saya
salah dan berdosa.
Lalu saya mempelajari
Islam, terutama melalui biografi para tokoh, terutama Nabi Muhammad (saw), para
sahabat dan para tokoh dari aliran sufi. Ibadah syariah saya semakin membaik,
kedekatan saya kepada Tuhan juga semakin membaik, yaitu hanya sibuk menjalankan
sholat, puasa dan mengaji Kitab secara otodidak. Namun saya senang menghadiri
pengajian, terutama pengajian yang membuat saya semakin tercerahkan.
Suatu ketika perusahaan
tempat saya bekerja mengalami masalah dan kami lebih banyak memiliki waktu
luang. Saya pun tenggelam dalam buku-buku agama bahkan pernah menangis tersujud
saat membaca Kitab Hadits. Saat itu saya kebingungan dan bertanya kenapa saya
menangis?
Selanjutnya saya
menjalani patrap bersama dengan para sahabat. Saya bisa menikmati perjalanan
tersebut, namun saya selalu digelitik dengan pertanyaan apakah seperti itu?
Seolah apa yang sudah saya jalani belum mendapatkan kepastian, sehingga selalu
muncul pertanyaan tanpa mengerti akan jawabannya.
Banyak dari para
sahabat saya yang tidak mengerti dalam menjalankan laku Patrap berujung kepada
pencarian kesaktian bahkan sampai ada yang kesurupan. Para pemikir susah
menjalankan Patrap, namun para pengguna perasaan sangat mudah tersentuh.
Kondisi ini membawa kepada kesimpulan bahwa berketuhanan haruslah dengan hati
dan pikiran tidak akan mampu menjangkau Tuhan. Ternyata dikhotomi hati dan
pikiran ini telah berlangsung semenjak manusia ada di muka bumi.
Saat semua ilmu Patrap
telah disampaikan kepada kami dan kami sudah dinyatakan sebagai satu-satunya
kelompok yang telah lulus, kami juga menekuni pelajaran ketuhanan secara
rasional, yaitu dengan rumus, yaitu Rumus A. Rumus A ini merupakan temuan dari
bapak Mas Supranoto yang merupakan kakak dari Haji Slamet Utomo yang
mengajarkan Patrap, namun berbeda ibu.
Setelah belajar Rumus
A, kebetulan saya yang dinyatakan sebagai orang pertama yang dianggap telah
mengerti dan lulus bab Pendahuluan perihal Ketuhanan.
Patrap lebih
mengedepankan hati, namun hati itu apa? Bisakah Tuhan dirasakan dengan hati
kita?
Rumus A lebih
mengedepankan pikiran, namun pikiran itu apa? Bisakah pikiran menjangkau Tuhan?
Menjawab pertanyaan
tersebut, susah-susah gampang. Karena tergantung kepada siapa yang bertanya.
Ada yang bertanya karena ingin mengetahui, ada yang bertanya karena ingin
mengerti, ada yang bertanya karena ingin mengkonfirmasi, dan lain-lain. Namun
saya akan menjawab berdasarkan apa yang saya ketahui dan mengerti,
syukur-syukur sudah saya buktikan.
Hati adalah singgasana
diri dan konon juga singgasana Tuhan. Hati dilengkapi dengan perasaan dan
kemauan. Karena hati adalah singgasana diri dan diri adalah yang dikuasai, maka
fitrahnya adalah memiliki emosi/ghodhob dan ambisi/syahwat. Di sini terjadi
percampuran antara emosi dengan perasaan dan ambisi dengan kemauan, sehingga
sulit untuk membedakan. Tuhan adalah Kuasa, perasaan dan kemauan adalah
bentuk-bentuk kekuasaan. Sedangkan ambisi dan emosi adalah fitrah atau bawaan
dari yang dikuasai. Hati yang dimaksud adalah jantung, maka perhatikanlah
orang-orang yang melakukan transplantasi jantung.
Sebelum membahas
pikiran, kita perlu membahas raga. Karena sedemikian banyak orang salah kaprah
akibat tidak bisa membedakan/mengidentifikasikan. Raga adalah bentuk materi
dari diri yang terdiri atas tulang, daging, darah, syaraf dan lain-lain. Pada
raga terdapat Kuasa, yaitu selain daya adalah kemampuan sensorik dan motorik,
diantaranya adalah mendengar, melihat, membau, mengecap dan merasakan serta
kemampuan gerak. Perasaan raga berbeda dengan perasaan hati, jangan salah!
Perasaan raga misalnya lapar, sakit, haus. Sedangkan perasaan hati hanyalah
enak dan tidak enak, senang dan susah. Jadi sebetulnya sangat berbeda, namun
kebanyakan tidak mengerti.
Setelah mengetahui beda
antara perasaan raga dengan hati, maka renungkanlah bagi mereka-mereka yang
melakukan laku spiritual.
Pikiran berada di otak.
Pada pikiran terdapat kemampuan menyimpan informasi atau data, sehingga
diperoleh memori atau ingatan. Informasi atau data diolah oleh pikiran, dalam
hal ini kemampuan mengerti menjadi pengertian. Target dari pengertian adalah
dorongan untuk mengetahui lebih dalam dan memanfaatkannya. Setelah mengerti,
biasanya ditunjukkan dengan teori atau bahkan hukum, yang kemudian dirumuskan.
Melalui rumuslah, peradaban berkembang. Selanjutnya dari hasil kesimpulan, akal
yang ada dalam pikiran akan memberikan strategi dan cara bagaimana mewujudkan
manfaat yang akan dipetik.
Ketiganya saling
berhubungan. Hal ini bisa dijelaskan dengan rumus A. Misalnya a5 raga ada
hubungan dengan a5’ sensorik dan motorik, ada hubungan dengan a5’’ perasaan
hati dan memori a5’’’. Demikian pula hati a6 ada hubungan dengan a6’’ kemauan
dan a6’’’ pengertian. Sedangkan otak a7 berhubungan dengan akal a7’’’, ini
berarti manusia adalah makhluk yang berakal dan menggunakan akalnya.
Setelah mengetahui
komponen diri kita, tentunya dengan bantuan akal kita akan mewujudkan apa yang
kita maui. Namun karena kita sadar bahwa diri kita adalah yang dikuasai, maka
sadarkah bahwa Tuhan saya sejatinya adalah Kuasa?
Namun karena saya
memiliki fitrah emosi dan ambisi, maka secara sadar atau tidak kita telah
menuhankan diri kita sendiri, Ilahahu
hawahu.
Karena hati merupakan
singgasana diri, maka orang-orang mengajarkan pendekatan kepada Tuhan dengan
hati. Barangkali itulah sebabnya, saya memulai dari perkenalan Tuhan dengan
ragawi, dilanjutkan perkenalan Tuhan dengan hati dan sekarang saya mengenal
Tuhan dengan pikiran. Ibarat Nabi Muhammad saw melakukan isra’ dan mi’raj,
dimana dimulai dari Masjidil Haram (hati), menuju Masjidil Aqsha (raga), lalu
mi’raj ke Baitul Makmur (pikiran) dan ke Sidratul Muntaha.
Dimanakah Sidratul
Muntaha? Barangkali adalah wilayah yang melampaui pikiran manusia. Lalu akal
kita memberi nasehat kepada diri kita untuk percaya saja. Percaya kepada Dia
yang tidak terjangkau oleh hati, raga dan pikiran, Yang Ghaib.
Dengan pendekatan yang
sama, pada awalnya kita mengenal Tuhan dari para pendahulu. Misalnya kita
diberitahu bahwa Tuhan Pencipta alam semesta adalah Allah, maka kita menerima
tanpa memikirkan.
Lalu kita berhadapan
dengan alam termasuk diri kita, maka kita menyaksikan bahwa ada Kuasa yang
menggerakkan ini semua. Lalu kita menunjuk bahwa Kuasa yang menggerakkan ini
sebagai Allah, Rabbul ‘alamin atau Rabbinnaas.
Saat kita bermasalah,
kita memohon pertolongan. Ketika pertolongan tersebut datang, yaitu melalui terkabulnya
doa, kita mengenal Tuhan sebagai Sang Pengasih & Penyayang, Ar Rahman Ar
Rahiim.
Namun ketika ada
informasi perihal surga & neraka, perihal alam akhirat, kita tidak
mengetahui, tidak mengerti. Akal kita hanya memberikan strategi dan cara, yaitu
agar percaya, sambil terus berjuang untuk membuktikan adanya hal-hal gaib
tersebut.
Tidakkah kita sadar
bahwa kita semakin mengenal Allah?
Mojosongo, 1 Desember
2021 / 26 Rabi’ul Akhir 1443