Papahan, 09 Aug
2022
Saat ini sesuatu
disebut benar, bilamana diikuti oleh orang banyak. Padahal itu bukan kebenaran,
itu hanyalah opini atau sangkaan. Dengan adanya perubahan tata nilai masyarakat
seperti ini, maka eksistensi manusia menjadi terancam. Opini yang menjadi basis
kebenaran akan menyebabkan munculnya pertentangan. Bukankah nilai individu
adalah sesuatu yang dipercayainya? Perbedaan akan nilai ini akan menciptakan
pertentangan antar manusia. Pertentangan yang terjadi akan semakin keras dan
bisa berujung kepada upaya pembantaian, demi menegakkan kebenaran yang mereka
percayai.
Masyarakat harus
disadarkan bahwa nilai yang mereka percayai saat ini akan membawa manusia
kedalam jurang kehancuran. Masyarakat harus disadarkan untuk kembali kepada
nilai-nilai yang pasti, baik kepastian keilmuan (‘ilmul yaqin), kepastian
kenyataan (‘ainul yaqin) bahkan kepastian kebenaran (haqqul yaqin), yaitu yang
berasal dari Allah SWT. Sebagai contoh hukum-hukum alam yang dinyatakan dalam
model matematika adalah ‘ilmul yaqin, semisal hukum tentang kelistrikan. Wujud
dari ilmu kelistrikan adalah adanya lampu yang bisa kita indrai (‘ainul yaqin).
Adanya nikmat yang bisa kita nilai dengan hati yang merupakan kesatuan
keyakinan adalah haqqul yaqin. Itu adalah wujud yang berproses menjadi.
Bagaimana dengan wujud yang sudah ada? Ya tinggal dinikmati. Demikian pula
adanya kepastian akan keberadaan Yang Ghaib, yaitu Allah Sang Pencipta yang
ditandai dengan adanya alam ini.
Perjalanan menggapai
kesempurnaan keyakinan yang menjadi puncak akhlak manusia digambarkan ibarat pohon.
Dimana puncak kesempurnaan pohon adalah adanya buah yang bermanfaat. Yang
dimaksud dengan buah yang bermanfaat adalah akhlak yang selalu menampilkan Kebenaran
Pasti atau Haqqul Yaqin. Ibarat ini tertuang dalam kitab Daqaiqul Akhbar karya
Syekh Abdurrahim bin Ahmad Al Qadhi dimana dikisahkan perihal penciptaan sebuah
pohon yang diberi nama Syajarat al-Yaqin. Buah dari pohon ini adalah Nur
Muhammad yang ditutupi oleh tirai dari mutiara putih, sehingga nampak seperti
burung Merak. Makna dari kisah ini adalah penggambaran akan akhlak dari makhluk
yang mencapai puncak tertinggi, yaitu Yaqin atau yakin. Yakin adalah buah sempurna
dari pohon tersebut, yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta. Ini adalah akhlak
yang tertinggi, yaitu yang sudah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad (saw) yang
merupakan wujud Nur Muhammad di alam dunia. Sebagai seorang Nabi dan Rasul
tentunya akhlak tersebut bisa diteladani oleh manusia lain.
Untuk bisa menjadi
buah yang bermanfaat, tentulah proses perjalanan sari-sari makanan dimulai dari
tanah. Gambaran tahap-tahap kesempurnaan ini telah diterangkan dalam kitab
Dialog-Dialog Sufi karya Husein Shahab dimana dikisahkan bahwa Nabi (saw)
mendapatkan hadiah dari Allah berupa akhlak mulia yang terdiri atas tujuh tahapan,
yaitu tawakkal, sabar, qana’ah, ridha, zuhud, ikhlas dan yaqin. Hadiah ini
tentunya berasal dari berkah perjuangan beliau (saw).
Ibarat pohon yang
sempurna, tentunya terdiri atas akar, batang, dahan, ranting, daun, tangkai dan
ujungnya adalah bunga yang menjadi buah. Demikian pula dengan Syajarat
al-Yaqin, masing-masing merupakan tahapan akhlak seseorang yang akan tumbuh,
berkembang dan berbuah seiring dengan jalannya waktu yang bersangkutan di alam
dunia.
Akar dari Syajarat
al-Yaqin adalah tawakkal. Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain
ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi
atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila
seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan
mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak
takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH.
Batang dari Syajarat
al-Yaqin adalah sabar, yakni engkau bersabar di saat papa/miskin, sebagaimana
engkau bersabar di saat kaya; engkau bersabar di saat menerima bencana,
sebagaimana engkau bersabar di saat sejahtera; engkau tidak mengeluhkan
keadaanmu kepada makhluk lain atas apa yang engkau terima dari ujian dan
derita.
Dahan dari Syajarat
al-Yaqin adalah Qana’ah. Qana’ah berarti engkau merasa cukup dengan apa yang
engkau terima dari duniamu; engkau merasa cukup dengan yang sedikit dan
bersyukur atas yang ala kadarnya.
Ranting dari Syajarat
al-Yaqin adalah Ridha. Orang yang ridha adalah orang yang tidak murka kepada
tuannya, apakah dia memperoleh dunianya atau tidak; dan dia tidak rela dirinya
menjalankan suatu tanggung jawab sekedarnya.
Daun dari Syajarat
al-Yaqin adalah Zuhud. Orang zuhud adalah yang mencintai orang yang cinta
kepada Khaliq-nya, benci kepada orang yang membenci Khaliq-nya, bersikap
hati-hati dari bagian dunia yang halal, dan tidak menoleh pada yang haram.
Karena yang halal pasti dihisab dan yang haram pasti dihukum. Dia kasih kepada
seluruh kaum Muslimin seperti halnya dia kasih kepada dirinya sendiri. Dia
bersikap waspada ketika berbicara, sebagaimana dia menghindar dari bangkai yang
sangat busuk baunya. Dia berhati-hati dari tipu daya dunia dan keindahannya,
sebagaimana dia menghindari api dari melahapnya. Dia tidak berangan-angan
panjang dan menganggap seakan ajalnya sudah berada di hadapannya.
Tangkai dari Syajarat
al-Yaqin adalah Ikhlash. Orang ikhlash adalah dia yang tidak memohon dari
manusia lain, tapi berusaha keras sampai dia memperoleh cita-citanya; apabila
dia telah memperolehnya dia akan rela. Jika masih ada sesuatu yang tersisa di
tangannya, dia akan memberikannya karena ALLAH semata-mata. Orang yang tidak
memohon dari makhluk, berarti dia telah menyatakan ubudiyah (kehambaan) kepada
ALLAH azza wa jalla. Jika dia memperolehnya lalu dia rela, berarti dia telah
rela kepada ALLAH dan ALLAH juga rela kepadanya. Apabila dia memberi
semata-mata karena ALLAH azza wa jalla, maka dia memberinya dengan penuh
keyakinan akan janji-Nya.
Buah dari Syajarat
al-Yaqin tersebut adalah yakin, yaitu orang yang beraktifitas semata-mata karena
ALLAH seakan-akan dia melihat-Nya. Sekalipun dia tidak melihat ALLAH, namun dia
yakin ALLAH melihat dia. Dia yakin bahwa apa yang terjadi padanya bukan sesuatu
yang keliru dan apa yang tidak terjadi pada dirinya adalah memang bukan
bagiannya.
Proses untuk
mencapai keyakinan ini telah diterangkan dalam QS 102 Ats Tsakatsur, dimana
sejatinya proses ini adalah proses universal dan umum dalam kehidupan manusia. Sayangnya
banyak yang tidak memperdulikan. Contoh paling sederhana adalah proses
perwujudan cita-cita atau ide, bukankah sebagaimana digambarkan dalam ayat tersebut?
Sebagaimana dicontohkan perihal adanya listrik yang diwujudkan menjadi lampu
dan peralatan listrik lainnya.
Tantangannya
adalah bagaimana cara menyadarkan umat manusia untuk bersedia berjuang mencapai
keyakinan sebagaimana dijelaskan di atas? Sedangkan system kepercayaan manusia
cenderung kepada keakuan diri, sehingga cenderung tidak rasional dan tidak
kritis. Maksudnya manusia sangat sulit untuk mengubah system kepercayaannya.
Solusi yang perlu
dipertimbangkan adalah manusia harus diingatkan dan diberitahu akan:
- risiko (neraka),
- manfaat (surga) atau
- lebih baik dari kedua hal tersebut pada perjalanan hidupnya, yaitu tahu kemuliaan diri.
Dengan memahami
risiko, dimana komponen risiko adalah kemungkinan dan konsekuensi, diharapkan
manusia bisa mengerti bahwa tanpa mencapai kepastian, maka peluang untuk sukses
hanya 50%.
Dengan memahami manfaat,
diharapkan manusia memiliki tekad untuk memastikan bahwa manfaat tersebut bisa
dinikmatinya.
Namun dengan
memahami kemuliaan diri, yaitu sebagai hamba Allah yang dimuliakan-Nya, niscaya
manusia akan berhati-hati dalam bertindak. Hanya yang sudah pastilah yang
dikerjakannya.
Oleh karena itu
marilah berjuang mencapai keyakinan yang sempurna, baik secara keilmuan (‘ilmul
yaqin), secara kasat mata (‘ainul yaqin) bahkan hingga Haqqul Yaqin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar