Siapakah “aku”?
Aku ada saat
aku
sadar dan orang orang pun menyadari dan melihat keberadaanku[1].
Saat sadar, mereka bisa berkomunikasi[2]
denganku.
Saat aku tidur, berdasarkan firmanNya dalam QS AZ Zumar 39
ayat 42 aku dipegang Allah: Allah memegang
jiwa (al-anfusa) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya;
maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Dan orang-orang
pun masih bisa sadar dan melihat keberadaanku, walau tidak bisa berkomunikasi
denganku.
Saat aku
pingsan, aku tidak sadar. Dan orang-orang pun masih sadar dan melihat keberadaanku,
walau tidak bisa berkomunikasi denganku.
Saat aku
mati kelak, orang-orang akan sadar dan melihat bahwa aku sudah tidak ada,
karena sudah tidak bisa diajak berkomunikasi. Padahal aku hanya terpisah dengan
ragaku.
Aku kadang-kadang
kekurangan kesadaran, seperti linglung, melamun bahkan hilang, meski orang-orang
masih bisa sadar dan melihat keberadaanku.
Awal
keberadaanku ada menurut orang-orang di sekitarku, saat aku dalam kandungan
ibuku. Padahal saat aku masih berupa sperma aku sudah ada, karena aku menjawab
pertanyaan Rabb-ku sebagaimana difirmankan dalam QS A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (anfusihim): "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka
menjawab: "Betul, kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani
Adam) adalah orang-orang yang lengah (ghafiliyna) terhadap ini. Bahkan, aku pernah berada dalam keadaan
belum berupa apa-apa sebagaimana difirmankan dalam QS Al Insan 76 ayat 1 : Bukankah telah datang
atas manusia (al insani) satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Jadi aku adalah yang dikeluarkan dari DiriNya, kemudian
dijadikan sebagai manusia melalui diri ayahku. Saat aku dikeluarkan itulah,
maka aku memiliki kesadaran diri sebagai pribadi yang menyadari keberadaanku. Setelah
menyadari diri, aku ditanya Rabb-ku dan bersaksi bahwa Dia adalah Rabb-ku. Aku
kemudian dianugerahi raga dan dilengkapi dengan daya & kemampuan yang
diaktifkan dengan RuhNya yang dihembuskan kepadaku.
Oleh karena itu, marilah kita selalu menjaga kesadaran diri
kita secara penuh. Selalu berjuang untuk tidak kekurangan apalagi hilang
kesadaran. Meskipun kita akan diuji dengan hal itu, sebagaimana firman Allah
dalam QS Al Baqarah 2 ayat 155-157: Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan &
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira
kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan, “Inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un.”. Mereka itulah yang
memperoleh ampunan dan rahmat dari Rabb-nya dan mereka itulah yang mendapatkan
petunjuk. Kekanglah
dorongan dirimu melalui penyerahan diri kepada Allah (Islam). Berdirilah dalam
sholatmu dengan kesadaran melalui pernyataan misimu (iftitah) dan berdoa semoga
dibukakan dadamu (al fatihah) dan dianugerahi dengan cahaya-Nya (Qur’an
adalah nurin)! QS Az Zumar 39 ayat 22: Maka apakah orang-orang yang
dibukakan Allah dadanya untuk Islam lalu ia mendapat cahaya (nurin) dari
Rabb-nya? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya
(quluwbuhum) untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Papahan, 26 Agustus 2023 / 9 Safar 1445 H
[1]
Keberadaan yang dinyatakan oleh indra hanya bersifat saat ini, demikian pula
dengan penilaian hati. Namun keberadaan yang dinyatakan oleh ingatan pikiran,
bisa terbebas dari ruang dan waktu.
[2]
Bukankah komunikasi hanya bisa dilakukan dengan kesadaran?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar