QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri (anfusihim) mereka, “Bukankah Aku Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul, kami menjadi saksi.” Agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Berdasarkan ayat ini bisa difahami bahwa ketika seseorang mempribadi, yaitu dikeluarkan dari satu kesatuan dan saat masih berwujud sperma sudah bisa menyaksikan. Berarti sang diri memiliki fitrah menyaksikan, yaitu menyaksikan akan diri pribadinya dan Rabb-nya. Semestinya pula dia menggunakan fitrah menyaksikan tersebut untuk ke Allah. QS Yusuf 12 ayat 108: Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan Bashirah, Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
Sang diri kemudian disempurnakan, yaitu
berwadahkan jantung, raga dan otak, maka dia menjadi lupa diri dan lupa akan
Rabb-nya. Dia selalu dalam kesibukan mengejar kenikmatan bagi dirinya. Bilamana
hal ini diteruskan, maka kelak dia berakhir di tempat serendah-rendahnya. QS At
Tin 95 ayat 4-6: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Sang diri sudah terseret oleh hawa nafsu
jantungnya yang padanya bercampur antara emosi diri (ghodhob) dengan
penilaian perasaan hati, juga ambisi diri (syahwat) dengan kemauan hati.
Semestinya penilaian hati dan kemauan tidak ditunggangi, namun diikuti. Sedangkan
raga yang dilengkapi dengan indra dan motorik memberikan masukan untuk diolah
oleh akal pikiran dan pelaksana untuk memberikan manfaat yang sempurna. Namun karena
ditenggelamkan oleh hawa nafsunya, maka informasi dari sensorik dan motorik
diabaikan. Demikian pula kajian akal pikiran pun ditolak, bahkan ditunggangi
dan dimanfaatkan. Meski dirinya selalu menyaksikan akan kemunkaran tersebut,
namun tidak mampu mengambil peran karena sudah terkuasai. QS Al Hajj 22 ayat
45-46: Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang
penduduknya dalam keadaan zalim, maka kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan
sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati (quluwbun) yang dengan itu
mereka menggunakan akal atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah hati (alquluwbu) yang di dalam dada.
Jadi sang diri yang menyaksikan harus
dibebaskan.
Cara untuk membebaskan sang diri adalah
dengan kunci iftitah berupa pernyataan diri untuk bersedia menerima Allah
sebagai Ilahnya. QS Al An’aam 6 ayat
79: Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang memisahkan langit
dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk
orang-orang yang mempersekutukan-Nya. QS Al An’aam 6 ayat 162-163: Katakanlah, “Sesungguhnya sholatku,
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada
sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri.” Dari pernyataan diri tersebut, niscaya Allah akan membukakan
dadanya untuk menerima Islam dari Allah, yaitu melalui Al Fatihah. Selanjutnya dengan
menelaah Qur’an, maka
Allah menganugerahinya cahaya (nurin). Ini semua dirangkum dalam QS Az
Zumar 39 ayat 22: Maka apakah orang-orang yang dibukakan dadanya (shadr)
untuk menerima Islam dari Allah, lalu ia mendapat cahaya (nuwrin) dari Rabb-nya?
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya (quluwbuhum) untuk
mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.
Papahan, 10 November 2023 / 26 Rabbiulakhir 1445 H