Minggu, 17 November 2013

Wajah Allah



Dengan mengacu kepada temuan rumus A bapak Mas Supranoto, gambaran tentang kehidupan manusia disusun sebagaimana skema di atas. Yang Kuasa yang disimbolkan dengan , melalui pintu percaya menciptakan alam semesta beserta isinya, diantaranya adalah manusia. Dan individu manusia disebut dengan orang.

Ketika seseorang dilahirkan, umumnya merasa dikeluarkan dari alam. Padahal dia tetap berada dalam alam, hanya lupa menyadari. Dalam proses kehidupannya, orang menerima informasi dari alam melalui peristiwa (). Dan juga melakukan pengamatan terhadap peristiwa alam (). Dari hasil penerimaan informasi dan hasil pengamatan, orang akan mendapatkan pengetahuan berupa kepastian (A8), teori (A9) dan tidak pasti/kepercayaan (A10). Setiap peristiwa yang terjadi tentu karena izin dari Yang Kuasa dan tentunya setiap peristiwa atau pun wujud merupakan bentuk-bentuk kuasa. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa apa yang tersaji di hadapan kita adalah Wajah Yang Kuasa.

Wajah menurut KBBI bisa berarti roman muka, gambaran atau corak. Berarti wajah adalah sesuatu yang ditangkap pengamat yang merupakan roman muka atau gambaran atau corak dari obyek yang diamati. Selama ini persepsi orang menganggap bahwa Yang Kuasa adalah Gaib. Ini betul, karena Gaib harus dimaknai tidak bisa diketahui, bukan tidak bisa dimengerti. Yang Kuasa bisa dilihat dengan mendasarkan kepada asumsi dalam QS Al Hadid 57 ayat 3: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kata Az Zhahir berarti bisa dilihat, walaupun tidak secara total karena Dia meliputi segala sesuatu. Dengan kata lain semua wujud lahir ini adalah sebagian Wajah Yang Kuasa. Pendapat ini diperkuat pula oleh dalil QS Al Baqarah 2 ayat 115: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

Kalau kenyataan ini bisa diterima dan dimengerti, maka kita tidak bisa sembarangan dalam berbuat dan berkarya. Karena apa-apa yang kita lihat adalah Wajah Yang Kuasa, termasuk diri kita sendiri. Itulah orang yang mengakui kebesaran dan memuliakan Yang Kuasa. Pastilah orang-orang yang mengakui kebesaran dan memuliakan Yang Kuasa selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam menata dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya bahkan alam semesta ini. QS Ar Rahman 55 ayat 27: Dan tetap kekal Wajah Tuhan-mu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan (Dzuw Al Jalal wa Al Ikram).

Barangkali memang tidak semua orang mau dan mampu memahami akan hal ini. Karena pada kenyataannya, kebanyakan manusia hanyalah mengikuti perasaan atau kemauannya bahkan hingga kesetanan dalam mewujudkannya. Menuruti kemauan adalah watak hewani, sedangkan fitrah orang adalah manusia, makhluk yang berakal atau orang berakal. Manusia bukan hewan, artinya mau mempergunakan akalnya dan bukan menuruti kemauannya.

Perihal orang berakal juga dijelaskan dalam QS Ali Imran 3 ayat 190-191: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.  

Jadi orang berakal adalah mereka yang mau menatap Wajah Yang Kuasa atau mau menerima kenyataan (QS Az Zumar 39 ayat 22: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata). Yang dengan itu dia ingat (a’5) kepada keberadaan Yang Kuasa dan berupaya mengerti (a’6) maksud dari Yang Kuasa serta akalnya (a’7) menemukan jalan agar tidak salah cara yang berakibat penderitaan.

Orang berakal berarti juga orang yang tahu diri bahwa dia adalah pelaksana dari Yang Kuasa. Inilah orang-orang yang focus kepada tujuan (Qiblat) dan berusaha menegakkannya (Baitullah).

Bagaimana caranya agar kita bisa mencapai maqam ini?

Sadarilah bahwa orang bukan tumbuhan yang hidup mengikuti daya hidup/perasaan (a5), sampai-sampai kerasukan tanpa sadar. Orang bukan hewan yang hidup mengikuti kemauan (a6), sampai-samapai kesetanan. Orang bukan Iblis yang hidup mengikuti keakuannya, sampai-sampai menjadi enggan dan takabur. Orang adalah makhluk hidup yang menggunakan memori (a’5) yang dengan itu dia ingat kepada Yang Kuasa, pengertian (a’6) yang dengan itu dia mengerti akan dirinya dan perannya dan akal (a’7) yang dengan itu dia berkarya yang membawa kenikmatan (menunjukkan kebesaran dan kemualiaan Yang Kuasa) dan bukan cara yang salah atau cara yang dimurkai yang membawa kepada penderitaan.

Namun bagaimana kita bisa meyaqini bahwa Wajah Allah adalah Wajah yang kita rindukan? Yang dengan mengingat itu, kita selalu termotivasi untuk hadir menemui-Nya.

Perhatikanlah diri kita dan juga umumnya manusia, pasti suka akan keindahan, kecantikan, keagungan, kemuliaan dan tidak suka kepada kebalikannya. Semua itu adalah wajah-wajah yang kita ingin lihat, ingin kita nikmati. Kita ambil contoh Wajah Ar Rahman, Ar Rahman mewujud dalam diri hamba-Nya dalam wujud sesuatu yang diberikan dengan kasih dan diberikan kepada yang berhak saja dan tidak kepada setiap orang. Wujudnya pun indah dipandang mata, menyenangkan dan menimbulkan dorongan kuat untuk bisa menikmatinya.

Dan pada kenyataannya pula, keindahan, kecantikan, keagungan, kemuliaan itu bilamana dibukakan untuk kita setiap saat, maka kita kehilangan ketertarikan. Kita lebih tertarik kepada sesuatu yang belum kita miliki atau tidak bisa kita nikmati setiap saat. Bahkan ada suatu pameo bahwa ‘rumput tetangga lebih hijau’. Keadaan ini membuktikan bahwa ketersembunyian Wajah Allah adalah untuk menunjukkan Keagungan dan KemuliaanNya sangatlah menarik dan paling pantas untuk diperjuangkan dengan harta dan jiwa kita.

Kenapa pada awalnya tidak semua orang memiliki ketertarikan untuk melihat Wajah Allah?

Pada awalnya, kita tidak memiliki dorongan untuk melihat Wajah Ilahy, karena adanya nilai-nilai keluarga, masyarakat dan dari buku atau tulisan yang kita baca yang tertanam ke dalam benak kita. Kemudian bersamaan dengan berjalannya waktu dan semakin bertambahnya ilmu kita, maka dorongan tersebut akan berubah. Sehingga dari waktu ke waktu, dorongan diri ini akan menguat yang nantinya akan menjadi pendorong dalam penentuan cita-cita dan juga menjadi pembeda dalam penentuan kualitas individu manusia. Dengan semakin sempurna dorongan diri tersebut barulah muncul keinginan untuk melihat Wajah Ilahy. Ini akibat dari orang yang mau melakukan pengamatan terhadap alam, terhadap peristiwa dan tidak terjebak kepada kata orang, menurut buku.

Untuk bisa melihat Wajah Ilahy; Yang Tersembunyi; Yang Agung dan Mulia, kita perlu mendatanginya dan perlu cahaya penerang. Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mendekat kepada-Nya dan memperoleh cahaya penerang, yaitu Cahaya Ilahy. QS Az Zumar 39: 22 menunjukkan bagaimana caranya, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” Sebagaimana ayat di atas, Cahaya Ilahy tidak bisa dicari melalui perjuangan mencari, tetapi hanya bisa dicari dengan bersikap (diyn) berserah diri kepada Allah (Islam), Tuhan semesta alam dan berharap bahwa Dia akan menganugerahkannya kepada kita.

QS Al Baqarah 2: 272, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan (infaq) sesuatu melainkan karena mencari Wajah Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.”

QS Ar Ruum 30: 38–39, “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari Wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai Wajah Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan.”

QS Ar Raad 13: 22, “Dan orang-orang yang sabar karena mencari Wajah Tuhan-nya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”

QS Al Lail 92: 17-20, “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk mensucikan dirinya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari Wajah Tuhannya Yang Maha tinggi.”

QS Al Kahfi 18: 28, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru (kepada) Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap Wajah-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”

Jakarta, 7 Sep 2018

Sabtu, 12 Oktober 2013

Puasa

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
QS Al Baqarah 2: 183 - 187
Memperhatikan ayat di atas, sudah dicanangkan dengan jelas bahwa puasa diwajibkan bagi orang-orang yang beriman dengan tujuan agar bertakwa.
Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman?
Allah menjawab pertanyaan ini melalui QS Al Mu’minuun 23 ayat  1-9:
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu):
·        orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,
·        dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
·        dan orang-orang yang menunaikan zakat,
·        dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
·        Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
·        Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
Puasa adalah amalan khusus yang diperuntukkan hanya untuk Allah, dimana salah satu hasilnya adalah diizinkannya mereka yang diterima puasanya untuk bertemu dengan-Nya. Pertemuan dengan Allah tentunya adalah kenikmatan tertinggi, tiada taranya. Kita dengan anugerah kenikmatan dunia saja, senangnya sudah bukan main.
Setiap amalan anak Adam, kebaikannya dilipat­gandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesung­guhnya (amalan) itu adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, karena (orang yang ber­puasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.”
Bagi orang yang berpuasa, ada dua kegembiraan:
·        kegembiraan ketika dia berbuka puasa dan
·        kegembiraan ketika dia berjumpa dengan Rabb-nya.
Sesung­guhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi.” (Hadits Imam Muslim) 
Untuk mencapai kesempurnaan berpuasa, kita akan mengalami beberapa tahap, yaitu:
·        Kita bertahan agar kuat menahan diri dari dorongan hawa nafsu dari fajar hingga maghrib. Ini seperti ketika kecil berlatih untuk menahan lapar dan haus. Dan ketika sudah dewasa, kita berlatih menahan ambisi (syahwat) dan emosi (ghadhab).
·        Selanjutnya bila kita sudah mampu menduduki maqam mampu menahan hawa nafsu dari fajar hingga maghrib, maka tahap selanjutnya adalah menahan diri pada saat berbuka. Ini sejalan dengan sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “... Ada tiga golongan orang yang tidak akan ditolak doanya, yaitu:
o   Pemimpin yang adil,
o   Orang yang berpuasa pada saat berbuka dan
o   Doa orang yang teraniaya.
Doa itu diangkat melewati dan menembus awan, serta dibukakan pintu-pintu langit, lalu Allah Azza wa Jalla berfirman, “Demi KeagunganKu, Aku akan menolongmu sekalipun setelah beberapa masa.””
·        Dan terakhir adalah orang-orang yang bertaqwa, yaitu menahan diri setiap saat. Inilah orang-orang yang selalu berpuasa. Mereka inilah orang yang kuat yang mampu menjalankan amanat Allah dengan sempurna. Mereka ini digambarkan oleh Allah dalam QS Al Baqarah 2 ayat 2-5:
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu):
o   mereka yang beriman kepada yang ghaib,
o   yang mendirikan shalat,
o   dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
o   dan mereka yang beriman kepada kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu,
o   serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarga dan keturunan beliau. Melalui beliau lah Al Qur’an diturunkan dan melalui beliau beserta keluarga, keturunannya dan ulama pewarisnya Al Qur’an dijelaskan.
Segala puji untuk-Mu, yaa Rabbul’alamin, Yang telah menganugerahkan kepada kami kenikmatan hidup. Mendidik kami untuk selalu berjuang mendapatkan kenikmatan lebih. Dan kenikmatan yang tertinggi adalah kembali kepada-Mu, Sang Sumber Kenikmatan.


Tuban, 29 September 2013

Sabtu, 28 September 2013

Syahadat

Asyhadu Ana laa Ilaha illa Allah wasyhadu ana Muhammad Al Rasul Allah, diterjemahkan berarti Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah. Siapakah yang bersaksi? Jawabnya ‘aku’. Untuk memahami siapa ‘aku’ sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, yaitu ‘Manusia Sang Khalifah Allah’. Siapakah yang disaksikan? Jawabannya adalah Allah. Semuanya jelas, namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan apa aku yang bersinggasana atau bertempat di dalam dada bukan di kepala kita menyaksikan eksistensi Allah?
Ada yang menjawab bahwa bagaimana kita bisa menyaksikan Allah sedangkan Dia tidak bisa diindrai dengan penglihatan kita? Ada yang menjawab bahwa kita bisa menyaksikan Allah dengan hati nurani kita, namun kita pun tetap bingung, bagaimana melakukannya. Ada yang menjawab memakai rasa weruh (Jawa yang berarti tahu) dan kita pun tetap bingung. Terus harus bagaimana?
Barangkali kita harus memahami dengan kebodohan kita, dengan ketidak-tahuan kita, dengan kejujuran kita dalam memahami makna kedua kalimat syahadat tersebut, yaitu bahwa yang bersaksi adalah ‘aku’. Aku ini sudah meliputi jasmani, qudrat dan iradatnya. Sehingga sang diri yang dipanggil aku ini sudah memiliki qudrat untuk bisa menyaksikan.
1.     Menyaksikan dengan Jasmani
Bilamana sang diri ditempatkan di jasmaninya, maka kalau ingin menyaksikan wujud makhluk akan menggunakan indra matanya. Namun mungkinkah kita bisa melihat Wujud Yang Maha Meliputi segala sesuatu (Al Muhith) dengan mata kita? Pastilah tidak mungkin, bahkan melihat udara saja kita tidak bisa. Kita hanya bisa mengetahui udara dari tanda-tandanya saja. Sehingga pantas di Qur’an disebutkan dalam surat Al ‘Araaf 7 ayat 143, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa, "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu. Maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."
Berarti kita tidak akan pernah mampu menyaksikan Allah dengan indra kita. Namun kita bisa menyaksikan bahwa dengan adanya kita dan adanya alam semesta membuktikan keberadaan Sang Pencipta. Oleh karena itu, marilah kita menyaksikan Allah cukup melalui pengakuan akan keberadaan-Nya, yaitu dengan mengucapkan Laa Ilaha illa Allah sambil kita mengakui akan keberadaan-Nya. Dan dengan sikap cukup ini, pasti akan ditingkatkan-Nya penyaksian kita.
Bilamana kita ingin bisa melakukan seperti apa yang dialami Nabi Musa as, maka kita bisa meminta kepada Allah, agar Allah menampakkan DiriNya, hingga kita bisa melihat dengan mata kita. Niscaya kepala kita akan mengalami pusing berat. Kalau kita menguatkan tekad, maka kita akan semakin pusing dan bisa pingsan.
Namun kita harus berusaha agar syahadat kita mewujud, yaitu melalui af’al Allah berupa segala yang bisa dinikmati oleh jasmani kita. Nikmat Allah yang tak terbatas bahkan melampaui pikiran kita. Hasilnya adalah peradaban. Dengan adanya perwujudan inilah, kita sebagai manusia bisa menikmatinya, dimana diharapkan kita menjadi hamba Allah yang ahli bersyukur, serta mengembalikan tersebut sebagai Kebesaran Allah. Misalnya kisah Nabi saw membelah bulan. Kisah Syekh Jangkung-Saridin yang membuktikan bahwa dimana ada air, maka ada ikannya.
2.    Menyaksikan dengan Al Qudrat
Kalau sang diri ditempatkan di qudratnya, maka bila ingin menyaksikan wujud makhluk akan menggunakan daya ciptanya. Daya cipta adalah salah satu kemampuan (al qudrat) yang dimiliki oleh diri untuk melakukan visualisasi atas informasi yang masuk ke akal pikiran kita (otak). Kalau kita akan memvisualisasikan sesuatu, maka kita memejamkan mata dan akan ada suatu ruangan di depan otak kita yang menggambarkan apa yang ingin kita saksikan. Inilah yang dimaksud dengan daya cipta. Tidak semua orang mampu menyempurnakan kemampuan ini. Kemampuan daya cipta juga bisa dikembangkan hingga mampu melakukan visualisasi atas wujud gaib, semisal makhluk dari golongan Jin. Meski bisa berkembang luar biasa, namun janganlah mudah tertipu, karena makhluk-makhluk gaib dari golongan Jin mampu menciptakan wujud-wujud tipuan, yang bertujuan untuk merendahkan diri manusia. Selain itu, di antara kemampuan yang bisa dikembangkan dari akal pikiran adalah membaca dengan infra merah hingga ultra ungu (kemampuan reptilia – otak tengah), yakni melalui jejak panas suatu wujud, bisa pula menggunakan kemampuan pendengaran dari infrasonik hingga ultrasonik (kemampuan mamalia seperti kelelawar – otak kiri dan otak kanan). Bisa pula mengembangkan sensitifitas perasaan kita.
Mampukah kita melihat dengan qudrat kita? Jawabannya adalah bisa. Misalnya kita membaca penelitian akan suatu benda, ternyata benda tersusun atas unsur-unsur dan setiap unsur tersusun atas inti atom dengan elektron-elektron yang mengitarinya, seperti galaksi Bimasakti dengan pusat matahari yang dikitari oleh planet-planet, asteroid dan bulan. Pertanyaannya adalah apa yang membuat inti atom tetap dikitari oleh elektron dengan jumlah dan susunan tertentu? Bolehlah kita menarik kesimpulan bahwa adanya wujud suatu benda adalah akibat adanya suatu kekuatan tertentu (fitrah – bawaan – inherent) yang membuatnya mewujud menjadi benda tertentu.
Bilamana ini bisa difahami, oleh karena itu marilah kita mengakui bahwa segala yang wujud di alam semesta ini adalah bentuk Qudrat (Kekuasaan) Allah. Sebagaimana disampaikan melalui firmanNya dalam Qur’an surat Al Furqaan 25 ayat 1-2, “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya) dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” Dan dalam surat Thaha 20 ayat 50, “Musa berkata: "Tuhan kami ialah Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”
Oleh karena itu, kita bisa menyaksikan Allah dengan menggunakan qudrat kita, yaitu dengan memahami bahwa pada setiap benda selalu ada kekuasaan yang membuatnya tetap utuh (tidak hancur). Memahami akan adanya Kekuasaan inilah, maka kita menyaksikan Allah. Jadi kita pun bisa bersyahadat dengan tidak ada Tuhan kecuali Dia, Laa Ilaha illa Huwa, yakni menyaksikan Dia, Allah Sang Pemiliki Kekuasaan.
Silahkan merasakan kekuatan kepalan tanganmu. Sadarkan bahwa dibalik kepalan tangan terdapat kekuatan yang bertumpu pada kaki. Dan kaki kita bertumpu pada tanah atau bumi. Sadarkan bahwa bumi yang perkasa ini bertumpu pada kekosongan dan sebutlah Allah dalam bathinmu.
3.    Menyaksikan dengan Al Iradat
Kalau sang diri ditempatkan di iradatnya, maka akan menyaksikan wujud makhluk dengan kehendaknya. Kita akan mampu melihat bahwa dibalik setiap wujud ada jejak kehendak Allah. Kenapa Dia menciptakan berbagai tanaman dan hewan bahkan manusia yang berbeda pada setiap daerah? Ambil contoh bilamana kita pergi ke tanah suci, di Madinah dan di Mekah akan timbul dorongan kita untuk memperbanyak ibadah. Bahkan di Masjid Nabawi, orang-orang yang berada dalam masjid namun di luar Raudhah akan memiliki daya tahan untuk membaca Qur’an. Sedangkan yang berada di Raudhah akan memiliki kesenangan shalat atau bertafakur. Kalau kembali ke negeri masing-masing, semangat beribadah tersebut akan menurun, namun semoga tidak hilang bahkan meningkat.
Mereka-mereka yang bisa menyaksikan kehendak Allah itu disebut ahli ma’rifat, yaitu sudah menyaksikan menggunakan fuadnya bahwa keinginan yang tertinggi adalah Allah. QS An Najm 53 ayat 5-11, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hati (Fuad)nya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Dalam posisi sang diri bersinggasana di iradatnya, maka kita pun bisa menyaksikan Allah, yakni melalui pemahaman bahwa di balik setiap wujud terdapat Kehendak / Iradat Allah. Dan pada setiap Kehendak Allah, pasti tidak ada yang sia-sia. Di sinilah kita merasa dekat, sehingga kita bersyahadat dengan tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Laa Ilaha illa Anta.
Posisikan diri kita dalam kehendak kita, misalnya kita mengantuk. Rasakan dalam bathin kita bahwa kita ingin tidur, lalu sampaikan kepada Allah bahwa kita ingin tidur. Terus berikan keinginan tidur tadi kepada Allah dan amati, apakah tetap mengantuk atau malah menjadi terjaga.
4.    Menyaksikan dengan Aku
Sebagaimana sudah dijelaskan di depan bahwa bersyahadat adalah dengan diri kita. Oleh karena itu, berjuanglah untuk selalu menjadi tuan atas diri kita sendiri (taqwa) melalui pengendalian diri, yaitu puasa. Bilamana kita mampu mengendalikan diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi tuan atas diri ini dan mampu memanfaatkan sarana diri, seperti jasmani, qudrat dan iradat untuk mewujudkan tugas kehidupan kita, yaitu menyaksikan Kebesaran Allah melalui karya. Namun saat kita berjuang menyaksikan Allah, maka yang kita gunakan tetaplah diri kita ini.
Setiap individu pasti akan mencintai dirinya dengan sangat dalam (syaghaf), sebagaimana dikisahkan dalam QS Yusuf 12 ayat 30, “Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghafaha hubban). Sesungguhnya Kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata."
Dalam posisi sangat mencintai dirinya, sulit bagi individu untuk bisa berserah diri kepada Allah (Islam). Umumnya setiap individu berusaha memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya atau bahkan Allah untuk memuaskan dirinya. Tentunya bagi yang sudah menyaksikan hal ini, mulailah berlatih untuk mencintai Allah. Dengan demikian akan bisa menjalankan perintah-Nya dalam QS Thaahaa 20 ayat 14, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Bilamana berhasil, maka individu tersebut mulai bertauhid kepada Allah. Dia akan dicintai Allah dan akan mejalani hidup seperti mayat berjalan, hanya mengikuti dorongan ruhaninya. Meski demikian tidak boleh meninggalkan tugasnya sebagai hamba, saksi dan khalifah Allah. Karena apa yang dikehendaki Allah harus diwujudkannya. Sehingga akan memahami firman Allah QS Ali Imran ayat 190 – 191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.””
Yang perlu diperhatikan bahwa Allah adalah Hidup, sedangkan dalam diri kita secara tidak sadar menganggap bahwa Allah itu tidak hidup. Sehingga kita menganggap bahwa hadir ke hadapan-Nya bisa kita lakukan dengan mudah dan kapan saja kita inginkan. Namun pada kenyataannya kadang-kadang Allah begitu dekat, sampai kita betah duduk berlama-lama sambil mengucurkan air mata merasakan syukur atas nikmat kedekatan-Nya. Di saat yang lain, sedemikian susah mengingat Allah dalam diri kita, seolah kita menuju suatu suasana kosong atau seperti menembus tembok tak tertembus. Keadaan inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa Dia adalah Hidup. QS Al Mu’min 40 ayat 65, “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
Dia juga memperkenalkan DiriNya melalui Qur’an surat Al Hadiid 57 ayat 3, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Maka perhatikanlah dengan diri kita bahwa ada yang dari dulu hingga nanti tidak pernah berubah. Perhatikan sampai Allah membuat pernyataan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku, Laa Ilaha illa Ana.
5.    Innalillahi wa inna ilaihi raji’un
Sebagaimana berlangsung dalam proses kematian kita, maka jasad kita akan dikubur atau dibakar terserah yang masih hidup. Qudrat kita yang menyusun diri kita pun tidak bisa melakukan apa-apa, karena qudrat tersebut mengikuti iradat kita menyatu dengan diri kita yang sudah berada di alam barzakh, tersekat sehingga tidak mampu lagi berbuat apa-pun. Ruhani kita pun kembali kepada Allah. Akibatnya diri kita kebingungan. Padahal satu-satunya jalan kita bisa hadir ke hadapan Allah adalah sang ruhani. Hanya dia yang tahu. Sang min ruhi inilah yang mampu memahami perintah Allah. sebagai Ulil Albab, yakni dalam
Bagaimana kita bisa mengikuti tuntunan sang min ruhi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita cermati Qur’an surat Al Hajj 22 ayat 78 yang menyebutkan, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. Dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” Dari ayat ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana Rasulullah saw bisa menjadi saksi atas segenap umat manusia? Padahal tidak seluruh umat manusia bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita manfaatkan teori yang difahami oleh kebanyakan orang, yaitu Allah bertajalli dalam wujud Nur Ilahi. Nur Ilahi bertajalli dalam wujud Nur Muhammad. Nur Muhammad inilah yang kemudian bertajalli menjadi sang ruhani yang kemudian dihembuskan dalam jasmani manusia. Dan karena kelemahan / kepasifannya, sehingga ada yang menyebut dengan istilah Ar Ruh Al Idhafi, yang bermakna ruh yang lemah.
Oleh karena itu agar bisa menyaksikan Wajah Allah, maka sang diri menyerahkan dirinya kepada Ar Ruh Al Idhafi untuk bersenang hati kembali kepada Allah, inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Bagaimana melakukannya? Bermohonlah kepada Allah dan beramallah!
Yaa Allah, hamba-Mu berserah diri kepada-Mu. Yaa Allah, semoga dengan itu semua, hamba-Mu bisa memberikan peringatan dan kabar gembira akan Diri-Mu. Sehingga mereka menyempurnakan sikapnya untuk beribadah kepada Engkau.
Yaa Allah, WajahMu adalah yang Maha Sempurna, Maha Indah. Oleh karena itu, Engkau sembunyikan WajahMu agar hanya hamba-hamba-Mu yang terhormat yang berhak melihat WajahMu, yaitu hamba-hamba-Mu yang berjihad untuk beribadah kepada-Mu secara sempurnalah yang berhak melihat wajah-Mu.

Tuban, 18 Jun 2012 / 27 Rajab 1433 H / 27 Rejeb 1945 J


Minggu, 15 September 2013

Syaitan Adalah Musuh Manusia

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
Maka bersujudlah para Malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblis. Ia enggan ikut besama-sama (malaikat) yang sujud itu.
Allah berfirman: "Hai Iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?"
Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk."
Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat".
Berkata Iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.”
Allah berfirman: "Maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.”
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka."
Allah berfirman: "Ini adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya). Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.”
QS Al Hijr 15: 28 - 42
Banyak orang menasehati, bahwa agar kita tidak diganggu syaitan adalah beribadah dengan ikhlash. Nasehat ini memang sangat bagus. Namun ketika kita belajar Qur’an dan mengenal ayat ini, kita akan terhenyak. Masya Allah, ternyata kita tertipu oleh Iblis, kita berusaha untuk beribadah dengan ikhlas, sehingga jarang memohon kepada Allah perlindungan dari syaitan yang terkutuk atau membaca ta’awudz. Betul-betul halus tipuan Iblis, kita dibawa kepada percaya diri, sehingga lupa bergantung kepada Allah. Yaa Allah kami memohon perlindungan-Mu dari syaitan yang terkutuk.
Setelah merenungi ayat di atas, maka agar kita terbebas dari gangguan syaitan yang terkutuk, maka kita harus meminta perlindungan Allah dari mereka. Dan sebagaimana janji Allah, hanya hamba-hamba-Nya yang dilindungi-Nya. Hamba bermakna orang-orang yang menyerahkan dirinya kepada tuannya. Oleh karena itu, agar kita termasuk hamba Allah, maka kita menyerahkan diri secara total, baik jasmani, kemampuan (qudrat), kehendak (iradat) dan diriku (anfusakum) kepada Allah, semuanya. Dengan penyerahan diri yang total ini dan upaya untuk menjadi hamba-Nya Yang disukai-Nya, maka berjuang dengan segala daya upaya untuk mewujudkan cita-cita dan tugas kita.
Sedangkan yang dimaksud dengan tertipu oleh Iblis adalah kita menjadi percaya diri dalam kehidupan ini. Sehingga kita berjuang untuk menjalani hidup dengan kepercayaan diri dan peran Allah menjadi diabaikan. Kita lalai dari meminta perlindungan-Nya dari syaitan yang terkutuk. Maka kita akan berada dalam kekuasaan Iblis beserta pengikutnya. Karena Iblis menggunakan kekuasaan Allah untuk menyesatkan manusia. Oleh karena itu, janganlah berharap mendapatkan kekuasaan dan berhati-hatilah dalam mempergunakan kekuasaan.
Bahkan dengan kepercayaan diri, kita lebih sering mengucapkan terima kasih, ketika dimudahkan orang daripada mengucapkan alhamdulillah. Oleh karena itu, marilah kita merenungkan nasehat Rasulullah saw berikut:
Dari Mu’adz, ia berkata, “Rasulullah saw pernah bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya antara Aku, jin dan manusia dalam peristiwa besar. Aku Yang menciptakan, tetapi selain Aku yang disembah. Aku Yang memberi Rezeki, tetapi selain Aku yang disyukuri.”””
Kita juga menjalani hidup ini untuk mengejar kenikmatan dan berharap agar Allah memudahkan dan melapangkan jalan. Kemudahan dan kelapangan ini dimohonkan karena sebenarnya kita ini pemalas dan hanya ingin selalu dalam kenikmatan dengan atau bahkan tanpa upaya. Kemalasan ini juga kita lakukan agar tidak dianggap sebagai orang yang ambisius, kita ingin dianggap sebagai orang yang ikhlas menerima kehidupan ini apa adanya. Sedangkan Allah sendiri meminta kita untuk berjuang mendapatkan kemuliaan dari-Nya itu, sebagaimana dikisahkan dalam QS Al Balad 90: 10 – 18:
dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?
(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir.
Dan Dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.
Oleh karena itu, marilah kita menikmati kehidupan ini dengan berjuang untuk mewujudkan tugas & cita-cita. Dalam perjuangan itu, nanti akan ada masalah, maka nikmatilah karena masalah akan membuat perjuangan menjadi lebih indah dan bermakna. Maka akan muncul rasa puas yang sangat, ketika kita mampu mewujudkannya secara berkualitas hingga kita pun tidak lupa bersyukur kepada-Nya. Nabi saw adalah contoh manusia yang mampu mewujudkan tugas tanpa memanfaatkan kekuasaan, memanfaatkan orang lain atau pun makhluk lain. Ini semua beliau gapai dengan kesungguhan dalam berjuang dan selalu bersandar kepada Allah (Islam). Jadi sebenarnya Islam itu universal.
Sedangkan Iblis beserta bala tentaranya akan mengajak kita kepada yang sebaliknya. Sehingga akan muncul dorongan diri untuk memanfaatkan kekuasaan, memanfaatkan teman, memanfaatkan segala yang ada agar kita tanpa perlu bersusah payah bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.
Untuk mengatasi godaan Iblis beserta tentaranya adalah dengan cara meresapi sikap negatif hingga ke dalam diri kita dengan menyebut Allah. Contoh ketika kita sedang muncul rasa malas, resapilah rasa malas tersebut dan sebutlah Allah. Maka rasa malas tadi mendadak akan hilang. Repotnya adalah kita sendiri memang lagi ingin bermalas-malas, ya seperti wadah bertemu dengan tutupnya.
QS Al Baqarah 2: 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Selain berserah diri kepada Allah secara total, maksudnya mengembalikan diri kita, hidup kita bahkan eksistensi keberadaan kita kepada Allah, kita juga perlu menegaskan kepada diri kita bahwa syaitan adalah musuh kita. Tentunya dengan penegasan ini, akan memberikan dorongan semangat untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan.
Apakah yang dimaksud dengan langkah-langkah syaitan:
v Perselisihan (QS 17: 53)
v Perbuatan Keji / Maksiat (QS 24: 21)
v Perbuatan Munkar (QS 24: 21)
v Menikmati barang-barang yang haram (QS 2: 168, 6: 142)
v Makar QS 12: 5
v Ibadah kpd syaitan (QS 36: 60)
1.    Perselisihan
QS Al Israa’ 17: 53, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Kebanyakan dari kita berselisih bukan karena tujuan berbeda, namun hanya karena kita tidak bisa menerima perbedaan dalam cara mencapai tujuan dan/atau adanya kepentingan  pribadi yang ingin dipaksakan.
Mestinya hal ini bisa dicegah, bilamana kita memiliki komitmen untuk fokus kepada pencapaian tujuan.
2.   Perbuatan Maksiat
QS An Nuur 24: 21, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Bisa jadi perbuatan maksiat tidak merugikan orang lain. namun perbuatan maksiat yang pasti akan merusak diri kita sendiri.
3.   Perbuatan Munkar
QS An Nuur 24: 21, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Perbuatan mungkar adalah perbuatan yang merugikan orang lain.
4.   Menikmati Barang Haram
QS Al Baqarah 2: 168, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
QS Al An’aam 6: 142, “Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Menikmati barang haram akan memperkuat dorongan dari dalam diri kita untuk semakin cinta dunia termasuk menjadi penyebab rendahnya akhlak.
5.   Makar
QS Yusuf 12: 5, “Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) kamu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia."”
Kemuliaan yang diberikan kepada seseorang atau suatu kaum, akan bisa mendorong terjadinya iri dan dengki. Bilamana dorongan ini dimunculkan maka yang terjadi adalah kejahatan.
6.   Ibadah Kepada Syaitan
QS Yaasiin 36: 60, “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu."
Para pencinta dunia berjuang mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan menjual dirinya kepada syaitan. Itulah yang dilakukan oleh para penyembah syaitan, semisal pesugihan, penglarisan dan lain-lain dengan memanfaatkan kekuasaan Allah yang dipakai oleh para syaitan.
Oleh karena itu, marilah kita berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk dan mari kita deklarasikan bahwa syaitan adalah musuh kita. Dengan deklarasi ini bukan berarti kita mengajak berperang melawan syaitan, tetapi memperkuat tekad kita untuk tidak mengikuti langkah-langkah syaitan.
Yaaa Allah, sekali lagi kami berlindung kepada-Mu dari syaitan yang terkutuk. Yaaa Allah, hamba-Mu menerima dan rela untuk menempuh jalan mendaki, jalan kaum yang Engkau muliakan. Yaa Allah, Engkaulah Penggemblengku dan aku meneguhkan diriku untuk Engkau gembleng.


Tuban, 31 Januari 2013

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...