Syahadat

Asyhadu Ana laa Ilaha illa Allah wasyhadu ana Muhammad Al Rasul Allah, diterjemahkan berarti Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah. Siapakah yang bersaksi? Jawabnya ‘aku’. Untuk memahami siapa ‘aku’ sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, yaitu ‘Manusia Sang Khalifah Allah’. Siapakah yang disaksikan? Jawabannya adalah Allah. Semuanya jelas, namun yang menjadi pertanyaan adalah dengan apa aku yang bersinggasana atau bertempat di dalam dada bukan di kepala kita menyaksikan eksistensi Allah?
Ada yang menjawab bahwa bagaimana kita bisa menyaksikan Allah sedangkan Dia tidak bisa diindrai dengan penglihatan kita? Ada yang menjawab bahwa kita bisa menyaksikan Allah dengan hati nurani kita, namun kita pun tetap bingung, bagaimana melakukannya. Ada yang menjawab memakai rasa weruh (Jawa yang berarti tahu) dan kita pun tetap bingung. Terus harus bagaimana?
Barangkali kita harus memahami dengan kebodohan kita, dengan ketidak-tahuan kita, dengan kejujuran kita dalam memahami makna kedua kalimat syahadat tersebut, yaitu bahwa yang bersaksi adalah ‘aku’. Aku ini sudah meliputi jasmani, qudrat dan iradatnya. Sehingga sang diri yang dipanggil aku ini sudah memiliki qudrat untuk bisa menyaksikan.
1.     Menyaksikan dengan Jasmani
Bilamana sang diri ditempatkan di jasmaninya, maka kalau ingin menyaksikan wujud makhluk akan menggunakan indra matanya. Namun mungkinkah kita bisa melihat Wujud Yang Maha Meliputi segala sesuatu (Al Muhith) dengan mata kita? Pastilah tidak mungkin, bahkan melihat udara saja kita tidak bisa. Kita hanya bisa mengetahui udara dari tanda-tandanya saja. Sehingga pantas di Qur’an disebutkan dalam surat Al ‘Araaf 7 ayat 143, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa, "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu. Maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."
Berarti kita tidak akan pernah mampu menyaksikan Allah dengan indra kita. Namun kita bisa menyaksikan bahwa dengan adanya kita dan adanya alam semesta membuktikan keberadaan Sang Pencipta. Oleh karena itu, marilah kita menyaksikan Allah cukup melalui pengakuan akan keberadaan-Nya, yaitu dengan mengucapkan Laa Ilaha illa Allah sambil kita mengakui akan keberadaan-Nya. Dan dengan sikap cukup ini, pasti akan ditingkatkan-Nya penyaksian kita.
Bilamana kita ingin bisa melakukan seperti apa yang dialami Nabi Musa as, maka kita bisa meminta kepada Allah, agar Allah menampakkan DiriNya, hingga kita bisa melihat dengan mata kita. Niscaya kepala kita akan mengalami pusing berat. Kalau kita menguatkan tekad, maka kita akan semakin pusing dan bisa pingsan.
Namun kita harus berusaha agar syahadat kita mewujud, yaitu melalui af’al Allah berupa segala yang bisa dinikmati oleh jasmani kita. Nikmat Allah yang tak terbatas bahkan melampaui pikiran kita. Hasilnya adalah peradaban. Dengan adanya perwujudan inilah, kita sebagai manusia bisa menikmatinya, dimana diharapkan kita menjadi hamba Allah yang ahli bersyukur, serta mengembalikan tersebut sebagai Kebesaran Allah. Misalnya kisah Nabi saw membelah bulan. Kisah Syekh Jangkung-Saridin yang membuktikan bahwa dimana ada air, maka ada ikannya.
2.    Menyaksikan dengan Al Qudrat
Kalau sang diri ditempatkan di qudratnya, maka bila ingin menyaksikan wujud makhluk akan menggunakan daya ciptanya. Daya cipta adalah salah satu kemampuan (al qudrat) yang dimiliki oleh diri untuk melakukan visualisasi atas informasi yang masuk ke akal pikiran kita (otak). Kalau kita akan memvisualisasikan sesuatu, maka kita memejamkan mata dan akan ada suatu ruangan di depan otak kita yang menggambarkan apa yang ingin kita saksikan. Inilah yang dimaksud dengan daya cipta. Tidak semua orang mampu menyempurnakan kemampuan ini. Kemampuan daya cipta juga bisa dikembangkan hingga mampu melakukan visualisasi atas wujud gaib, semisal makhluk dari golongan Jin. Meski bisa berkembang luar biasa, namun janganlah mudah tertipu, karena makhluk-makhluk gaib dari golongan Jin mampu menciptakan wujud-wujud tipuan, yang bertujuan untuk merendahkan diri manusia. Selain itu, di antara kemampuan yang bisa dikembangkan dari akal pikiran adalah membaca dengan infra merah hingga ultra ungu (kemampuan reptilia – otak tengah), yakni melalui jejak panas suatu wujud, bisa pula menggunakan kemampuan pendengaran dari infrasonik hingga ultrasonik (kemampuan mamalia seperti kelelawar – otak kiri dan otak kanan). Bisa pula mengembangkan sensitifitas perasaan kita.
Mampukah kita melihat dengan qudrat kita? Jawabannya adalah bisa. Misalnya kita membaca penelitian akan suatu benda, ternyata benda tersusun atas unsur-unsur dan setiap unsur tersusun atas inti atom dengan elektron-elektron yang mengitarinya, seperti galaksi Bimasakti dengan pusat matahari yang dikitari oleh planet-planet, asteroid dan bulan. Pertanyaannya adalah apa yang membuat inti atom tetap dikitari oleh elektron dengan jumlah dan susunan tertentu? Bolehlah kita menarik kesimpulan bahwa adanya wujud suatu benda adalah akibat adanya suatu kekuatan tertentu (fitrah – bawaan – inherent) yang membuatnya mewujud menjadi benda tertentu.
Bilamana ini bisa difahami, oleh karena itu marilah kita mengakui bahwa segala yang wujud di alam semesta ini adalah bentuk Qudrat (Kekuasaan) Allah. Sebagaimana disampaikan melalui firmanNya dalam Qur’an surat Al Furqaan 25 ayat 1-2, “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi dan Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya) dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” Dan dalam surat Thaha 20 ayat 50, “Musa berkata: "Tuhan kami ialah Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.”
Oleh karena itu, kita bisa menyaksikan Allah dengan menggunakan qudrat kita, yaitu dengan memahami bahwa pada setiap benda selalu ada kekuasaan yang membuatnya tetap utuh (tidak hancur). Memahami akan adanya Kekuasaan inilah, maka kita menyaksikan Allah. Jadi kita pun bisa bersyahadat dengan tidak ada Tuhan kecuali Dia, Laa Ilaha illa Huwa, yakni menyaksikan Dia, Allah Sang Pemiliki Kekuasaan.
Silahkan merasakan kekuatan kepalan tanganmu. Sadarkan bahwa dibalik kepalan tangan terdapat kekuatan yang bertumpu pada kaki. Dan kaki kita bertumpu pada tanah atau bumi. Sadarkan bahwa bumi yang perkasa ini bertumpu pada kekosongan dan sebutlah Allah dalam bathinmu.
3.    Menyaksikan dengan Al Iradat
Kalau sang diri ditempatkan di iradatnya, maka akan menyaksikan wujud makhluk dengan kehendaknya. Kita akan mampu melihat bahwa dibalik setiap wujud ada jejak kehendak Allah. Kenapa Dia menciptakan berbagai tanaman dan hewan bahkan manusia yang berbeda pada setiap daerah? Ambil contoh bilamana kita pergi ke tanah suci, di Madinah dan di Mekah akan timbul dorongan kita untuk memperbanyak ibadah. Bahkan di Masjid Nabawi, orang-orang yang berada dalam masjid namun di luar Raudhah akan memiliki daya tahan untuk membaca Qur’an. Sedangkan yang berada di Raudhah akan memiliki kesenangan shalat atau bertafakur. Kalau kembali ke negeri masing-masing, semangat beribadah tersebut akan menurun, namun semoga tidak hilang bahkan meningkat.
Mereka-mereka yang bisa menyaksikan kehendak Allah itu disebut ahli ma’rifat, yaitu sudah menyaksikan menggunakan fuadnya bahwa keinginan yang tertinggi adalah Allah. QS An Najm 53 ayat 5-11, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hati (Fuad)nya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Dalam posisi sang diri bersinggasana di iradatnya, maka kita pun bisa menyaksikan Allah, yakni melalui pemahaman bahwa di balik setiap wujud terdapat Kehendak / Iradat Allah. Dan pada setiap Kehendak Allah, pasti tidak ada yang sia-sia. Di sinilah kita merasa dekat, sehingga kita bersyahadat dengan tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Laa Ilaha illa Anta.
Posisikan diri kita dalam kehendak kita, misalnya kita mengantuk. Rasakan dalam bathin kita bahwa kita ingin tidur, lalu sampaikan kepada Allah bahwa kita ingin tidur. Terus berikan keinginan tidur tadi kepada Allah dan amati, apakah tetap mengantuk atau malah menjadi terjaga.
4.    Menyaksikan dengan Aku
Sebagaimana sudah dijelaskan di depan bahwa bersyahadat adalah dengan diri kita. Oleh karena itu, berjuanglah untuk selalu menjadi tuan atas diri kita sendiri (taqwa) melalui pengendalian diri, yaitu puasa. Bilamana kita mampu mengendalikan diri, maka kita akan memiliki kemampuan untuk menjadi tuan atas diri ini dan mampu memanfaatkan sarana diri, seperti jasmani, qudrat dan iradat untuk mewujudkan tugas kehidupan kita, yaitu menyaksikan Kebesaran Allah melalui karya. Namun saat kita berjuang menyaksikan Allah, maka yang kita gunakan tetaplah diri kita ini.
Setiap individu pasti akan mencintai dirinya dengan sangat dalam (syaghaf), sebagaimana dikisahkan dalam QS Yusuf 12 ayat 30, “Dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam (syaghafaha hubban). Sesungguhnya Kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata."
Dalam posisi sangat mencintai dirinya, sulit bagi individu untuk bisa berserah diri kepada Allah (Islam). Umumnya setiap individu berusaha memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya atau bahkan Allah untuk memuaskan dirinya. Tentunya bagi yang sudah menyaksikan hal ini, mulailah berlatih untuk mencintai Allah. Dengan demikian akan bisa menjalankan perintah-Nya dalam QS Thaahaa 20 ayat 14, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
Bilamana berhasil, maka individu tersebut mulai bertauhid kepada Allah. Dia akan dicintai Allah dan akan mejalani hidup seperti mayat berjalan, hanya mengikuti dorongan ruhaninya. Meski demikian tidak boleh meninggalkan tugasnya sebagai hamba, saksi dan khalifah Allah. Karena apa yang dikehendaki Allah harus diwujudkannya. Sehingga akan memahami firman Allah QS Ali Imran ayat 190 – 191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.””
Yang perlu diperhatikan bahwa Allah adalah Hidup, sedangkan dalam diri kita secara tidak sadar menganggap bahwa Allah itu tidak hidup. Sehingga kita menganggap bahwa hadir ke hadapan-Nya bisa kita lakukan dengan mudah dan kapan saja kita inginkan. Namun pada kenyataannya kadang-kadang Allah begitu dekat, sampai kita betah duduk berlama-lama sambil mengucurkan air mata merasakan syukur atas nikmat kedekatan-Nya. Di saat yang lain, sedemikian susah mengingat Allah dalam diri kita, seolah kita menuju suatu suasana kosong atau seperti menembus tembok tak tertembus. Keadaan inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa Dia adalah Hidup. QS Al Mu’min 40 ayat 65, “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
Dia juga memperkenalkan DiriNya melalui Qur’an surat Al Hadiid 57 ayat 3, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” Maka perhatikanlah dengan diri kita bahwa ada yang dari dulu hingga nanti tidak pernah berubah. Perhatikan sampai Allah membuat pernyataan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Aku, Laa Ilaha illa Ana.
5.    Innalillahi wa inna ilaihi raji’un
Sebagaimana berlangsung dalam proses kematian kita, maka jasad kita akan dikubur atau dibakar terserah yang masih hidup. Qudrat kita yang menyusun diri kita pun tidak bisa melakukan apa-apa, karena qudrat tersebut mengikuti iradat kita menyatu dengan diri kita yang sudah berada di alam barzakh, tersekat sehingga tidak mampu lagi berbuat apa-pun. Ruhani kita pun kembali kepada Allah. Akibatnya diri kita kebingungan. Padahal satu-satunya jalan kita bisa hadir ke hadapan Allah adalah sang ruhani. Hanya dia yang tahu. Sang min ruhi inilah yang mampu memahami perintah Allah. sebagai Ulil Albab, yakni dalam
Bagaimana kita bisa mengikuti tuntunan sang min ruhi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita cermati Qur’an surat Al Hajj 22 ayat 78 yang menyebutkan, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. Dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” Dari ayat ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana Rasulullah saw bisa menjadi saksi atas segenap umat manusia? Padahal tidak seluruh umat manusia bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita manfaatkan teori yang difahami oleh kebanyakan orang, yaitu Allah bertajalli dalam wujud Nur Ilahi. Nur Ilahi bertajalli dalam wujud Nur Muhammad. Nur Muhammad inilah yang kemudian bertajalli menjadi sang ruhani yang kemudian dihembuskan dalam jasmani manusia. Dan karena kelemahan / kepasifannya, sehingga ada yang menyebut dengan istilah Ar Ruh Al Idhafi, yang bermakna ruh yang lemah.
Oleh karena itu agar bisa menyaksikan Wajah Allah, maka sang diri menyerahkan dirinya kepada Ar Ruh Al Idhafi untuk bersenang hati kembali kepada Allah, inna Lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Bagaimana melakukannya? Bermohonlah kepada Allah dan beramallah!
Yaa Allah, hamba-Mu berserah diri kepada-Mu. Yaa Allah, semoga dengan itu semua, hamba-Mu bisa memberikan peringatan dan kabar gembira akan Diri-Mu. Sehingga mereka menyempurnakan sikapnya untuk beribadah kepada Engkau.
Yaa Allah, WajahMu adalah yang Maha Sempurna, Maha Indah. Oleh karena itu, Engkau sembunyikan WajahMu agar hanya hamba-hamba-Mu yang terhormat yang berhak melihat WajahMu, yaitu hamba-hamba-Mu yang berjihad untuk beribadah kepada-Mu secara sempurnalah yang berhak melihat wajah-Mu.

Tuban, 18 Jun 2012 / 27 Rajab 1433 H / 27 Rejeb 1945 J


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)