Rabu, 25 Juni 2014

Tawakal (Kisah Adipati Surabaya Jaya Puspita)

Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH. Inilah yang disebut tawakkal.
Orang zaman sekarang kebanyakan sudah kehilangan sikap tawakkal kepada Allah. Mereka percaya kepada pendapat dokter, hasil laboratorium dan lain-lain, sampai-sampai takut makan ini, takut makan itu. Hidupnya banyak dihantui dengan pelbagai ketakutan. Demikian pula harapannya, diletakkan kepada pemimpin, kepada orang kaya, kepada orang pintar.
Untuk mengatasi masalah ini, sebaiknya dilatih dengan menanamkan percaya Allah ke dalam diri kita. Bahkan dalam QS Al Mujadilah 58 ayat 22 dinyatakan agar orang-orang menanamkan keimanan hingga ke dalam qalbu. Sebagai contoh, ada teman yang terkena asam urat. Saat teman yang lain membawakan oleh-oleh kacang mete yang konon menjadi penyebab sakit asam urat otomatis dia tidak mau memakannya, takut terkena asam urat. Lalu kamu menggodanya dengan kalimat, “Sampeyan ini beriman kepada asam urat atau Allah? Ndak ada lho dalil beriman kepada asam urat?”
Tertantang dengan teguran tersebut, teman tersebut kemudian menanamkan percaya Allah kepada dirinya dan mengambil kacang mete sampai habis satu kantung plastik. Kebetulan esoknya kami ketemuan lagi, dan saya perhatikan tidak ada tanda-tanda sakit asam urat. Lalu ketika kami tanya, “Apakah kemarin sakit asam urat sehabis menghabiskan satu kantung plastic kacang mete?” Ternyata dia tertawa dan mengatakan, ndak apa-apa. Lalu dia bersaksi bahwa betul, kita harus melatih menanamkan iman hingga ke dalam qalbu.
Tentunya sebelum kita berhak menggoda teman tersebut, kita sudah harus membuktikan terlebih dahulu bahwa percaya itu ya kepada Allah Yang Kuasa.
Dalam sejarah terdapat pula contoh sikap tawakkal, salah satunya adalah perjuangan Adipati Surabaya yang bernama Jaya Puspita ketika menghadapi Belanda dan Kartasura. Kisah ini dituliskan dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut:
Para bupati Pesisiran dan Madura juga memperkuat kubu-kubu masing-masing. Serdadu Kompeni sebanyak empat bregada. Bala Surabaya setelah mengetahui Kompeni memperkuat kubu-kubunya, ditanggapi dengan sikap berhati-hati dan siaga, serta menyiagakan meriam-meriamnya. Perang pun sudah dimulai dengan perang meriam yang ditembakkan kubu mereka masing-masing. Adipati Jaya Puspita naik ke panggung menabuh tengara perang Kyai Balen.
Tuan Amral (Brikman) melihat tingkah laku sang Adipati yang santai-santai saja dalam situasi tegang itu cuma geleng-geleng kepala. Lalu perintah menembakinya dengan meriam bertubi-tubi, tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati tetap masih enak-enak menabuh Balen. Balanya pun juga tak ada yang panik, malah bernyanyi, menembang, seakan-akan tak ada apa-apa. Ada yang bersenandung, memainkan seruling, clempungan dan alat gamelan lainnya. Sungguh membuat penasaran musuh yang telah mengepungnya. Setelah agak siang kelihatan banyak perempuan istri-istri mereka datang mengirim makan dan minuman kepada suami-suami mereka di benteng itu. Luar biasa, begitu batin para musuhnya.
Setelah dilihat oleh serdadu Kompeni, lalu ditembak dengan meriam, tetapi juga tak ada yang kena. Para perempuan juga tak ada yang merasa takut, enak-enak saja. Dengan santainya mereka berjalan sambil menggendong ceting berisi nasi, menjing bakul berisi lauk-pauk dan kelengkapannya. Waktu itu barisan Surabaya seolah-olah berlindung dalam kekuatan doa, berintangkan puji.
Memang demikianlah yang terjadi. Setiap orang laki-laki maupun perempuan di Surabaya semua diwajibkan salat dan mengaji oleh sang Adipati. Jika mau melaksanakan perintah itu, yang bersangkutan dibebaskan dari pajak dan upeti, malah ada yang mendapat ganjaran. Jika kebetulan seluruh desa melaksanakan, desa itu dibebaskan dari pajak. Maka semua orang segan tapi sayang dengan sang Adipati.
Adapun perang meriam itu sudah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Orang-orang Surabaya selamat semua, tak ada yang kena peluru meriam. Apalagi rumah-rumah yang kejatuhan bom api, pecahan bom dan senjata pemusnah lainnya tidak tak ada yang rusak atau pun terbakar.
Dalam perang itu semua orang di Surabaya berniat rela mati untuk membalas kebaikan sang Adipati. Sebab begitu baiknya kepada kawulanya, tebal keyakinannya kepada kekuasaan Allah.
Panji Sureng Rana dan Panji Kertayuda terus berusaha minta bantuan kepada orang Bali. Mereka datang bertemu di Lamongan dengan seorang bernama Panji Baleleng yang membawa bala seribu orang. Begitu dihormati oleh Sureng Rana dan Kertayuda serta banyak ganjaran yang diberikannya. Kedua ksatria itu lalu memberi tahu kepada kakaknya sang Adipati, dimohon untuk berkenan menemui Panji Baleleng tadi. Sang Adipati tidak mau menemui, tetapi kedua adiknya diperintah untuk selalu menyenangkannya agar jangan sampai kecewa lalu pulang ke Bali lagi. Batin sang Adipati, jika umpamanya kelak kalah perang, orang Bali itu bisa diadu perang.
Pikiran sang Adipati yang demikian, seakan-akan menyangsikan kekuatan kekuasaan Allah, maka beliau kena hukuman dari Allah sebab masih percaya dengan kekuatan manusia. Akibatnya hilang kekuatan dalam peperangan. Tanda-tandanya muncul ketika sang Adipati belum tahu bahwa kedua adiknya minta bantuan kepada orang Bali, rumah-rumah di barisan Surabaya tidak ada yang terbakar oleh senjata musuh dan orang-orangnya tidak ada yang kena senjata lawan. Tetapi setelah sang Adipati mau menerima bantuan orang Bali itu, bala di Surabaya banyak yang terkena peluru lawan, rumah-rumah juga banyak yang terbakar terkena peluru-peluru bakar dari meriam orang Kompeni.
Tuan Amral, Tuan Kumendur dan Ki Patih mengadakan dialog. Tuan Kumendur berbicara dengan Ki Patih, “Raden Adipati, bagaimana perkara perang ini? Jika hanya mengandalkan meriam saja, saya kira sampai satu windu tidak akan selesai. Bubuk mesiu saya tidak urung akan habis. Menurut pendapat saya lebih baik perang dada. Bila kalah ya musnah, bila jaya ya mulia. Jadi segera ada penyelesaiannya. Lagi pula, saya rasa sudah tak ada kekurangan. Prajurit Jawa dan serdadu Kompeni sudah banyak sekali, senjata pun tak kekurangan. Apalagi yang ditunggu?”
Tuan Amral dan Ki Patih setuju atas pendapat itu, segera memerintahkan mengatur baris untuk siap berperang. Sayap kiri terdiri dari Pangeran Cakraningrat dengan bala dari Sumenep, Pamekasan, Gresik dan Sidayu. Para bupati Pesisir yang lain menjadi sayap kanan. Ki Patih bersama serdadu Kompeni jadi dada. Jumlah bala tak terbilang.
Adapun Ki Adipati Jaya Puspita juga sudah mengetahui bahwa musuhnya sudah akan siap berperang. Bala sang Adipati juga sudah diatur, lalu dipukullah tengara tanda maju perang.
Perang campuh sudah terjadi. Begitu seru dan seram peperangan itu berkecamuk, sebab sama-sama ingin menang perangnya. Suara senjata bagai turunnya hujan. Jenazah bergelimpangan dimana-mana di sembarang tempat. Serdadu Kompeni yang telah tumpas ada dua bregada. Kapten yang gugur bernama Kapten Krasbun. Letnannya yang tewas dua orang, yaitu Letnan Panderlin dan Letnan Pambandem. Bala Pesisir dan bala Madura yang mati tak terbilang. Bala Surabaya banyak yang mati daripada yang masih hidup. Bala yang tewas di peparangan bermacam-macam penyebabnya. Ada yang mati karena senjata, yang lain mati karena gamang menyaksikan banyaknya jenazah. Ada yang mabuk mencium bau darah, yang lain kelaparan dan kehausan dan penyebab lain di luar itu semua.
Untuk sementara perang berhenti karena datangnya malam. Pihak-pihak yang terlibat perang menahan diri mundur ke kubu mereka masing-masing. Lain hari sang Adipati Jaya Puspita beserta balanya meninggalkan kota bergeser ke sebelah timur sungai, bertahan di pintu gerbang. Kotanya diduduki oleh bala Ki Patih dan serdadu Kompeni. Lalu bantuan Kompeni dari Betawi datang di sana pula, sebanyak dua bregada. Dipimpin oleh Mayor Gustap, kapten Pardenes, Letnan Jakim dan Kapten Tonar.
Tuan Kumendur bicara dengan Ki Patih dan Tuan Amral mengajak melanjutkan perang lagi sebab Kumendur kurang sabaran dan pemberani. Tuan Amral dan Ki Patih menurut. Pagi harinya lalu memberangkatkan pasukan.
Tata barisan tidak diubah seperti kemarin. Keluar dari kota banyak pasukan bagaikan air keluar goa. Adipati Jaya Puspita sudah keluar dari Kori Seketeng siap menjemput lawan di sebelah barat sungai. Balanya dibagi tiga. Sebagian ditempatkan di sayap kiri dipimpin oleh Ki Jaka Tangkeban, sebagian lagi dibuat sayap kanan dipimpin Ngabehi Jangrana. Bala lainnya menjadi dada dipimpin sang Adipati sendiri satu dengan prajurit kaum. Sang Adipati itu punya prajurit Dulang Mangap dua ribu orang, mengawal di belakangnya.
Lalu bala Kartasura dari Kompeni datang, terjadilah perang ramai. Suara senjata seperti gunung roboh, suaranya sorak seperti suara lampar, suara setan brekasakan balanya Nyai Rara Kidul dalam cerita.
Bala Kartasura dan serdadu Kompeni banyakyang tewas, juga bala dari Surabaya. Ramai peperangan serta banyaknya yang gugur melebihi perang-perang sebelumnya. Matinya suara senjata, hingga terjadi perang jarak dekat yang semakin mengerikan. Tuan Kumendur serta para opsir gerakannya berputar-putar, yang diterjang tumpas.
Sang Adipati Jaya Puspita santai di tengah pertempuran, masih enak-enakan, duduk dan dipayungi, serta merokok berbaja pranakan berwarna putih, berikat kepala gurat ungu, berkain limaran. Beliau dilayani anak kecil yang membawa upet dan kinang.
Tuan Kumendur begitu melihat sang Adipati memerintahkan kepada serdadunya agar memberondong senjata dan menerjang dengan meriam. Tetapi tidak ada yang kena. Sang Adipati melambaikan tangannya sambil berkata, “Kumendur, majulah kemari! Jika bubuk mesiumu habis, mengusunglah lagi!”
Bala Surabaya di sayap kanan tumpas habis. Ki Jangrana apes perangnya. Di sayap kiri juga ramai perangnya. Pemimpinnya bernama Jaka Tangkeban. Balanya banyak yang tewas. Jaka Tangkeban setelah melihat Adipati Jaya Puspita dikerubut Kompeni, dihujani senjata segera meninggalkan perangnya dan sengaja mendatangi tempatnya sang Adipati sambil naik kuda. Tetapi perjalanannya disambut dengan peluru, panah dan paser. Kuda Jaka Tangkeban melompat mendekati sang Adipati sambil unjuk atur sambil menangis, memohon agar mundur.
Sang Adipati berkata, “Tole, berhenti dulu, jangan mengamuk.” Lalu sang Adipati diberitahu bahwa adiknya Ki Ngabehi Jangrana gugur, balanya tumpas habis. Sang Adipati setelah mendengar berita itu segera mengambil tombak hendak mengamuk  serta memerintahkan prajuritnya Dulang Mangap serta dua ribu prajurit Talang Pati, “Ayo bocah Dulang Mangap dan Talang Pati mengamuk bersamaku. Dekatlah kepadaku. Biar hilang takutmu tutup saja mata kalian. Inilah nilai atau harga masuk surga.” Bala yang diperintahkan maju, mereka bangkit dalam semangat.
Para menteri dan prajurit kaum unjuk atur kepada sang Adipati, “Jangan masuk ikut berperang. Paduka di belakang saja sebab bala masih banyak serta masih bersemangat perang.”
Sang Adipati menjawab, “Sehari ini saya tidak bisa kalian halang-halangi. Ayo bersama mengamuk.”
Para menteri dan para prajurit kaum lalu mendahului mengamuk menerjang serdadu Kompeni. Banyak yang mati. Mayor Gustap memberi aba-aba pada serdadu Kompeninya yang membawa meriam sebanyak delapan puluh. Lebih akurat menggempur musuh yang nekad. Akibatnya tumpaslah bala Surabaya itu kena granat dan senjata karabin. Orang-orang Surabaya semakin banyak yang gugur. Para garwa sang Adipati dan para sentana akhirnya tahu bahwa Ki Ngabehi Jangrana gugur. Mereka menyusul ke peperangan dengan tangis yang memilukan. Bersama membujuk kepada sang Adipati agar berkenan mundur, menata baris lagi, sebab balanya sudah banyak yang tewas. Agar bersatu dengan Panji Sureng Rana dan Panji Karta Yuda baru maju perang lagi.
Pada kisah tersebut aneh, masakan orang-orang tidak bisa di meriam. Ini semua menjadi tanda bukti bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah Yang Kuasa akan dilindungi. Namun bilamana muncul keraguan, walau sedikit, maka perlindungan tersebut bisa dicabut.

Tuban, 25 Jun 2014

Minggu, 15 Juni 2014

Kisah Tentang Jiwa Dan Raga

Suatu saat seorang teman yang suka mencari nomor buntut, menyepi ke tempat angker. Pada malam harinya, muncul sesosok makhluk yang dikenal dengan sebutan jenglot. Lalu jenglot tersebut ditanya, kamu siapa? Jenglot menjawab bahwa dia dulunya adalah manusia, namun karena suka bertapa mencari kesaktian, akhirnya menjadi jenglot.

Dalam kisah lain, ada juga orang yang diselamatkan dari ancaman siluman harimau oleh seorang wanita yang tinggal sebagai pembantu di alam siluman tersebut. Ketika ditanya, dia siapa? Wanita itu menjawab bahwa dia adalah manusia yang dulunya mempelajari ilmu siluman harimau dan ketika dia mati, maka dia menjadi pembantu di masyarakat siluman harimau tersebut.

Kedua kisah ini, tidak bisa kita ukur kebenarannya. Namun paling tidak demi keselamatan sebaiknya kisah ini dijadikan pelajaran untuk tidak mencari ilmu-ilmu kesaktian dengan memanfaatkan makhluk-makhluk tidak kasat mata. Karena bisa-bisa apa yang disampaikan dalam kisah-kisah tersebut benar dan mereka yang memanfaatkannya akhirnya menjadi budak mereka sebelum meninggal atau setelah meninggal.

Wilayah raga, jiwa dan ruhani adalah wilayah yang sulit untuk difahami. Kita tahu bahwa ketika manusia mati, raganya dikubur atau dibakar atau bahkan hilang tak ketahuan rimbanya. Sedangkan Nabi s.a.w. ketika ditanya apakah ada arwah gentayangan? Beliau menjawab bahwa ruh kembali kepada PemilikNya, yaitu Allah. Dengan demikian bagaimana dengan jiwa manusia yang sudah meninggal? Kemana perginya?

Idealnya sang jiwa pergi bersama ruhaninya kembali kepada Allah. Namun kalau seandainya mereka tidak mengenal Allah, kemana mereka akan pergi. Barangkali bisa diduga bahwa setiap sesuatu akan berkumpul dengan yang dicintainya. Bilamana demikian, maka jiwa-jiwa itu akan berkumpul dengan yang dicintainya, seperti kisah siluman harimau di atas.

Lalu apakah siksa kubur itu ada?

Dari berbagai informasi yang tersedia, jelas ada. Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari r.a. #2:422-S.A.:

Diriwayatkan dari Anas r.a.: Nabi Muhammad s.a.w. pernah bersabda, “Ketika manusia berbaring di dalam kuburnya dan para sahabatnya pulang, ia mendengar langkah kaki mereka.
Dua malaikat datang kepadanya, menyuruhnya duduk dan bertanya kepadanya: “Apa yang pernah kaukatakan tentang Muhammad s.a.w.?”
Ia akan berkata: “Aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian akan dikatakan padanya, “Lihatlah tempatmu di neraka, Allah telah menukarnya dengan sebuah tempat di Surga karena itu.””
Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. menambahkan, “Orang itu akan melihat kedua tempat itu.
Tetapi orang kafir atau munafik akan berkata kepada dua malaikat itu, “Aku tidak tahu, tetapi aku mengatakan apa yang dikatakan orang-orang!”
Akan dikatakan kepadanya, “Kau tidak tahu tetapi kau tidak mengambil petunjuk.” Kemudian ia akan dipukuli dengan palu besi di antara kedua telinganya, ia akan menjerit dan jeritannya terdengar oleh apa pun yang ada di dekatnya, kecuali manusia dan jin.”

Permasalahannya adalah bagaimana mekanisme siksa kubur tersebut? Mengingat antara raga dan jiwa sudah terpisah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruqutni, Zawaid Zahid:

Seorang pendeta Zoroaster membawa tiga tengkorak bersamanya datang ke Khalifah Umar r.a. dan mengatakan bahwa menurut tuannya seseorang yang beragama selain Islam dan meninggal akan dimasukkan ke dalam neraka. Kemudian pendeta itu membacakan sebuah ayat yang berbunyi:
Orang-orang itu dibakar dengan api neraka siang-malam.

Umar r.a. mengatakan bahwa penjelasan Nabi kami adalah benar tanpa sedikit pun keraguan.

Mendengar hal itu, pendeta itu mengeluarkan ketiga tengkorak itu dan memberitahukan bahwa tengkorak pertama adalah tengkorak ayahnya, yang kedua adalah ibunya dan tengkorak yang ketiga adalah saudara perempuannya. Dia memberitahukan lebih lanjut bahwa pada saat kematian, mereka beragama Zoroaster. Ketika dia menyentuh tengkorak-tengkorak itu, dia rasakan semuanya dingin.

Mendengar hal itu Umar r.a. memanggil Ali k.w.. Ketika Ali datang, Umar r.a. meminta pendeta itu mengulangi sanggahannya.

Lalu dia mengulangi sanggahannya.

Waktu mendengar sanggahan itu, Ali k.w. meminta diambilkan sebatang besi dan batu. Ketika sudah dibawakan, dia meminta pendeta itu menyentuh benda-benda itu dan memberitahukan apakah benda itu dingin atau panas.

Pendeta itu menyentuh dan berkata bahwa benda-benda itu dingin.

Kemudian Ali k.w. memintanya memukulkan batang besi ke batu secara bersamaan.

Dengan melakukan hal itu, keluarlah percikan api.

Lalu Ali k.w. memanggil pendeta itu dan berkata, “Itulah Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuasaan-Nya telah menciptakan api dari besi dan batu yang dingin. Dalam cara yang sama, Dia dengan kekuasaan-Nya telah mengeluarkan api dari tengkorak-tengkorak itu yang tidak dapat dirasakan. Tengkorak-tengkorak itu tampak baginya dingin karena Allah telah membakarnya sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat merasakan rasa panas yang dikeluarkan tengkorak itu meskipun mereka terus terbakar di dalam api neraka.”

Hal itu membuat pendeta tersebut tidak dapat bicara.

Dalam riwayat yang lain dikisahkan:

Ibnu Abbas mengatakan bahwa jiwa akan berselisih dengan raga dan jiwa akan berkata bahwa tanggung jawab semua perbuatan ada pada raga.

Lalu raga mengatakan bahwa ia mengikuti perintah-perintah jiwa dan bertindak hal yang sama sebagaimana yang digambarkan kepadanya.

Allah memerintahkan malaikat agar menyelesaikan perselisihan mereka.

Malaikat mengatakan bahwa kasus mereka sama dengan kasus seorang yang pincang dan seorang yang buta. Orang yang pincang memberitahu yang buta bahwa ia telah melihat buah tetapi berada di luar jangkauannya. Kemudian orang buta menyuruhnya naik di punggungnya. Orang yang pincang itu naik dan memetik buah itu. Setelah mengutip contoh ini, malaikat menyuruh kepada jiwa dan raga mengatakan yang mana dari keduanya yang melakukan pelanggaran?

Kedua jiwa dan raga mengatakan bahwa kedua orang itu sama-sama bertanggung jawab.

Anas merujuk ke sebuah hadits yang mengatakan bahwa pada hari kiamat, jiwa dan raga berselisih. Raga berkata, “Aku terbaring seperti pohon palem, jika jiwa tidak ada. aku tidak mungkin melakukan apa pun dengan cara menggerakkan tangan dan kakiku.”

Jiwa berkata, “Aku seringan udara, bila raga tidak ada, aku kehilangan daya untuk melakukan apa pun.”

Setelah itu, kasus jiwa dan raga akan dirujuk dengan kisah orang pincang dan orang buta seperti dikisahkan di depan. Kemudian mereka akan sama-sama dimintai pertanggungjawaban.

Marilah meneladani Nabi Muhammad s.a.w. melalui doa beliau, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, azab neraka, fitnah hidup, fitnah mati dan dari fitnah Dajjal (HR Bukhari #2:459-S.A.).”


Tuban, 15 Jun 2014

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...