This blog is an effort in developing the culture of the Godly society through certainty by using scientific method. Blog ini adalah upaya dalam pengembangan budaya yang Berketuhanan secara pasti dng metode ilmiah
Selasa, 14 April 2015
Memahami Kehendak Sang Rabb
Sabtu, 11 April 2015
Kaum Rabbani, Kaum Pencari Kesejatian Diri
Dalam hidup, sering kita
bertanya untuk apa kita hidup? Ada dari kita yang berjuang untuk mencari
kenikmatan hidup, yaitu mereka yang disebut kaum hedonis. Ada yang sibuk dalam
ritual agama atau agamis. Ada yang sibuk mencari ilmu, yaitu para guru, para penemu.
Ada yang ingin kembali menyatu dengan Tuhan, yaitu kaum sufi. Ada yang sekedar
menjalani hidup. Bahkan ada yang bosan hidup. Saya sepertinya sudah menjalani semuanya
dan masih belum mampu membuat diri saya puas.
Mencari jawaban yang
pasti yang saya fahami sendiri yang bukan menurut orang sepertinya lebih memuaskan
bagi diri saya. Setelah belajar kesana kemari dan menemui beberapa orang bijak,
terutama bapak Mas Supranoto dari Manggisan Banyuwangi baru terasa jalan saya
mulai tegak dan menatap kepada tujuan yang semakin jelas. Yaitu menggunakan
akal pikiran yang telah dianugerahkan. Akal pikiran yang membuat saya berbeda
dengan makhluk lain, yaitu binatang dan tumbuhan. Bahkan berbeda dengan Homo
Erektus.
Maka saya pun memulai berkisah
dengan menggali sejarah perihal penciptaan akal. Kisah penciptaan akal dicatat dalam
hadits qudsy yang ditulis pada kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman bin
Hasan Asy-Syakir[1]: Ketika Allah menciptakan
akal (a7’’), Dia bertanya kepada akal (a7’’), “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal (a7’’) menjawab,
“Engkau Yang Kuasa (Al-Ilah)-ku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban
tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih
mulia dari akal (a7’’).
Namun ketika Dia
menciptakan jiwa, lalu jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Jiwa menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Al-Ilah-ku.”
Dalam kisah lain, yaitu dalam Injil Barnabas[2]
disampaikan sebagai berikut: Berkata Yesus, “Adakah seorang manusia dijumpai
yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi kemampuan rasa tiada bekerja
padanya?”
“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.
“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus.
“Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana rasanya?
Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu telah bingung,
ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, rasa
dan daging (a1 s/d a4). Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan
ruh dan jasad (a1 s/d a4), sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum
mendengar bagaimana Dia menciptakan rasa. Oleh sebab itu besok kalau Allah
memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”
…
“Demi Allah [yang] pada hadirat-Nya ruhku
berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita, karena demikian
rapatnya hubungan antara ruh dan rasa. Sehingga sebagian besar manusia
mengiyakan ruh dan rasa adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam
penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan),
vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu
adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka
dapatkan ruh berakal (a7’’) tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi
kehidupan tanpa rasa dan kehendak (a6’) sudah dijumpai, sebagaimana keadaan
ketidak-sadaran, dimana rasa meninggalkannya.”
Thaddeus menjawab, “O Guru, apabila rasa meninggalkan
kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab, “Ini tidak benar, sebab
manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena ruh itu tidak
kembali lagi ke dalam tubuh (a1 s/d a4), terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi rasa
akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat
diderita oleh (sang) rasa. Justru rasa itu telah diciptakan Allah untuk
kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana
tubuh (a1 s/d a4) itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih
sayang.
Rasa memberontak menentang ruh melalui
perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena
dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya
dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan
jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku berkata kepadamu bahwa Allah telah
menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam salju dan es yang tak
tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah. Tetapi ketika Dia
menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi makanannya dari
padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan pekerja
bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang
ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa bekerja pada orang kafir? Pasti itu
adalah sebagai Al-Ilah di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti rasa
itu, memungkiri akal (a7’’) dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak
menyenangkan dan tak beramal shalih.”
Jiwa dalam hadits Qudsy bisa
jadi adalah rasa yang dimaksud dalam Injil Barnabas. Siapakah yang dimaksud?
Kalau memperhatikan diri saya
sendiri, saya terdiri atas raga, diri saya yang menyebut dengan aku/saya dan ada
hidup atau disebut dengan ruh. Kalau disepadankan dengan kitab-kitab di depan,
maka jiwa atau rasa adalah diri atau yang menyebut dengan aku/saya. Namun kebanyakan orang juga menyebut dengan hati atau kalbu, namun
yang dimaksud bukan wujud fisik. Pada tulisan ini, saya akan gunakan sebutan diri
untuk mewakili jiwa atau rasa atau hati atau kalbu.
Melalui pengamatan atas
pertumbuhan bayi, diri yang diturunkan ke alam
dunia melalui keberadaan raga ini adalah tidak memiliki kuasa apa pun. Paling
jelas adalah saat masih bayi, meski bisa bergerak namun lemah. Setelah tumbuh
dewasa, baru kemampuan dianugerahkan. Anugerah kemampuan ini diberikan dengan
dimulainya pernafasan, yang kebetulan sejalan dengan ditiupkannya ruh pada saat
4 bulan dalam kandungan. Bilamana begitu bisa diduga
atau bahkan dipastikan bahwa kemampuan yang dimiliki, seperti sensorik
& motoric (a5[3]), perasaan (a5’), kemauan
(a6’), mengingat (a5”), mengerti (a6”) dan akal (a7”) merupakan perbuatan (af’al) dari Yang Kuasa atau Ilahi.
Dengan adanya kemampuan
ini, diri bisa menikmati
kehidupan. Tanpa kemampuan, diri tidak bisa apa-apa.
Berarti ada kesatuan yang tidak terpisahkan antara Kuasa (Ilahi) dengan yang dikuasai (diri) pada diri seseorang. Namun diri yang dikuasai ini tidak
tahu diri bahkan berbalik makar ingin menguasai. Kuasa melalui Yang Maha Kuasa
kemudian mendidik manusia ini untuk bisa mengerti dan sadar diri.
Salah satu cara Sang Pendidik (Rabb) adalah dengan memberi diri berbagai masalah agar mengerti, lalu sadar. QS Al An’aam
6 ayat 42: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat
yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan
dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan
diri.” Ini merupakan awal kesadaran diri seseorang
akan keberadaan Ilahi. Mereka ini seperti budak yang harus diancam agar takut supaya
merendahkan dirinya untuk menuruti tuannya.
Ada pula dengan cara diberi pengertian (a6”) akan anugerah berupa nikmat.
Mereka ini seperti pekerja yang semangat
bekerja ketika diberi bonus. Mereka
tunduk merendahkan diri kepada sang pemberi bonus. QS An Nahl 16 ayat 81: “Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah
Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung dan
Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi)
yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan
nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).”
Selain
mereka, ada lagi diri yang bersedia tunduk karena memahami bahwa hanya Yang Kuasalah
yang paling pantas untuk ditunduki. Karena ini sejatinya adalah fitrah dirinya. Merekalah yang tunduk dengan penuh kehormatan kepada
Allah. QS Al Baqarah 2 ayat 128: “Ya Rabb
kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan
(jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan
terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Taubat lagi
Maha Penyayang.”
Kaum
seperti ini adalah para Nabi dan mereka yang mengikutinya sehingga disebut
sebagai kaum Rabbani. QS Ali Imran 3 ayat 79: Tidak wajar bagi seseorang
manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia
berkata, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
Akan tetapi, “Hendaklah kamu menjadi Rabbani, karena kamu selalu menjelaskan
(tu’allimuna) Al Kitab dan disebabkan kamu mengambil pelajaran (tadarus).”
Konon pula ketika Yang
Kuasa menciptakan manusia dan meminta kesaksian atas dirinya, maka seluruh
manusia bersaksi kepada-Nya. Ketika Dia menciptakan dunia, maka 90% saya manusia
lari kepada dunia dan tersisa 10% yang masih menerima-Nya sebagai Tuhannya.
Kemudian ketika Surga diciptakan, maka dari sisa yang 10%, 90% saya lari menuju
Surga dan meninggalkan Yang Kuasa. Maka yang tersisa adalah 10% dari 10% umat
manusia atau 1% dari keseluruhan umat manusia yang masih bersedia berserah diri
kepada Allah.
Dengan demikian ada 90%
manusia tetap tidak mau tahu dan sibuk memuaskan dirinya. Lalu ada 9% manusia
yang masih mengejar kenikmatan namun mengerti bahwa Yang Maha Kuasa itulah yang
bisa memberikan kenikmatan.
Oleh karena itu dari sisi
niat ibadahnya, manusia terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kaum budak, kaum
pekerja dan kaum Rabbani.
Kaum budak yaitu yang beribadah
kepada Allah karena takut. Mereka beribadah karena takut akan hukuman. Ketika
mereka dibangkitkan dari kubur konon dikatakan kepada mereka: “Engkau selamat
dari api neraka.”
Kaum pekerja adalah yang
menyembah Allah karena mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Ketika mereka
dibangkitkan dari kubur konon dikatakan kepada mereka: “Masuklah ke dalam
surga.”
Kaum Rabbani adalah orang
yang menyembah Allah tanpa mengharap dunia-akhirat ataupun surga-neraka bahkan
tidak memedulikan apa itu jiwa-ruh. Ketika mereka dibangkitkan dari kubur konon
dikatakan kepada mereka: “Ini adalah kekasihmu dan yang engkau cari. Ini adalah
tujuanmu. Demi keagungan dan kemuliaanKu, Aku tidak menciptakan surga, kecuali
karena ada orang sepertimu.[4]”
Berjuang menjadi kaum Rabbani inilah yang menjadi
jawaban atas pencarian saya selama ini.
Jakarta, 7 September 2019; 8 Muharram 1441
[1] Terjemah Durratun Nasihin karya Al Allama bin Hasan bin Ahmad Asy
Syakir Al Khaubawi oleh Idrus H. Alkaf, CV Karya Utama, Surabaya, hal 28.
[2] The Gospel of Barnabas/The Emperial Library of Wina, penerjemah
Lonsdale & Laura Ragg, alih Bahasa Rahnip M, cet-4, Surabaya, PT Bina Ilmu,
1984, hal 141-142.
[3] Simbol ini difahami memakai Rumus A
[4] An-Nawadir/Syekh Syihabuddin Al-Qalyubi, penerjemah Awy Amru,
editor M. Saifullah Rohman, cet-1, Yogyakarta, DIVA Press, 2015, hal 119.
Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman
Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...
-
Orang Jawa zaman dahulu, diantaranya diwakili oleh p ara wali di tanah Jawa mengingatkan umat akan jati dirinya dan Tuhannya dalam bentuk ...
-
Sayyidina Ali KW menyatakan bahwa lubb adalah maqam terbitnya Tauhid . Bagaimana penjelasannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya...
-
Wahai manusia ! Ketika Allah mengeluarkan Iblis dari surga-Nya dan dari rahmat-Nya serta menyatakan bahwa dia sesat bahkan dimurkai , maka ...