Sekarang Zaman Fitnah


Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri (r.a.), “Ali bin Abi Thalib (k.w.) pernah mengirimkan sepotong emas kepada Rasulullah (s.a.w.) dalam satu lembar kulit yang telah disamak, sedang emas itu belum dibersihkan tanahnya. Kemudian beliau membagi-bagikan emas tersebut kepada empat orang, yaitu ‘Uyainah bin Hishn, Aqra’ bin Habis, Zaid Al Khail dan orang yang keempat ini adalah Alqamah bin ‘Ulatsah atau Amir bin Thufail.[1]
Lalu ada seorang laki-laki dari sahabat beliau yang berkata, “Kami inilah yang lebih berhak akan emas ini daripada mereka!”
Kata-kata itu lalu sampai kepada Nabi (s.a.w.), maka beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mempercayai aku, padahal aku ini orang yang terpercaya di kalangan penduduk langit dan berita langit datang kepadaku setiap pagi dan sore?”
Lalu berdirilah seseorang yang bermata cekung, benjol tulang pipi dan dahinya, lebat jenggotnya, gundul kepalanya dan menyingsingkan lengan pakaiannya, kemudian dia berkata, “Wahai Rasulullah, takutlah kepada Allah!”
Beliau menjawab, “Celakalah kamu, bukankah aku orang yang paling patut dari penduduk bumi ini untuk bertakwa kepada Allah?”
Setelah itu, orang itu berpaling, lalu Khalid berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya memenggal leher orang itu!”
Beliau menjawab, “Jangan, barangkali dia mengerjakan shalat.”
Khalid berkata, “Banyak sekali orang mengerjakan shalat hanya di mulutnya saja, tetapi di hatinya berlainan!”
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Sesungguhnya, aku tidak diperintahkan untuk meneliti hati manusia dan tidak pula untuk membedah dada mereka.” Kemudian saat orang itu berpaling, beliau menatapnya dengan tajam seraya bersabda, “Sesungguhnya akan lahir dari keturunan orang ini suatu kaum yang hanya pandai membaca Kitab Allah, tetapi tidak meresap ke dalam hatinya; mereka lepas dari agama Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya.”
Saya mengira beliau bersabda, “Andaikata aku mendapati mereka, pasti aku akan perangi sebagaimana memerangi Tsamud.”
Dalam riwayat yang lain dikisahkan[2]:
Anas (r.a.) bertutur, “Seorang lelaki pernah disebut-sebut di hadapan Rasulullah (s.a.w.). Orang tersebut memiliki kesungguhan dan semangat dalam perang.
Rasulullah  (s.a.w.) mengatakan “Aku tidak mengetahui orang tersebut.”
Anas (r.a.) mengatakan, “Ciri-ciri lelaki tersebut adalah begini dan begitu.”
Beliau (s.a.w.) tetap menjawab, ”Aku tidak mengetahuinya.”
Ketika  kami tengah membincangkan hal tersebut, seorang lelaki muncul. Lalu Anas (r.a.) mengatakan, “Inilah dia orangnya, wahai Rasulullah (s.a.w.).”
Beliau (s.a.w.) tetap menjawab, ”Aku tidak mengetahuinya. Namun sesungguhnya pada abad ini akan ada setan dengan ciri hitam kemerahan.” Ketika orang tersebut mendekat, dia mengucapkan salam kepada Nabi (s.a.w.) dan Nabi (s.a.w.) membalasnya. Rasulullah (s.a.w.) berkata kepadanya, “Bersumpahlah kepada Allah, apakah ketika kamu muncul kepada kami, dalam hatimu terbersit bahwa tiada seorang pun dari kaumku ini yang lebih utama daripada kamu?”
Ia menjawab, “Ya benar – dalam hatiku terbersit demikian – wahai Rasulullah (s.a.w.).” Ia pun masuk masjid dan shalat.”
Jabir (r.a.) menceritakan, seorang lelaki melewati Rasulullah (s.a.w.). Orang-orang pun membicarakan dan menyanjung kebaikan dia. Abu Bakar (r.a.) menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah (s.a.w.) pernah melewati orang tersebut ketika dia sedang sujud. Ketika itu Rasulullah (s.a.w.) bergegas pergi untuk menunaikan shalat. Usai menyelesaikan shalat, beliau kembali kepada orang tersebut. Ternyata orang itu masih dalam keadaan bersujud. Rasulullah (s.a.w.) besabda, “Siapakah yang dapat membunuh orang ini?”
Dalam redaksi yang lain disebutkan:
Rasulullah (s.a.w.) berkata kepada Abu Bakar (r.a.), “Wahai Abu Bakar, berdiri dan bunuhlah orang tersebut.”
Maka Abu Bakar masuk ke dalam masjid dan mendapati orang tersebut sedang berdiri shalat. Abu Bakar bergumam dalam hatinya, “Sesungguhnya dalam shalat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Lebih baik aku berkonsultasi terlebih dahulu terhadap Nabi (s.a.w.).”
Beliau (s.a.w.) bertanya, “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Abu Bakar (r.a.) menjawab, “Belum, karena aku melihatnya sedang shalat. Menurutku, sesungguhnya dalam shalat ada hak-hak Allah yang mesti dijaga dan ditunaikan. Jika aku berkeinginan untuk membunuhnya, aku pasti telah membunuhnya.”
Nabi (s.a.w.) berujar, “Engkau bukan orang yang mampu melakukannya. Pergilah engkau wahai Umar (r.a.), dan bunuhlah orang orang itu.”
Umar pun masuk masjid. Ternyata orang itu sedang bersujud sehingga Umar menunggunya cukup lama. Kemudian Umar bergumam, “Sesungguhnya dalam sujud terdapat hak Allah yang mesti dijaga.” Maka Umar (r.a.) kembali. “Seandainya aku berkonsultasi kepada Rasulullah (s.a.w.), sesungguhnya orang yang lebih baik dariku pun telah melakukannya.” Maka Umar (r.a.) mendatangi Rasulullah (s.a.w.).
Beliau (s.a.w.) bertanya, “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Umar (r.a.) menjawab, “Belum, wahai Rasulullah (s.a.w.). Karena aku melihat dia sedang bersujud. Dan menurutku, sujud memiliki hak yang mesti dijaga. Jika aku berkehendak untuk membunuhnya, aku pasti telah melakukannya.”
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Engkau bukan orang yang mampu melakukannya. Berdirilah wahai Ali (k.w.) dan bunuhlah olehmu jika kamu mendapati orang tersebut.”
Maka Ali (k.w.) pergi menuju orang tersebut. Ternyata orang tersebut telah keluar dari masjid. Akan tetapi, Ali kembali menuju Rasulullah s.a.w..
Lalu beliau (Nabi s.a.w.) bertanya kepada Ali (k.w.), “Sudahkah engkau membunuhnya?”
Ali (k.w.) menjawab, “Belum.” (Orang inilah yang terbunuh dalam perang Nahrawan melawan Ali (k.w.)).
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Seandainya orang tersebut dibunuh hari ini, maka dua orang dari kalangan umatku tidak akan berselisih, sampai Dajjal keluar.”
Dalam redaksi lain disebutkan:
“Maka (fitnah Dajjal) akan menjadi fitnah pertama sekaligus terakhir.”
Dalam hadits lain dikisahkan[3]:
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya dia berkata, “Suatu ketika kami duduk-duduk di hadapan Rasulullah memperbincangkan soal berbagai fitnah, beliau pun banyak bercerita mengenainya. Sampai akhirnya beliau menyebut tentang fitnah Ahlas. Maka seorang sahabat bertanya, “Apakah yang dimaksud dengan fitnah Ahlas itu?”
Beliau menjawab, “Fitnah Ahlas yaitu orang-orang saling memutus hubungan dan saling berperang. Kemudian setelahnya akan terjadi fitnah Sara’(kemakmuran hidup), sumber asapnya berasal dari dua telapak kaki seorang laki-laki dari keturunanku. Ia mengklaim dirinya sebagai bagian dariku, padahal ia sama sekali bukan bagian dariku, karena wali-waliku hanyalah orang-orang yang bertakwa. Kemudian manusia berdamai dengan mengangkat seorang laki-laki sebagai pemimpin mereka seperti pangkal paha yang menempel di atas tulang rusuk. Setelah itu akan terjadi fitnah Duhaima, yang tidak membiarkan seorang pun dari umat ini kecuali akan ditamparnya dengan tamparan yang keras. Ketika orang-orang mengatakan, “Fitnah telah selesai,” ternyata fitnah itu masih saja terjadi. Di waktu pagi seseorang dalam keadaan beriman, namun di waktu sore ia telah menjadi kafir. Akhirnya manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan beriman yang tidak ada kemunafikan sedikit pun di antara mereka dan golongan munafik yang tidak ada keimanan sedikit pun di antara mereka. Jika hal itu telah terjadi, maka tunggulah munculnya Dajjal pada hari itu atau kesokkan harinya. ””
Kata fitnah menurut KBBI berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang. Karena kata fitnah adalah berasal dari Bahasa Arab, sehingga perlu dimengerti makna sebenarnya dari Bahasa aslinya, Menurut Ibn Hajar al-Asqalany dalam karya Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari menyatakan bahwa makna fitnah berasal dari kata al ikhtibar yang artinya penyingkapan hakikat sesuatu dan kata al-imtihan yaitu pengujian[4]. Dari kedua arti tersebut, kami memahami bahwa fitnah adalah proses pengujian atas keimanan seseorang melalui adanya berita bohong. Mereka yang percaya kepada berita bohong tersebut akan dipisahkan dari mereka yang tidak percaya.  
Fitnah yang pertama atau fitnah Ahlas dimulai dari terbunuhnya Khalifah Umar bin Khaththab (r.a.). Sedangkan fitnah kedua atau fitnah Sara’ dimulai dari berdirinya kerajaan Arab yang membebaskan diri dari kesultanan Turki. Yang selanjutnya berdirilah kerajaan Saudi Arabia di bawah dinasti Al-Saud. Nampaknya fitnah ketiga atau Duhaima’sedang berlangsung, yaitu yang dimulai dengan berdirinya ISIS.
Bagaimana kita mensikapi keadaan seperti ini?
Satu-satunya jalan adalah bergantung kepada Allah Yang Maha Kuasa. Marilah kita berjuang untuk mengenal-Nya bukan dengan mempercayai apa kata buku atau kata orang. Sekaranglah zamannya kita melakukan penelaahan melalui pengamatan dan mengharapkan pengertian dari Rabb Al Karim. Dengan pengertian yang kita terima, kita tanamkan ke dalam diri kita hingga kita tersadar dan tumbuh sikap yang selalu bergantung kepada Allah. QS At Taubah 9 ayat 129: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Rabb yang memiliki Ársy yang agung.
Jakarta, 8 Sep 2019


[1] Zaki Al-Din ‘Abd Al=Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim. Mizan, 2009, hal 292-293
[2] Syaikh Musthafa Muhammad Abu al Mu’athi, Dahsyatnya Ramalan Rasulullah – Kumpulan Hadis Lengkap Rasulullah (s.a.w.) tentang Masa Depan Umat dan Dunia (terjemahan dari kitab Nubuat Al-Rasul), Salamadani, 2012
[3] Kita Berada di Akhir Zaman: Menyingkap Nubuat Rasulullah (s.a.w.) Tentang Akhir Zaman yang Telah Menjadi Kenyataan/Editor, Abu Fatiah Al-Adnani, Solo, Granada, 2014, hal 317-318
[4] Referensimakalah.com 8 September 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)