Bilamana manusia sudah akil balik, yang berarti sudah bisa
mempertanggungjawabkan dirinya, maka proses kedewasaannya akan berlangsung
secara bertahap pula. Pada tahap pertama, diri manusia atau jiwa manusia akan terikat kepada
jasmaninya. Pada tataran ini,
jasmani hanya memiliki aturan yakni dipuaskan. Misalnya pada saat perut kita
lapar, maka yang diinginkannya adalah mengisi kekosongan perut, yakni dengan
melahap makanan. Demikian pula bilamana syahwat kita muncul maka akan menghasilkan
dorongan yang sama, yakni dipuaskan. Karena aturannya hanya satu yaitu
dipuaskan, maka pada posisi ini, kita disebut dengan lebih rendah daripada
binatang ternak (mamalia), yakni binatang dari jenis reptilia.
QS
Al A’raaf 17 ayat 179:
Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.
Di
atas jasmani manusia, kita juga memiliki kemampuan akal-budi, perasaan dan daya cipta. Dengan kemampuan
ini, maka kualitas kehidupan kita akan meningkat, dimana kita banyak
mengembangkan teknologi demi kepuasan lebih. Bilamana dengan jasmani saja, maka
kita hanya mengambil apa yang ada, sedangkan dengan kemampuan yang kita miliki,
maka kita bisa menggapai kenikmatan lebih. Ambil contoh makanan, kita bisa menikmati makanan dari alam, yang dimasak,
atau yang disajikan dengan cita rasa yang tinggi. Ini sebenarnya untuk
menunjukkan bahwa nikmat Allah tak terbatas. Permasalahannya
adalah dengan adanya kemampuan ini, maka akan
timbul sikap membanggakan diri, merendahkan
yang lain dan mencela. Selain itu,
dengan kemampuan, kita cenderung untuk mengakali agar tujuan kita terpenuhi.
Meski kemampuan itu hebat, namun kemampuan hanya berguna saat
ada perintah, yaitu kehendak. Kehendak ini yang mendorong kemampuan mengerahkan
kekuatannya dan jasmani sebagai pelaksananya. Dengan kehendak tak
terbatas ini, manusia mengembangkan peradaban, tanpa ada batasan, selain umur
yang akan menghentikan upayanya. Kehendak yang tidak terbatas ini akan
mendorong manusia melakukan eksploitasi terhadap alam, makhluk lain bahkan
kepada sesama manusia. Tujuan dari kehendak juga sama, yaitu kenikmatan diri.
Istilah kenikmatan diri berarti ada yang dipuja, yang membuat semua
pergerakan ini berlangsung, yang sangat dicintai bahkan disembah. Itulah diri
manusia. Sang diri inilah yang menyebut dirinya dengan “aku”. Aku inilah yang mewakili jasmani, kemampuan, kehendak dan
dirinya sendiri sebagai suatu totalitas manusia. Sang diri inilah
yang mengetahui
dan ikut menikmati semuanya.
Dalam dalil Al Qur’an dijelaskan
proses penciptaan manusia seperti berikut:
QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah)
ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”
QS An Nahl 16 ayat
78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati/al af’idah, agar kamu bersyukur.
QS As Sajdah 32 ayat 7-11: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati/al af’idah; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dan
mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) dalam tanah, kami
benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan mereka ingkar akan
menemui Rabb-nya. Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut
nyawa)-mu
akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Rabb-mulah kamu akan dikembalikan.”
QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Rabb kamu, Rabb yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Rabb selain Dia; Maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?
QS Al Mu’minuun 23 ayat 12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian
Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian
benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan
(dari kuburmu) di hari Kiamat.
Perbedaan antara manusia atau homo
sapiens dengan homo erectus adalah adanya ruh yang dihembuskan dalam
diri manusia, yang dengan itu, Allah menempatkan manusia sebagai wakil-Nya di
bumi. Di sinilah missing link yang sulit diketemukan oleh para ahli genetika seperti
Darwin. Bahkan dengan tegas penelitian dari Munich Re menyatakan tidak ada satu
pun DNA manusia yang mirip DNA homo
erectus. Bukankah Nabi Adam (as) diciptakan di surga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar