Allah SWT telah
memerintahkan seorang Malaikat menemui Iblis supaya dia menghadap Rasulullah
(saw) untuk memberitahu segala rahasianya, baik yang disukai maupun yang
dibencinya. Hikmatnya ialah untuk meninggikan derajat Nabi Muhammad (saw) dan
juga sebagai peringatan dan perisai kepada umat manusia.
Maka Malaikat itu
pun berjumpa Iblis dan berkata, “Hai Iblis! Bahwa Allah Yang Maha Mulia dan
Maha Besar memberi perintah untuk menghadap Rasullullah (saw). Hendaklah engkau
buka segala rahasiamu dan apapun yang ditanya Rasulullah hendaklah engkau jawab
dengan sebenar-benarnya. Jikalau engkau berdusta walau satu perkataan pun,
niscaya akan terputus semua anggota badanmu, uratmu, serta disiksa dengan azab
yang amat keras.”
Mendengar ucapan
Malaikat yang dahsyat itu, Iblis sangat ketakutan. Maka segeralah dia menghadap
Rasulullah (saw) dengan menyamar sebagai seorang tua yang buta sebelah matanya
dan berjanggut putih 10 helai, panjangnya seperti ekor lembu.
Iblis pun memberi
salam, sehingga 3 kali tidak juga dijawab oleh Rasulullah (saw). Maka sambut
Iblis (alaihi laknat), “Ya Rasulullah! Mengapa engkau tidak menjawab salamku?
Bukankah salam itu sangat mulia di sisi Allah?”
Maka jawab Nabi
(saw) dengan marah, “Hai Aduwullah seteru Allah! Kepadaku engkau menunjukkan
kebaikanmu? Janganlah mencoba menipuku sebagaimana kau tipu Nabi Adam (as) sehingga
keluar dari surga, Habil mati teraniaya dibunuh Qabil dengan sebab hasutanmu,
Nabi Ayyub (as) engkau tiup dengan asap beracun ketika dia sedang sujud
sembahyang hingga dia sengsara beberapa lama, kisah Nabi Daud (as) dengan
perempuan Urya, Nabi Sulaiman (as) meninggalkan kerajaannya karena engkau
menyamar sebagai isterinya dan begitu juga beberapa Anbiya dan pendeta yang
telah menanggung sengsara akibat hasutanmu.
Hai Iblis!
Sebenarnya salam itu sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla, cuma salammu
saja aku tidak hendak menjawabnya karena diharamkan Allah. Maka aku kenal
baik-baik engkaulah Iblis, raja segala iblis, syaitan dan jin yang menyamar
diri. Apa kehendakmu datang menemuiku?”
Taklimat Iblis, “Ya
Nabi Allah! Janganlah engkau marah. Karena engkau adalah Khatamul Anbiya maka
dapat mengenaliku. Kedatanganku adalah diperintah Allah untuk memberitahu
segala tipu dayaku terhadap umatmu dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ya
Nabi Allah! Setiap apa yang engkau tanya, aku bersedia menerangkan satu persatu
dengan sebenarnya, tiadalah aku berani menyembunyikannya.”
Maka Iblis pun
bersumpah menyebut nama Allah dan berkata, “Ya Rasulullah! Sekiranya aku
berdusta barang sepatah pun niscaya hancur leburlah badanku menjadi abu.”
Apabila mendengar
sumpah Iblis itu, Nabi (saw) pun tersenyum dan berkata dalam hatinya, inilah
satu peluangku untuk menyiasati segala perbuatannya agar didengar oleh sekalian
sahabat yang ada di majlis ini dan menjadi perisai kepada seluruh umatku.
Pertanyaan Nabi
(saw) (1):
“Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?”
“Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.”
“Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.”
Maka Nabi pun
memandang muka Iblis, dan Iblis pun menggeletar karena ketakutan. Sambung
Iblis, “Ya Khatamul Anbiya! Ada pun aku dapat merubah diriku seperti sekalian
manusia, binatang dan lain-lain hingga rupa dan suara pun tidak berbeda,
kecuali dirimu saja yang tidak dapat aku tiru karena dicegah oleh Allah.
Kiranya aku
menyerupai dirimu, maka terbakarlah diriku menjadi abu. Aku cabut iktikad /
niat anak Adam supaya menjadi kafir karena engkau berusaha memberi nasihat dan
pengajaran supaya mereka kuat untuk memeluk agama Islam, begitu jugalah aku
berusaha menarik mereka kepada kafir, murtad atau munafik. Aku akan menarik
seluruh umat Islam dari jalan benar menuju jalan yang sesat supaya masuk ke
dalam neraka dan kekal di dalamnya bersamaku.”
Jawab
Iblis, “Engkau … Muhammad. Engkau adalah makhluk Allah yang paling aku benci.
Kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu.”
Rasulullah
(saw), “Siapa lagi yang kamu benci?”
“Anak
muda yang bertaqwa, yang menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT.” Jawab Iblis.
“Lalu
siapa lagi?” Tanya Rasulullah (saw).
“Orang
‘alim dan wara’, lagi penyabar.” Jelas Iblis.
“Lalu,
siapa lagi?” Tanya Rasulullah (saw).
“Orang
yang terus-menerus menjaga diri dalam keadaan suci dari najis.” Jelas Iblis.
Rasulullah
(saw) bertanya lagi, “Lalu, siapa lagi?”
“Orang
miskin yang sabar, tidak menceritakan kefakirannya kepada orang lain dan tidak mengadukan
keluh-kesahnya.” Kata Iblis.
Rasulullah
(saw), “Bagaimana kamu tahu dia penyabar?”
“Muhammad
… jika ia mengadukan keluh kesahnya kepada makhluk sesamanya selama tiga hari,
Tuhan tidak masukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang sabar." Jelas
Iblis.
Rasulullah
(saw), “Lalu, siapa lagi?”
Iblis,
“Orang kaya yang bersyukur.”
Rasulullah
(saw) bertanya, “Bagaimana kamu tahu ia bersyukur?”
“Jika
aku melihat dia mengambil dan meletakkan pada tempat yang halal.” Jelas Iblis.
Pertanyaan Nabi
(saw) (2):
“Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?”
“Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?”
Jawab Iblis:
“Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.
“Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.
Demikian juga
ketika pesta yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Disana aku lepaskan
sebesar-besar godaan supaya hilang peraturan dan minum arak. Apabila terminum
arak itu maka hilanglah akal, fikiran dan malunya. Lalu aku ulurkan tali cinta
dan terbukalah beberapa pintu maksiat yang besar, datang perasaan hasad dengki
hingga kepada pekerjaan zina. Apabila terjadi kasih antara mereka, terpaksalah
mereka mencari uang hingga menjadi penipu, peminjam dan pencuri.
Apabila mereka
teringat akan salah mereka lalu hendak bertaubat atau berbuat amal ibadat, aku
akan rayu mereka supaya mereka menangguhkannya. Bertambah keras aku goda supaya
menambahkan maksiat dan mengambil isteri orang. Bila kena goda hatinya,
datanglah rasa ria, takabur, megah, sombong dan melengahkan amalnya. Bila pada
lidahnya, mereka akan gemar berdusta, mencela dan mengumpat. Demikianlah aku
goda mereka setiap saat.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (3):
“Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”
“Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”
Jawab Iblis:
“Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.
“Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.
Tiba-tiba datang
firman Allah SWT hendak menjadikan seorang Khalifah di dunia ini, maka akupun
membantah. Lalu Allah menciptakan lelaki (Nabi Adam) lalu dititahkan seluruh
Malaikat memberi hormat kepada lelaki itu, kecuali aku yang ingkar. Oleh karena
itu Allah murka kepadaku dan wajahku yang tampan rupawan dan bercahaya itu
bertukar menjadi keji dan kelam. Aku merasa sakit hati. Kemudian Allah
menjadikan Adam raja di surga dan dikurniakan seorang permaisuri (Siti Hawa)
yang memerintah seluruh bidadari. Aku bertambah dengki dan dendam kepada
mereka.
Akhirnya aku
berhasil menipu mereka melalui Siti Hawa yang menyuruh Adam memakan buah
Khuldi, lalu keduanya diusir dari surga ke dunia. Keduanya berpisah beberapa
tahun dan kemudian dipertemukan Allah (di Padang Arafah), hingga mereka
mendapat beberapa orang anak. Kemudian kami hasut anak lelakinya Qabil supaya
membunuh saudaranya Habil. Itu pun aku masih tidak puas hati dan berbagai tipu
daya aku lakukan hingga Hari Kiamat.
Sebelum engkau
lahir ke dunia, aku beserta bala tentaraku dengan mudah dapat naik ke langit
untuk mencuri segala rahasia serta tulisan yang menyuruh manusia berbuat ibadat
serta balasan pahala dan surga mereka. Kemudian aku turun ke dunia, dan
memberitahu manusia yang lain daripada apa yang sebenarnya aku dapatkan, dengan
berbagai tipu daya hingga tersesat dengan berbagai kitab bid’ah dan
carut-marut.
Tetapi ketika
engkau lahir ke dunia ini, maka aku tidak dibenarkan oleh Allah untuk naik ke
langit serta mencuri rahasia, karena banyak Malaikat yang menjaga di setiap
lapisan pintu langit. Jika aku berkeras juga hendak naik, maka Malaikat akan
melontarkan anak panah dari api yang menyala. Sudah banyak bala tentaraku yang
terkena lontaran Malaikat itu dan semuanya terbakar menjadi abu. Maka besarlah
kesusahanku dan bala tentaraku untuk menjalankan tugas menghasut.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (4):
“Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?”
“Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?”
Jawab Iblis:
“Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku.”
“Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (5):
“Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
“Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.
“Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.
Setengah-setengahnya
datang pada setiap anggota badannya supaya malas sholat, was-was, terlupa
bilangan rakaatnya, bimbang pada pekerjaan dunia yang ditinggalkannya, sentiasa
hendak cepat habis sholatnya, hilang khusyuknya – matanya sentiasa menjeling ke
kiri kanan, telinganya senantiasa mendengar orang bercakap serta bunyi-bunyi
yang lain. Setengah Iblis duduk di belakang badan orang yang sembahyang itu
supaya dia tidak kuasa sujud berlama-lama, penat atau duduk tahiyat dan dalam
hatinya senantiasa hendak cepat habis sholatnya, itu semua membawa kepada
kurangnya pahala. Jika para Iblis itu tidak dapat menggoda manusia itu, maka
aku sendiri akan menghukum mereka dengan seberat-berat hukuman.”
Rasulullah
(saw), “Bagaimana keadaanmu jika umatku mengerjakan sholat?”
Iblis,
“Aku merasa panas dan gemetar!”
Rasulullah
(saw), “Kenapa, hai yang dilaknat?”
“Sesungguhnya,
jika seorang hamba bersujud kepada Allah dengan sekali sujud saja, maka Allah
mengangkat derajadnya satu tingkat.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (6):
“Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
“Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya.”
“Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya.”
Iblis,
“Aku meleleh seperti timah meleleh di atas api.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (7):
“Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
“Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”
“Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”
Iblis,
“Aku jadi gila!”
Pertanyaan Nabi
(saw) (8):
“Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
“Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu surga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam surga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”
“Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu surga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam surga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”
“Aku
terbelenggu sampai mereka berbuka puasa.” Jelas Iblis.
Rasulullah
(saw), “Jika mereka berzakat?”
Iblis,
“Seakan-akan penzakat itu mengambil gergaji/kapak dan memotongku menjadi dua.”
Rasulullah
(saw), “Mengapa sampai begitu, Abu Murrah?”
Jawab
Iblis, "Sesungguhnya ada empat manfaat dalam zakat itu.
Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan penzakat itu disenangi makhluk-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Keempat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya.”
Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan penzakat itu disenangi makhluk-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Keempat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (9):
“Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?”
“Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?”
Jawab Iblis:
“Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”
“Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”
Sayidina Abu Bakar
al-Siddiq sebelum bersamamu, aku tidak dapat mendekatinya, apalagi setelah
berdampingan denganmu. Dia begitu percaya atas kebenaranmu hingga dia menjadi
wazirul a’zam. Bahkan engkau sendiri telah mengatakan jika ditimbang seluruh
isi dunia ini dengan amal kebajikan Abu Bakar, maka akan lebih berat amal
kebajikan Abu Bakar. Tambahan pula dia telah menjadi mertuamu karena engkau
menikah dengan anaknya, Saiyidatina Aisyah yang juga banyak menghafadz
Hadits-haditsmu.
Sayidina Umar
Al-Khattab pula tidaklah berani aku pandang wajahnya karena dia sangat keras
menjalankan hukum syariat Islam dengan seksama. Jika aku pandang wajahnya, maka
gemetarlah segala tulang sendiku karena sangat takut. Hal ini karena imannya
sangat kuat apalagi engkau telah mengatakan, “Jikalau adanya Nabi sesudah aku
maka Umar boleh menggantikan aku”, karena dia adalah orang harapanmu serta
pandai membedakan antara kafir dan Islam hingga digelar ‘Al-Faruq’.
Sayidina Usman
Al-Affan lagi, aku tidak bisa bertemu, karena lidahnya senantiasa bergerak
membaca Al-Quran. Dia penghulu orang sabar, penghulu orang mati syahid dan
menjadi menantumu sebanyak dua kali. Karena taatnya, banyak Malaikat datang
melawat dan memberi hormat kepadanya karena Malaikat itu sangat malu kepadanya
hingga engkau mengatakan, “Barang siapa menulis Bismillahir Rahmanir Rahim pada
kitab atau kertas-kertas dengan dakwat merah, nescaya mendapat pahala seperti
pahala Usman mati syahid.”
Sayidina Ali Abi
Talib pun itu aku sangat takut karena hebatnya dan gagahnya dia di medan
perang, tetapi sangat sopan santun, alim orangnya. Jika iblis, syaitan dan jin
memandang beliau, maka terbakarlah kedua mata mereka karena dia sangat kuat
beribadat serta beliau adalah golongan orang pertama memeluk agama Islam dan
tidak pernah menundukkan kepalanya kepada sebarang berhala. Bergelar “Ali
Karamullahu Wajhahu” – dimuliakan Allah akan wajahnya dan juga “Harimau Allah”
dan engkau sendiri berkata, “Akulah negeri segala ilmu dan Ali itu pintunya.”
Tambahan pula dia menjadi menantumu, semakin aku ngeri kepadanya.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (10):
“Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?”
“Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan, yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya seperti kata Jibril (as), “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah, yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakkal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersuka cita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku ajak ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada waktu beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.
“Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan, yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya seperti kata Jibril (as), “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah, yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakkal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersuka cita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku ajak ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada waktu beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.
Lalu aku goda agar
minta kaya dulu, dan apabila diizinkan Allah dia menjadi kaya, maka dilupakan
beramal, tidak berzakat seperti Qarun yang tenggelam dengan istana mahligainya.
Bila umatmu terkena penyakit tidak sabar dan tamak, dia senantiasa bimbang akan
hartanya dan setengahnya asyik hendak merebut dunia harta, bercakap besar
sesama Islam, benci dan menghina kepada yang miskin, membelanjakan hartanya
untuk jalan maksiat, tempat judi dan perempuan lacur.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (11):
“Siapa yang serupa dengan engkau?”
“Siapa yang serupa dengan engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”
“Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (12):
“Siapa yang mencahayakan muka engkau?”
“Siapa yang mencahayakan muka engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”
“Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (13):
“Apakah rahasia engkau kepada umatku?”
“Apakah rahasia engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”
“Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (14):
“Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?”
“Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”
“Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (15):
“Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?”
“Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”
“Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (16):
“Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?”
“Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?”
Jawab Iblis:
Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”
Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (17):
“Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?”
“Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian juga pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”
“Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian juga pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (18):
“Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?”
“Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”
“Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”
Pertanyaan Nabi
(saw) (19):
“Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?”
“Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”
“Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”
Pertanyaan Nabi
(saw) (20):
“Apa lagi yang memecahkan mata engkau?”
“Apa lagi yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda bahwa surga itu di bawah tapak kaki ibu.”
“Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda bahwa surga itu di bawah tapak kaki ibu.”
Kewajiban
kita sebagai makhluk adalah beribadah (memuja) kepada Yang Menciptakan, yakni
Allah SWT. Sedangkan untuk bisa memuja dengan sempurna, kita perlu menyerahkan
diri kepada-Nya. Sedangkan untuk bisa menyerahkan diri, kita perlu mencintai-Nya.
Dan untuk bisa mencintai-Nya, kita perlu mengenal-Nya. Untuk bisa mengenal
dengan baik, maka kita perlu melakukan pendekatan kepada-Nya. Dan kami amati, kami perlu menguatkan bahwa Allah lah yang
menjadi tujuan sejati, bukan kenikmatan hidup, bukan pula ketakutan akan siksa.
Tujuan ini kami capai dengan keilmuan sebagai awal, selanjutnya kami kuatkan
melalui tekad. Bukankah hidup dari Allah?
Bagaimana
kita akan berjuang untuk menemui-Nya, kalau kita belum mau menerima Allah
sebagai Ilah (yang mendominasi) kita, sebagai Yang kita maksudkan.
Menurut
pengamatan kami, orang zaman sekarang dan nanti akan cenderung semakin
mementingkan dirinya sendiri. Manusia akan semakin individualis dan
memperturutkan hawa nafsu tanpa tuntunan Allah. Dikisahkan oleh istri saya
bahwa dalam sholatnya, dia ditampakkan rombongan orang-orang yang dahinya
menonjol seperti tanduk dan ekornya keluar. Kelompok ini berjalan menjauhi
kiblat. Mereka didampingi dua makhluk bersorban yang sepanjang jalan berteriak
kepada Allah. Mereka adalah para malaikat pendamping yang berteriak memohon
kepada Allah agar dikembalikan, karena mereka tidak kuat dengan kelakuan
manusia-manusia berekor dan berakal cerdas tersebut. Apakah suara dengungan
dari langit itu adalah akumulasi teriakan malaikat yang masuk ke dalam
frekuensi pendengaran manusia? Mungkin saja.
Dalam
keadaan seperti itu, bagaimana manusia akan mau menerima Allah sebagai Ilahnya?
Manusia-manusia seperti itu adalah kelompok manusia yang mengilahkan dirinya
sendiri. Meski mereka masih menyebut asma Allah, namun mereka meminta Allah
sebagai pengabul atas keinginan hawa nafsunya. Seolah-olah Allah adalah hamba
mereka yang diharuskan untuk memenuhi hawa nafsu mereka.
Jadi
akan sulit untuk mengajak manusia ke Allah, bahkan ada yang berpendapat bahwa
bukan maunya mereka diciptakan. Sehingga sudah sepantasnya Allah sebagai Sang
Pencipta bertanggung jawab dengan memenuhi segala keinginan mereka.
Umumnya
orang tersadar untuk datang ke Allah adalah bila mereka mendapat kesulitan
hidup. Mereka datang ke Allah dengan menangis mengadukan permasalahannya. Lalu
mereka akan lupa lagi setelah masalahnya dicabut Allah.
QS
Al An’aam 6 ayat 42: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
(rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka
dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada
Allah) dengan tunduk merendahkan diri.
Ada juga mereka yang sekedar menginginkan surga yang penuh kenikmatan.
QS
An Nahl 16 ayat 81: Dan Allah menjadikan
bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu
tempat-tempat tinggal di gunung-gunung dan Dia jadikan bagimu pakaian yang
memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu
berserah diri (kepada-Nya).
Yang paling mulia, tentunya yang memahami bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang memang betul-betul layak untuk disembah.
QS Al Mu’min 40 ayat 65: Dialah Yang hidup kekal, tiada Ilah (yang
berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat
kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Itu
semua bisa jadi adalah tahapan dalam perjalanan ibadah. Oleh karena itu, bilamana
sudah timbul keinginan untuk menyembah Allah, maka tekadkanlah untuk
menjalaninya secara bertahap. Namun selalu berfokus bahwa Allah lah yang kita
maksud. Ilahy Anta maqsudy.
Tahap
awal adalah dengan menerima Allah sebagai Sang Tuan, sebagai Sang Pendidik.
Mulailah dengan istighfar, yaitu bersikap hanya memohon kepada Allah dan tidak
mengharapkan dari lainnya. Lanjutkan dengan istighfar taubat, yaitu selalu
menghadapkan wajah kita ke Allah. Teruskan dengan istighfar kehadiran, yaitu
selalu berjuang hadir ke hadirat Allah tanpa menyekutukan-Nya. Pada saat kita sudah merasa dekat, sampaikan tasbih,
hamdallah, tahlil dan takbir kita bahkan serahkan diri kita.
Walaupun
secara rasional, untuk bisa berdekatan dengan-Nya adalah perjuangan yang
mustahil. Namun dengan kesungguhan serta menggantungkan harapan hanya
kepada-Nya, niscaya kita akan dituntun-Nya supaya berhasil. Tuntunan inilah
yang disebut dengan ad-diyn atau agama. Ad-diyn juga bisa dimaknai sebagai sikap
bersedia dididik oleh Allah. Jadi ad-diyn bukanlah seperti persepsi pengetahuan
kita misalnya sekedar aturan yang harus diikuti. Kalau ini yang dimaksud, maka kita akan menjalankan agama tanpa pemahaman,
tanpa menjiwai, tanpa ruh.
Aturan
atau peraturan adalah bersifat memaksa dan kalau ada pelanggaran, saat itu pula
hukuman akan dijatuhkan. Karena sesuatu disebut aturan, bilamana sang pembuat
peraturan menggunakan kekuatannya untuk menegakkan peraturan yang dia tetapkan
tanpa menunda. Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan undang-undang lalu
lintas, maka setelah diundangkan, bilamana terjadi pelanggaran, segera
dilakukan penindakan bagi pelanggarnya. Sedangkan ad-diyn masih memberi
kesempatan manusia untuk berubah, hingga sebelum maut menjemput.
Bilamana
ad-diyn adalah peraturan, maka siapakah yang bisa melawan Allah dalam hal
penegakan peraturan-Nya? Pastilah semua makhluk ciptaan-Nya tidak ada yang
mampu menentang-Nya apalagi bersembunyi. Pada kenyataannya, bahkan seolah Allah
membiarkannya terjadi.
Fakta
di QS Al Baqarah 2 ayat 256 malahan menyebutkan: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat
ini menegaskan bahwa ad-diyn bukanlah sekedar peraturan tetapi tuntunan
bersikap yang dalam bahasa Jawa diistilahkan patrap. Orang bersikap (patrap)
pasti menjalani. Menjalani apa? Menjalani proses pendidikan oleh Allah, menjalani sebagai hamba Allah dan menyembah Allah.
Sikap (patrap) akan menghasilkan akhlak, sikap yang terpuji akan menghasilkan
akhlak mulia, yaitu manusia-manusia yang teguh dan kuat ke Allah serta cerdas
dalam mengelola alam semesta ini sebagai rahmatan lil ‘alamin, hingga mendapat
kemuliaan dari Allah. Demikianlah semestinya tujuan pendidikan itu, yaitu
menggapai kemuliaan dari Allah.
Ingatlah
bahwa penggunaan istilah yang difahami oleh diri kita akan semakin memudahkan
kita dalam bersikap dan mengamalkannya!
Sikap
berserah diri dimulai dengan perjuangan bersyahadat yang diawali dengan penerimaan kita
kepada Allah, bahwa Dia lah Ilah kita dan tiada Ilah selain Dia. Penerimaan ini
juga merupakan suatu janji pribadi untuk tidak menyekutukan Dia dengan apapun. Hingga kita bisa menyaksikan wujud (keberadaan) Allah yang
sebenarnya. Bukankah Allah itu juga zhahir?
QS Al Hadiid 57 ayat 3: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir
dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dan bisa ditemui.
QS Al Insyiqaq 84 ayat 6: Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
Agar
kita tidak salah atau tersesat menuju kepada selain Dia, Dia pun memberikan Al Qur’an dan Kitab-Kitab sebelumnya serta menunjuk
utusan-Nya yang mampu membahasakan apa yang dikehendaki oleh-Nya. Sang Utusan
ini pasti ditempatkan pada setiap pribadi manusia sebagai wujud keadilan-Nya,
yaitu sang Ruh. Sang Ruh ini bisa mentransformasikan kehendak (iradat) Allah agar dilaksanakan oleh sang diri manusia.
Mereka-mereka yang mampu bersinggasana pada Sang Ruh ini pastilah akan mampu
menjadi Hamba Yang Terpuji, yaitu pengejawantahan dari Nur Muhammad. Oleh
karena itu, kita pun wajib memberikan penerimaan kita,
bahwa Yang Terpuji adalah betul-betul utusan-Nya. Dengan kerelaan kita
memberikan penerimaan, tentulah akan muncul dorongan/hasrat untuk memahami dan
meneladani sikap, perbuatan dan/atau ucapan beliau. Sang Diri atau jiwa adalah yang
bersinggasana dalam dada manusia, karena tidak pernah ada manusia yang menunjuk
kepalanya ketika mengaku
dirinya.
Apakah yang dimaksud Nur Muhammad tersebut?
QS
Al Maidah 5 ayat 15: Hai Ahli Kitab,
sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari
isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah (nuwrun) dan Kitab yang menerangkan.
Cahaya yang datang dari Allah (nuwrun) adalah Nur Muhammad tersebut yang
merupakan manifestasi dari Nur Ilahi.
Bukti
atas penerimaan kita bahwa Dia lah Ilah dan tiada Ilah selain Dia adalah
kesediaan kita untuk memuja dan mengabdi Dia. Memuja atau menyembah berbeda
dengan memuji. Memuja atau menyembah adalah sikap tunduk dan menyerahkan diri kita kepada Dia
yang kita puja/sembah. Sedangkan memuji seringkali adalah agar apa yang kita
kehendaki tercapai. Kita harus berjuang untuk memberikan pemujaan/penyembahan
yang tertinggi. Yang tertinggi biasanya yang paling menantang, yang paling
sulit, yang paling membutuhkan upaya keras dan cerdas, yaitu sholat.
Karena
kita tidak memuji Dia dengan dorongan agar keinginan kita tercapai, maka sudah
sepantasnya kita tidak berlutut dan bersujud kepada manusia lain atau makhluk
lain yang lebih rendah daripada kita, seperti pohon, batu, kuburan, gunung,
bulan, matahari, bintang, binatang, makhluk gaib, bila ingin menjadi
adimanusia. Tidak pantaslah kita merendahkan diri kita di hadapan makhluk-Nya.
Sebab tidak lah pantas seorang wakil menyembah sesama wakil atau yang lebih
rendah lagi.
Agar
kita mampu menjadi Wakil-Nya di muka bumi, kita wajib memiliki kekuatan untuk memegang
amanat. Kekuatan untuk tidak bisa diatur oleh dorongan nafsu kita sendiri,
kekuatan untuk tidak direndahkan oleh makhluk lain serta kekuatan untuk
melaksanakan amanat-Nya. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan sikap kita
agar menjadi tuan atas diri kita sendiri. Hal ini harus kita latih secara
rutin. Karena tanpa latihan yang rutin kekuatan yang sudah kita peroleh akan
berangsur-angsur hilang lagi. Untuk itulah kita melaksanakan puasa (tirakat) sebagai latihan yang paling sesuai agar
kita bisa menjadi tuan atas diri kita sendiri hingga berdisiplin untuk menjadi
hamba-Nya. Kita harus melakukan latihan pada waktu-waktu tertentu, sedangkan
pada setiap saat dalam kehidupan sehari-hari, kita wujudkan kekuatan kita
sebagai hamba-Nya. Dengan demikian pada setiap aktifitas kita tidak lagi
didorong oleh keinginan/dorongan hawa nafsu kita/kesenangan kita, tetapi
didorong oleh kekuatan kita untuk berani/bersedia mengikuti tuntunan Sang Rabb melalui dorongan ruh Ilahiyyah
yang suci.
Sebagai
wakil Allah di muka bumi, tidak lah pantas kalau kemudian kita berlupa diri
lalu menganggap apa yang ada di muka bumi sebagai milik kita. Anggapan sebagai
milik kita lalu kita bisa eksploitasi semau kita. Pengakuan atas hak milik ini
akan menghasilkan dorongan kerakusan/ketamakan/tak pernah cukup/selalu kurang.
Sikap dan tingkah laku seperti ini pastilah akan menghasilkan kehancuran
melalui perebutan atas klaim-klaim diri. Dorongan untuk memiliki yang bersifat
merusak ini harus dilepaskan.
Kita
yang sudah terbiasa memiliki tentunya akan sulit sekali untuk melepaskan
kepemilikan kita. Oleh karena itu, kita perlu latihan untuk melepaskan diri
atas klaim kepemilikan. Secara bertahap, kita berlatih untuk melepaskan klaim
kepemilikan itu dengan memulai dari apa yang tidak kita perlukan. Yang tidak
kita perlukan, kita berikan kepada yang memerlukan. Dilanjutkan dengan
memberikan kelimpahan-kelimpahan yang kita miliki. Sampai kita memahami bahwa
kita ini sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Kita akan memahami bahwa kita tidak
memiliki anak, tidak memiliki istri, tidak memiliki jabatan, tidak memiliki
harta, tidak memiliki apa-apa. Kita menjadi faqir, karena memahami bahwa tidak memiliki apapun. Kita faqir
karena hanya membutuhkan Allah. Latihan bersikap tidak memiliki dan hanya
memerlukan Allah inilah yang disebut zakat yang
akan menghasilkan kesucian diri.
Sebagai
penghuni bumi yang sudah terbiasa melakukan rekayasa agar kehidupan kita
semakin nikmat, kita menjadi tidak mampu lagi melihat kekuasaan Ilahi,
aktifitas Ilahi. Yang kita lihat hanyalah karya manusia sendiri. Kita melihat
karya bangunan yang indah, lalu kita bertanya siapa ya arsiteknya? Kita melihat
karya teknologi, yang kita ingat adalah si penemunya. Bahkan di kala kita sakit atau anak kita sakit, yang kita ingat pertama
kali adalah aku harus minum obat atau aku
harus minta tolong kepada dokter.
Oleh
karena itu, kita perlu diingatkan kembali akan wujud Ilahi. Kita perlu melihat
suatu maha karya/aktifitas yang dimana secara rasional campur tangan kita tidak
bermakna. Untuk itulah kita perlu mengunjungi/berziarah ke tempat dimana nampak
nyata aktifitas Dia yang biasa kita sebut dengan haji. Berziarah/mengunjungi tempat yang sudah ditentukan oleh
Dia, dimana kita akan melihat dan merasakan bahwa yang ada adalah kekuasaan
Ilahi dan kita hanya bisa menyaksikan akan kesibukan Ilahi. Kita akan mengalami
berbagai peristiwa yang sulit untuk dinalar. Lihatlah sumur Zam-Zam, suatu
sumur yang berada pada ketinggian 200 m di atas muka laut, yang tidak memiliki
sumber tangkapan hujan, sumur yang kualitas airnya sesuai dengan jasmani
manusia, sumur yang tidak bercampur dengan banjir. Tempat-tempat yang selalu
dipenuhi manusia setiap saat yang secara kasat mata, kita harus beradu otot
untuk bisa mendekati/menyentuhnya. Namun dengan kekuatan doa kepada Sang
Pemilik Yang Dimuliakan, tempat-tempat itu bisa dijangkau. Di tempat itulah,
keakuan kita kita kembalikan. Kita berikan pengakuan kita, bahwa semua ini
adalah bentuk Qodrat/Kekuasaan-Nya, bentuk Iradat-Nya, Wujud Keberadaan-Nya.
Sehingga hal ini menjadi sikap kita sehari-hari.
Dalam Hijr Ismail, muncul pertanyaan: Ya Allah, hamba sudah
berada dalam Rumah Engkau, temuilah hamba.
Tak ada yang tampak oleh mata, kecuali dinding batu hitam
yang diratapi penuh kerinduan para hamba kepada Tuannya.
Tak ada suara jawaban, kecuali rintihan para hamba yang rindu
kepada-Nya.
Lalu suasana pun berubah, menjadi suasana yang tetap, tidak
berubah. Seperti saat ini, di sini. Dari dulu juga seperti ini, kelak akan
tetap seperti ini. Kekal abadi, sempurna.
“AKU DI SINI SAAT INI”
Itulah
yang dimaksud dengan Ad-Diyn atau agama yang ternyata bermakna sikap kita,
sikap yang selalu fokus kepada tujuan (Iman), sikap yang berjuang untuk mencapai
tujuan dengan cara berserah diri kepada Allah (Islam), sikap untuk selalu menyempurnakan karya atau Menyaksikan Sang Rabb atau
Disaksikan Sang Rabb (Ihsan).
Serta selalu berjuang mencapai tujuan dalam rentang-rentang waktu yang
dimaksud, yang pas (Qiyamat).
Hadits Shahih Bukhari – Muslim berikut
juga menjelaskan apakah ad-diyn tersebut: Dari
Abu Hurairah (ra) katanya, “Pada suatu hari Rasulullah (saw) tampak sedang
berkumpul dengan orang banyak. Sekonyong-konyong datang kepadanya seorang
laki-laki, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Iman?”
Jawab Nabi (saw), “Iman ialah Iman
dengan Allah; Iman dengan para Malaikat-Nya; Iman dengan Kitab-kitab-Nya; Iman
akan menemui-Nya; Iman dengan para Rasul-Nya, (Iman dengan Qadha & Qadar) dan
Iman dengan berbangkit di Akhirat.”
Dia bertanya pula, “Apakah yang
dikatakan Islam?”
Jawab Rasulullah (saw), “Islam ialah
menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain-lain
(syahadat); Menegakkan sholat fardhu; Membayar zakat
wajib; Puasa Ramadhan; (dan Haji).”
Tanyanya pula, “Ya Rasulullah, apakah
yang dikatakan Ihsan?”
Jawab Nabi (saw), “Menyembah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihatnya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Tanyanya pula, “Bilakah terjadi hari
kiamat?”
Jawab Nabi (saw), “Orang yang ditanya
tidak lebih tahu daripada yang menanya. Tetapi akan kuterangkan kepadamu
tanda-tandanya, yaitu apabila hamba sahaya perempuan telah melahirkan
majikannya, itu adalah salah satu tandanya; Apabila orang miskin yang hina dina
telah menjadi pemimpin, itu juga termasuk tanda-tandanya; Apabila gembala
ternak yang hina, telah bermewah-mewah di gedung nan indah, itu pun termasuk
tanda-tandanya.
Selanjutnya ada lima perkara yang tidak
seorangpun dapat mengetahuinya selain Allah. Kemudian Rasulullah (saw)
membaca QS Luqman 31 ayat 34: “Sesungguhnya Allah, hanya Dia sajalah yang
mengetahui tentang hari kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan dan yang
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
apa yang akan dikerjakannya besok; dan tiada seorang pun pula yang dapat
mengetahui di bumi mana ia akan mati; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.””
Kemudian orang itu berlalu. Maka
bersabda Rasulullah (saw), “Panggil orang itu kembali.”
Para sahabat berusaha mencari orang itu
untuk memanggilnya kembali, tetapi mereka tidak melihatnya lagi.
Maka bersabda Rasulullah (saw), “Itulah
Jibril (as). Dia datang mengajarkan agama (ad-diyn) kepada anda sekalian.””
Iman adalah tujuan yang diyakini
Bila kita dalami hadits tentang ad-diyn
tersebut untuk mendapatkan pemahaman, yang dengan pemahaman itu kita bisa
mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka tuntunan sikap pertama
adalah iman. Iman artinya kita bersikap percaya atau yaqin, yaitu tujuan yang
kita perjuangkan untuk terwujud. Tujuan yang tertinggi adalah Allah, Rabb
semesta alam itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, iman ini kita amalkan
sebagai sikap untuk berjuang dengan kesungguhan dalam upaya mencapai tujuan.
Berhubung yang kita tuju adalah Allah, maka dalam setiap aktifitas perjuangan
senantiasa bersikap karena Allah (lillahi ta’ala). Oleh karena itu, dimulai
dengan Bismillahirrahmanirrahiim, sehingga disebut dengan istilah ibadah.
Al
Qur’an menjelaskan tentang sikap menjalani hidup kita adalah sebagai berikut:
QS Maryam 19 ayat 36: Sesungguhnya Allah adalah Rabb-ku dan Rabb-mu,
maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.
QS Fushshilat 41 ayat 30: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan,
“Rabb kami ialah Allah (Rabbunallah – Pendidikku adalah
Allah),”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada
mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.
Dalam menjalani hidup ini, kita akan
menghadapi permasalahan. Hadapilah permasalahan tersebut dengan senang dan
selalu lah meneguhkan bahwa Rabb kita adalah Allah, kepada-Nya kita menyembah,
kepada-Nya kita meminta pertolongan. Cukuplah Allah, tiada Ilah kecuali Dia,
kepada-Nya kita berharap. Maka semua permasalahan akan terselesaikan (diselesaikan-Nya),
karena kita sudah memahami bahwa permasalahan adalah untuk kemuliaan kita.
Allah SWT berfirman
dalam hadits qudsy, “Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-hamba-Ku. Dia
tergesa-gesa melaksanakan sholatnya karena mau menyelesaikan urusannya. Padahal
siapa yang dapat menyelesaikan urusannya kecuali Aku?”
Islam adalah jalan terhormat mencapai tujuan
Dalam upaya mencapai tujuan yang
dimaksud, maka kita perlu metode atau cara. Cara yang diridhai Allah adalah
Islam, “... Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al Maidah 5 ayat 3).
Agama Islam di sini bisa diartikan secara bebas adalah sikap tunduk dan berserah diri kepada Yang Menciptakan
alam semesta pada mulanya, seperti
bayi.
QS Al An’aam 6 ayat 94: Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana
kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia)
apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu
pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Sang Rabb di
antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap
daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
Oleh karena itu selalulah berlatih
menyerahkan diri kita secara total dalam segala situasi dan kondisi namun
secara bersamaan tidak mengendorkan perjuangan dalam mewujudkan segala tugas
dan cita-cita. Ini adalah metode yang paling sulit dalam kehidupan ini. Hanya
para pejuang tangguh yang mampu. Sehingga pantas mereka dianugerahi hadiah
tertinggi.
Metode juga menentukan kemuliaan atau
tercelanya seseorang, selain tujuan. Sebagai contoh untuk mendapatkan nafkah,
kita bisa mendapatkannya dengan mencuri atau korupsi atau bekerja dengan
cerdas, baik dan halal. Termasuk kebiasaan kita meminta bantuan kepada orang
lain atau makhluk gaib, termasuk hal-hal yang tercela.
Al Qur’an menjelaskan berbagai cara
sikap berserah diri, diantaranya adalah dengan:
QS Al Fatihah 1 ayat 4: Hanya kepada-Nya lah aku beribadah dan hanya
kepada-Nya lah aku meminta pertolongan.
QS At Taubah 9 ayat 129: Cukuplah Allah, tiada Ilah selain Dia,
kepada-Nya aku bertawakal.
QS Alam Nasyrah 94 ayat 8: Dan kepada Rabb lah aku berharap.
QS Al Ikhlash 112 ayat 2: Allah tempat bergantung segala sesuatu.
Syahadat
Metode pertama dalam upaya mencapai
tujuan adalah kita harus fokus (khusyu’) kepada tujuan. Oleh karena itu, setiap
saat kita harus berupaya bersyahadat, yaitu kita senantiasa berupaya untuk
menyaksikan Dia. Bersyahadat mestinya dilakukan dengan menemui Yang ingin kita
saksikan.
Hal ini dijelaskan melalui QS Al
Baqarah 2 ayat 45-46: Jadikanlah
sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang menyangka
(zhan), bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya.
Kita juga harus berupaya meneladani Nabi
Muhammad (saw). Orang meneladani berarti pula mencontek, baik tanpa ataupun dengan ilmu atas segala perjuangan
beliau.
Sebagaimana disebutkan dalam QS Al
Ahzab 33 ayat 21: Sesungguhnya
telah ada pada Rasulullah (saw) itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang
yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Bagaimana cara kita menyaksikan?
Sedangkan pada kenyataannya, Dia gaib, bahkan Nabi akhir zaman, yaitu Nabi
Muhammad (saw) pun sudah wafat
pula.
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah
mudah, mengingat pada umumnya kita melihat wujud yang tergelar di alam semesta
ini adalah dengan menggunakan panca indra, yaitu mata. Namun bisakah kita
melihat yang gaib dengan mata kita?
Kita juga bisa melihat melalui memori,
yakni kita pernah melihat wujud yang kita maksud dengan panca indra lalu
disimpan dalam memori otak. Kemudian kita bisa melihatnya kembali dengan
mengingatnya. Maksudnya melihat dengan memori, maka kita melihat suatu wujud
yang pernah kita lihat pada masa lalu. Ibarat kita akan menuju ke sesuatu, maka
kita perlu waktu untuk mencapai tujuan yang tergantung dari jarak dan kecepatan
kita. Bilamana kita menggunakan pikiran, maka dengan segera kita bisa
mencapainya, hanya peristiwa yang kita tangkap adalah masa lalu atau ada
keterlambatan waktu. Berbeda dengan menuju sesuatu melalui kefahaman, maka kita
bisa mencapainya sekarang tanpa ada keterlambatan waktu.
Oleh karena itu jangan sekedar terpaku
kepada kemampuan mata atau otak kita, karena tidak akan sampai. Melalui ilmu
pengetahuan yang dikuak oleh Einstein, yang menyatakan bahwa masa yang bergerak
dengan kecepatan cahaya akan luruh dan menjadi energi (E = MC2).
Sedangkan Niels Bohr menyatakan bahwa sebenarnya atom adalah kekosongan, karena
sedemikian jauh jarak antara inti atom dengan elektron terdekat. Sedangkan dari
penelitian Davisson dan Germer dibuktikan bahwa elektron juga dapat menunjukkan
sifat gelombang, sebagaimana diramalkan oleh De Broglie.
Meski demikian jangan kemudian punya
anggapan bahwa alam semesta dan manusia ini sejatinya tidak ada. Karena itu
berarti mengingkari Allah sebagai Sang Pencipta.
QS Al An’aam 6 ayat 73: Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi
dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan:
"Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di
waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
QS Shaad 38 ayat 27: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada antara keduanya dengan main-main (bathil). Yang demikian itu
adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena
mereka akan masuk neraka.
Kalau begitu dalam setiap wujud di alam
semesta ini terdapat inti, misalnya inti atom yang mendorong terbentuknya suatu
atom. Atom ini selanjutnya membentuk unsur dan selanjutnya membentuk molekul.
Inti dari sesuatu yang wujud ini menurut istilah Jawa disebut dengan yoni. Inti
ini pula yang menyebut dirinya dengan aku. Yang dalam istilah Islam disebut
fitrah, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar Ruum
30 ayat 30). Dimana fitrah itu sendiri berasal dari fitrah Allah.
Jadi semuanya ini terliputi oleh fitrah
Wujud Allah, sehingga bagaimana mungkin kita masih memiliki anggapan ada jarak?
Dan QS Qaaf 50 ayat 16 menjawab: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.”
Inilah yang dimaksud melihat dengan
pemahaman. Meski sesungguhnya pendengaran, penglihatan, memori dan kefahaman
bukan karena kemampuan kita, bahkan bukan kehendak kita untuk melihat yang
dimaksud, tetapi itu adalah anugerah, sehingga sepantasnya dikembalikan kepada
Pemberinya. Dan karena anugerah itu menghasilkan kenikmatan, sudah sepantasnya
kita bersyukur kepada-Nya.
Dan bilamana kita diberi anugerah
kefahaman, maka dengan mengamalkan syahadat, yaitu berupaya menyaksikan Allah,
maka diri kita atau jiwa kita akan semakin meluas dari sekecil atom menjadi
seluas alam semesta (kalau mau dan mampu). Dengan demikian interaksi kita pun
akan semakin meluas. Kalau kita tidak memiliki kekuatan dan kesucian jiwa,
niscaya kita akan mudah goyah. Karena dalam kehidupan ini selalu ada dorongan baik
dan buruk yang saling beradu pengaruh. Contoh: ada seseorang bernama Ahmad. Bilamana sebutan Ahmad difanakan
seperti bayi, maka tidak ada Ahmad lagi, yang ada adalah wujud manusia.
Bilamana sebutan manusia dihilangkan, karena pemahaman bahwa manusia hidup
dihidupi oleh alam, maka yang ada adalah alam dan manusia menjadi fana. Alam
semesta yang terus tumbuh dan bergerak adalah karena adanya Sang Penumbuh, maka
alam sirna atau fana, yang ada adalah Sang Penumbuh yang disebut dengan asma
Allah.
Perhatikan dalam kehidupan kita, sikap
dan tingkah laku kita akan diwarnai oleh lingkungan kita. Kalau lingkungan itu
baik, kita ikut baik dan sebaliknya. Namun kalau kita kuat, kita bisa ikut
mewarnai lingkungan kita bahkan mendorongnya ke arah yang kita kehendaki.
Misalnya kita tinggal di komunitas pemabuk, niscaya kita akan terseret ke
dalamnya, kecuali kalau kita kuat. Itulah makanya telur, kopi, ketela dan
berlian akan berbeda karakternya saat direbus.
Jadi kita menjadi tidak heran dengan
kenyataan betapa luasnya peran Nabi Muhammad (saw) bagi seluruh umat manusia
dan alam semesta ini. Sehingga pantas lah Nabi (saw) atau orang-orang beriman
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Araftu Rabbi bi Rabbi, karena semuanya sudah dikembalikan kepada-Nya.
Sholat
Metode kedua adalah sholat. Sholat
adalah perbuatan rutin yang kita lakukan untuk mengingat dan menemui Yang
menciptakan alam semesta sambil melakukan pemujaan. Pemujaan kita lakukan
dengan menempatkan diri di bawah Yang kita puja. Pemujaan berbeda dengan pujian,
dimana pujian dilakukan hanyalah agar keinginan kita dipenuhi. Pemujaan adalah
karena adanya cinta (hubb), yang mana bila kita teringat kepada yang kita
cintai, maka akan ada getaran kesambungan dan mendorong kita untuk menemui yang
kita cintai bahkan menyerahkan diri.
Pada umumnya manusia lupa kepada Yang
Menciptakan, sampai terkena musibah dan memerlukan pertolongan. Pada saat
itulah kita ingat kepada-Nya. Dari rasa ingat tersebut, kemudian timbul
dorongan untuk mendekat dan menemui serta memuja-Nya. Oleh karena itu
jadikanlah pemujaan sebagai keinginan dari dalam diri kita, bukan karena
sekedar diperintahkan, sebagaimana disampaikan dalam QS Thaahaa 20 ayat 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Rabb (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk
mengingat Aku.”
QS Al Maidah 5 ayat 35 menyebutkan: “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ditegaskan dengan QS Al Insyiqaq 84 ayat
6: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah
bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan
menemui-Nya.”
Juga dalam QS Fushshilat 41 ayat 54
menyebutkan: “Ingatlah bahwa sesungguhnya
mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Rabb mereka. Ingatlah
bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
Serta QS Al Baqarah 2 ayat 21
menyebutkan: “Hai manusia, sembahlah Rabb-mu
yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.”
Untuk bisa menemui, ibarat menuju ke
suatu tempat, mestinya berupaya untuk mengapai pintu gapura-Nya (istighfar),
membuka pintu gapura-Nya dengan kunci Iftitah. Selanjutnya membuka daun
pintu-Nya,
lalu menelusuri jalan (shiratal mustaqim) dengan
Al Fatihah untuk menuju Dia, Yang Tersembunyi. Kita akui bahwa semua yang tergelar
adalah bentuk kekuasaan-Nya hingga kita tunduk menghormat. Kemudian kita
berupaya untuk menjadi hamba-Nya melalui penyerahan jasmani, kemampuan dan kehendak
kita, bahkan hingga keakuan kita pun, kita serahkan total. Kita ridha
kepada-Nya dengan harapan kita juga diridhai-Nya, hingga kita kembali secara
total kepada Sang Dzat, Yang Meliputi alam semesta. Keadaan ini digambarkan
dalam QS Al Anfaal 8 ayat 17 dengan: “Maka
bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka dan
bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al
Ghazali, Rasulullah (saw) menyampaikan, “Sesungguhnya
Sholat itu adalah Ketetapan Hati (Tamaskun), Ketundukan Diri (Tawadlu’),
Kerendahan Hati (Tadlarru’), ratapan Batin (Ta-assafu), Penyesalan Diri
(Nadamu) dan Engkau Rendahkan Dirimu (Tadla’u Yadayka), seraya berucap,
“Allahumma …, Allahumma …, Allahumma …,” Barang siapa yang tidak berbuat
demikian, maka sholatnya tidak sempurna.” Hadits ini memberikan pemahaman
bahwa dalam sholat kita harus selalu meyakini Keberadaan / Wujud Allah,
sehingga ada komunikasi.
Hadits
ini juga diperkuat dengan Qur’an yang menyebut sebagai orang yang lalai dalam sholatnya,
yaitu dalam QS Al Mauun 107 ayat 1-7: “Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim
dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya,
orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Di sini saat ini, yang ada adalah keberadaan Sang Sejati.
Puasa (Shaum)
Karena kita ini lemah, maka kita perlu
berlatih untuk menjadi kuat. Karena dengan kekuatan itulah, maka kita bisa
mencapai tujuan yang kita maksud, diantaranya
adalah mengajak umat manusia untuk kembali ke Allah.
Latihan itu disebut puasa, yaitu kita berjuang menjadi tuan atas diri kita
sendiri melalui penguasaan diri dari ambisi (syahwat) dan emosi (gadhab),
sehingga pantas disebut sebagai orang yang kuat (bertaqwa), sebagaimana
dinyatakan dalam QS Al
Baqarah 2 ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa.” Kita berupaya
untuk tidak mengikuti hawa nafsu, namun mengikuti tuntunan Ilahi yang difahami
oleh yang menyaksikan dalam diri kita, yang menyebut dirinya aku. Dengan
kekuatan inilah, maka sikap dan tekad kita tidak berubah oleh situasi dan
kondisi, sehingga kita mampu untuk tetap fokus di jalan lurus untuk mencapai
tujuan. Sesungguhnya kamu salah seorang
dari Rasul-Rasul (al mursalin), (yang berada) di atas jalan yang lurus (QS Yaasiin 36 ayat 3-4).
Apakah yang dimaksud dengan hawa nafsu?
Hawa adalah dorongan sedangkan nafsu
adalah representasi dari diri kita. Karena diri kita terdiri atas jasmani,
kemampuan (al qudrat), kehendak (al iradat) dan diri (an nafs), maka
masing-masing komponen diri tersebut secara fitrah memiliki dorongan untuk
dipenuhi. Jangankan diri atau bagian dari diri kita, setiap wujud pun
menghasilkan dorongan yang akan mempengaruhi kita, misalnya kerikil, pasti yang
memegang akan terdorong untuk melempar, atau yang memegang pisau pasti ada
dorongan untuk memotong. Dorongan-dorongan ini harus kita kuasai dan
ditempatkan dalam tuntunan Ilahi, yakni melalui metode puasa. Maka hawa nafsu
ini akan menjadi hawa nafsu yang dirahmati Allah, yang diberi hidayah Allah.
Ini metode yang ketiga.
HQR Thabarani dalam al-Kabir dari Ibnu Mas’ud dan
Ibnun-Nazzar dari Ibnu Mas’ud juga, sedangkan Ibnu Asakir yang bersumber dari
Abdullah bin Harits bin Naufal ra: Semua
amal perbuatan Bani Adam adalah untuknya, kecuali shaum (puasa) adalah untuk
dan kepunyaan-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dan bagi orang yang bershaum
diberikan dua kegembiraan, satu kegembiraan ketika berbuka dan satu kegembiraan
lagi ketika menemui dan menjumpai Rabb-nya. Dan sungguh bau yang keluar dari
mulut orang yang bershaum lebih wangi pada sisi Allah daripada bau kasturi.
Zakat
Metode keempat adalah zakat. Orang
berzakat adalah orang yang mensucikan dirinya, dimana kita bersuci dengan
melepaskan diri dari segala pengakuan akan kepemilikan. Karena sejatinya, kita
semua milik Allah. Sedangkan kepemilikan atas diriku, istriku, anakku, hartaku
dan kekuasaanku sebenarnya hanyalah hak yang diberikan agar bisa menikmati.
Berzakat adalah latihan dengan cara memberikan apa-apa yang bisa kita berikan
kepada yang membutuhkan. Kita ini seolah penyalur yang terhormat, yang dengan
itu kita juga memperoleh nikmat. Ini kita latih sedemikian sehingga, kita
mendapat pemahaman bahwa sesungguhnya manusia itu faqir, yaitu membutuhkan. Sedangkan Allah adalah Yang Maha Kaya (Al Ghaniy) dan Maha Pemberi Kekayaan (Al Mughniy). Jadi kita menyaksikan bahwa kita membutuhkan Allah.
Dengan berlatih melepaskan diri dari
kepemilikan, maka akan mudah bagi kita untuk mencapai tujuan yang dimaksud,
karena dengan kekuatan tersebut beban yang akan membuat kita tergelincir atau
menjauh dari tujuan akan semakin kita kuasai. Juga kita sudah memahami bahwa kita harus mendatangi Yang
bisa memenuhi kebutuhan kita, yaitu Allah Sang Perbendaharaan Tersembunyi.
Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah
seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabb kamu adalah
Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju
kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi
orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS Fushshilaat 41 ayat 6-7).
Firman Allah tabaraka wa ta’ala dalam hadits qudsi:
Wahai hamba-hamba-Ku! Aku telah berikan kurnia kepada
kalian dan Aku telah meminta hutang, pinjaman atau kredit dari kalian.
Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu kepada-Ku dari apa yang telah
Ku-kurniakan itu dengan ta’at, niscaya Ku-segerakan (membalasnya) dalam waktu
singkat dan Ku-simpan baginya untuk waktu mendatang.
Tetapi barangsiapa yang Ku-ambil daripadanya sesuatu
yang telah Ku-berikan itu secara paksa, namun ia bersabar dan berusaha dengan
ikhlash karena Allah, niscaya Ku-wajibkan pemberian hadiah dan rahmat-Ku
baginya dan Ku-catatkan bahwa ia termasuk orang yang mendapat petunjuk dan
Ku-perbolehkan ia menikmati pandangan kepada-Ku.
Haji
Selanjutnya adalah Haji, yang merupakan
kunjungan penghormatan kita untuk menemui Allah untuk beribadah kepada-Nya di
rumah-Nya (Baitullah) dan upayakan
jangan pernah keluar lagi, karena kalau kita menjadi penghuni
Rumah-Nya (ahlul bait), kita akan disucikan-Nya. QS Al Ahzab 33 ayat 33: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Tahun 2007, kami naik haji bersama istri dan para sahabat kami. Pada
Thawaf Wada, istri saya mendadak menginginkan memegang Ka’bah. Sedangkan kami
sendiri malam sebelumnya berdoa agar Allah bersedia menemui kami di RumahNya.
Bersamaan dengan keinginan istri saya, jamaah yang Thawaf mendadak menepi dan
di sekitar Ka’bah menjadi sepi. Kami pun menuju Ka’bah, berdoa di Multazam dan
masuk ke dalam Hijr Ismail. Di dalam Hijr Ismail, kami bertanya, “Ya Allah,
kami sudah masuk ke dalam Rumah Engkau, dimanakah Engkau?” Mendadak kami
mendapat jawaban langsung bukan suara bukan tulisan bukan gambaran, namun kami
faham, yaitu: “Inilah Aku.” Masya Allah, kami mengakui bahwa Dia tidak sama
dengan makhluk-Nya. Dia sempurna tanpa perlu menyempurnakan DiriNya, Dia suci
tak kecampuran. Air mata kami pun bercucuran, penuh syukur atas anugerah ini.
Proses perjalanan haji dinyatakan dalam
QS Al Haaj 22 ayat 26-37: “Dan
(ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan firman), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku
dan sucikanlah Rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang
beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh.
Supaya
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan
melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
Demikianlah
dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu
adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya dan telah dihalalkan bagi kamu semua
binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah
olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
Dengan
ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari
langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
Demikianlah
dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul
dari ketaqwaan
hati.
Bagi
kamu pada binatang-binatang Hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu
yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah
setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).
Dan
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah
kepada mereka, maka Rabb-mu ialah Rabb Yang Maha Esa, karena itu berserah
dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
tunduk patuh (kepada Allah),
(Yaitu)
orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati (qalbu) mereka,
orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang
mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang
telah Kami rezekikan kepada mereka.
Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur.
Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.
Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan
Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada
orang-orang yang berbuat baik.”
Di sinilah sebenarnya sangkaan-sangkaan
kita akan dibuktikan dan kita dihadiahi keyakinan bahwa Dialah Yang menciptakan
alam semesta, yaitu Allah. Bukankah Haji itu adalah Arafah? Wukuf di Arafah
berarti mengenal Allah dengan diam,
menunggu Dia menjelaskan Eksistensi-Nya. Dialah Yang meliputi segala sesuatu.
Sehingga ketika ada orang bertanya bahwa dimanakah Allah? Kita akan tersenyum
betapa umumnya manusia mengganggap Allah sama dengan makhluk-Nya, yakni
bertempat. Mereka lupa bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, semua makhluk
diliputi-Nya, semua tempat menempati Dia.
Menurut hadits qudsi:
Allah SWT berfirman kepada malaikat-malaikat-Nya,
“Lihatlah kepada orang yang menziarahi Rumah-Ku. Sesungguhnya mereka
mengunjungi Aku, hingga kusut masai keadaannya dan penuh debu.
Ihsan adalah penentu kualitas pencapaian tujuan
Meski kita sudah mempunyai tujuan (Iman)
dan cara (Islam), kita perlu panduan untuk memastikan bahwa tujuan kita sudah
tercapai secara berkualitas yang terbaik. Itulah yang dimaksud dengan ihsan.
Ihsan adalah menemui
kepada Yang menciptakan. Ini sebagai nilai penentu kualitas perjuangan kita
dalam mencapai tujuan. Kebanyakan manusia bekerja asal-asalan dan sangat
sedikit yang bekerja dengan kesungguhan untuk mendapatkan hasil terbaik.
Maknanya adalah kualitas terbaik adalah bisa menyaksikan bahwa karya kita
adalah wujud qudrat dan iradat Allah.
Bilamana kita berani mengaku bahwa kita
mengenal Allah, maka itu berarti bahwa kita sudah menemui-Nya. Bagaimana
mungkin? Kita mengaku mengenal seseorang namun ternyata tidak pernah menemui
orang yang dimaksud. Jadi pengenalan adalah melalui pengalaman atau pertemuan,
bukan sekedar bacaan atau kata si ini atau si itu.
Bilamana kita memahami hadits di atas,
kualitas yang terbaik adalah menyaksikan dan bersedia kembali ke Allah, meski
secara pengetahuan yang dimaksud adalah dalam setiap kegiatan hidup, kita
selalu fokus untuk menyembah-Nya. Oleh karena itu, kita harus juga berserah
diri agar tercapai kualitas yang dikehendaki Allah. Maksudnya, dalam kita
menjalankan tugas, kita harus menyandarkan diri kepada Allah, lillahi ta’ala sebagaimana QS
Alam Nasyrah 94 ayat 1-8 menyebutkan: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami
telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu.
Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabb lah hendaknya kamu
berharap.”
Qiyamat adalah ketepatan waktu dalam pelaksanaan
Yang terakhir adalah kiamat, yang
bermakna segala sesuatu itu ada tenggat waktunya masing-masing. Dalam berjuang
mencapai tujuan, mesti ada tenggat waktu yang tertentu, yang mestinya akan
mendorong kepada produktifitas. Maksudnya
dalam rentang waktu yang sama, kita akan menghasilkan lebih banyak karya. Dengan
demikian kita akan terhindar dari kebiasaan menunda berbuat kebaikan. Juga
segala sesuatu sebaiknya dilaksanakan tepat waktu dan kembali lagi bahwa yang
tahu kapan waktu yang tepat ya Allah sendiri. Jadi sikap yang sama kita pakai
lagi, yakni berserah diri kepada Allah.
Jadi ad-diyn adalah sikap (patrap) atau
tuntunan bersikap. Sikap yang diridhai Allah adalah selalu berupaya untuk
beribadah kepada-Nya, melalui sikap patuh dan cinta hingga rela berserah diri
kepada Yang kita sembah, yaitu Allah SWT. Inilah Islam, inilah kenikmatan
tertinggi, karena kenikmatan tertinggi adalah kembali kepada Yang memberi
nikmat.
QS Al Maidah 5 ayat 3: “... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu. ...”
Dengan sikap inilah seorang manusia akan
berhasil dalam peribadahannya kepada Sang Rabb. Kebersediaan kita menerima
Allah sebagai Ilah, dimana posisi kita adalah sebagai hamba-Nya dan bukan
menempatkan Ilah sebagai pengabul segala keinginan hawa nafsu, akan membawa
kita kepada kesempurnaan. Dengan kata lain, kita pasti berhasil sebagai manusia
sempurna atau insan kamil atau khalifah Allah di muka bumi. Inilah Islam, sebagaimana
diterangkan oleh Rasulullah (saw). Ini berat, seperti emas yang awalnya bercampur
dengan tanah atau logam lainnya, setelah melalui proses pemurnian, barulah
berubah menjadi emas yang berharga sangat mahal.
Melalui
kepatuhan atas tuntunan Ilahi dan meneladani Utusan-Nya yang terpuji inilah
kita akan mengalami metamorfosa dari Reptilia (mengagungkan
Tubuh) è Mamalia (mendahulukan
kemampuan/kekuasaan/Qudrat) è
Homo Erektus (memenuhi keinginan/Iradat) è Manusia (kuat keakuannya - Jiwa) è Insan Kamil (hamba & khalifah Allah).
Ingatlah ketika Allah menciptakan
manusia dan meminta kesaksiannya, maka seluruh manusia bersaksi atas Allah.
Ketika Allah menciptakan dunia, maka 90% manusia lari kepada dunia dan tersisa
10% yang masih menerima Allah sebagai Ilahnya. Kemudian Allah menciptakan
Surga, maka dari sisa yang 10%, 90% lari menuju Surga dan meninggalkan Allah.
Maka yang tersisa adalah 10% dari 10% umat manusia yang masih bersedia berserah
diri kepada Allah. Itulah kelompok Rabbani, Muqarrabin,
insan kamil, Khalifatullah fi Al Ardh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar