Nasehat Iblis



Allah SWT telah memerintahkan seorang Malaikat menemui Iblis supaya dia menghadap Rasulullah (saw) untuk memberitahu segala rahasianya, baik yang disukai maupun yang dibencinya. Hikmatnya ialah untuk meninggikan derajat Nabi Muhammad (saw) dan juga sebagai peringatan dan perisai kepada umat manusia.
Maka Malaikat itu pun berjumpa Iblis dan berkata, “Hai Iblis! Bahwa Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar memberi perintah untuk menghadap Rasullullah (saw). Hendaklah engkau buka segala rahasiamu dan apapun yang ditanya Rasulullah hendaklah engkau jawab dengan sebenar-benarnya. Jikalau engkau berdusta walau satu perkataan pun, niscaya akan terputus semua anggota badanmu, uratmu, serta disiksa dengan azab yang amat keras.”
Mendengar ucapan Malaikat yang dahsyat itu, Iblis sangat ketakutan. Maka segeralah dia menghadap Rasulullah (saw) dengan menyamar sebagai seorang tua yang buta sebelah matanya dan berjanggut putih 10 helai, panjangnya seperti ekor lembu.
Iblis pun memberi salam, sehingga 3 kali tidak juga dijawab oleh Rasulullah (saw). Maka sambut Iblis (alaihi laknat), “Ya Rasulullah! Mengapa engkau tidak menjawab salamku? Bukankah salam itu sangat mulia di sisi Allah?”
Maka jawab Nabi (saw) dengan marah, “Hai Aduwullah seteru Allah! Kepadaku engkau menunjukkan kebaikanmu? Janganlah mencoba menipuku sebagaimana kau tipu Nabi Adam (as) sehingga keluar dari surga, Habil mati teraniaya dibunuh Qabil dengan sebab hasutanmu, Nabi Ayyub (as) engkau tiup dengan asap beracun ketika dia sedang sujud sembahyang hingga dia sengsara beberapa lama, kisah Nabi Daud (as) dengan perempuan Urya, Nabi Sulaiman (as) meninggalkan kerajaannya karena engkau menyamar sebagai isterinya dan begitu juga beberapa Anbiya dan pendeta yang telah menanggung sengsara akibat hasutanmu.
Hai Iblis! Sebenarnya salam itu sangat mulia di sisi Allah Azza wa Jalla, cuma salammu saja aku tidak hendak menjawabnya karena diharamkan Allah. Maka aku kenal baik-baik engkaulah Iblis, raja segala iblis, syaitan dan jin yang menyamar diri. Apa kehendakmu datang menemuiku?”
Taklimat Iblis, “Ya Nabi Allah! Janganlah engkau marah. Karena engkau adalah Khatamul Anbiya maka dapat mengenaliku. Kedatanganku adalah diperintah Allah untuk memberitahu segala tipu dayaku terhadap umatmu dari zaman Nabi Adam hingga akhir zaman. Ya Nabi Allah! Setiap apa yang engkau tanya, aku bersedia menerangkan satu persatu dengan sebenarnya, tiadalah aku berani menyembunyikannya.”
Maka Iblis pun bersumpah menyebut nama Allah dan berkata, “Ya Rasulullah! Sekiranya aku berdusta barang sepatah pun niscaya hancur leburlah badanku menjadi abu.”
Apabila mendengar sumpah Iblis itu, Nabi (saw) pun tersenyum dan berkata dalam hatinya, inilah satu peluangku untuk menyiasati segala perbuatannya agar didengar oleh sekalian sahabat yang ada di majlis ini dan menjadi perisai kepada seluruh umatku.
Pertanyaan Nabi (saw) (1):
“Hai Iblis! Siapakah sebesar-besar musuhmu dan bagaimana aku terhadapmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Nabi Allah! Engkaulah musuhku yang paling besar di antara segala musuhku di muka bumi ini.”
Maka Nabi pun memandang muka Iblis, dan Iblis pun menggeletar karena ketakutan. Sambung Iblis, “Ya Khatamul Anbiya! Ada pun aku dapat merubah diriku seperti sekalian manusia, binatang dan lain-lain hingga rupa dan suara pun tidak berbeda, kecuali dirimu saja yang tidak dapat aku tiru karena dicegah oleh Allah.
Kiranya aku menyerupai dirimu, maka terbakarlah diriku menjadi abu. Aku cabut iktikad / niat anak Adam supaya menjadi kafir karena engkau berusaha memberi nasihat dan pengajaran supaya mereka kuat untuk memeluk agama Islam, begitu jugalah aku berusaha menarik mereka kepada kafir, murtad atau munafik. Aku akan menarik seluruh umat Islam dari jalan benar menuju jalan yang sesat supaya masuk ke dalam neraka dan kekal di dalamnya bersamaku.”
Jawab Iblis, “Engkau … Muhammad. Engkau adalah makhluk Allah yang paling aku benci. Kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu.”
Rasulullah (saw), “Siapa lagi yang kamu benci?”
“Anak muda yang bertaqwa, yang menyerahkan jiwanya kepada Allah SWT.” Jawab Iblis.
“Lalu siapa lagi?” Tanya Rasulullah (saw).
“Orang ‘alim dan wara’, lagi penyabar.” Jelas Iblis.
“Lalu, siapa lagi?” Tanya Rasulullah (saw).
“Orang yang terus-menerus menjaga diri dalam keadaan suci dari najis.” Jelas Iblis.
Rasulullah (saw) bertanya lagi, “Lalu, siapa lagi?”
“Orang miskin yang sabar, tidak menceritakan kefakirannya kepada orang lain dan tidak mengadukan keluh-kesahnya.” Kata Iblis.
Rasulullah (saw), “Bagaimana kamu tahu dia penyabar?”
“Muhammad … jika ia mengadukan keluh kesahnya kepada makhluk sesamanya selama tiga hari, Tuhan tidak masukkan dirinya ke dalam golongan orang-orang yang sabar." Jelas Iblis.
Rasulullah (saw), “Lalu, siapa lagi?”
Iblis, “Orang kaya yang bersyukur.”
Rasulullah (saw) bertanya, “Bagaimana kamu tahu ia bersyukur?”
“Jika aku melihat dia mengambil dan meletakkan pada tempat yang halal.” Jelas Iblis.
Pertanyaan Nabi (saw) (2):
“Hai Iblis! Bagaimana perbuatanmu kepada makhluk Allah?”
Jawab Iblis:
“Adalah satu kemajuan bagi perempuan yang merenggangkan kedua pahanya kepada lelaki yang bukan suaminya, setengahnya hingga mengeluarkan benih yang salah sifatnya. Aku goda semua manusia supaya meninggalkan sholat, terbuai dengan makan minum, berbuat durhaka, aku lalaikan dengan harta benda daripada emas, perak dan permata, rumahnya, tanahnya, ladangnya supaya hasilnya dibelanjakan ke jalan haram.
Demikian juga ketika pesta yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Disana aku lepaskan sebesar-besar godaan supaya hilang peraturan dan minum arak. Apabila terminum arak itu maka hilanglah akal, fikiran dan malunya. Lalu aku ulurkan tali cinta dan terbukalah beberapa pintu maksiat yang besar, datang perasaan hasad dengki hingga kepada pekerjaan zina. Apabila terjadi kasih antara mereka, terpaksalah mereka mencari uang hingga menjadi penipu, peminjam dan pencuri.
Apabila mereka teringat akan salah mereka lalu hendak bertaubat atau berbuat amal ibadat, aku akan rayu mereka supaya mereka menangguhkannya. Bertambah keras aku goda supaya menambahkan maksiat dan mengambil isteri orang. Bila kena goda hatinya, datanglah rasa ria, takabur, megah, sombong dan melengahkan amalnya. Bila pada lidahnya, mereka akan gemar berdusta, mencela dan mengumpat. Demikianlah aku goda mereka setiap saat.”
Pertanyaan Nabi (saw) (3):
“Hai Iblis! Mengapa engkau bersusah payah melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan faedah bahkan menambahkan laknat yang besar serta siksa yang besar di neraka yang paling bawah? Hai yang dikutuk Allah! Siapa yang menjadikanmu? Siapa yang melanjutkan usiamu? Siapa yang menerangkan matamu? Siapa yang memberi pendengaranmu? Siapa yang memberi kekuatan anggota badanmu?”
Jawab Iblis:
“Semuanya itu adalah anugerah daripada Allah Yang Maha Besar juga. Tetapi hawa nafsu dan takabur membuatku menjadi jahat sebesar-besarnya. Engkau lebih tahu bahwa diriku telah beribu-ribu tahun menjadi ketua seluruh Malaikat dan pangkatku telah dinaikkan dari satu langit ke satu langit yang tinggi. Kemudian Aku tinggal di dunia ini beribadat bersama sekalian Malaikat beberapa waktu lamanya.
Tiba-tiba datang firman Allah SWT hendak menjadikan seorang Khalifah di dunia ini, maka akupun membantah. Lalu Allah menciptakan lelaki (Nabi Adam) lalu dititahkan seluruh Malaikat memberi hormat kepada lelaki itu, kecuali aku yang ingkar. Oleh karena itu Allah murka kepadaku dan wajahku yang tampan rupawan dan bercahaya itu bertukar menjadi keji dan kelam. Aku merasa sakit hati. Kemudian Allah menjadikan Adam raja di surga dan dikurniakan seorang permaisuri (Siti Hawa) yang memerintah seluruh bidadari. Aku bertambah dengki dan dendam kepada mereka.
Akhirnya aku berhasil menipu mereka melalui Siti Hawa yang menyuruh Adam memakan buah Khuldi, lalu keduanya diusir dari surga ke dunia. Keduanya berpisah beberapa tahun dan kemudian dipertemukan Allah (di Padang Arafah), hingga mereka mendapat beberapa orang anak. Kemudian kami hasut anak lelakinya Qabil supaya membunuh saudaranya Habil. Itu pun aku masih tidak puas hati dan berbagai tipu daya aku lakukan hingga Hari Kiamat.
Sebelum engkau lahir ke dunia, aku beserta bala tentaraku dengan mudah dapat naik ke langit untuk mencuri segala rahasia serta tulisan yang menyuruh manusia berbuat ibadat serta balasan pahala dan surga mereka. Kemudian aku turun ke dunia, dan memberitahu manusia yang lain daripada apa yang sebenarnya aku dapatkan, dengan berbagai tipu daya hingga tersesat dengan berbagai kitab bid’ah dan carut-marut.
Tetapi ketika engkau lahir ke dunia ini, maka aku tidak dibenarkan oleh Allah untuk naik ke langit serta mencuri rahasia, karena banyak Malaikat yang menjaga di setiap lapisan pintu langit. Jika aku berkeras juga hendak naik, maka Malaikat akan melontarkan anak panah dari api yang menyala. Sudah banyak bala tentaraku yang terkena lontaran Malaikat itu dan semuanya terbakar menjadi abu. Maka besarlah kesusahanku dan bala tentaraku untuk menjalankan tugas menghasut.”
Pertanyaan Nabi (saw) (4):
“Hai Iblis! Apakah yang pertama engkau tipu dari manusia?”
Jawab Iblis:
“Pertama sekali aku palingkan iktikad / niatnya, imannya kepada kafir juga ada dari segi perbuatan, perkataan, kelakuan atau hatinya. Jika tidak berhasil juga, aku akan tarik dengan cara mengurangi pahala. Lama-kelamaan mereka akan terjerumus mengikut kemauan jalanku.”
Pertanyaan Nabi (saw) (5):
“Hai Iblis! Jika umatku sholat karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Sebesar-besarnya kesusahanku. Gementarlah badanku dan lemah tulang sendiku. Maka aku kerahkan berpuluh-puluh iblis datang menggoda seorang manusia, pada setiap anggota badannya.
Setengah-setengahnya datang pada setiap anggota badannya supaya malas sholat, was-was, terlupa bilangan rakaatnya, bimbang pada pekerjaan dunia yang ditinggalkannya, sentiasa hendak cepat habis sholatnya, hilang khusyuknya – matanya sentiasa menjeling ke kiri kanan, telinganya senantiasa mendengar orang bercakap serta bunyi-bunyi yang lain. Setengah Iblis duduk di belakang badan orang yang sembahyang itu supaya dia tidak kuasa sujud berlama-lama, penat atau duduk tahiyat dan dalam hatinya senantiasa hendak cepat habis sholatnya, itu semua membawa kepada kurangnya pahala. Jika para Iblis itu tidak dapat menggoda manusia itu, maka aku sendiri akan menghukum mereka dengan seberat-berat hukuman.”
Rasulullah (saw), “Bagaimana keadaanmu jika umatku mengerjakan sholat?”
Iblis, “Aku merasa panas dan gemetar!”
Rasulullah (saw), “Kenapa, hai yang dilaknat?”
“Sesungguhnya, jika seorang hamba bersujud kepada Allah dengan sekali sujud saja, maka Allah mengangkat derajadnya satu tingkat.”
Pertanyaan Nabi (saw) (6):
“Jika umatku membaca Al-Quran karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Jika mereka membaca Al-Quran karena Allah, maka rasa terbakarlah tubuhku, putus-putus segala uratku lalu aku lari daripadanya.”
Iblis, “Aku meleleh seperti timah meleleh di atas api.”
Pertanyaan Nabi (saw) (7):
“Jika umatku mengerjakan haji karena Allah, bagaimana perasaanmu?”
Jawab Iblis:
“Binasalah diriku, gugurlah daging dan tulangku karena mereka telah mencukupkan rukun Islamnya.”
Iblis, “Aku jadi gila!”
Pertanyaan Nabi (saw) (8):
“Jika umatku berpuasa karena Allah, bagaimana keadaanmu?”
Jawab Iblis:
“Ya Rasulullah! Inilah bencana yang paling besar bahayanya kepadaku. Apabila masuk awal bulan Ramadhan, maka memancarlah cahaya Arasy dan Kursi, bahkan seluruh Malaikat menyambut dengan suka cita. Bagi orang yang berpuasa, Allah akan mengampunkan segala dosa yang lalu dan digantikan dengan pahala yang amat besar serta tidak dicatatkan dosanya selama dia berpuasa. Yang menghancurkan hatiku ialah segala isi langit dan bumi, yakni Malaikat, bulan, bintang, burung dan ikan-ikan semuanya siang malam mendoakan ampunan bagi orang yang berpuasa. Satu lagi kemuliaan orang berpuasa ialah dimerdekakan pada setiap masa dari azab neraka. Bahkan semua pintu neraka ditutup manakala semua pintu surga dibuka seluas-luasnya, serta dihembuskan angin dari bawah Arasy yang bernama Angin Syirah yang amat lembut ke dalam surga. Pada hari umatmu mulai berpuasa, dengan perintah Allah datanglah sekalian Malaikat dengan garangnya menangkapku dan tentaraku, jin, syaitan dan ifrit lalu dipasung kaki dan tangan dengan besi panas dan dirantai serta dimasukkan ke bawah bumi yang amat dalam. Di sana pula beberapa azab yang lain telah menunggu kami. Setelah habis umatmu berpuasa barulah aku dilepaskan dengan perintah agar tidak mengganggu umatmu. Umatmu sendiri telah merasa ketenangan berpuasa sebagaimana mereka bekerja dan bersahur seorang diri di tengah malam tanpa rasa takut dibandingkan bulan biasa.”
“Aku terbelenggu sampai mereka berbuka puasa.” Jelas Iblis.
Rasulullah (saw), “Jika mereka berzakat?”
Iblis, “Seakan-akan penzakat itu mengambil gergaji/kapak dan memotongku menjadi dua.”
Rasulullah (saw), “Mengapa sampai begitu, Abu Murrah?”
Jawab Iblis, "Sesungguhnya ada empat manfaat dalam zakat itu.
Pertama, Tuhan menurunkan berkah atas hartanya. Kedua, menjadikan penzakat itu disenangi makhluk-Nya yang lain. Ketiga, menjadikan zakatnya sebagai penghalang antara dirinya dengan api neraka. Keempat, dengan zakat, Tuhan mencegah bencana dan malapetaka agar tidak menimpanya.”
Pertanyaan Nabi (saw) (9):
“Hai Iblis! Bagaimana seluruh sahabatku menurutmu?”
Jawab Iblis:
“Seluruh sahabatmu juga adalah sebesar – besar seteruku. Tiada upayaku melawannya dan tiada satu tipu daya yang dapat masuk kepada mereka. Karena engkau sendiri telah berkata: “Seluruh sahabatku adalah seperti bintang di langit, jika kamu mengikuti mereka, maka kamu akan mendapat petunjuk.”
Sayidina Abu Bakar al-Siddiq sebelum bersamamu, aku tidak dapat mendekatinya, apalagi setelah berdampingan denganmu. Dia begitu percaya atas kebenaranmu hingga dia menjadi wazirul a’zam. Bahkan engkau sendiri telah mengatakan jika ditimbang seluruh isi dunia ini dengan amal kebajikan Abu Bakar, maka akan lebih berat amal kebajikan Abu Bakar. Tambahan pula dia telah menjadi mertuamu karena engkau menikah dengan anaknya, Saiyidatina Aisyah yang juga banyak menghafadz Hadits-haditsmu.
Sayidina Umar Al-Khattab pula tidaklah berani aku pandang wajahnya karena dia sangat keras menjalankan hukum syariat Islam dengan seksama. Jika aku pandang wajahnya, maka gemetarlah segala tulang sendiku karena sangat takut. Hal ini karena imannya sangat kuat apalagi engkau telah mengatakan, “Jikalau adanya Nabi sesudah aku maka Umar boleh menggantikan aku”, karena dia adalah orang harapanmu serta pandai membedakan antara kafir dan Islam hingga digelar ‘Al-Faruq’.
Sayidina Usman Al-Affan lagi, aku tidak bisa bertemu, karena lidahnya senantiasa bergerak membaca Al-Quran. Dia penghulu orang sabar, penghulu orang mati syahid dan menjadi menantumu sebanyak dua kali. Karena taatnya, banyak Malaikat datang melawat dan memberi hormat kepadanya karena Malaikat itu sangat malu kepadanya hingga engkau mengatakan, “Barang siapa menulis Bismillahir Rahmanir Rahim pada kitab atau kertas-kertas dengan dakwat merah, nescaya mendapat pahala seperti pahala Usman mati syahid.”
Sayidina Ali Abi Talib pun itu aku sangat takut karena hebatnya dan gagahnya dia di medan perang, tetapi sangat sopan santun, alim orangnya. Jika iblis, syaitan dan jin memandang beliau, maka terbakarlah kedua mata mereka karena dia sangat kuat beribadat serta beliau adalah golongan orang pertama memeluk agama Islam dan tidak pernah menundukkan kepalanya kepada sebarang berhala. Bergelar “Ali Karamullahu Wajhahu” – dimuliakan Allah akan wajahnya dan juga “Harimau Allah” dan engkau sendiri berkata, “Akulah negeri segala ilmu dan Ali itu pintunya.” Tambahan pula dia menjadi menantumu, semakin aku ngeri kepadanya.”
Pertanyaan Nabi (saw) (10):
“Bagaimana tipu daya engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Umatmu itu ada tiga macam. Yang pertama seperti hujan dari langit yang menghidupkan segala tumbuhan, yaitu ulama yang memberi nasihat kepada manusia supaya mengerjakan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya seperti kata Jibril (as), “Ulama itu adalah pelita dunia dan pelita akhirat.” Yang kedua umat tuan seperti tanah, yaitu orang yang sabar, syukur dan ridha dengan karunia Allah. Berbuat amal soleh, tawakkal dan kebajikan. Yang ketiga umatmu seperti Firaun; terlampau tamak dengan harta dunia serta dihilangkan amal akhirat. Maka akupun bersuka cita lalu masuk ke dalam badannya, aku putarkan hatinya ke lautan durhaka dan aku ajak ke mana saja mengikuti kehendakku. Jadi dia senantiasa bimbang kepada dunia dan tidak hendak menuntut ilmu, tiada waktu beramal ibadat, tidak hendak mengeluarkan zakat, miskin hendak beribadat.
Lalu aku goda agar minta kaya dulu, dan apabila diizinkan Allah dia menjadi kaya, maka dilupakan beramal, tidak berzakat seperti Qarun yang tenggelam dengan istana mahligainya. Bila umatmu terkena penyakit tidak sabar dan tamak, dia senantiasa bimbang akan hartanya dan setengahnya asyik hendak merebut dunia harta, bercakap besar sesama Islam, benci dan menghina kepada yang miskin, membelanjakan hartanya untuk jalan maksiat, tempat judi dan perempuan lacur.”
Pertanyaan Nabi (saw) (11):
“Siapa yang serupa dengan engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang meringankan syariatmu dan membenci orang belajar agama Islam.”
Pertanyaan Nabi (saw) (12):
“Siapa yang mencahayakan muka engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang berdosa, bersumpah bohong, saksi palsu, pemungkir janji.”
Pertanyaan Nabi (saw) (13):
“Apakah rahasia engkau kepada umatku?”
Jawab Iblis:
“Jika seorang Islam pergi buang air besar serta tidak membaca doa pelindung syaitan, maka aku gosok-gosokkan najisnya sendiri ke badannya tanpa dia sadari.”
Pertanyaan Nabi (saw) (14):
“Jika umatku bersatu dengan isterinya, bagaimana hal engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika umatmu hendak bersetubuh dengan isterinya serta membaca doa pelindung syaitan, maka larilah aku dari mereka. Jika tidak, aku akan bersetubuh dahulu dengan isterinya, dan bercampurlah benihku dengan benih isterinya. Jika menjadi anak maka anak itu akan gemar kepada pekerjaan maksiat, malas pada kebaikan, durhaka. Ini semua karena kealpaan ibu bapaknya sendiri. Begitu juga jika mereka makan tanpa membaca Bismillah, aku yang dahulu makan daripadanya. Walaupun mereka makan, tiadalah merasa kenyang.”
Pertanyaan Nabi (saw) (15):
“Dengan jalan apa dapat menolak tipu daya engkau?”
Jawab Iblis:
“Jika dia berbuat dosa, maka dia kembali bertaubat kepada Allah, menangis menyesal akan perbuatannya. Apabila marah segeralah mengambil air wudhu’, maka padamlah marahnya.”
Pertanyaan Nabi (saw) (16):
“Siapakah orang yang paling engkau lebih sukai?”
Jawab Iblis:
Lelaki dan perempuan yang tidak mencukur atau mencabut bulu ketiak atau bulu ari-ari (bulu kemaluan) selama 40 hari. Di situlah aku mengecilkan diri, bersarang, bergantung, berbuai seperti pijat pada bulu itu.”
Pertanyaan Nabi (saw) (17):
“Hai Iblis! Siapakah saudara engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang tidur meniarap / telungkup, orang yang matanya terbuka (mendusin) di waktu subuh tetapi menyambung tidur lagi. Lalu aku lenakan dia hingga terbit fajar. Demikian juga pada waktu zuhur, asar, maghrib dan isya’, aku beratkan hatinya untuk sholat.”
Pertanyaan Nabi (saw) (18):
“Apakah jalan yang membinasakan diri engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang banyak menyebut nama Allah, bersedekah dengan tidak diketahui orang, banyak bertaubat, banyak tadarus Al-Quran dan sholat tengah malam.”
Pertanyaan Nabi (saw) (19):
“Hai Iblis! Apakah yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang duduk di dalam masjid serta beriktikaf di dalamnya”
Pertanyaan Nabi (saw) (20):
“Apa lagi yang memecahkan mata engkau?”
Jawab Iblis:
“Orang yang taat kepada kedua ibu bapanya, mendengar kata mereka, membantu makan pakaian mereka selama mereka hidup, karena engkau telah bersabda bahwa surga itu di bawah tapak kaki ibu.”



Kewajiban kita sebagai makhluk adalah beribadah (memuja) kepada Yang Menciptakan, yakni Allah SWT. Sedangkan untuk bisa memuja dengan sempurna, kita perlu menyerahkan diri kepada-Nya. Sedangkan untuk bisa menyerahkan diri, kita perlu mencintai-Nya. Dan untuk bisa mencintai-Nya, kita perlu mengenal-Nya. Untuk bisa mengenal dengan baik, maka kita perlu melakukan pendekatan kepada-Nya. Dan kami amati, kami perlu menguatkan bahwa Allah lah yang menjadi tujuan sejati, bukan kenikmatan hidup, bukan pula ketakutan akan siksa. Tujuan ini kami capai dengan keilmuan sebagai awal, selanjutnya kami kuatkan melalui tekad. Bukankah hidup dari Allah?
Bagaimana kita akan berjuang untuk menemui-Nya, kalau kita belum mau menerima Allah sebagai Ilah (yang mendominasi) kita, sebagai Yang kita maksudkan.
Menurut pengamatan kami, orang zaman sekarang dan nanti akan cenderung semakin mementingkan dirinya sendiri. Manusia akan semakin individualis dan memperturutkan hawa nafsu tanpa tuntunan Allah. Dikisahkan oleh istri saya bahwa dalam sholatnya, dia ditampakkan rombongan orang-orang yang dahinya menonjol seperti tanduk dan ekornya keluar. Kelompok ini berjalan menjauhi kiblat. Mereka didampingi dua makhluk bersorban yang sepanjang jalan berteriak kepada Allah. Mereka adalah para malaikat pendamping yang berteriak memohon kepada Allah agar dikembalikan, karena mereka tidak kuat dengan kelakuan manusia-manusia berekor dan berakal cerdas tersebut. Apakah suara dengungan dari langit itu adalah akumulasi teriakan malaikat yang masuk ke dalam frekuensi pendengaran manusia? Mungkin saja.
Dalam keadaan seperti itu, bagaimana manusia akan mau menerima Allah sebagai Ilahnya? Manusia-manusia seperti itu adalah kelompok manusia yang mengilahkan dirinya sendiri. Meski mereka masih menyebut asma Allah, namun mereka meminta Allah sebagai pengabul atas keinginan hawa nafsunya. Seolah-olah Allah adalah hamba mereka yang diharuskan untuk memenuhi hawa nafsu mereka.
Jadi akan sulit untuk mengajak manusia ke Allah, bahkan ada yang berpendapat bahwa bukan maunya mereka diciptakan. Sehingga sudah sepantasnya Allah sebagai Sang Pencipta bertanggung jawab dengan memenuhi segala keinginan mereka.
Umumnya orang tersadar untuk datang ke Allah adalah bila mereka mendapat kesulitan hidup. Mereka datang ke Allah dengan menangis mengadukan permasalahannya. Lalu mereka akan lupa lagi setelah masalahnya dicabut Allah.
QS Al An’aam 6 ayat 42: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.
Ada juga mereka yang sekedar menginginkan surga yang penuh kenikmatan.
QS An Nahl 16 ayat 81: Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).
Yang paling mulia, tentunya yang memahami bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang memang betul-betul layak untuk disembah.
QS Al Mu’min 40 ayat 65: Dialah Yang hidup kekal, tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Itu semua bisa jadi adalah tahapan dalam perjalanan ibadah. Oleh karena itu, bilamana sudah timbul keinginan untuk menyembah Allah, maka tekadkanlah untuk menjalaninya secara bertahap. Namun selalu berfokus bahwa Allah lah yang kita maksud. Ilahy Anta maqsudy.
Tahap awal adalah dengan menerima Allah sebagai Sang Tuan, sebagai Sang Pendidik. Mulailah dengan istighfar, yaitu bersikap hanya memohon kepada Allah dan tidak mengharapkan dari lainnya. Lanjutkan dengan istighfar taubat, yaitu selalu menghadapkan wajah kita ke Allah. Teruskan dengan istighfar kehadiran, yaitu selalu berjuang hadir ke hadirat Allah tanpa menyekutukan-Nya. Pada saat kita sudah merasa dekat, sampaikan tasbih, hamdallah, tahlil dan takbir kita bahkan serahkan diri kita.
Walaupun secara rasional, untuk bisa berdekatan dengan-Nya adalah perjuangan yang mustahil. Namun dengan kesungguhan serta menggantungkan harapan hanya kepada-Nya, niscaya kita akan dituntun-Nya supaya berhasil. Tuntunan inilah yang disebut dengan ad-diyn atau agama. Ad-diyn juga bisa dimaknai sebagai sikap bersedia dididik oleh Allah. Jadi ad-diyn bukanlah seperti persepsi pengetahuan kita misalnya sekedar aturan yang harus diikuti. Kalau ini yang dimaksud, maka kita akan menjalankan agama tanpa pemahaman, tanpa menjiwai, tanpa ruh.
Aturan atau peraturan adalah bersifat memaksa dan kalau ada pelanggaran, saat itu pula hukuman akan dijatuhkan. Karena sesuatu disebut aturan, bilamana sang pembuat peraturan menggunakan kekuatannya untuk menegakkan peraturan yang dia tetapkan tanpa menunda. Sebagai contoh, pemerintah mengeluarkan undang-undang lalu lintas, maka setelah diundangkan, bilamana terjadi pelanggaran, segera dilakukan penindakan bagi pelanggarnya. Sedangkan ad-diyn masih memberi kesempatan manusia untuk berubah, hingga sebelum maut menjemput.
Bilamana ad-diyn adalah peraturan, maka siapakah yang bisa melawan Allah dalam hal penegakan peraturan-Nya? Pastilah semua makhluk ciptaan-Nya tidak ada yang mampu menentang-Nya apalagi bersembunyi. Pada kenyataannya, bahkan seolah Allah membiarkannya terjadi.
Fakta di QS Al Baqarah 2 ayat 256 malahan menyebutkan: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini menegaskan bahwa ad-diyn bukanlah sekedar peraturan tetapi tuntunan bersikap yang dalam bahasa Jawa diistilahkan patrap. Orang bersikap (patrap) pasti menjalani. Menjalani apa? Menjalani proses pendidikan oleh Allah, menjalani sebagai hamba Allah dan menyembah Allah. Sikap (patrap) akan menghasilkan akhlak, sikap yang terpuji akan menghasilkan akhlak mulia, yaitu manusia-manusia yang teguh dan kuat ke Allah serta cerdas dalam mengelola alam semesta ini sebagai rahmatan lil ‘alamin, hingga mendapat kemuliaan dari Allah. Demikianlah semestinya tujuan pendidikan itu, yaitu menggapai kemuliaan dari Allah.
Ingatlah bahwa penggunaan istilah yang difahami oleh diri kita akan semakin memudahkan kita dalam bersikap dan mengamalkannya!
Sikap berserah diri dimulai dengan perjuangan bersyahadat yang diawali dengan penerimaan kita kepada Allah, bahwa Dia lah Ilah kita dan tiada Ilah selain Dia. Penerimaan ini juga merupakan suatu janji pribadi untuk tidak menyekutukan Dia dengan apapun. Hingga kita bisa menyaksikan wujud (keberadaan) Allah yang sebenarnya. Bukankah Allah itu juga zhahir?
QS Al Hadiid 57 ayat 3: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dan bisa ditemui.
QS Al Insyiqaq 84 ayat 6: Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
Agar kita tidak salah atau tersesat menuju kepada selain Dia, Dia pun memberikan Al Qur’an dan Kitab-Kitab sebelumnya serta menunjuk utusan-Nya yang mampu membahasakan apa yang dikehendaki oleh-Nya. Sang Utusan ini pasti ditempatkan pada setiap pribadi manusia sebagai wujud keadilan-Nya, yaitu sang Ruh. Sang Ruh ini bisa mentransformasikan kehendak (iradat) Allah agar dilaksanakan oleh sang diri manusia. Mereka-mereka yang mampu bersinggasana pada Sang Ruh ini pastilah akan mampu menjadi Hamba Yang Terpuji, yaitu pengejawantahan dari Nur Muhammad. Oleh karena itu, kita pun wajib memberikan penerimaan kita, bahwa Yang Terpuji adalah betul-betul utusan-Nya. Dengan kerelaan kita memberikan penerimaan, tentulah akan muncul dorongan/hasrat untuk memahami dan meneladani sikap, perbuatan dan/atau ucapan beliau. Sang Diri atau jiwa adalah yang bersinggasana dalam dada manusia, karena tidak pernah ada manusia yang menunjuk kepalanya ketika mengaku dirinya.
Apakah yang dimaksud Nur Muhammad tersebut?
QS Al Maidah 5 ayat 15: Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah (nuwrun) dan Kitab yang menerangkan.
Cahaya yang datang dari Allah (nuwrun) adalah Nur Muhammad tersebut yang merupakan manifestasi dari Nur Ilahi.
Bukti atas penerimaan kita bahwa Dia lah Ilah dan tiada Ilah selain Dia adalah kesediaan kita untuk memuja dan mengabdi Dia. Memuja atau menyembah berbeda dengan memuji. Memuja atau menyembah adalah sikap tunduk dan menyerahkan diri  kita kepada Dia yang kita puja/sembah. Sedangkan memuji seringkali adalah agar apa yang kita kehendaki tercapai. Kita harus berjuang untuk memberikan pemujaan/penyembahan yang tertinggi. Yang tertinggi biasanya yang paling menantang, yang paling sulit, yang paling membutuhkan upaya keras dan cerdas, yaitu sholat.
Karena kita tidak memuji Dia dengan dorongan agar keinginan kita tercapai, maka sudah sepantasnya kita tidak berlutut dan bersujud kepada manusia lain atau makhluk lain yang lebih rendah daripada kita, seperti pohon, batu, kuburan, gunung, bulan, matahari, bintang, binatang, makhluk gaib, bila ingin menjadi adimanusia. Tidak pantaslah kita merendahkan diri kita di hadapan makhluk-Nya. Sebab tidak lah pantas seorang wakil menyembah sesama wakil atau yang lebih rendah lagi.
Agar kita mampu menjadi Wakil-Nya di muka bumi, kita wajib memiliki kekuatan untuk memegang amanat. Kekuatan untuk tidak bisa diatur oleh dorongan nafsu kita sendiri, kekuatan untuk tidak direndahkan oleh makhluk lain serta kekuatan untuk melaksanakan amanat-Nya. Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan sikap kita agar  menjadi tuan atas diri kita sendiri. Hal ini harus kita latih secara rutin. Karena tanpa latihan yang rutin kekuatan yang sudah kita peroleh akan berangsur-angsur hilang lagi. Untuk itulah kita melaksanakan puasa (tirakat) sebagai latihan yang paling sesuai agar kita bisa menjadi tuan atas diri kita sendiri hingga berdisiplin untuk menjadi hamba-Nya. Kita harus melakukan latihan pada waktu-waktu tertentu, sedangkan pada setiap saat dalam kehidupan sehari-hari, kita wujudkan kekuatan kita sebagai hamba-Nya. Dengan demikian pada setiap aktifitas kita tidak lagi didorong oleh keinginan/dorongan hawa nafsu kita/kesenangan kita, tetapi didorong oleh kekuatan kita untuk berani/bersedia mengikuti tuntunan Sang Rabb melalui dorongan ruh Ilahiyyah yang suci.
Sebagai wakil Allah di muka bumi, tidak lah pantas kalau kemudian kita berlupa diri lalu menganggap apa yang ada di muka bumi sebagai milik kita. Anggapan sebagai milik kita lalu kita bisa eksploitasi semau kita. Pengakuan atas hak milik ini akan menghasilkan dorongan kerakusan/ketamakan/tak pernah cukup/selalu kurang. Sikap dan tingkah laku seperti ini pastilah akan menghasilkan kehancuran melalui perebutan atas klaim-klaim diri. Dorongan untuk memiliki yang bersifat merusak ini harus dilepaskan.
Kita yang sudah terbiasa memiliki tentunya akan sulit sekali untuk melepaskan kepemilikan kita. Oleh karena itu, kita perlu latihan untuk melepaskan diri atas klaim kepemilikan. Secara bertahap, kita berlatih untuk melepaskan klaim kepemilikan itu dengan memulai dari apa yang tidak kita perlukan. Yang tidak kita perlukan, kita berikan kepada yang memerlukan. Dilanjutkan dengan memberikan kelimpahan-kelimpahan yang kita miliki. Sampai kita memahami bahwa kita ini sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Kita akan memahami bahwa kita tidak memiliki anak, tidak memiliki istri, tidak memiliki jabatan, tidak memiliki harta, tidak memiliki apa-apa. Kita menjadi faqir, karena memahami bahwa tidak memiliki apapun. Kita faqir karena hanya membutuhkan Allah. Latihan bersikap tidak memiliki dan hanya memerlukan Allah inilah yang disebut zakat yang akan menghasilkan kesucian diri.
Sebagai penghuni bumi yang sudah terbiasa melakukan rekayasa agar kehidupan kita semakin nikmat, kita menjadi tidak mampu lagi melihat kekuasaan Ilahi, aktifitas Ilahi. Yang kita lihat hanyalah karya manusia sendiri. Kita melihat karya bangunan yang indah, lalu kita bertanya siapa ya arsiteknya? Kita melihat karya teknologi, yang kita ingat adalah si penemunya. Bahkan di kala kita sakit atau anak kita sakit, yang kita ingat pertama kali adalah aku harus minum obat atau aku harus minta tolong kepada dokter.
Oleh karena itu, kita perlu diingatkan kembali akan wujud Ilahi. Kita perlu melihat suatu maha karya/aktifitas yang dimana secara rasional campur tangan kita tidak bermakna. Untuk itulah kita perlu mengunjungi/berziarah ke tempat dimana nampak nyata aktifitas Dia yang biasa kita sebut dengan haji. Berziarah/mengunjungi tempat yang sudah ditentukan oleh Dia, dimana kita akan melihat dan merasakan bahwa yang ada adalah kekuasaan Ilahi dan kita hanya bisa menyaksikan akan kesibukan Ilahi. Kita akan mengalami berbagai peristiwa yang sulit untuk dinalar. Lihatlah sumur Zam-Zam, suatu sumur yang berada pada ketinggian 200 m di atas muka laut, yang tidak memiliki sumber tangkapan hujan, sumur yang kualitas airnya sesuai dengan jasmani manusia, sumur yang tidak bercampur dengan banjir. Tempat-tempat yang selalu dipenuhi manusia setiap saat yang secara kasat mata, kita harus beradu otot untuk bisa mendekati/menyentuhnya. Namun dengan kekuatan doa kepada Sang Pemilik Yang Dimuliakan, tempat-tempat itu bisa dijangkau. Di tempat itulah, keakuan kita kita kembalikan. Kita berikan pengakuan kita, bahwa semua ini adalah bentuk Qodrat/Kekuasaan-Nya, bentuk Iradat-Nya, Wujud Keberadaan-Nya. Sehingga hal ini menjadi sikap kita sehari-hari.
Dalam Hijr Ismail, muncul pertanyaan: Ya Allah, hamba sudah berada dalam Rumah Engkau, temuilah hamba.
Tak ada yang tampak oleh mata, kecuali dinding batu hitam yang diratapi penuh kerinduan para hamba kepada Tuannya.
Tak ada suara jawaban, kecuali rintihan para hamba yang rindu kepada-Nya.
Lalu suasana pun berubah, menjadi suasana yang tetap, tidak berubah. Seperti saat ini, di sini. Dari dulu juga seperti ini, kelak akan tetap seperti ini. Kekal abadi, sempurna.
“AKU DI SINI SAAT INI”
Itulah yang dimaksud dengan Ad-Diyn atau agama yang ternyata bermakna sikap kita, sikap yang selalu fokus kepada tujuan (Iman), sikap yang berjuang untuk mencapai tujuan dengan cara berserah diri kepada Allah (Islam), sikap untuk selalu menyempurnakan karya atau Menyaksikan Sang Rabb atau Disaksikan Sang Rabb (Ihsan). Serta selalu berjuang mencapai tujuan dalam rentang-rentang waktu yang dimaksud, yang pas (Qiyamat).
Hadits Shahih Bukhari – Muslim berikut juga menjelaskan apakah ad-diyn tersebut: Dari Abu Hurairah (ra) katanya, “Pada suatu hari Rasulullah (saw) tampak sedang berkumpul dengan orang banyak. Sekonyong-konyong datang kepadanya seorang laki-laki, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah yang dikatakan Iman?”
Jawab Nabi (saw), “Iman ialah Iman dengan Allah; Iman dengan para Malaikat-Nya; Iman dengan Kitab-kitab-Nya; Iman akan menemui-Nya; Iman dengan para Rasul-Nya, (Iman dengan Qadha & Qadar) dan Iman dengan berbangkit di Akhirat.”
Dia bertanya pula, “Apakah yang dikatakan Islam?”
Jawab Rasulullah (saw), “Islam ialah menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain-lain (syahadat);  Menegakkan sholat fardhu; Membayar zakat wajib; Puasa Ramadhan; (dan Haji).”
Tanyanya pula, “Ya Rasulullah, apakah yang dikatakan Ihsan?”
Jawab Nabi (saw), “Menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Tanyanya pula, “Bilakah terjadi hari kiamat?”
Jawab Nabi (saw), “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang menanya. Tetapi akan kuterangkan kepadamu tanda-tandanya, yaitu apabila hamba sahaya perempuan telah melahirkan majikannya, itu adalah salah satu tandanya; Apabila orang miskin yang hina dina telah menjadi pemimpin, itu juga termasuk tanda-tandanya; Apabila gembala ternak yang hina, telah bermewah-mewah di gedung nan indah, itu pun termasuk tanda-tandanya.
Selanjutnya ada lima perkara yang tidak seorangpun dapat mengetahuinya selain Allah. Kemudian Rasulullah (saw) membaca QS Luqman 31 ayat 34: “Sesungguhnya Allah, hanya Dia sajalah yang mengetahui tentang hari kiamat; dan Dia lah yang menurunkan hujan dan yang mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok; dan tiada seorang pun pula yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati; Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.””
Kemudian orang itu berlalu. Maka bersabda Rasulullah (saw), “Panggil orang itu kembali.”
Para sahabat berusaha mencari orang itu untuk memanggilnya kembali, tetapi mereka tidak melihatnya lagi.
Maka bersabda Rasulullah (saw), “Itulah Jibril (as). Dia datang mengajarkan agama (ad-diyn) kepada anda sekalian.””

Iman adalah tujuan yang diyakini

Bila kita dalami hadits tentang ad-diyn tersebut untuk mendapatkan pemahaman, yang dengan pemahaman itu kita bisa mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka tuntunan sikap pertama adalah iman. Iman artinya kita bersikap percaya atau yaqin, yaitu tujuan yang kita perjuangkan untuk terwujud. Tujuan yang tertinggi adalah Allah, Rabb semesta alam itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, iman ini kita amalkan sebagai sikap untuk berjuang dengan kesungguhan dalam upaya mencapai tujuan. Berhubung yang kita tuju adalah Allah, maka dalam setiap aktifitas perjuangan senantiasa bersikap karena Allah (lillahi ta’ala). Oleh karena itu, dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahiim, sehingga disebut dengan istilah ibadah.
Al Qur’an menjelaskan tentang sikap menjalani hidup kita adalah sebagai berikut:
QS Maryam 19 ayat 36: Sesungguhnya Allah adalah Rabb-ku dan Rabb-mu, maka sembahIah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.
QS Fushshilat 41 ayat 30: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami ialah Allah (Rabbunallah – Pendidikku adalah Allah),” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.
Dalam menjalani hidup ini, kita akan menghadapi permasalahan. Hadapilah permasalahan tersebut dengan senang dan selalu lah meneguhkan bahwa Rabb kita adalah Allah, kepada-Nya kita menyembah, kepada-Nya kita meminta pertolongan. Cukuplah Allah, tiada Ilah kecuali Dia, kepada-Nya kita berharap. Maka semua permasalahan akan terselesaikan (diselesaikan-Nya), karena kita sudah memahami bahwa permasalahan adalah untuk kemuliaan kita.
Allah SWT berfirman dalam hadits qudsy, “Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-hamba-Ku. Dia tergesa-gesa melaksanakan sholatnya karena mau menyelesaikan urusannya. Padahal siapa yang dapat menyelesaikan urusannya kecuali Aku?”

Islam adalah jalan terhormat mencapai tujuan

Dalam upaya mencapai tujuan yang dimaksud, maka kita perlu metode atau cara. Cara yang diridhai Allah adalah Islam, “... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al Maidah 5 ayat 3). Agama Islam di sini bisa diartikan secara bebas adalah sikap tunduk dan berserah diri kepada Yang Menciptakan alam semesta pada mulanya, seperti bayi.
QS Al An’aam 6 ayat 94: Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Sang Rabb di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
Oleh karena itu selalulah berlatih menyerahkan diri kita secara total dalam segala situasi dan kondisi namun secara bersamaan tidak mengendorkan perjuangan dalam mewujudkan segala tugas dan cita-cita. Ini adalah metode yang paling sulit dalam kehidupan ini. Hanya para pejuang tangguh yang mampu. Sehingga pantas mereka dianugerahi hadiah tertinggi.
Metode juga menentukan kemuliaan atau tercelanya seseorang, selain tujuan. Sebagai contoh untuk mendapatkan nafkah, kita bisa mendapatkannya dengan mencuri atau korupsi atau bekerja dengan cerdas, baik dan halal. Termasuk kebiasaan kita meminta bantuan kepada orang lain atau makhluk gaib, termasuk hal-hal yang tercela.
Al Qur’an menjelaskan berbagai cara sikap berserah diri, diantaranya adalah dengan:
QS Al Fatihah 1 ayat 4: Hanya kepada-Nya lah aku beribadah dan hanya kepada-Nya lah aku meminta pertolongan.
QS At Taubah 9 ayat 129: Cukuplah Allah, tiada Ilah selain Dia, kepada-Nya aku bertawakal.
QS Alam Nasyrah 94 ayat 8: Dan kepada Rabb lah aku berharap.
QS Al Ikhlash 112 ayat 2: Allah tempat bergantung segala sesuatu.

Syahadat

Metode pertama dalam upaya mencapai tujuan adalah kita harus fokus (khusyu’) kepada tujuan. Oleh karena itu, setiap saat kita harus berupaya bersyahadat, yaitu kita senantiasa berupaya untuk menyaksikan Dia. Bersyahadat mestinya dilakukan dengan menemui Yang ingin kita saksikan. Hal ini dijelaskan melalui QS Al Baqarah 2 ayat 45-46: Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', yaitu orang-orang yang menyangka (zhan), bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Kita juga harus berupaya meneladani Nabi Muhammad (saw). Orang meneladani berarti pula mencontek, baik tanpa ataupun dengan ilmu atas segala perjuangan beliau. Sebagaimana disebutkan dalam QS Al Ahzab 33 ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah (saw) itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Bagaimana cara kita menyaksikan? Sedangkan pada kenyataannya, Dia gaib, bahkan Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad (saw) pun sudah wafat pula.
Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah, mengingat pada umumnya kita melihat wujud yang tergelar di alam semesta ini adalah dengan menggunakan panca indra, yaitu mata. Namun bisakah kita melihat yang gaib dengan mata kita?
Kita juga bisa melihat melalui memori, yakni kita pernah melihat wujud yang kita maksud dengan panca indra lalu disimpan dalam memori otak. Kemudian kita bisa melihatnya kembali dengan mengingatnya. Maksudnya melihat dengan memori, maka kita melihat suatu wujud yang pernah kita lihat pada masa lalu. Ibarat kita akan menuju ke sesuatu, maka kita perlu waktu untuk mencapai tujuan yang tergantung dari jarak dan kecepatan kita. Bilamana kita menggunakan pikiran, maka dengan segera kita bisa mencapainya, hanya peristiwa yang kita tangkap adalah masa lalu atau ada keterlambatan waktu. Berbeda dengan menuju sesuatu melalui kefahaman, maka kita bisa mencapainya sekarang tanpa ada keterlambatan waktu.
Oleh karena itu jangan sekedar terpaku kepada kemampuan mata atau otak kita, karena tidak akan sampai. Melalui ilmu pengetahuan yang dikuak oleh Einstein, yang menyatakan bahwa masa yang bergerak dengan kecepatan cahaya akan luruh dan menjadi energi (E = MC2). Sedangkan Niels Bohr menyatakan bahwa sebenarnya atom adalah kekosongan, karena sedemikian jauh jarak antara inti atom dengan elektron terdekat. Sedangkan dari penelitian Davisson dan Germer dibuktikan bahwa elektron juga dapat menunjukkan sifat gelombang, sebagaimana diramalkan oleh De Broglie.
Meski demikian jangan kemudian punya anggapan bahwa alam semesta dan manusia ini sejatinya tidak ada. Karena itu berarti mengingkari Allah sebagai Sang Pencipta.
QS Al An’aam 6 ayat 73: Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: "Jadilah, lalu terjadilah", dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
QS Shaad 38 ayat 27: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan main-main (bathil). Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.
Kalau begitu dalam setiap wujud di alam semesta ini terdapat inti, misalnya inti atom yang mendorong terbentuknya suatu atom. Atom ini selanjutnya membentuk unsur dan selanjutnya membentuk molekul. Inti dari sesuatu yang wujud ini menurut istilah Jawa disebut dengan yoni. Inti ini pula yang menyebut dirinya dengan aku. Yang dalam istilah Islam disebut fitrah, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar Ruum 30 ayat 30). Dimana fitrah itu sendiri berasal dari fitrah Allah.
Jadi semuanya ini terliputi oleh fitrah Wujud Allah, sehingga bagaimana mungkin kita masih memiliki anggapan ada jarak?
Dan QS Qaaf 50 ayat 16 menjawab: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Inilah yang dimaksud melihat dengan pemahaman. Meski sesungguhnya pendengaran, penglihatan, memori dan kefahaman bukan karena kemampuan kita, bahkan bukan kehendak kita untuk melihat yang dimaksud, tetapi itu adalah anugerah, sehingga sepantasnya dikembalikan kepada Pemberinya. Dan karena anugerah itu menghasilkan kenikmatan, sudah sepantasnya kita bersyukur kepada-Nya.
Dan bilamana kita diberi anugerah kefahaman, maka dengan mengamalkan syahadat, yaitu berupaya menyaksikan Allah, maka diri kita atau jiwa kita akan semakin meluas dari sekecil atom menjadi seluas alam semesta (kalau mau dan mampu). Dengan demikian interaksi kita pun akan semakin meluas. Kalau kita tidak memiliki kekuatan dan kesucian jiwa, niscaya kita akan mudah goyah. Karena dalam kehidupan ini selalu ada dorongan baik dan buruk yang saling beradu pengaruh. Contoh: ada seseorang bernama Ahmad. Bilamana sebutan Ahmad difanakan seperti bayi, maka tidak ada Ahmad lagi, yang ada adalah wujud manusia. Bilamana sebutan manusia dihilangkan, karena pemahaman bahwa manusia hidup dihidupi oleh alam, maka yang ada adalah alam dan manusia menjadi fana. Alam semesta yang terus tumbuh dan bergerak adalah karena adanya Sang Penumbuh, maka alam sirna atau fana, yang ada adalah Sang Penumbuh yang disebut dengan asma Allah.
Perhatikan dalam kehidupan kita, sikap dan tingkah laku kita akan diwarnai oleh lingkungan kita. Kalau lingkungan itu baik, kita ikut baik dan sebaliknya. Namun kalau kita kuat, kita bisa ikut mewarnai lingkungan kita bahkan mendorongnya ke arah yang kita kehendaki. Misalnya kita tinggal di komunitas pemabuk, niscaya kita akan terseret ke dalamnya, kecuali kalau kita kuat. Itulah makanya telur, kopi, ketela dan berlian akan berbeda karakternya saat direbus.
Jadi kita menjadi tidak heran dengan kenyataan betapa luasnya peran Nabi Muhammad (saw) bagi seluruh umat manusia dan alam semesta ini. Sehingga pantas lah Nabi (saw) atau orang-orang beriman menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Araftu Rabbi bi Rabbi, karena semuanya sudah dikembalikan kepada-Nya.

Sholat

Metode kedua adalah sholat. Sholat adalah perbuatan rutin yang kita lakukan untuk mengingat dan menemui Yang menciptakan alam semesta sambil melakukan pemujaan. Pemujaan kita lakukan dengan menempatkan diri di bawah Yang kita puja. Pemujaan berbeda dengan pujian, dimana pujian dilakukan hanyalah agar keinginan kita dipenuhi. Pemujaan adalah karena adanya cinta (hubb), yang mana bila kita teringat kepada yang kita cintai, maka akan ada getaran kesambungan dan mendorong kita untuk menemui yang kita cintai bahkan menyerahkan diri.
Pada umumnya manusia lupa kepada Yang Menciptakan, sampai terkena musibah dan memerlukan pertolongan. Pada saat itulah kita ingat kepada-Nya. Dari rasa ingat tersebut, kemudian timbul dorongan untuk mendekat dan menemui serta memuja-Nya. Oleh karena itu jadikanlah pemujaan sebagai keinginan dari dalam diri kita, bukan karena sekedar diperintahkan, sebagaimana disampaikan dalam QS Thaahaa 20 ayat 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Rabb (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku.”
QS Al Maidah 5 ayat 35 menyebutkan: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Ditegaskan dengan QS Al Insyiqaq 84 ayat 6: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”
Juga dalam QS Fushshilat 41 ayat 54 menyebutkan: “Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Rabb mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.”
Serta QS Al Baqarah 2 ayat 21 menyebutkan: “Hai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.
Untuk bisa menemui, ibarat menuju ke suatu tempat, mestinya berupaya untuk mengapai pintu gapura-Nya (istighfar), membuka pintu gapura-Nya dengan kunci Iftitah. Selanjutnya membuka daun pintu-Nya, lalu menelusuri jalan (shiratal mustaqim) dengan Al Fatihah untuk menuju Dia, Yang Tersembunyi. Kita akui bahwa semua yang tergelar adalah bentuk kekuasaan-Nya hingga kita tunduk menghormat. Kemudian kita berupaya untuk menjadi hamba-Nya melalui penyerahan jasmani, kemampuan dan kehendak kita, bahkan hingga keakuan kita pun, kita serahkan total. Kita ridha kepada-Nya dengan harapan kita juga diridhai-Nya, hingga kita kembali secara total kepada Sang Dzat, Yang Meliputi alam semesta. Keadaan ini digambarkan dalam QS Al Anfaal 8 ayat 17 dengan: “Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Al Ghazali, Rasulullah (saw) menyampaikan, “Sesungguhnya Sholat itu adalah Ketetapan Hati (Tamaskun), Ketundukan Diri (Tawadlu’), Kerendahan Hati (Tadlarru’), ratapan Batin (Ta-assafu), Penyesalan Diri (Nadamu) dan Engkau Rendahkan Dirimu (Tadla’u Yadayka), seraya berucap, “Allahumma …, Allahumma …, Allahumma …,” Barang siapa yang tidak berbuat demikian, maka sholatnya tidak sempurna.” Hadits ini memberikan pemahaman bahwa dalam sholat kita harus selalu meyakini Keberadaan / Wujud Allah, sehingga ada komunikasi.
Hadits ini juga diperkuat dengan Qur’an yang menyebut sebagai orang yang lalai dalam sholatnya, yaitu dalam QS Al Mauun 107 ayat 1-7: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”
Di sini saat ini, yang ada adalah keberadaan Sang Sejati.

Puasa (Shaum)

Karena kita ini lemah, maka kita perlu berlatih untuk menjadi kuat. Karena dengan kekuatan itulah, maka kita bisa mencapai tujuan yang kita maksud, diantaranya adalah mengajak umat manusia untuk kembali ke Allah. Latihan itu disebut puasa, yaitu kita berjuang menjadi tuan atas diri kita sendiri melalui penguasaan diri dari ambisi (syahwat) dan emosi (gadhab), sehingga pantas disebut sebagai orang yang kuat (bertaqwa), sebagaimana dinyatakan dalam QS Al Baqarah 2 ayat 183: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Kita berupaya untuk tidak mengikuti hawa nafsu, namun mengikuti tuntunan Ilahi yang difahami oleh yang menyaksikan dalam diri kita, yang menyebut dirinya aku. Dengan kekuatan inilah, maka sikap dan tekad kita tidak berubah oleh situasi dan kondisi, sehingga kita mampu untuk tetap fokus di jalan lurus untuk mencapai tujuan. Sesungguhnya kamu salah seorang dari Rasul-Rasul (al mursalin), (yang berada) di atas jalan yang lurus (QS Yaasiin 36 ayat 3-4).
Apakah yang dimaksud dengan hawa nafsu?
Hawa adalah dorongan sedangkan nafsu adalah representasi dari diri kita. Karena diri kita terdiri atas jasmani, kemampuan (al qudrat), kehendak (al iradat) dan diri (an nafs), maka masing-masing komponen diri tersebut secara fitrah memiliki dorongan untuk dipenuhi. Jangankan diri atau bagian dari diri kita, setiap wujud pun menghasilkan dorongan yang akan mempengaruhi kita, misalnya kerikil, pasti yang memegang akan terdorong untuk melempar, atau yang memegang pisau pasti ada dorongan untuk memotong. Dorongan-dorongan ini harus kita kuasai dan ditempatkan dalam tuntunan Ilahi, yakni melalui metode puasa. Maka hawa nafsu ini akan menjadi hawa nafsu yang dirahmati Allah, yang diberi hidayah Allah. Ini metode yang ketiga.
HQR Thabarani dalam al-Kabir dari Ibnu Mas’ud dan Ibnun-Nazzar dari Ibnu Mas’ud juga, sedangkan Ibnu Asakir yang bersumber dari Abdullah bin Harits bin Naufal ra: Semua amal perbuatan Bani Adam adalah untuknya, kecuali shaum (puasa) adalah untuk dan kepunyaan-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dan bagi orang yang bershaum diberikan dua kegembiraan, satu kegembiraan ketika berbuka dan satu kegembiraan lagi ketika menemui dan menjumpai Rabb-nya. Dan sungguh bau yang keluar dari mulut orang yang bershaum lebih wangi pada sisi Allah daripada bau kasturi.

Zakat

Metode keempat adalah zakat. Orang berzakat adalah orang yang mensucikan dirinya, dimana kita bersuci dengan melepaskan diri dari segala pengakuan akan kepemilikan. Karena sejatinya, kita semua milik Allah. Sedangkan kepemilikan atas diriku, istriku, anakku, hartaku dan kekuasaanku sebenarnya hanyalah hak yang diberikan agar bisa menikmati. Berzakat adalah latihan dengan cara memberikan apa-apa yang bisa kita berikan kepada yang membutuhkan. Kita ini seolah penyalur yang terhormat, yang dengan itu kita juga memperoleh nikmat. Ini kita latih sedemikian sehingga, kita mendapat pemahaman bahwa sesungguhnya manusia itu faqir, yaitu membutuhkan. Sedangkan Allah adalah Yang Maha Kaya (Al Ghaniy) dan Maha Pemberi Kekayaan (Al Mughniy). Jadi kita menyaksikan bahwa kita membutuhkan Allah.
Dengan berlatih melepaskan diri dari kepemilikan, maka akan mudah bagi kita untuk mencapai tujuan yang dimaksud, karena dengan kekuatan tersebut beban yang akan membuat kita tergelincir atau menjauh dari tujuan akan semakin kita kuasai. Juga kita sudah memahami bahwa kita harus mendatangi Yang bisa memenuhi kebutuhan kita, yaitu Allah Sang Perbendaharaan Tersembunyi. Katakanlah, “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabb kamu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.” (QS Fushshilaat 41 ayat 6-7).
Firman Allah tabaraka wa ta’ala dalam hadits qudsi:
Wahai hamba-hamba-Ku! Aku telah berikan kurnia kepada kalian dan Aku telah meminta hutang, pinjaman atau kredit dari kalian. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu kepada-Ku dari apa yang telah Ku-kurniakan itu dengan ta’at, niscaya Ku-segerakan (membalasnya) dalam waktu singkat dan Ku-simpan baginya untuk waktu mendatang.
Tetapi barangsiapa yang Ku-ambil daripadanya sesuatu yang telah Ku-berikan itu secara paksa, namun ia bersabar dan berusaha dengan ikhlash karena Allah, niscaya Ku-wajibkan pemberian hadiah dan rahmat-Ku baginya dan Ku-catatkan bahwa ia termasuk orang yang mendapat petunjuk dan Ku-perbolehkan ia menikmati pandangan kepada-Ku.

Haji

Selanjutnya adalah Haji, yang merupakan kunjungan penghormatan kita untuk menemui Allah untuk beribadah kepada-Nya di rumah-Nya (Baitullah) dan upayakan jangan pernah keluar lagi, karena kalau kita menjadi penghuni Rumah-Nya (ahlul bait), kita akan disucikan-Nya. QS Al Ahzab 33 ayat 33: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Tahun 2007, kami naik haji bersama istri dan para sahabat kami. Pada Thawaf Wada, istri saya mendadak menginginkan memegang Ka’bah. Sedangkan kami sendiri malam sebelumnya berdoa agar Allah bersedia menemui kami di RumahNya. Bersamaan dengan keinginan istri saya, jamaah yang Thawaf mendadak menepi dan di sekitar Ka’bah menjadi sepi. Kami pun menuju Ka’bah, berdoa di Multazam dan masuk ke dalam Hijr Ismail. Di dalam Hijr Ismail, kami bertanya, “Ya Allah, kami sudah masuk ke dalam Rumah Engkau, dimanakah Engkau?” Mendadak kami mendapat jawaban langsung bukan suara bukan tulisan bukan gambaran, namun kami faham, yaitu: “Inilah Aku.” Masya Allah, kami mengakui bahwa Dia tidak sama dengan makhluk-Nya. Dia sempurna tanpa perlu menyempurnakan DiriNya, Dia suci tak kecampuran. Air mata kami pun bercucuran, penuh syukur atas anugerah ini.
Proses perjalanan haji dinyatakan dalam QS Al Haaj 22 ayat 26-37: “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan firman), "Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah Rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
Demikianlah dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabb-nya dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
Demikianlah dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.
Bagi kamu pada binatang-binatang Hadyu itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).
Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Rabb-mu ialah Rabb Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),
(Yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati (qalbu) mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka.
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Di sinilah sebenarnya sangkaan-sangkaan kita akan dibuktikan dan kita dihadiahi keyakinan bahwa Dialah Yang menciptakan alam semesta, yaitu Allah. Bukankah Haji itu adalah Arafah? Wukuf di Arafah berarti mengenal Allah dengan diam, menunggu Dia menjelaskan Eksistensi-Nya. Dialah Yang meliputi segala sesuatu. Sehingga ketika ada orang bertanya bahwa dimanakah Allah? Kita akan tersenyum betapa umumnya manusia mengganggap Allah sama dengan makhluk-Nya, yakni bertempat. Mereka lupa bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya, semua makhluk diliputi-Nya, semua tempat menempati Dia.
Menurut hadits qudsi:
Allah SWT berfirman kepada malaikat-malaikat-Nya, “Lihatlah kepada orang yang menziarahi Rumah-Ku. Sesungguhnya mereka mengunjungi Aku, hingga kusut masai keadaannya dan penuh debu.

Ihsan adalah penentu kualitas pencapaian tujuan

Meski kita sudah mempunyai tujuan (Iman) dan cara (Islam), kita perlu panduan untuk memastikan bahwa tujuan kita sudah tercapai secara berkualitas yang terbaik. Itulah yang dimaksud dengan ihsan. Ihsan adalah menemui kepada Yang menciptakan. Ini sebagai nilai penentu kualitas perjuangan kita dalam mencapai tujuan. Kebanyakan manusia bekerja asal-asalan dan sangat sedikit yang bekerja dengan kesungguhan untuk mendapatkan hasil terbaik. Maknanya adalah kualitas terbaik adalah bisa menyaksikan bahwa karya kita adalah wujud qudrat dan iradat Allah.
Bilamana kita berani mengaku bahwa kita mengenal Allah, maka itu berarti bahwa kita sudah menemui-Nya. Bagaimana mungkin? Kita mengaku mengenal seseorang namun ternyata tidak pernah menemui orang yang dimaksud. Jadi pengenalan adalah melalui pengalaman atau pertemuan, bukan sekedar bacaan atau kata si ini atau si itu.
Bilamana kita memahami hadits di atas, kualitas yang terbaik adalah menyaksikan dan bersedia kembali ke Allah, meski secara pengetahuan yang dimaksud adalah dalam setiap kegiatan hidup, kita selalu fokus untuk menyembah-Nya. Oleh karena itu, kita harus juga berserah diri agar tercapai kualitas yang dikehendaki Allah. Maksudnya, dalam kita menjalankan tugas, kita harus menyandarkan diri kepada Allah, lillahi ta’ala sebagaimana QS Alam Nasyrah 94 ayat 1-8 menyebutkan: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Rabb lah hendaknya kamu berharap.”

Qiyamat adalah ketepatan waktu dalam pelaksanaan

Yang terakhir adalah kiamat, yang bermakna segala sesuatu itu ada tenggat waktunya masing-masing. Dalam berjuang mencapai tujuan, mesti ada tenggat waktu yang tertentu, yang mestinya akan mendorong kepada produktifitas. Maksudnya dalam rentang waktu yang sama, kita akan menghasilkan lebih banyak karya. Dengan demikian kita akan terhindar dari kebiasaan menunda berbuat kebaikan. Juga segala sesuatu sebaiknya dilaksanakan tepat waktu dan kembali lagi bahwa yang tahu kapan waktu yang tepat ya Allah sendiri. Jadi sikap yang sama kita pakai lagi, yakni berserah diri kepada Allah.
Jadi ad-diyn adalah sikap (patrap) atau tuntunan bersikap. Sikap yang diridhai Allah adalah selalu berupaya untuk beribadah kepada-Nya, melalui sikap patuh dan cinta hingga rela berserah diri kepada Yang kita sembah, yaitu Allah SWT. Inilah Islam, inilah kenikmatan tertinggi, karena kenikmatan tertinggi adalah kembali kepada Yang memberi nikmat.
QS Al Maidah 5 ayat 3: “... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. ...”
Dengan sikap inilah seorang manusia akan berhasil dalam peribadahannya kepada Sang Rabb. Kebersediaan kita menerima Allah sebagai Ilah, dimana posisi kita adalah sebagai hamba-Nya dan bukan menempatkan Ilah sebagai pengabul segala keinginan hawa nafsu, akan membawa kita kepada kesempurnaan. Dengan kata lain, kita pasti berhasil sebagai manusia sempurna atau insan kamil atau khalifah Allah di muka bumi. Inilah Islam, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah (saw). Ini berat, seperti emas yang awalnya bercampur dengan tanah atau logam lainnya, setelah melalui proses pemurnian, barulah berubah menjadi emas yang berharga sangat mahal.
Melalui kepatuhan atas tuntunan Ilahi dan meneladani Utusan-Nya yang terpuji inilah kita akan mengalami metamorfosa dari Reptilia (mengagungkan Tubuh) è Mamalia (mendahulukan kemampuan/kekuasaan/Qudrat) è Homo Erektus (memenuhi keinginan/Iradat) è Manusia (kuat keakuannya - Jiwa) è Insan Kamil (hamba & khalifah Allah).
Ingatlah ketika Allah menciptakan manusia dan meminta kesaksiannya, maka seluruh manusia bersaksi atas Allah. Ketika Allah menciptakan dunia, maka 90% manusia lari kepada dunia dan tersisa 10% yang masih menerima Allah sebagai Ilahnya. Kemudian Allah menciptakan Surga, maka dari sisa yang 10%, 90% lari menuju Surga dan meninggalkan Allah. Maka yang tersisa adalah 10% dari 10% umat manusia yang masih bersedia berserah diri kepada Allah. Itulah kelompok Rabbani, Muqarrabin, insan kamil, Khalifatullah fi Al Ardh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)