Kamis, 03 November 2016

Penjelasan Adanya Dzat



Jakarta, 3 Nov 2016

Ketika menerima informasi dan merenungkannya, maka akan terjebak dalam tiga pilihan, yaitu:

  1. Kepastian
  2. Meragukan
  3. Tidak pasti

Bagaimana dengan informasi tentang adanya Dzat Yang menggelar alam semesta ini. Apakah Dzat itu suatu kepastian, suatu yang meragukan atau kah sesuatu yang tidak pasti?

Ketika melihat mobil di jalan, maka bisa dinyatakan dengan pasti bahwa mobil tersebut ada yang membuat. Dengan demikian melalui pengamatan terhadap apa yang tergelar ini, maka dengan pasti dinyatakan adanya DZAT Yang telah menciptakan alam semesta ini.

Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nabi saw membisikkan kepada Ali bin Abi Thalib kw keterangan Adanya Dzat sebagai berikut: Bahwasanya AKU adalah Dzat Yang Berkuasa Menciptakan segala sesuatu, yang tercipta dalam sekejap mata. Sempurna oleh Qudrat-KU. Di situ sudah jelas tanda-tanda-KU, Af’al-KU sebagai pembuka Iradat-KU. Pertama-tama AKU menciptakan jaksa yang bernama Sajaratul Yaqin yang tumbuh di alam ‘Adam Ma’dum, yang azali abadi. Setelah itu AKU ciptakan cahaya yang sangat bening yang disebut dengan nama Nur Muhammad. Lalu AKU menciptakan kaca yang bernama Mi’ratul Haya’i. Lalu AKU ciptakan nyawa bernama Ruh Idhafi. Setelah itu AKU ciptakan damar bernama Qandil. Lalu permata yang bernama Dzarrah. Kemudian dinding bernama Hijab. Semua ini menjadi layar kalarat-KU.

Adanya ciptaan menunjukkan adanya KUASA YANG MENCIPTAKAN. Informasi ini juga menjadi dasar bagi yang mempunyai niat untuk mi’raj menemui KUASA YANG MENCIPTAKAN, melalui tahapan-tahapan:

1.     pengadaan melalui percaya bahwa KUASA tersebut ada,
2.     pendekatan melalui pengertian akan adanya KUASA tersebut
3.     penghadiran melalui upaya mewujudkan cita yang berasal dari kehendak KUASA.

Informasi tentang adanya KUASA di atas, anggaplah sebagai mitos, karena belum mengetahui bukti-buktinya. Namun kalau menggunakan rasionalitas melalui pengamatan atas diri ini, maka akan semakin dimengerti. Sebagai contoh adalah adanya tubuh ini. Tubuh yang berwujud materi ini kalau dibelah terus akan sampai kepada suatu wujud yang disebut dengan zarrah atau atom. Yaitu suatu wujud imajiner yang artinya tidak bisa dibelah lebih lanjut. Apakah atom ini yang dimaksud dengan dzarrah dalam pengertian Nabi saw di atas? Berhubung tidak melakukan penelitian perihal atom tersebut, namun bisa ditarik suatu kesimpulan umum bahwa wujud terkecil tersebut pasti memiliki sesuatu kuasa lebih yang membuatnya terbentuk seperti itu. Barangkali inilah yang dalam model atom disebut neutron yang bersifat netral. Neutron yang berada dalam inti atom berikatan erat dengan proton yang bermuatan positif. Sedangkan elektron yang bermuatan negatif mengitari keduanya. Kalau hanya ada neutron, proton dan elektron, tentunya tidaklah lengkap. Karena harus ada yang mendorong terbentuknya atom tertentu. Inilah yang dimaksud dengan cita. Adanya cita inilah yang membuat neutron sebagai penguasa lebih mengatur proton dan elektron untuk membentuk atom yang sesuai dengan citanya. Cita pembentuk wujud tersebut bisa disebut sebagai yoni, fitrah. 

Atom yang bersifat imajiner, menurut para ilmuwan memiliki sifat dualisme, yaitu sebagai materi dan juga sebagai cahaya. Benda alam yang memiliki dualisme seperti tersebut yang masih bisa diamati dengan indrawi adalah api. Api pada zaman dahulu dipergunakan sebagai alat penerangan, sebagai damar. Apakah ini yang dimaksud dengan Kandil?

Melalui unsur awal berupa api inilah, makhluk yang berupa benda hingga manusia tercipta. Tercipta dari api, lalu atmosfer atau udara, kemudian tanah dan selanjutnya air. Dan dari benda-benda tersebut kemudian tercipta tumbuhan, hewan dan manusia.

Setelah individu manusia tercipta dan diberi nama, baru disusupkan ruhani yang menyatakan dirinya dengan sebutan “saya”. Pada awalnya ruhani ini sering terseret oleh tubuhnya atau kemauan bahkan pikirannya, maka bisa jadi disebut dengan ruh yang lemah atau ruh idhafi.

Saya akan selalu menuju kepada apa yang dicintainya. Sedangkan cita yang membentuk wujud seseorang yang barangkali disebut dengan istilah nyawa (tanda hidup), saat meninggal oleh para ahli spiritual kadang disebut dengan istilah menitis atau reinkarnasi. Padahal semestinya nyawa ini kembali kepada sumbernya, yaitu Nur Muhammad atau Cahaya Terpuji. Disebut cahaya karena semua wujud ini memberikan penerangan berupa pengetahuan. Disebut terpuji, karena apapun yang memberikan sesuatu pengetahuan pasti memiliki sifat terpuji.

Bagaimana saya bisa menyaksikan dirinya? Bukankah harus membutuhkan cermin? 

Mungkin karena makhluk memerlukan tempat hidup, maka terciptalah terlebih dahulu tempat tersebut, yang disebut alam. Bukankah alam ini dibuat dengan pertumbuhan? Oleh karena itu barangkali ini yang disebut dengan syajaratul yaqin (pohon kepastian). 

Jadi tubuh adalah wadah dari saya yang merupakan cipta dari KUASA. Sedangkan saya atau ruhani adalah sabda dari KUASA yang diturunkan ke dalam tubuh si saya. Melalui tubuh inilah, saya digembleng oleh KUASA agar tahu diri dan menjalankan fitrahnya.
Ruh itu termasuk urusan (amr) Sang Rabb dan tidaklah manusia diberi pengetahuan melainkan sedikit. QS Al Isra' 17 ayat 85: Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."

Kenapa saya diturunkan? Karena saya sebenarnya berasal dari AKU-NYA KUASA. Disebut KUASA harus ada yang dikuasai, yaitu AKU-NYA. Namun AKU ini begitu tahu bahwa memiliki KUASA sedemikian luar biasa, maka memberontak. Berhubung KUASA tidak mungkin dikuasai, maka AKU yang memberontak atau ingin menguasai KUASA diturunkan menjadi saya dan dimasukkan ke dalam tubuh individu manusia untuk digembleng agar tahu diri.

Sabtu, 08 Oktober 2016

Pengetahuan Adanya Dzat



Jakarta, 5 Oct 2016

Nasehat Nabi (saw) yang disampaikan kepada umat melalui para Wali sampai hari ini masih relevan, namun sangat sulit dalam memahaminya. Kesulitan pemahaman dimulai dari penyampaian tergantung dari tingkat pemahaman para penyampai, pemilihan kata yang saat ini dimaknai berbeda dan juga kebanyakan manusia zaman sekarang hanya melakukan analisa perenungan dan jarang memperhatikan dirinya dan mempraktekkannya.

Sedangkan pada kenyataannya, ketika kita menerima informasi dan merenungkannya, maka kita akan terjebak dalam tiga pilihan, yaitu:

  • Faham, jangan hanya menjadi ilmu saja, praktekkan!
  • Ragu-ragu, berteori dan praktekkan!
  • Tidak faham, percaya dan praktekkan!
Semuanya dengan sikap percaya kepada Gusti Sang Penggelar Jagad dan beristiqamah lah! 

Dengan cara seperti ini, insya Allah kita akan berproses dari no 3 ke no 1, yaitu menjalankan (isbatul yaqin) dengan pemahaman (ilmul yaqin) sampai terbukti (ainul yaqin) bahkan sampai tercapai kepastian kebenarannya (haqqul yaqin).

Nasehat yang disampaikan dari Nabi (saw) hingga ke para Wali, selalu berdasarkan kepada kenyataan atau hakekatnya dan harus diteliti sampai kenal (ma’rifat). Karenanya nasehat beliau-beliau disebut ilmu Hakekat-Makrifat.

Hakekat-Makrifat adalah suatu proses perjalanan diri hingga akhir hayat. Tentunya terdiri dari beberapa langkah penyempurnaan.

Ingat bahwa yang mengajarkan kita apa-apa yang tidak kita ketahui adalah Rabb Al Karim, sebagaimana Nabi (saw) menerima ayat Qur’an pertama kali, yaitu QS Al ‘Alaq 96 ayat 1-5: Bacalah dengan Nama Tuhan-mu Yang Menciptakan, DIA telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhan-mu lah Yang Maha Mulia (Rabb Al Karim), Yang Mengajar dengan perantaraan qalam, DIA mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Jadi Mursyidnya adalah Rabb Al Karim, bukan mursyid yang berupa makhluk. Sedangkan manusia tugasnya hanyalah memberi info dan mengingatkan.

Dengan demikian kita perlu menetapkan diri bahwa pendidik kita adalah Allah, sebagaimana disebutkan dalam QS Fushshilaat 41 ayat 30: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabbunallah!” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan ALLAH kepadamu.”

Sikap Diri

Agama atau Ad-Diyn itu adalah sikap diri. Beragama sempurna berarti bersikap sempurna, yaitu memiliki tujuan yang jelas, yaitu Sang Penggelar alam semesta ini; memiliki cara yang tepat, yaitu berserah diri kepada Sang Penggelar alam semesta ini; memiliki ukuran keberhasilan yang tegas, yaitu sebagaimana maunya Sang Penggelar alam semesta ini dan; melaksanakannya pada waktunya, yaitu hanya DIA Sang Penggelar alam semesta ini yang mengetahui waktu tepatnya.

Yang bersikap tentunya ya diri kita ini. Namun pada kenyataannya, kita sering kehilangan siapa diri kita ini. Kita secara tidak sadar telah terseret oleh alat-alat diri, sehingga kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu sadarkan bahwa kita berada di saat ini di sini. Tujuannya agar kita bisa menempatkan diri kita tanpa terseret oleh kebiasaan (memori) dan angan-angan atau harapan (mimpi akan masa depan) atau dorongan dari wujud-wujud di sekitar kita.

Pada sikap ini, akan didapat ketenangan dan akan nampak, siapa saya, pikiran saya, perasaan saya dan ada yang memperhatikan. Sehingga akan bisa membuktikan suatu teori: Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Juga melaksanakan perintah QS Adz Dzariyat 51 ayat 21: Dan pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?

Pengetahuan I: Adanya Dzat

Serat Wirid Hidayat Jati membeberkan bisikan Nabi (saw) kepada Ali (kw): Sebenarnya semua yang ada ini bermula dari tidak ada. Semenjak dahulu masih dalam keadaan kosong, segala sesuatu ini belum ada. Pertama-tama yang ada tak lain hanya AKU. Tidak ada Pangeran, yang ada AKU sendiri. Sesungguhnya AKU adalah Dzat Yang Maha Mulia, Meliputi Sifat-KU, Menyertai Asma-KU, Menandai Af’al-KU.

Siapakah AKU yang dimaksud? Bukankah yang dimaksud adalah KUASA itu sendiri? Disebut KUASA berarti harus ada yang dikuasai, yaitu AKU-NYA. KUASA pasti tunggal tidak ada duanya, sempurna dan tidak mungkin dikuasai. Berarti dari dulu, sekarang mau pun nanti, ini semua tetap kekal abadi seperti ini. 

Tahun 2007 saat melakukan ibadah haji ke Mekah, tepatnya suatu malam sebelum melakukan Thawaf Wada’ atau Thawaf Perpisahan karena akan pulang, ada ilham berupa doa, yaitu Ya ALLAH, temuilah hamba-MU di Rumah ENGKAU. Dan besoknya ketika Thawaf, istri mengajak untuk memegang Ka’bah. Selepas istri mengucap demikian, mendadak mereka yang sedang Thawaf menyingkir, sehingga mudah untuk mendekat dan memegang Ka’bah, hingga berdoa di Multazam dan masuk Hijr Ismail.

Dalam Hijr Ismail yang penuh, banyak yang sholat sembari berdiri dan memohon bahwa para hamba berada di Rumah-NYA dan mohon untuk ditemui. Tidak ada apa-apa, semuanya biasa saja, namun ada suatu jawaban berupa pemahaman: AKU di sini saat ini. Saat itu juga menjadi saksi akan keberadaan Sang Sejati, Yang Tetap Abadi dalam Kesucian dan Kemuliaan, Yang Meliputi segala sesuatu. Mengakui bahwa DIA ada. DIA Zhahir, DIA Bathin.

Ini semua adalah fadhlillah dan rahmat-NYA. Apalah artinya manusia yang bergelimang salah dan khilaf, yang lemah dalam ibadah bisa mendapatkan anugerah seperti ini. Artinya kita semua bisa mendapatkan ini semua. Berharaplah dengan sepenuh keyakinan kepada-NYA!

Pengalaman tersebut sepertinya membenarkan informasi adanya firman Allah, yaitu: Kuntu Kanzan makhfiyyan ahbabtu an ‘urifa fa khalaqtul khalqa fabi ‘arafu-ni[1] (AKU adalah Perbendaharaan Tersembunyi, AKU cinta dikenal, AKU ciptakan makhluk-KU, agar mengenal AKU).”  Dalam riwayat yang lain disebutkan “dengan ALLAH lah mereka mengenal AKU”. Dari informasi ini difahami bahwa Sang Pencipta alam semesta ini bernama ALLAH. PerbuatanNYA (Af’al) adalah menciptakan makhluk karena cinta. SifatNYA adalah ingin dikenal tetapi tersembunyi. DzatNYA adalah Perbendaharaan Tersembunyi yang menyebut DiriNYA dengan AKU.

Jadi sudah merupakan fitrah dari Sang Dzat untuk dikenal oleh makhluk-NYA. Dan sudah menjadi fitrah pula bagi makhluk untuk mengenal-NYA. Oleh karena itu paling tidak marilah selalu berusaha mengingat-NYA. Ingatlah kepada Sang Dzat Yang Suci, Mulia, Kekal Abadi tadi dalam dirimu, sebagaimana dinyatakan dalam QS Al A’raaf 7 ayat 205: Dan ingatlah Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.

NAMUN INGAT, DIA KUASA DAN TIDAK MUNGKIN DIKUASAI!!!


[1] Whatever the case, the contents of this text are interesting enough to grant it a second look. That is mainly because the hadīth commented upon has a long tradition in Sufi literature and can in fact be considered as one of the best known and most widely celebrated apocryphal traditions of mysticism. Its earliest known occurrence seems to be in ‘Abdallāh Anshārī’s (d. 1089) Tabaqāt al-Sūfiyya. However, from the eleventh century onwards references to it multiply and there seem to be very few mystical works that do not quote it. Jalāl al-Dīn Rūmī (d. 1273), for example, alludes to it in his Mathnawī, even to an extent that Nicholson considered ‘certain motifs, such as that of the “hidden treasure”’ to be ‘overworked.’ In his commentary on the Mathnawī Furūzānfar quotes the following from the Lu’lu’ al-marshū. Ibn Taymiyya said, this [hadīth] was not uttered by the prophet (pbuh), and no isnād for it, either solid or weak, is known. He was followed [in this] by al-Zarkashī and Ibn Hajar. But its content is correct (wa-lākin ma’nāhu sahīh) and clear and it circulates among the Sūfīs (Armin Eschraghi).

Sabtu, 17 September 2016

Jagad Pitu


Jakarta, 15 Sep 2016
Suatu hari kami berkunjung ke mertua kami, yaitu Bp Mas Supranoto di Manggisan Banyuwangi untuk menanyakan perihal Sangkan Paran. Kami menyampaikan kepada beliau, “Pak, ini teman-teman ingin mengetahui perihal Sangkan Paran.”
Beliau menjawab, “Belum waktunya kalian semua mengetahui perihal itu. Namun akan saya terangkan perihal “Jagad Pitu”, agar kalian mengerti hakekat kalian tercipta sebagai manusia.”
Beliau pun mengajak ke ruangan yang lebih besar dan ada papan tulisnya untuk menjelaskan perihal Jagad Pitu. Berikut penjelasannya (penjelasan tersebut kami beberkan menggunakan bahasa kami):
Proses kejadian alam diawali dari adanya bumi yang dulunya merupakan materi yang sangat padat dan sangat panas, contohnya adalah magma yang ada dalam bumi atau matahari. Berarti materi yang pertama kali ada adalah materi yang memiliki sifat panas. Agar memudahkan mengingat, disebut sebagai alam A1.
Mengingat kenyataan bahwa alam semesta mengalami ekspansi, maka terjadi proses pendinginan. Sebagai akibatnya pada materi bumi yang saat itu masih sangat panas, perlahan terbentuklah atmosfer atau udara. Udara ini memiliki sifat memenuhi segala tempat, disebut alam A2.
Proses ekspansi terus berlangsung, maka terjadilah pengembunan dan terbentuklah air. Air memiliki sifat selalu mengalir ke bawah, disebut alam A3.
Akhirnya terbentuklah daratan yang memiliki kecenderungan diam, disebut alam A4.
Dengan adanya keempat materi tersebut, maka terciptalah tumbuhan. Tumbuhan tercipta dari reaksi fotosintesis, yaitu udara (CO2) dengan air (H2O) didorong adanya panas (UV) membentuk senyawa karbohidrat (C-H-O). Tumbuhan memiliki sifat merasakan keberadaan dirinya, begitu pula jasmani manusia, disebut alam A5.
Dengan adanya tumbuhan dan tempat hidup beserta sarananya, maka terciptalah hewan. Hewan memiliki sifat bisa bergerak bebas yang berbeda dengan tumbuhan, yaitu didorong oleh kemauannya. Kemauan yang terdiri atas ambisi dan emosi. Alam hewan ini disebut alam A6.
Setelah semuanya terwujud, maka terciptalah manusia. Ciri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan akalnya yang bisa mengembangkan peradaban, disebut alam A7. Inilah alam materi yang tertinggi.
Semua materi alam tersebut memiliki awal. Disebut dengan alam A.
Karena tercipta, maka ada Yang Kuasa Menciptakan. Disebut dengan simbol.



Kalau kita simpulkan sebagai berikut:
      
Pada alam A terdapat A &
Pada alam A1 terdapat A1, A &
Pada alam A2 terdapat A2, A1, A &
Pada alam A3 terdapat A3, A2, A1, A &
Pada alam A4 terdapat A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A5 terdapat A5, A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A6 terdapat A6, A5, A4, A3, A2, A1, A &
Pada alam A7 terdapat A7, A6, A5, A4, A3, A2, A1, A &
Berarti  ada dimana-mana atau dikatakan meliputi segala sesuatu.
Inilah yang dimaksud dengan Jagad Pitu atau Alam Tujuh.

pada alam manusia A7 juga kita jumpai elemen-elemen sebagai berikut:
Awal disebut a
Panas disebut a1
Udara disebut a2
Air disebut a3
Padat disebut a4
Perasaan disebut a5
Kemauan disebut a6
Pikiran disebut a7

Komponen a, a1, a2, a3 dan a4 inilah yang membentuk jasmani manusia. Dalam kajian ilmu Tasawuf yang tersebut dalam kitab Serat Wirid Hidayat Jati maupun Jati Murti perasaan berpusat pada kemaluan dan disebut dengan Baitul Muqaddas. Sedangkan kemauan berpusat pada diri manusia atau dinyatakan dalam dada manusia yang disebut dengan Baitul Haram. Sedangkan pikiran berpusat di otak manusia yang disebut dengan Baitul Makmur.



Sedangkan pada pikiran terdapat elemen-elemen sebagai berikut:
Awal disebut a’
Panas disebut a1’
Udara disebut a2’
Air disebut a3’
Padat disebut a4’
Memori disebut a5’
Pengertian disebut a6’
Akal disebut a7’

Komponen a’, a1’, a2’, a3’ dan a4’ merupakan komponen pembentuk otak atau badan otak.

Melalui akal inilah manusia mengembangkan peradaban, baik berupa peradaban untuk kemudahan hidupnya, untuk keselamatan hidupnya, maupun untuk penyembahan. Dan kalau kita ringkas, peradaban berasal dari sesuatu yang diketahui dengan pasti atau ilmiah, disebut a8. Peradaban dari sesuatu yang masih dikira-kira, seperti teori atau filsafat, disebut a9. Dan peradaban yang berasal dari apa yang kita percayai, disebut a10.

Apa perlunya kita mengetahui hal ini?

Dengan memahami Jagad Pitu ini, diharapkan manusia bisa mensikapinya, yaitu senantiasa berada pada fitrahnya sebagai manusia. Janganlah kita disebut manusia namun amal perbuatan kita hanyalah mengikuti perasaan (a5) seperti tumbuhan dan/atau mengikuti kemauan (a6) seperti hewan. Kalau ini yang terjadi, maka rusaklah alam semesta ini.
Berbeda dengan manusia yang memahami akan fitrah jati dirinya. Dia akan selalu berusaha menempatkan akal (a7) sebagai pemandunya. Karena akal (a7) ini lah posisi yang paling dekat dengan Tuhan dan yang paling bisa memahami kehendak Tuhan.
Dikisahkan dalam hadits qudsy pada kitab Durratun Nasihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir bahwa ketika Allah menciptakan akal (a7), Dia bertanya kepada akal (a7), “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal (a7) menjawab, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal (a7).
Berbeda ketika Dia menciptakan jiwa (a6). ketika jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siap engkau?”
Jiwa (a6) menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa (a6) pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa (a6) pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”
Ternyata dengan berlapar atau berpuasa lah jiwa (a6) bersedia tunduk kepada Allah.
Menurut Yesus (as) dalam Injil Barnabas sebagai berikut:
Berkata Yesus, “Adakah seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan (a5) tiada bekerja padanya?”
“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.
“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana perasaannya (a5)? Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, rasa (a5) dan daging. Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan (a5). Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”
“Demi Allah [yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan (a5). Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan (a5) adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berfikir (sadar) dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan tanpa perasaan (a5) dan kehendak (a6) sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana rasa perasaan (a5) meninggalkannya.
Thaddeus menjawab, “O Guru, apabila rasa perasaan (a5) meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab, “Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi rasa perasaan (a5) akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh jiwa. Justru rasa perasaan (a5) itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.
Rasa perasaan (a5) memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana rasa perasaan (a5) bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) di dalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti perasaan (a5) itu, memungkiri akal (a7) dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak menyenangkan dan tak beramal shalih.”
Jiwa inilah yang memiliki kemauan (a6) pada manusia, yaitu yang memiliki ambisi dan emosi.
Oleh karena itu bilamana jiwa selalu dalam panduan akal (a7), maka dia akan dimuliakan Allah. Dan tentunya tidak akan melakukan perusakan terhadap alam semesta seperti yang disinyalir oleh Malaikat dalam QS Al Baqarah 2 ayat 30:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi.”
Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu?”
Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Bisa jadi yang dimaksud Malaikat adalah Homo Erectus, yaitu manusia pendahulu sebelum Nabi Adam (as) dan ibu Hawa (ra) diturunkan ke bumi.

PR terbesar kita selanjutnya adalah bagaimana kita bisa menempatkan akal sebagai pemandu kita dalam menjalani kehidupan ini. Sedangkan pada kenyataannya kita sudah terbiasa beraktifitas karena dorongan kesenangan dan kemauan dan jarang mengikuti dorongan kewajiban?

Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus selalu menempatkan diri kita sebagai pelaksana kewajiban, yaitu kewajiban kepada Tuhan, kewajiban kepada negara, kewajiban kepada masyarakat, kewajiban kepada keluarga dan kewajiban kepada diri sendiri. Dan dengan menggunakan akal itulah kita bisa menempatkan diri agar kewajiban yang satu dan kewajiban yang lain tidak kita konflikkan.


Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...