Semakin kami mendalami agama (ad-diyn), keislaman kami meningkat, yaitu
kami mulai diperkenalkan dengan Allah. Bukankah Ma’rifat bermakna mengenal? Bagaimana
kita menyembah Allah sedangkan kita tidak mengenal-Nya. Ahli ma’rifatullah
berarti orang yang mengenal Allah. Orang yang mengenal berarti sudah pernah
bertemu, sudah mengetahui namanya, perbuatannya, sifatnya dan wujudnya. Barang
siapa mengenal Allah, pastilah dia suka bersyukur dan memuliakan-Nya.
Orang yang sudah kenal berarti bisa menarik kemanfaatan dari perkenalan
tersebut. Al Fuad sejatinya bisa dimaknai kemampuan sang jiwa dalam menarik
manfaat. Mereka yang sudah bisa menarik manfaat tentunya menjadi hamba yang
bersyukur.
Allah melalui Al Qur’an
telah memperkenalkan DiriNya, Dia lah Rabb semesta alam. Dia bernama Allah.
QS Ar Ra’d 13 ayat 16: Katakanlah, “Siapakah Rabb langit dan bumi?” Jawabnya, “Allah.”
Katakanlah, “Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain
Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan
bagi diri mereka sendiri?” Katakanlah, “Adakah sama orang buta dan yang dapat
melihat atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka
menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti
ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?”
Katakanlah, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa.”
QS Al A’raaf 7 ayat 54: Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan-Nya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta
alam.
QS Yunus 10 ayat 3: Sesungguhnya
Rabb kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada
seorangpun yang akan memberi syafa'at, kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat)
yang demikian itulah Allah, Rabb kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu
tidak mengambil pelajaran?
Semua kenikmatan yang ada untuk kita, semata-mata adalah perbuatan Allah.
Kita selama ini sering mengaku-aku, padahal kenyataannya bukan kita. Jadi kita
ini tercipta karena cinta Allah, sehingga sudah sepantasnya kita mencintai-Nya.
QS An Nahl 16 ayat 3-16: Dia menciptakan langit dan bumi dengan
hak. Maha Tinggi Allah daripada apa yang mereka persekutukan.
Dia telah menciptakan
manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.
Dan Dia telah menciptakan
binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh
pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan
ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu
ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan
kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri.
Sesungguhnya Rabb-mu
benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan (Dia telah menciptakan)
kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya)
perhiasan.
Dan Allah menciptakan apa
yang kamu tidak mengetahuinya.
Dan hak bagi Allah
(menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan
jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang
benar).
Dia-lah, Yang telah
menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya
(menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan
ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur
dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan Dia menundukkan malam
dan siang, matahari dan bulan untukmu.
Dan bintang-bintang itu
ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya), dan Dia (menundukkan pula) apa yang
Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran.
Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Dan Dia menancapkan
gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia
menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (Dia ciptakan) tanda-tanda
(penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.
Mengenal Allah melalui Sifat-SifatNya
QS Al Baqarah 2 ayat 163: Dan Ilahmu adalah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah melainkan Dia Yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
QS Al Baqarah 2 ayat 20: Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat
itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap
menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan
pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu.
QS Al Baqarah 2 ayat 29: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS Al Baqarah 2 ayat 255: Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup
kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak
tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi
syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan
mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu
Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi.
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.
QS Yasin 36 ayat 82: Sesungguhnya
keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia.
QS Asy Syuura 42 ayat 11: (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
QS Al Hadid 57 ayat 3: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Mengenal Dzat Allah
QS Thaha 20 ayat 14: Sesungguhnya
Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku
dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
QS Al A’raaf 7
ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)",
QS Al A’raaf 7
ayat 146: Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka
bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat
tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat
jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika
mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu
adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari
padanya.
QS Yasin 36 ayat 60: Bukankah
Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah
syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu",
QS Al Qashash 28 ayat 30: Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah)
pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari
sebatang pohon kayu, yaitu: "Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Rabb
semesta alam.
QS Al Baqarah 2 ayat 124: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia".
Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah
berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".
QS Al Baqarah 2 ayat 40: Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku
kepadamu; dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).
QS Al Baqarah 2 ayat 115: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui.
QS Ar Rahman 55 ayat 27: Dan tetap kekal Dzat Rabb-mu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Hamba
Allah yang telah diberi rahmat dan diberi ilmu (alim) pada
hakikatnya adalah yang menjadi
penjelas manusia (Ulama) menuju
kepada Aku, Sang Perbendaharaan Tersembunyi (Kuntu Kanzan Makhfiyyan). Dalam
pandangan masyarakat beliau disebut dengan panggilan Nabi Khidir (as) (Hadits
riwayat Muslim[1]).
Kisah pertemuan Nabi Musa (as) dengan
Nabi Khidir (as) menggambarkan perjalanan sang diri / an-nafs / jiwa / ‘aku’ manusia
yang bersinggasana dalam dadanya untuk hadir kembali kepada Allah, Sang
Perbendaharaan Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan). Beliau, Nabi Musa (as) telah
menyaksikan Ar-Ruh yang ditiupkan Allah ke dalam diri manusia yang diciptakan
dari tanah. Ar-Ruh yang ditiupkan berada dalam diri manusia akan bersifat lemah
(dhaif), karena harus mengikuti kemauan hawa nafsu manusia. Karena kelemahannya
ini, maka dalam pandangan masyarakat dikenal dengan istilah “Ar-Ruh Al-Idhafi”.
Secara rasional yang paling memahami
atau mengenal Allah adalah yang berasal dari Dia, yaitu Ar-Ruh yang ditiupkan
tersebut. Dikatakan dalam Al Qur’an,
Allah menyebutnya dengan sebutan Ruh-Ku, yang bermakna milik-Nya atau berasal
dari Dia. Dengan demikian Ar-Ruh ini yang bisa mengantarkan makhluk-Nya
kepada-Nya, sehingga Ar-Ruh inilah yang merupakan Mursyid sejati yang ada
dalam diri manusia. Dia
mampu memahami perintah-perintah Ilahi dan mengenal Allah, Sang Perbendaharaan
Tersembunyi adalah Ar-Ruh. Disebut dengan tambahan Al-Idhafi, karena sifat
kelemahannya yang berserah mengikuti kemauan hawa nafsu manusia.
Sedangkan keinginan manusia untuk
mengenal Allah (Ma’rifatullah) sebenarnya adalah fitrah manusia sebagai
makhluk, didasarkan atas hadits berikut, “Kuntu
Kanzan Makhfiyyan ahbabtu an ‘urifa fa khalaqtu khalqa li ‘urifa.” Namun
karena manusia yang diciptakan dari tanah memiliki dorongan memuaskan diri (an
nafs al ‘amarrah bis suu’), maka kebanyakan manusia terlena.
Perjalanan Nabi Musa (as) beserta pemuda
(Al Fata) hingga ke pertemuan dua buah lautan, menggambarkan perjalanan diri manusia hingga sampai ke
ujung perjalanan jasmani (barzakh) menuju ke perjalanan alam gaib.
Dua lautan itu adalah lautan makna yang berada di sebelah kanan melambangkan arah tujuan yang benar, yaitu menuju
kepada Kanzan Makhfiyyan dan lautan yang berada di sebelah kiri
sebagai perlambang arah
tujuan yang kurang sempurna, yaitu terjebak ke dalam keakuan diri karena
memiliki kelebihan-kelebihan ruhani. Barzakh yang pasti akan kita tempuh
melalui jalan kematian, namun bisa kita tempuh dengan jalan memahami hakikat
diri, hakikat kehidupan, hakikat Allah dengan cara beramal shalih dan berserah
diri kepada-Nya.
Hakikat diri difahami dengan
memperhatikan jasmani. Dalam jasmani terdapat dua keberadaan. Yang pertama
adalah keberadaan jasmani, seperti tubuh dengan anggota-anggotanya dan yang
kedua adalah keberadaan yang gaib dalam diri manusia. Keberadaan jasmani mudah
difahami, karena banyak yang sudah mengupasnya. Sedangkan keberadaan yang gaib
dalam diri manusia, bila kita memperhatikan dengan kesungguhan serta memohon
kefahaman Allah, maka akan dibukakan pemahaman adanya kemampuan (al-qudrat)
yang dimiliki manusia seperti kemampuan gerak, berfikir, merasakan,
membayangkan dan lain-lain. Di atas kemampuan tersebut, terdapat kehendak
(al-iradat). Kehendak ini yang memerintahkan sang qudrat untuk menggerakkan,
misalnya tangan. Dan di atas kehendak ini terdapat sang diri (an-nafs), yang
bilamana sudah mendapatkan pemahaman akan muncul kehendak.
Setelah mendapatkan pemahaman atas diri
ini dan bilamana kita beruntung, maka Allah akan menjelaskan lagi bahwa di
balik qalbu, terdapat “yang menyaksikan”, yang tahu kalau hati ini sedang
marah, galau dan lain-lain. Bahkan “yang menyaksikan” ini juga memberikan
masukan-masukan yang selalu mendorong untuk mengembalikan segala sesuatu kepada
Allah. Amatilah!
Pemuda (Al-Fata)
yang mendampingi Nabi Musa (as) adalah perlambang dari akal. Akal inilah
yang menjadi penerang jiwa yang
berada dalam kegelapan jasmani. Dengan demikian dibalik
keberadaaan pemuda itu,
tersembunyi hakikat dari Yang Maha Membuka (Al-Fattah) melalui penerangan akal. Sebab hijab ghaib
yang menyelubungi manusia dari kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa
izin dan kehendak Yang Maha Membuka (Al-Fattah).
Itulah sebabnya pada saat Nabi Musa (as) bertemu dengan Khidir (as), pemuda itu
tidak disebut-sebut lagi keberadaannya.
Adapun
bekal makanan berupa ikan adalah perlambang atas amal shalih yang dilakukan. Ikan itu kembali
kepada lautan, tempatnya berada, yakni
kembali kepada Yang diniatkan dengan amalan tersebut, yaitu Allah.
Namun bagi para pencari Kebenaran
Sejati, jangan suka menghitung-hitung pahala dari perbuatan baik, itu justru mempertebal gumpalan kabut
penutup hati. Itulah sebabnya sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan untuk menceriterakan kembalinya ikan itu
ke laut dengan cara aneh, yaitu bermakna ketulusan dalam beramal semata-mata
karena ingin bertemu Allah. Andaikata pada saat itu Nabi Musa (as)
memerintahkan si pemuda itu untuk mencari bekal makanan yang lain sebagai
pengganti bekal makanan yang jatuh ke laut atau bahkan menyuruh pemuda itu
mengambil kembali bekal makanannya di dalam lautan, niscaya Nabi Musa (as) dan
si pemuda itu akan tercebur masuk kembali ke
dalam lautan jisim atau alam dunia.
Pada hakikatnya mereka
akan kembali tersibukkan
kepada amalan-amalan dunia, hingga
lupa untuk menemui Perbendaharaan Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan).
Dan jika hal itu terjadi maka setan telah berhasil memperdaya Nabi Musa (as).
Ternyata dengan rahmat Allah,
Nabi Musa (as) tidak memperdulikan mengenai bekal yang telah tercebur itu,
beliau justru mengatakan bahwa tempat dimana ikan itu terjatuh ke dalam laut
adalah tempat yang dicarinya. Ini
bermakna bahwa Nabi Musa (as) khusyu’ / fokus kepada tujuan beliau,
sehingga tersingkaplah gumpalan kabut hijab dari kesadaran Nabi Musa (as) dan
saat itulah Cahaya Ilmu berkilauan dan Nabi Musa (as) dapat melihat Khidir
(as), hamba yang dilimpahi kasih (rahmat) dan sayang (rahim) yang istimewa yang
memancar dari tajalli asma, af’al
serta sifat Ar Rahman dan Ar Rahiim beserta ilmu Ilahi (Ilmu Ladunni) yang
hakikatnya merupakan tajalli atau manifestasi dari Allah (Al Alim).
Bagi kita, maka kesadaran diri kita akan
mendapatkan pencerahan dari Cahaya Ilahi, sehingga mampu memahami dan mengakui
keberadaan dari “yang menyaksikan”. Dengan Cahaya Ilahi inilah kita memulai
perjalanan di alam gaib (Alam Jabarut) mengikuti tuntunan dari “yang menyaksikan” dengan
fokus tujuan kembali kepada Kanzan Makhfiyyan (Allah).
Kisah perjalanan
menemui Allah tertulis dalam Al Qur’an mengisahkan perjalanan Nabi Musa (as)
bertemu dengan Nabi Khidir (as). Kisah ini bermula dari kecaman Allah terhadap pernyataan Nabi Musa (as)
karena mengaku sebagai orang paling berilmu.
Awal mula Nabi Musa (as) memulai
perjalanan ini dimulai dari kecaman Allah kepada Nabi Musa (as) tatkala ditanya
oleh umatnya, “Siapakah orang yang paling alim (berilmu)?”
Nabi Musa (as) menjawab, “Aku orang yang
paling alim (berilmu).”
Jawaban Nabi Musa (as) ini dikecam
Allah, karena beliau tidak mengembalikan ilmu itu kepada Allah dengan
menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya ada seorang di antara
hamba-hamba-Ku yang berada di muara (pertemuan) dua laut, dia lebih alim
daripada kamu.”
Musa berkata, “Wahai Rabb-ku,
bagaimana caranya agar aku dapat bertemu dengannya?”
Dikatakan kepadanya, “Pergilah membawa
ikan laut di dalam wadah jerami! Ketika ikan itu menghilang darimu, di situlah
hamba-Ku berada.”
Berikut kisah perjalanan Nabi Musa
(as) seperti difirmankan dalam QS Al Kahfi 18 ayat 60-82:
Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya (lifatahu): “Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku
akan berjalan sampai bertahun-tahun.”
Muridnya (lifatahu) bermakna kunci
yang dipergunakan untuk membuka pintu memulai perjalanan ke tujuan, yaitu
Allah. Kunci tersebut dalam sholat digambarkan dalam doa Iftitah, yaitu sikap
untuk selalu menghadap ke Allah, menjalankan segala sesuatu untuk Allah dan
tidak menyekutukan-Nya. Seolah Nabi Musa (as) berbicara dengan dirinya sendiri
untuk menguatkan tekad perjuangannya bertemu Allah.
Maka
tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan
ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
Pertemuan dua buah laut menggambarkan
adanya dua alam, yaitu alam dunia dan alam Jabarut. Alam Jabarut menggambarkan
kehidupan jiwa manusia yang berada di alam gaib.
Maka
tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah
kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan
kita ini.”
Muridnya
menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang)
ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali
setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.”
Musa
berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula.
Bekal yang diperlukan dalam
perjalanan ke Allah pada awalnya hanyalah ilmu dan amal shalih. Namun ketika
kita sudah membuka pintu gapura dan mulai melangkah ke jalan lurus, kita tidak
memerlukan bekal ilmu dan amal. Tetapi cukup dengan yaqin dan berserah diri
kepada Allah.
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami.
Di alam gaib tersebut, Nabi Musa (as)
bertemu dengan hamba yang telah diajari ilmu dari sisi Allah. Inilah yang
dimaksud dengan min ruhi, yaitu yang mengenal Allah. Karena yang bisa menuntun
kita ke Allah adalah Allah sendiri dan hamba-hamba-Nya yang telah mengenal-Nya.
Musa
berkata kepada dia: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"
Dia
menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku.
Dan
bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang hal itu?"
Musa
berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."
Dia
berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."
Dalam perjalanan ini, kita tidak
diperbolehkan bertanya, namun akan muncul sendiri kefahaman. Bukankah hanya
Allah yang bisa memberikan kefahaman? Akal pikiran kita ketika dipergunakan
untuk melakukan pengamatan dalam proses perjalanan ini akan dibuat kebingungan.
Maka
berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu dia
melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.”
Dia
berkata: "Bukankah aku telah berkata, sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sabar bersama dengan aku."
Musa
berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."
Perahu adalah lambang sarana untuk
mencari bekal kehidupan yang berada di antara dua alam, yaitu lautan itu
sendiri dan udara. Perahu ini harus ditenggelamkan untuk memastikan bahwa jiwa
manusia yang masih terikat kepada alam dunia betul-betul habis. Ibaratnya
sedang menjalani laku mati di dalam hidup, yaitu tidak tergantung kepada
jasmani lagi, tetapi jiwa yang hidup. Ibarat mutiara yang indah adalah tujuan,
maka mutiara itu terletak di dasar lautan. Sehingga penenggelaman perahu
diperlukan.
Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka dia membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar."
Dia
berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak
akan dapat sabar bersamaku?"
Musa
berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini,
maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan uzur padaku."
Anak kecil kecenderungannya adalah
mencari menang sendiri, semaunya sendiri. Ini melambangkan jiwa yang kerdil.
Nabi Ibrahim (as) diperintahkan menyembelih Nabi Ismail (as) dan ternyata
mereka berdua bersedia memfanakan jiwanya. Jiwa ini diserahkan kepada
pemilik-Nya yang sejati. Ibarat orang jatuh cinta, dirinya diserahkan kepada
yang dicintainya.
Maka
keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri,
mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh, maka dia menegakkan dinding itu. Musa berkata:
"Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Dia
berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; nanti akan
kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.
Di bawah dinding itu atau dibalik
dinding itu lah tersembunyi Perbendaharaan yang dicari, yaitu Allah. Dinding
rumah menggambarkan bentuk rumah untuk menampakkan kualitas rumah tersebut.
Dengan demikian dinding yang rusak itu menggambarkan bahwa sudah jarang
didatangi, artinya banyak manusia yang lalai. Sebagai akibatnya dinding
tersebut rusak, sehingga Perbendaharaan tersebut mulai terbongkar. Artinya Yang
Tersembunyi mulai muncul untuk dikenal. Sedangkan menegakkan dinding artinya
menghampiri Allah. Dinding itu melambangkan Keagungan dan Kemuliaan Allah, melambangkan
Yang Tersembunyi dan Yang Ingin Dikenal.
Adapun
bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut dan aku
bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja
yang merampas tiap-tiap bahtera.
Orang-orang yang sibuk mengejar
pahala disebut orang miskin. Dan mereka akan tertawan oleh Sang Penguasa,
sehingga tidak bisa menemukan Perbendaharaan Tersembunyi. Inilah kaum kanan.
Dan adapun
(orang tua) anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran.
Dan kami
menghendaki, supaya Sang Rabb mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya
itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu dan di bawahnya
ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang
saleh, maka Rabb-mu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Rabb-mu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Demikian pula dengan Nabi Muhammad (saw),
dalam perjalanan menuju kepada
Kebenaran Sejati adalah dengan menyerahkan dirinya kepada sang ruhani yang
berasal dari diri Sang Rasul yang merupakan
pengejawantahan dari Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).
Maka kita pun dipanggil dengan penuh
kelembutan, “Yaa ayyatuha an-nafs
al-muthmainah irji’i ila Rabbiki radhiyyatan mardhiyyah fad khulliy fiy ‘ibadiy
wad khulliy jannaty.” Yang maknanya,
“Wahai diri yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan ridha dan
diridhaiNya. Masukklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam
Surga-Ku.”
Makna dari dinding yang
dibangun Nabi Khidir (as) adalah agar ketersembunyian Sang Kanzan Makhfiyyan
tetap terjaga. Dinding ini ditegakkan agar Dia
tetap tersembunyi dan hanya bisa dikenal oleh mereka-mereka yang berjuang untuk
menemui-Nya, yaitu manusia-manusia ruhani. Mereka-mereka yang selalu berjuang
untuk hadir ke hadirat Allah adalah mereka-mereka yang selalu menegakkan
dinding penutup Kanzan Makhfiyyan. Mengingat dinding tersebut akan runtuh
bilamana tidak ada manusia yang berjuang hadir ke hadirat-Nya. Nabi Muhammad
(saw) adalah hamba terbaik yang mampu menemui Dia Yang Tersembunyi.
Sang Perbendaharaan
Tersembunyi inilah yang sering disebut
sebagai Sang Pribadi atau Ingsun atau Aku. Sebagaimana firman-Nya dalam Hadits
Qudsi di depan yang nampaknya
kelengkapannya sebagai berikut, “Aku adalah Khazanah Yang Tersembunyi, Aku cinta
untuk dikenal, maka
Aku ciptakan makhluk-Ku. Dan dengan Allah lah Aku dikenal.”
Dengan adanya hadits ini, maka dinding
itu bisa difahami sebagai simbol dari dua sifat dari Perbendaharaan Tersembunyi
itu sendiri, yaitu Kanzan Makhfiyyan dan Kanzan Ahbabtu. Dari sifat Yang cinta
dikenal inilah, tercipta karya-Nya, di antaranya adalah alam semesta ini
beserta isi dan peradabannya. Oleh karena itu, dengan mengembalikan sifat
keakuan diri yang ingin dikenal kepada PemilikNya, maka yang muncul adalah sang
ruhani yang tersembunyi. Sang ruhani yang berhak mengantar kepada
Perbendaharaan Tersembunyi.
Jadi manusia memasuki pemahaman baru, yakni pemahaman
bahwa dirinya hidup dari Yang Meliputi-nya dan selalu bersama-Nya.
Pemahaman ini pastilah berbeda dengan
mereka yang masih berada di atas perahu, mereka masih membedakan dirinya dengan
alam yang meliputinya. Ini akan membawa kepada pemahaman bahwa keberadaan semua
wujud adalah berupa kuasa (qudrat) dari Sang Pencipta. Sang Pencipta yang
berkehendak (iradat) menciptakan kehidupan bagi ciptaan-Nya. Sang Pencipta Yang
berkehendak dengan ‘Aku’Nya, Yang ingin dikenal. Sedangkan pengenalan kita kepada-Nya, pastilah harus melalui
kefanaan, karena keberadaan yang mengenal dan Yang Dikenal menunjukkan
kegandaan, yang berarti melanggar fitrah KeMaha-Esaan.
Pantaskah jari mengaku sebagai “aku”?
Pantaskah tangan mengaku sebagai “aku”?
Pantaskah tubuh mengaku sebagai “aku”?
Ketika mereka memahami bahwa ada yang lebih berhak.
Proses memperoleh kemuliaan Allah adalah
perjuangan terberat dalam kehidupan manusia. Tak banyak yang mampu menembus
perjuangan seperti Rasulullah (saw). Karena sedemikian banyak dan besarnya
hambatan (pujian) yang harus diatasi. Pujian-pujian dalam menempuh perjuangan
menemui Rabb semesta alam, juga digambarkan dengan apa yang ada di bumi,
semisal lembah kenikmatan, jurang ketakutan, gurun kebosanan, gunung riya’,
rimba sum’ah, lautan ujub dan kota keakuan. Kunci keberhasilannya adalah fokus
dalam perjuangan untuk mencapai tujuan dengan berserah diri kepada-Nya.
Dalam perjuangan ini, kita akan memasuki
lembah kenikmatan, yang akan membuat kita menjadi lalai. Kita terjebak di dalamnya
hingga kenikmatan tersebut dicabut dan digantikan dengan permasalahan. Dengan
permasalahan ini kita menjadi sadar dan
kembali kepada tujuan semula. Jadi tujuan Allah mengambil kenikmatan kita
adalah untuk membantu kita kembali ke jalur yang benar.
Kita bisa terhenti, karena kita tidak
berani memasuki jurang ketakutan. Dalam situasi seperti ini, Allah akan memaksa
kita melintasi jurang ketakutan ini, karena tidak ada lagi pilihan yang lebih
baik. Diibaratkan seperti orang sakit yang dipaksa minum obat yang pahit.
Kemudian kita juga akan terhenti pada
gurun kebosanan. Di posisi ini, kita seolah-olah mengalami stagnasi. Lagi-lagi
pertolongan Allah akan turun, yaitu dengan dipaksanya kita melintasi gurun
kebosanan ini, karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Diibaratkan
seperti orang yang bosan melakukan pekerjaan rutin, namun tidak bisa bebuat
apa-apa, karena memang harus dikerjakan.
Kita yang merasa punya fitrah menarik,
akan menjadi bangga dengan dirinya sehingga timbul dorongan untuk memamerkannya
kepada khalayak. Kita menjadi narsis. Agar bisa kembali kepada tujuan semula,
Allah akan memaksanya dengan menghinakan kita.
Demikian pula yang terhenti karena
merasa memiliki kemampuan lebih. Anugerah berupa kemampuan lebih akan mendorong
kita menjadi suka memamerkan kemampuan diri. Kita akan sibuk mencari
popularitas dengan kemampuan diri kita berupa karya-karya yang bisa jadi
spektakuler. Seperti semula, kepopuleran pasti ada masanya hilang dari diri
kita. Demikian inilah cara Allah mengembalikan kita kepada tujuan.
Bisa jadi kita menjadi takabur, yakni
sikap meremehkan yang lainnya dan / atau menolak kebenaran. Bagaimana kita bisa
melepaskan diri dari jeratan pujian ini? Bersikaplah rendah hati, karena
semuanya ini adalah dari Dia.
Kita juga suka mengaku-aku bahwa kalau
bukan karena kita lah, maka semuanya tidak akan beres. Aku lah yang membuat ini
dan itu. Jiwa keakuan diri yang cenderung bersikap kekanak-kanakan ini haruslah
dibunuh menurut Nabi Khidir (as). Sedangkan dalam kisah perjalanan Nabi Ibrahim
(as) jiwa kekanak-kanakan harus disembelih meski kemudian diganti domba oleh
Allah. Sedangkan Nabi Muhammad (saw) melakukan pendekatan yang berbeda, yakni
diserahkan kembali kepada Allah. Beliau bertawakkal kepada Allah.
Islam inilah yang tertinggi. Sebagai
contoh, ketika kita mendapatkan masalah, maka kita memohon kepada-Nya agar
masalah tersebut dihilangkan. Sedangkan Nabi Muhammad (saw) menyatakan, “Hasbiyallah Laa Ilaha illa Huwa, ‘alaihi
tawakaltu, wa Huwa Rabbul arsyil ‘azim.” Ini bermakna Nabi Muhammad (saw)
yaqin dan berprasangka baik kepada Allah.
Yang mampu mendorong kita konsisten
dalam perjuangan dan istiqamah dalam menghadapi pujian-pujian tersebut adalah
rasa cinta kepada Allah. Cinta Ilahi yang menguat kalau kita bersedia
menghilangkan cinta kepada yang lain, terutama cinta kepada diri sendiri.
Karena dalam proses percintaan akan ada rindu yang mendorong untuk bertemu.
Dalam pertemuan akan muncul dorongan untuk menyatu. Dalam penyatuan, kita fana,
karena yang ada adalah Yang Dicintai. Cinta yang diawali dengan rasa syukur
atas nikmat-Nya dan disempurnakan dengan pemahaman bahwa kenikmatan tertinggi
adalah kembali kepada-Nya.
Hal ini berlawanan dengan sikap cinta
dunia. Kecintaan kita kepada dunia adalah awal dari segala kejahatan. Karena
ruhani yang memiliki kekuasaan tak terbatas terikat dan terseret oleh dorongan
hawa dunia, hawa nafsu manusia. Hawa nafsu tanpa petunjuk dan rahmat Allah.
Perbendaharaan Tersembunyi yang
ditegakkan dindingnya sudah dijelaskan dalam hadits qudsy di atas, yakni Allah.
Kedua anak yatim yang dimaksud adalah Yang Tersembunyi dan Yang Cinta Dikenal.
Dua sifat yang berlawanan, janganlah dipertentangkan. Oleh karena itu, agar
dindingnya tidak runtuh, maka kita harus mengenal Allah di tempat
persembunyian-Nya. Karena hakekat kehadiran-Nya yang bisa dikenal dengan
indrawi berarti keruntuhan dinding-Nya, yakni kiamat.
Hal
ini sudah dibuktikan dengan hancurnya bukit Tsursina ketika Nabi Musa (as)
memohon kehadiran Allah secara kasat mata. Karena makhluk yang diharapkan
berjuang mengenal-Nya, ternyata sibuk mencari penghidupan dan amal shalih serta
mengaku-aku sehingga terlupa, maka secara fitrah Sang Dzat menghadirkan Dirinya
agar dikenal. Semakin makhluk-Nya tidak memperhatikan, semakin Dia akan hadir
hingga alam semesta ini tidak mampu lagi menanggung kehadiran-Nya. Lihat
peristiwa bencana alam besar, sebelumnya pasti ada tanda-tanda kehadiran-Nya
yang ingin dikenal, seperti tanaman, kobaran api, jatuhan meteor yang membentuk
asma-Nya. Oleh karena itu, marilah kita menemui-Nya di Persembunyian-Nya dengan
meninggalkan kecintaan kita kepada dunia dan menyembah-Nya.
Bukankah ini semua adalah bukti
kecintaan Ilahi kepada makhluk-Nya? Kenapa kita tidak memulai dengan
mencintai-Nya pula?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar