Sabtu, 07 September 2019

Suwung


Ketika menulis di grup perihal suwung, beberapa orang berkomentar bahwa suwung adalah ilusi. Yang lain menyebut suwung sebagai keadaan ketidak-sadaran. Inilah repotnya menghadapi orang-orang yang sudah terkontaminasi pikirannya dengan pendapat orang lain, yaitu terjebak kepada persepsi sang pemberi informasi. Masih mendingan kalau kita mendengar langsung penjelasan dari nara sumber dibanding dengan sekedar membaca tulisannya.
Saya jadi teringat kisah teman dari USA bernama Bruno Pizzato seorang sales teknologi petrokimia yang dengan menjual teknologi telah berhasil membangun industry petrokimia di Jepang dan Korea, namun kurang berhasil di Indonesia. Dia cerita saat pertama kali kuliah di Universitas Chicago, professornya membawa cairan berwarna kekuning-kuningan yang dia klaim sebagai air kencingnya. Beliau menyiapkan air kencing tersebut untuk menyambut mahasiswa barunya. Dia meminta seluruh mahasiswa untuk mengikuti apa yang dia lakukan, yaitu dia menyelupkan jarinya dan kemudian menjilat jarinya. Lalu dia datangi setiap mahasiswanya dengan gelas tersebut. Setelah semuanya didatangi, beliau bercerita betapa kecewanya kepada para mahasiswa barunya, yaitu mereka tidak mampu melakukan pengamatan secara teliti. Beliau mengatakan bahwa dia menyelupkan jari telunjuk dan menjilat jari tengahnya. Kemudian beliau memberikan nasehat bahwa untuk mencapai kesuksesan, kuncinya adalah teliti dan akurat dalam pengamatan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad (s.a.w.) nabi akhir zaman, saat pertama kali menerima Wahyu, beliau diminta “iqra’” yang artinya membaca. Apanya yang dibaca, bukunya saja tidak ada. Berarti yang dibaca adalah alam semesta, Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Berarti membaca yang dimaksud adalah melakukan pengamatan alam dengan teliti dan akurat.
Dengan menjalankan nasehat untuk melakukan pengamatan dengan teliti, kita tidak perlu berprasangka aneh-aneh, gunakan pengamatan yang jujur. Data disebut valid kalau apa adanya dan tidak ditambahi atau dikurangi, dengan kata lain jangan berbohong.
Demikian pula dalam memahami makna suwung, bukankah suwung artinya kosong? Namun untuk apa ada istilah Jawa suwung atau kata lain seperti longan? Bukankah itu semua untuk menandai adanya yang gaib melalui keberadaan yang kasat mata? Suwung adalah simbol atas keberadaan sesuatu yang tidak kasat indra yang ditandai dengan adanya rumah yang bisa diindrai. Longan adalah keberadaan sesuatu yang ditandai dengan tempat tidur. Simple saja, just like that.
Namun kalau didalami, kita bisa menyebut suwung kalau ada rumahnya. Kalau tak ada rumahnya, kita tidak bisa menyebut suwung. Berarti keberadaan rumah itu menandai adanya yang suwung atau tidak kelihatan. Demikian pula dengan keberadaan alam, yaitu untuk menandai keberadaan Yang Gaib.
Yang manakah Yang Gaib itu? Ya ini. Yang sempurna tidak berubah, tunggal tiada duanya. Sudahkah kita mampu mengidentifikasi dengan pengertian bahwa adanya Yang Gaib, walau kita tidak bisa mengetahui-Nya?
Semakin dalam kita meneliti, barangkali akan timbul pertanyaan bagaimanakah proses perwujudan?
Memang pada kenyataannya ada tahapan proses kejadian hingga wujud materi terhampar di hadapan kita. Yaitu sebelum adanya meja, yang ada adalah ide tentang meja. Ide tersebut kemudian dituangkan dalam ilmu tentang meja sampai muncul gambar tentang meja. Selanjutnya meja dibuat.
Bukankah ide dan ilmu bagian dari suwung tersebut? Siapakah yang memberi ide yang kemudian kita tangkap dengan pikiran kita? Bolehkah saya menyebutnya dengan Yang Kuasa, karena kuasa memberi ide?
Demikian pula dengan diri kita. Adanya raga kita bukankah menandai adanya yang suwung dalam diri kita dan kita menyebutnya sebagai jiwa atau nafs? Apa yang bisa dilakukan dengan jiwa kita? Tidak ada. Namun dengan adanya kuasa yang diturunkan kepada kita, maka kita menjadi berkuasa. Paling tidak kepada diri kita sendiri.
Selain pengamatan, pada saat kita menarik kesimpulan upayakan mencapai kepastian, bukan sekedar dugaan. Kecuali kalau kita belum mampu mencapainya, namun janganlah terhenti di situ. Dugaan tetap harus diupayakan untuk dipastikan, melalui pengujian dengan fakta-fakta yang lain.
Semoga penjelasan ini membawa kepada pengertian bahkan kesadaran bahwa kita tidak bisa apa-apa. Semua adalah karena turunnya kewenangan yang dianugerahkan kepada kita. Jadi janganlah memerintah Yang Kuasa untuk memenuhi apa yang kita maui. Tetapi kerjakan dengan sungguh-sungguh sabda-Nya yang kita terima melalui pikiran kita agar terwujud di dunia ini sebagai tanda akan keberadaan-Nya. Dan selanjutnya bisa kita nikmati keberadaan tersebut menggunakan perasaan kita.
Bilamana ini bisa dimengerti dan disadari lalu menjadi sikap kita, maka suwung juga bisa ditempatkan dalam hati kita, yaitu kita tidak memiliki kecintaan kepada apapun, kecuali kepada Yang Kuasa tersebut bahkan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, hatinya suwung akan barang-barang dunia. Bilamana ada orang yang bisa mencapai keadaan suwung ini, niscaya dia tidak ada rasa memiliki atas segala sesuatu. Yang ada semestinya adalah kesatuan antara dia dengan Yang Gaib. Kesatuan ini akan membuat suwung dalam dirinya, terasa dalam hatinya kosong, hampa, namun terasa penuh dengan kebahagiaan. Kepenuhan yang bukan karena memiliki isi alam.
Bagaimana mencapai maqam ini?
Telitilah wahyu Jagad Pitu yang sudah dijelaskan. Karena itu adalah sarana kita untuk mengerti dan sadar diri bahwa kita adalah manusia. Bahkan mengerti dan sadar bahwa kita adalah manusia yang berketuhanan. Dan kalau beruntung dianugerahi pemahaman, niscaya jalannya akan dimudahkan.
Bukankah melakukan sesuatu tanpa pengertian adalah orang ngawur atau jangan-jangan orang gila?
Jakarta, 31 Agustus 2019; 1 Muharram 1441

Senin, 04 Maret 2019

Membebaskan diri dari musibah

Kuasa adalah kemampuan melakukan. Jadi Kuasa harus mutlak, karena mutlak Kuasa harus tunggal tak ada duanya. Kuasa harus ada yang dikuasai, yaitu AkuNya. Dengan AkuNya inilah Kuasa berkarya.

Siapa yang diberi izin menggunakan kekuasaan-Nya pasti bahagia.

Namun Dia tersembunyi dan juga cinta dikenal. Jadi ada dua fitrah yang saling bertentangan. Bagaimana memahami hal ini? Dengan logika sederhana, maksudnya adalah agar hamba selalu berjuang dengan sungguh-sungguh untuk hadir kepada-Nya.

Bagaimana bisa hadir kepada-Nya? Padahal Dia tidak bertempat bahkan semua tempat menempati Dia. Bukankah Dia meliputi segala sesuatu?

Dengan adanya fitrah yang bertentangan inilah alam diciptakan, termasuk di dalamnya manusia. Manusia yang merupakan wakil (khalifah) Allah di bumi mestinya dianugerahi kekuasaan. Dengan kekuasaan yang diwenangkan, manusia mengambangkan peradaban. Semakin berkembang peradaban, kemampuan manusia semakin meningkat dan secara bersamaan peran Ilahi dinisbikan.
Peradaban didorong oleh keinginan mendapatkan kenikmatan. Berarti kenikmatan dan kekuasaan berbanding lurus, maksudnya barang siapa ingin mendapatkan kenikmatan, maka dia perlu kekuasaan. Dengan kata lain bersama Ilahi lah manusia memperoleh kenikmatan.
Dengan semakin majunya peradaban, peran Ilahi dinisbikan. Otomatis Kuasa telah ditarik oleh manusia ke alam dunia. Kenyataan yang terjadi adalah akan semakin banyak bencana alam.
Oleh karena itu ada dua peran manusia, yaitu sebagai utusan Yang Kuasa yang wajib selalu hadir melaporkan diri dan menjalankan peran sebagai khalifah, yaitu membangun peradaban. Kedua peran tersebut tidak bisa dipisahkan, sehingga manusia diharapkan sibuk membangun peradaban dalam bentuk Baitullah-Baitullah, bisa rumah, kekayaan, perusahaan, negara dan lain-lain, yang akan membuat manusia lain teringat akan Ilahi. Namun juga memiliki budaya ritual seperti syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji yang merupakan bentuk-bentuk pelaporan atas amanat yang ditunaikan.
Kelalaian atas peran ini akan membawa musibah.
Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Muslim: Dari Abu Hurairah: Dia berkata bahwa Rasullulah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah berfirman, “Hai anak Adam! Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?”

Jawab anak Adam, “Wahai Rabb-ku, bagaimana mengunjungi Engkau, padahal Engkau Rabb semesta alam?”

Allah Ta'ala berfirman, “Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa kamu tidak mengunjunginya? Apakah kamu tidak tahu, seandainya kamu kunjungi dia kamu akan mendapati-Ku di sisinya?”

“Hai, anak Adam! Aku minta makan kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku makan?”

Jawab anak Adam, “Wahai Rabb-ku, Bagaimana mungkin aku memberi engkau makan, padahal Engkau Rabb semesta alam?”

Allah Ta'ala berfirman, “Apakah kamu tidak tahu, bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu seandainya kamu memberinya makan niscaya engkau mendapatkannya di sisi-Ku?”

“Hai, anak Adam! Aku minta minum kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?”

Jawab anak Adam. “Wahai Rabb-ku, bagaimana mungkin aku memberi Engkau minum, padahal Engkau Rabb semesta alam?”

Allah Ta'ala menjawab, “Hamba-Ku si Fulan minta minum kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Ketahuilah, seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapatkannya di sisi-Ku.””

Dengan demikian ketika seseorang terkena musibah, sejatinya adalah akibat yang bersangkutan lalai untuk hadir ke hadirat Allah.

Oleh karena itu sebelum terkena musibah, laksanakan kedua peran kita sebagai manusia. Dalam budaya Islam terdapat istilah Istighfar yang merupakan salah satu budaya pelaporan. Melalui budaya pelaporan inilah musibah bisa dicegah. Hadits Qudsy yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (ra):

Dari Anas bin Malik (ra), dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, “Allah berfirman, “Wahai anak Adam, sesungguhnya selama kamu berdoa dan mengharap hanya kepada-Ku, Aku memberi ampunan kepadamu terhadap apa yang ada padamu dan Aku tidak mempedulikannya.

Wahai anak Adam, seandainya dosamu sampai ke langit, kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadamu dan Aku tidak mempedulikannya.
Wahai anak Adam sesungguhnya apabila kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, kemudian kamu menjumpai Aku dengan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi.”””

Jakarta, 19 Jul 2019; 16 Dzulhijjah 1440


Minggu, 10 Februari 2019

Moksa Dalam Islam


“Aku telah mendapatkan kemenangan dari Allah!”
Setelah perang Uhud, Rasulullah (saw) menikahi Zaynab (ra) putri Khuzaymah dari suku ‘Amir, janda dari ‘Ubaydah (ra) yang dikenal sebagai ibu kaum papa. Perkawinan ini mendekatkan Abu Bara’ dari suku ‘Amir kepada Rasulullah (saw). Ketika Islam diperkenalkan kepadanya, ia tidak menolaknya. Saat itu ia belum memeluk Islam, namun meminta agar beberapa orang muslim diutus untuk mendakwahkan Islam kepada seluruh warga sukunya. Rasulullah (saw) mengatakan bahwa beliau khawatir bahwa utusan beliau akan diserang oleh suku Ghatafan. Abu Bara’ sebagai kepala suku ‘Amir berjanji akan melindungi para utusan, maka Rasulullah (saw) mengutus empat puluh sahabat yang benar-benar mengenal Islam dan menunjuk Mundzir ibnu ‘Amr (ra) sebagai pemimpin. Di antara para utusan terdapat ‘Amir ibnu Fuhayrah (ra), bekas budak Abu Bakar (ra) yang dipilih menemaninya dan Nabi ketika hijrah dengan cara mengembalakan kambing di belakang perjalanan Rasulullah (saw) dan Abu Bakar (ra) untuk menghapus jejak.
Keponakan Abu Bara’ yang berambisi menggantikan kedudukannya sebagai kepala suku membunuh salah seorang sahabat yang diutus Rasulullah (saw) untuk mengantarkan surat kepada Abu Bara’. Abu Bara’ meminta warga sukunya agar menghentikan pembunuhan terhadap sahabat Rasulullah (saw) yang lain. Ketika warga suku ‘Amir ternyata lebih mematuhi Abu Bara’, sang keponakan yang frustasi menghasut dua kabilah dari suku Sulaym yang baru-baru ini terlibat permusuhan dengan Madinah. Mereka segera mengirim satu pasukan berkuda dan membantai habis semua utusan Rasulullah (saw) di dekat sumur Ma’unah, kecuali dua sahabat yang sedang memberi makan unta di padang rumput, yaitu Harits ibnu Simmah (ra) dan ‘Amr dari Dhamrah (ra), salah satu warga kabilah Kinanah.
Saat mereka berdua kembali dari padang rumput, mereka terkejut melihat banyak sekali burung bangkai terbang rendah di atas perkemahan mereka, seakan berada di suatu medan perang dimana pertempuran baru saja berakhir. Mereka melihat sahabat-sahabatnya terkapar wafat di atas genangan darah, sementara para penunggang kuda dari Bani Sulaym berdiri di dekat mereka asyik berbincang dan tidak menyadari kehadiran mereka berdua. Melihat pemandangan tersebut, ‘Amr hendak melarikan diri, namun Harits berkata, “Aku tak akan pernah mundur dari medan perang, dimana Mundzir telah wafat di atasnya.” Maka Harits segera maju menghadapi para penunggang kuda itu, menyerang dengan tangkas dan menewaskan dua orang sebelum akhirnya ia terkalahkan dan tertawan.
Anehnya para penunggang kuda tersebut nampaknya enggan membunuh atau membalas dendam, meskipun dua teman mereka telah tewas. Lalu mereka menanyakan apa yang diinginkan Harits dan ‘Amr dari mereka? Harits menjawab bahwa ia ingin tahu dimana mayat Mundzir dan meminta dilepaskan untuk bertarung dengan mereka. Mereka mengabulkan permintaannya dan ia berhasil membunuh dua musuhnya sebelum dia sendiri akhirnya terbunuh. ‘Amr dibebaskan dan mereka menyuruhnya memperkenalkan nama-nama sahabatnya yang telah wafat satu per satu. ‘Amr mengamati sahabat-sahabatnya satu per satu dan memperkenalkan mereka. Kemudian mereka menanyakan adakah sahabat ‘Amr yang tidak ditemukan di situ? “Aku tidak menemukan jasad ‘Amir ibnu Fuhayrah (ra) bekas budak Abu Bakar (ra),” jawabnya. “Apa kedudukannya di antara kalian?” tanya mereka. “Dia adalah orang yang terbaik di antara kami, salah seorang sahabat utama Rasulullah (saw)” jawab ‘Amr. “Maukah engkau mendengar cerita kami tentang dia?” Tanya mereka. Maka dipanggillah seorang pria bernama Jabbar yang mengaku telah membunuh ‘Amir. Jabbar bercerita bahwa dia telah menusuk ‘Amir dengan tombak dari belakang hingga tembus ke dadanya. Dan pada tarikan nafas terakhir, ia mengucapkan “Aku telah mendapatkan kemenangan dari Allah!” “Bagaimana mungkin ia mengatakan itu?” Pikir Jabbar yang merasa dirinya lebih berhak merasa menang. Dengan takjub dia mencabut tombaknya dan lebih takjub lagi, ketika dia menyaksikan tubuh ‘Amir terangkat ke atas oleh tangan-tangan gaib, terus naik ke atas langit, hingga tak terlihat lagi. Ketika dijelaskan oleh ‘Amir bahwa yang dimaksudkan ‘kemenangan dari Allah’ adalah surga, Jabbar langsung masuk Islam.
Setelah Rasulullah (saw) mendengar peristiwa itu, beliau mengatakan bahwa para malaikat telah mengangkat ‘Amir ke atas ‘Illiyun, yaitu surga tertinggi.[1]
Orang-orang Sulaym kembali ke suku mereka, dimana cerita tentang mukjizat itu terus diulang dan itu menjadi awal mereka untuk memeluk Islam.
Ini merupakan bukti sejarah bahwa moksa[2] pun ada dalam sejarah Islam. Oleh karena adalah wajar bilamana ada orang yang memiliki cita-cita dan berjuang dalam hidup untuk moksa. Kisah tentang ‘Amir ibnu Fuhayra (ra), perlu dijadikan referensi dalam menjalani kehidupan ini, meski tidak banyak dikisahkan tentang apa yang beliau amalkan.
‘Amir ibnu Fuhayra (ra) adalah salah seorang sahabat yang pertama kali masuk Islam. Sebelumnya beliau adalah budak Abu Bakar (ra). Pada saat Rasulullah (saw) melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Yastrib (Madinah) secara sembunyi-sembunyi, ‘Amir ibnu Fuhayra (ra) menggembalakan ternak Abu Bakar (ra) di belakang jejak Rasulullah (saw). Kemudian beliau menyediakan susu kambing segar untuk Rasulullah (saw) dan Abu Bakar (ra) setiap malam. Selanjutnya beliau bersegera kembali ke Mekkah sebelum matahari terbit. Ini beliau lakukan selama tiga hari berturut-turut dengan penuh kesungguhan. Selanjutnya Rasulullah (saw) dan Abu Bakar (ra) menyusuri pantai ke arah Yastrib dipandu oleh seseorang dari Bani Al Dayl ibnu Adiyy ditemani ‘Amir ibnu Fuhayrah.
Meski kita sekarang tahu bahwa moksa adalah suatu kenyataan hidup, namun apakah moksa merupakan puncak ibadah? Sedangkan pada kenyataannya, beberapa Nabi yang dijadikan teladan tidak moksa berdasarkan ayat-ayat berikut:
QS Al Ahzab 33 ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
QS An Nahl 16 ayat 120: Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan,
QS Al Mumtahanah 60 ayat 6: Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; bagi orang-orang yang mengharap Allah dan hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Kenapa jasad beliau-beliau ini tetap ada di bumi dan tidak dimoksakan oleh Allah?
Apakah karena beliau berdua, yaitu Nabi Muhammad (saw) dan Nabi Ibrahim (ra) adalah teladan umat manusia? Yang artinya apa yang dilakukan beliau bisa dicontoh oleh siapa saja. Ataukah ada (yoni) yang bermanfaat buat umat manusia untuk selalu mengingat Allah sebagai Tuhannya.
Sedangkan kemoksaan Nabi Isa (as) bisa jadi adalah permintaan Nabi Isa (as) sendiri untuk diberi kesempatan membersihkan namanya dari fitnah bahwa beliau adalah anak Allah. Dan juga untuk meredam fitnah Dajjal Al Masih yang akan membawa manusia menjauhi Allah melalui tawaran kemakmuran.
QS An Nisaa 4 ayat 156-158: Dan karena kekafiran mereka dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar, dank arena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih faham tentang Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Bilamana begitu, maka moksa kembalinya hamba kepada Tuhannya. Dalam Bahasa yang lebih awam, moksa adalah penyatuan kembali antara saya yang dikuasai dengan Kuasa itu sendiri. Padahal saya yang dikuasai dengan Kuasa sejatinya tidak pernah berpisah atau terpisahkan. Yang membedakan hanyalah persepsi pengertian, kesadaran, sikap dan laku saya yang dikuasai yang cenderung bahkan selalu semaunya sendiri dan makar kepada Kuasa atau menuhankan dirinya sendiri atau hawa nafsunya.
Bagi awam, Allah sudah mendidik kemoksaan melalui tahapan semedi, sholat atau sembahyang. Artinya dalam sholat ada upaya untuk mengembalikan diri atau saya atau yang dikuasai kepada Kuasa yang dikenal dengan Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian siapa saja bisa moksa selama mau berjuang dan tentunya dengan rahmat Allah. Secara pengalaman, kerelaan Allah hanya turun kepada siapa-siapa yang betul-betul berniat lurus untuk kembali kepada Allah. Bukan mengharapkan surga yang penuh kenikmatan, apalagi membawa barang-barang dunia.
Biarlah aku hidup sendiri, selain dengan Allah Yang Maha Kuasa.
Kupejamkan mataku, kututup telingaku, yang ada hanya aku yang sedang bernafas. Pikiran dan rasa hidupku kusatukan dengan kepercayaanku yang aku sebut dengan nama Allah Yang Maha Kuasa.
Aku dihadirkan dalam kehidupan alam semesta, sesungguhnya untuk merasakan nikmat yang begitu luar biasa serta dapat aku baca betapa besar kekuasaan-Mu dan tak terukurkan bagi umat manusia seperti aku ini.
Kubaca kelahiran dan kematian di atas segala bentuk kehidupan ini. Sesungguhnya aku diberi kesempatan betapa nikmat dan bahagianya membaca bahwa Maha Kuasa Allah sangat mencintai kepada umat-Nya, khususnya bagi mereka yang memperoleh kecerahan (Mas Supranoto, Wijaya Chandra Loka, Manggisan Banyuwangi).


[1] Waqidi, rujukannya adalah edisi Marsden Jones dari Kitab Al Maghazi, seputar dakwah-dakwah Nabi, oleh Muhammad ibnu ‘Umar al-Waqidi [Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din, Muhammad – Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, PT Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal 377 – 380.
[2] Pengertian Moksa menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada yaitu lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman, Karma Pala, Reinkarnasi, dan Moksa. Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan, kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara.
Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian).
Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebasan asal persyaratan-persyaratan moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal.

Rabu, 30 Januari 2019

NKRI adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa


Ini hanyalah opini warga yang awam tentang Tata Negara.

Preambule UUD 1945 merupakan Master Piece para leluhur pendiri negara. Barangkali karena keterbatasan informasi, tidak ada Preambule Undang-Undang negara yang sedemikian singkat namun tepat sasaran, kecuali Preambule UUD 1945. Oleh karena itu pantas diduga bahwa Preambule adalah suatu wangsit Tuhan yang diterima oleh para pendiri negara.

Dari wejangan bapak Mas Supranoto dari padepokan Wijaya Candra Loka di Manggisan Banyuwangi, kami menangkap makna Preambule yang sedemikian luar biasa. Belum pernah kami menerima wejangan perihal Preambule dengan sedemikian dalam bahkan Preambule ternyata bisa dipergunakan untuk merubah keadaan suatu wilayah, karena sedemikian kuat yoni[1] yang ada padanya.

Yoni adalah wilayah mistik, maka pendekatannya adalah dengan kepercayaan. Dengan kepercayaan bahwa adanya rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa dan adanya niat luhur manusianya, maka Preambule UUD 1945 ditanam di kota Tuban pada tahun 2008. Semenjak itu, Alhamdulillah, Tuban telah berkembang menjadi kota minyak dan gas dan kota industry yang tentunya membawa kepada kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dan juga mendorong kepada masyarakat yang berbudaya secara cerdas.

Berikut penelaahan Preambule paragraph demi paragraph.

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Pada paragraf satu adalah pernyataan bahwa kemerdekaan itu universal. Berarti kemerdekaan adalah kehendak Tuhan. Kemerdekaan adalah kebebasan menentukan nasib sendiri. Setiap manusia diciptakan Tuhan adalah untuk menentukan nasibnya sendiri, berarti setiap orang adalah merdeka, tidak boleh dikuasai orang lain. Hak menentukan nasib sendiri itu lah yang dimaksud dengan peri-kemanusiaan. 

Manusia diciptakan oleh Tuhan, meski berbeda-beda tempat kelahirannya, namun memiliki hak hidup yang sama. Inilah yang disebut dengan peri-keadilan. Manusia harus menempatkan diri pada tempatnya, inilah salah satu makna peri-keadilan. Manusia juga memiliki hak yang setara dalam kehidupan. Yang akan membedakan antara manusia yang satu dengan yang lain hanyalah perjuangannya. Bilamana hal ini dimengerti, maka penjajahan harus dihapuskan. Bentuk-bentuk penjajahan berbagai macam, namun bisa dikelompokkan dalam beberapa tindakan, yaitu represi, hegemoni dan dominasi.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Pada paragraph kedua, para pendiri negara menggambarkan secara singkat bahwa perjuangan rakyat Indonesia telah sampai pada pintu gerbang kemerdekaan dengan selamat, sentausa. Wujud dari kemerdekaan suatu bangsa adalah adanya persatuan bangsa, memiliki kedaulatan penuh dan berhak untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu adil dan makmur. Dengan selamat sentausa artinya berhasil terbebas dari kesukaran dan bencana. Bukankah setiap orang ingin selamat sentausa? Agar orang bisa selamat, maka harus mengerti, harus mampu dan harus mau/ingin. Tinggal menunggu kepastian dari Tuhan melalui rahmat-Nya, berupa kekuasaan. Pernyataan ini secara tersirat menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang takabur, tapi bangsa yang bertuhan.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Pada proses perwujudan, suatu cita-cita harus dinyatakan. Hal ini ditegaskan pada paragraf ketiga, yaitu atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Allah adalah sebutan termulia untuk Tuhan. Sedangkan Yang Maha Kuasa adalah untuk kemampuan mewujudkan segala sesuatu. Tanpa kuasa, segala sesuatu tidak akan terwujud. Demikian pula segala sesuatu terwujud melalui pintu keinginan yang dilandasi dengan kepercayaan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Apalagi dengan keinginan yang bersifat luhur, yang harusnya dimaknai bahwa keinginan bangsa Indonesia adalah untuk melaksanakan kehendak atau cita Tuhan.

Proses perwujudan cita Tuhan harus diawali dari percaya kepada Tuhan. Selanjutnya dengan kepercayaan tersebut dinyatakan, yaitu melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, sehingga terbentuklah suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Begitu pernyataan diumumkan, tentunya akan ada perlawanan. Namun dengan tekad akan percaya kepada Tuhan dan cita-cita luhur tersebut, maka kemerdekaan yang sudah dinyatakan harus dipertahankan dan cita-cita harus diwujudkan.

Kalau belajar dari sejarah, ketika Tuhan berkehendak membangun jalur transportasi di pantura Jawa, namun bangsa Indonesia yang saat itu dikuasai Belanda seolah tidak mau menjalankan kehendak Tuhan, sehingga melalui ide penjajah dibangunlah jalan Anyer hingga Panarukan yang menelan korban ratusan ribu orang Indonesia. Jadi keinginan luhur berarti berasal dari Tuhan bukan dari hawa nafsu dan kalau tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh yang dianugerahi keinginan tersebut, baik individu maupun kelompok.

Kenyataannya memang bahwa dalam setiap proses perwujudan selalu diawali dengan pro (+) & kontra (-). Namun dengan proses kebulatan tekad untuk mengambil keputusan, maka cita-cita luhur tersebut bisa diwujudkan. Proses pengambilan keputusan dan adanya cita-cita ini menyadarkan kita bahwa dibalik (+) & (-) harus ada kuasa lebih, yaitu pengambil keputusan demi terwujudnya cita.

Cita kalau tidak melalui pintu kepercayaan, maka hanya akan menjadi angan-angan. Dengan demikian kepercayaan adalah awal dari segala perwujudan.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kenapa untuk mewujudkan kemerdekaan, harus membentuk Negara? Karena melalui negaralah, rakyat akan memperoleh kenikmatan/kebahagiaan. Negara untuk rakyat, bukan rakyat untuk Negara. Semua yang tercipta ini adalah untuk manusia. Namun manusia sebagai penghuni Negara tersebut juga wajib untuk merawat dan memakmurkan Negara dan bangsanya. Jadi ada timbal balik, mengingat Negara adalah rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan jangan dipandang hanya dari satu sisi, apa yang telah kamu berikan untuk negaramu? Negara adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Namun mengingat rakyat itu jumlahnya banyak, maka perlu lembaga yang merupakan kepanjangan tangan rakyat untuk memegang kekuasaan tertinggi, yaitu Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR). Sehingga semestinya pemilihan anggota MPR adalah langsung oleh rakyat, bukan melalui partai politik.

MPR sebagai pemegang mandat kekuasaan tertinggi harus menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi panduan pelaksanaan pemerintahan. Sayangnya oleh orang-orang yang lemah pengertian, peran MPR dipinggirkan. Salah-seleh!

Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita negara, MPR membagi kekuasaan pelaksana menjadi tiga, yaitu Legislatif oleh DPR, Eksekutif oleh Pemerintah dan Yudikatif oleh MA. Pembagian ini seperti konsep dewa Hindu dengan Trimurti, yaitu Brahma-Legislatif, Wisnu-Eksekutif & Syiwa-Yudikatif? Ataukah barangkali mengadopsi konsep Islam dengan Rabbinaas, Malikinnaas & Ilahinnaas? Ataukah meniru model atom, yaitu neutron-yudikatif, proton-legislatif dan electron-eksekutif? Pembagian kekuasaan kepada ketiga lembaga ini agar terjadi keseimbangan dan jangan sampai salah satu pemegang mandat menguasai yang lainnya.

Sekarang individu-individu melalui partai politik berupaya menguasai negara melalui demokrasi, sehingga kekuasaan rakyat yang dimandatkan bergeser ke ketua-ketua partai politik. Salah-seleh!

Sebagai pelaksana kekuasaan, DPR, Presiden dan MA secara bersama dalam kewenangan masing-masing wajib menjalankan cita-cita yang tertuang dalam Preambule. Dalam peran Negara sebagai pelindung, DPR membuat undang-undang tentang perlindungan negara dan warga negara yang diturunkan dari pasal-pasal UUD 1945 tentang Pertahanan & Keamanan, Pemerintah wajib melaksanakannya dan MA memastikan kalau terjadi konflik, sebagai lembaga penyelesai.

Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan negara & warga negara, DPR dengan acuan pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang Perekonomian Nasional & Kesejahteraan Sosial menyusun Undang-undang yang wajib dilaksanakan Pemerintah. MA dengan kekuasaan yang dimiliki mengelola konflik perekonomian nasional dan kesejahteraan social secara adil dan beradab.

Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, DPR menyusun Undang-undang tentang pendidikan nasional berdasarkan pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang Pendidikan & Kebudayaan yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Pendidikan akan menghasilkan rakyat yang cerdas dan kuat, sehingga bisa menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dan memiliki ketahanan mental dalam setiap keadaan, termasuk keadaan darurat. Kunci keberhasilan suatu lembaga terletak pada kualitas sumber daya manusianya. Ini harusnya menjadi prioritas utama.

Setelah ketiga cita-cita utama tercapai, baru NKRI terlibat dalam menjaga ketertiban dunia.

Pelaksanaan atas upaya mewujudkan cita-cita adalah dengan berdasarkan kepada Pancasila.

Ini semua wajib dilaksanakan oleh semua pemangku kepentingan. Terutama para aparatur negara sebagai pelaksana amanat, apakah sudah menjalankan tugasnya ataukah mereka mengikuti kemauannya hingga kesetanan? Salah-seleh!

Jakarta, 29 Januari 2018

[1] Yoni berasal dari Bahasa Sanskerta yang berarti tempat untuk melahirkan

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...