Ketika menulis di grup perihal suwung, beberapa orang
berkomentar bahwa suwung adalah ilusi. Yang lain menyebut suwung sebagai
keadaan ketidak-sadaran. Inilah repotnya menghadapi orang-orang yang sudah
terkontaminasi pikirannya dengan pendapat orang lain, yaitu terjebak kepada
persepsi sang pemberi informasi. Masih mendingan kalau kita mendengar langsung
penjelasan dari nara sumber dibanding dengan sekedar membaca tulisannya.
Saya jadi teringat kisah teman dari USA bernama Bruno
Pizzato seorang sales teknologi petrokimia yang dengan menjual teknologi telah
berhasil membangun industry petrokimia di Jepang dan Korea, namun kurang
berhasil di Indonesia. Dia cerita saat pertama kali kuliah di Universitas
Chicago, professornya membawa cairan berwarna kekuning-kuningan yang dia klaim
sebagai air kencingnya. Beliau menyiapkan air kencing tersebut untuk menyambut
mahasiswa barunya. Dia meminta seluruh mahasiswa untuk mengikuti apa yang dia
lakukan, yaitu dia menyelupkan jarinya dan kemudian menjilat jarinya. Lalu dia
datangi setiap mahasiswanya dengan gelas tersebut. Setelah semuanya didatangi,
beliau bercerita betapa kecewanya kepada para mahasiswa barunya, yaitu mereka
tidak mampu melakukan pengamatan secara teliti. Beliau mengatakan bahwa dia
menyelupkan jari telunjuk dan menjilat jari tengahnya. Kemudian beliau
memberikan nasehat bahwa untuk mencapai kesuksesan, kuncinya adalah teliti dan akurat dalam pengamatan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad (s.a.w.) nabi akhir
zaman, saat pertama kali menerima Wahyu, beliau diminta “iqra’” yang artinya
membaca. Apanya yang dibaca, bukunya saja tidak ada. Berarti yang dibaca adalah
alam semesta, Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Berarti membaca yang
dimaksud adalah melakukan pengamatan alam dengan teliti dan akurat.
Dengan menjalankan nasehat untuk melakukan pengamatan
dengan teliti, kita tidak perlu berprasangka aneh-aneh, gunakan pengamatan yang
jujur. Data disebut valid kalau apa adanya dan tidak ditambahi atau dikurangi, dengan kata lain jangan berbohong.
Demikian pula dalam memahami makna suwung,
bukankah suwung artinya kosong? Namun untuk apa ada istilah Jawa suwung atau kata lain seperti longan?
Bukankah itu semua untuk menandai adanya yang gaib melalui keberadaan yang
kasat mata? Suwung adalah simbol atas keberadaan sesuatu yang tidak kasat indra
yang ditandai dengan adanya rumah yang bisa diindrai. Longan adalah keberadaan sesuatu
yang ditandai dengan tempat tidur. Simple saja, just like that.
Namun kalau didalami, kita bisa menyebut suwung kalau ada
rumahnya. Kalau tak ada rumahnya, kita tidak bisa menyebut suwung. Berarti
keberadaan rumah itu menandai adanya yang suwung atau tidak kelihatan. Demikian
pula dengan keberadaan alam, yaitu untuk menandai keberadaan Yang Gaib.
Yang manakah Yang Gaib itu? Ya ini. Yang sempurna tidak
berubah, tunggal tiada duanya. Sudahkah kita mampu mengidentifikasi dengan
pengertian bahwa adanya Yang Gaib, walau kita tidak bisa mengetahui-Nya?
Semakin dalam kita meneliti, barangkali akan timbul
pertanyaan bagaimanakah proses perwujudan?
Memang
pada kenyataannya ada tahapan proses kejadian hingga wujud materi terhampar di hadapan
kita. Yaitu sebelum adanya meja, yang ada adalah ide tentang meja. Ide tersebut
kemudian dituangkan dalam ilmu tentang meja sampai muncul gambar tentang meja.
Selanjutnya meja dibuat.
Bukankah
ide dan ilmu bagian dari suwung tersebut? Siapakah yang memberi ide yang
kemudian kita tangkap dengan pikiran kita? Bolehkah saya menyebutnya dengan
Yang Kuasa, karena kuasa memberi ide?
Demikian pula dengan diri kita. Adanya raga kita bukankah
menandai adanya yang suwung dalam diri kita dan kita menyebutnya sebagai jiwa
atau nafs? Apa yang bisa dilakukan dengan jiwa kita? Tidak ada. Namun dengan
adanya kuasa yang diturunkan kepada kita, maka kita menjadi berkuasa. Paling
tidak kepada diri kita sendiri.
Selain
pengamatan, pada saat kita menarik kesimpulan upayakan mencapai kepastian,
bukan sekedar dugaan. Kecuali kalau kita belum mampu mencapainya, namun
janganlah terhenti di situ. Dugaan tetap harus diupayakan untuk dipastikan,
melalui pengujian dengan fakta-fakta yang lain.
Semoga penjelasan ini membawa kepada pengertian bahkan
kesadaran bahwa kita tidak bisa apa-apa. Semua adalah karena turunnya
kewenangan yang dianugerahkan kepada kita. Jadi janganlah memerintah Yang Kuasa
untuk memenuhi apa yang kita maui. Tetapi kerjakan dengan sungguh-sungguh
sabda-Nya yang kita terima melalui pikiran kita agar terwujud di dunia ini
sebagai tanda akan keberadaan-Nya.
Dan selanjutnya
bisa kita nikmati keberadaan tersebut menggunakan perasaan kita.
Bilamana ini bisa dimengerti dan disadari lalu menjadi
sikap kita, maka suwung juga bisa ditempatkan dalam hati kita, yaitu kita tidak
memiliki kecintaan kepada apapun, kecuali kepada Yang Kuasa tersebut bahkan terhadap dirinya sendiri. Dengan
demikian, hatinya suwung akan barang-barang dunia. Bilamana ada orang yang bisa
mencapai keadaan suwung ini, niscaya dia tidak ada rasa memiliki atas segala
sesuatu. Yang ada semestinya adalah kesatuan antara dia dengan Yang Gaib.
Kesatuan ini akan membuat suwung dalam dirinya, terasa dalam hatinya kosong,
hampa, namun terasa penuh dengan kebahagiaan. Kepenuhan yang bukan karena
memiliki isi alam.
Bagaimana mencapai maqam ini?
Telitilah wahyu Jagad Pitu yang sudah dijelaskan. Karena
itu adalah sarana kita untuk mengerti
dan sadar diri bahwa kita adalah manusia. Bahkan mengerti dan sadar bahwa
kita adalah manusia yang berketuhanan. Dan kalau beruntung
dianugerahi pemahaman, niscaya jalannya akan dimudahkan.
Bukankah
melakukan sesuatu tanpa pengertian adalah orang ngawur atau jangan-jangan orang
gila?
Jakarta, 31 Agustus 2019; 1 Muharram 1441
Tidak ada komentar:
Posting Komentar