Dari Abu Hurairah (r.a) katanya, “Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Aku senantiasa menurut sangka (zhanni) hamba Ku kepada Ku dan Aku senantiasa bersamanya ketika dia menyebut nama-Ku. Jika dia menyebut nama-Ku dalam hatinya (nafsihi), maka Aku menyebutnya pula dalam hati-Ku (Nafsiy). Dan jika dia menyebut Ku dalam majelis ramai, maka Aku menyebutnya dalam majelis ramai yang lebih baik. Jika dia mendekati Ku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Dan jika mendekati Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada Ku berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari.”””
[Shahih
Muslim #2300]
Pakde, katanya
Allah itu sebagaimana sangkaan kita, apa betul?
Memang
betul, sebagaimana banyak disebut dalam hadits shahih.
Lha kalau
begitu, tidak salah dong kalau orang-orang menyangka bahwa Allah seperti ini,
seperti itu dan bisa dicatut oleh setiap orang?
Nah, ini
masalahnya. Kebanyakan manusia tidak suka mencari kepastian akan kebenaran,
namun sekedar mempersepsikan info yang diterimanya. Kemudian diklaimnya sebagai
kebenaran. Inilah yang dimaksud mereka sebagai sangkaan tersebut. Padahal bukan
seperti itu. Ini namanya pencatutan.
Lalu apa
yang dimaksud dengan sangkaan itu, pakde?
Kata Zhann
yang berarti sangkaan terdiri atas huruf Hijaiyah Zhain dengan dua Nun
seolah mengisyaratkan kezhahiran yang bermakna kejelasan wujud dengan dua
pencahayaan (Nur), yaitu Nurun atau Nabi Muhammad (s.a.w.) dan Nurin
atau Al Qur’an. Hanya saja untuk mencapai kejelasan tersebut, perlu proses.
Proses ini dijelaskan dalam QS Ats Tsakatsur dan sejatinya dialami oleh setiap
manusia hingga mencapai ‘ainul yaqin. Bahkan kalau bisa hingga haqqul
yaqin. Dengan demikian sangkaan orang itu berproses menuju keyakinan dengan
puncaknya mencapai Haqqul Yaqin.
Sedangkan
menurut KBBI, sangkaan berasal dari kata sangka, yang berarti mengerti. Contoh
kata salah sangka diartikan salah mengerti. Jadi menyangka adalah aktifitas
pikiran, bukankah begitu? Karena proses mengerti didasarkan atas data-data yang
diterima seseorang yang kemudian diolah pikiran hingga awalnya menghasilkan
sangkaan atau teori. Lalu dengan data-data yang ada dianalisa hingga mencapai teori
tersebut terbukti dan menjadi hukum. Dari hukum kemudian dikembangkan menjadi
rumus, lalu diwujudkan. Bukankah peradaban diawali dari rumus?
Maka dari
itu sangkaan bukan ngawur semaunya sendiri. Harus ada data-data yang mendukung
pembuktian atas sangkaan tersebut, yang nantinya berujung pada kepastian.
Waduh, ternyata
sangkaan bukan ngawur ya, harus ada bukti-bukti yang mendukung! Konon katanya
dengan sangkaan, proses perwujudan bisa terjadi. Apa betul?
Betul. Bukankah
sekarang berkembang teori tentang system kepercayaan bahkan muncul Law of
Attraction. Contoh sederhana adalah orang-orang menyangka bahwa kalau saya
kehujanan, maka saya akan sakit. Padahal Allah menurunkan hujan sebagai rahmat.
Karena sangkaan seperti itu, maka rahmat-Nya berubah menjadi laknat-Nya, bukankah
seperti itu? Atau mereka menyangka bahwa mereka akan gagal, bukankah akhirnya betul-betul
menjadi kegagalan?
Kalau begitu,
apakah Allah akan mewujud sehingga kita bisa melihat Dia?
Lho, kok
malah jadi tidak percaya? Bukankah dengan berdasarkan data-data yang terbeber
di alam semesta, memastikan adanya Kuasa yang meliputi segala sesuatu? Kuasa
itu kemudian disebut dengan berbagai sebutan oleh manusia, karena
ketidak-mengertian manusia. Dia Kuasa, ada. Siapa Dia, tidak ada yang tahu? Sehingga
saat ini masih dianggap misteri.
Lalu
setiap orang memberikan sebutan. Ada yang menyebut Allah, Sang Hyang Widhi,
Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan lain-lain. Khusus untuk sebutan
Allah, adalah pernyataan Dia sendiri yang disampaikan kepada para Nabi-Nya dan
Rasul-Nya dan dicatat pada Kitab Suci, seperti Al Qur’an.
Bagaimana
kita bisa mengetahui bahwa Kuasa yang dimaksud adalah Allah, sebagaimana Allah
yang dimaksud oleh Nabi Muhammad (s.a.w.)?
Kita
hanya bisa menyangka bahwa Kuasa adalah Allah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad
(s.a.w.). Karena kita umat Islam menganggap bahwa orang yang paling tahu
tentang Allah adalah Nabi Muhammad (s.a.w.), maka kita percaya kepada beliau
yang mengatakan bahwa kelak di Akhirat, manusia bisa melihat Allah seperti
melihat matahari di siang hari.
Perihal
Kuasa ini, kita perlu berhati-hati agar tidak salah mengerti. Sebagai contoh, orang
Jawa menyebut adanya penguasa suatu tempat dengan sebutan Danyang, mungkin
nerasal dari kata Dang Hyang. Ibarat mereka ini penguasa gaib suatu wilayah. Sedangkan
penguasa segala penguasa disebut dengan Sang Hyang Widhi, yaitu yang utuh,
menyeluruh, sehingga tidak bisa dimengerti, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa
dipikirkan. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah sebutan untuk
Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Hindu Dharma.
Apakah
Sang Hyang Widhi sama dengan Allah?
Kalau
berbasis kepada sangkaan pribadi, ya bisa saja. Namun kalau berbasis pada
kepastian kebenaran (Haqqul Yaqin), ya hanya Allah atau Sang Hyang Widhi
sendiri yang bisa menjawab. Oleh karena itu, kalau menyebut Allah sebaiknya
bukan menggunakan persepsi pribadi. Lebih baik adalah menegaskan bahwa Allah
yang dimaksud adalah Allah yang dikenal oleh Nabi Muhammad (s.a.w.).
Pakde,
apakah setiap manusia bebas menyebut Tuhan dengan apa saja, asalkan obyek yang
dimaksud sama?
Mengingat
sebutan bisa berkonotasi meninggikan atau merendahkan, sehingga yang aman
adalah menggunakan sebutan dari Dia sendiri dengan tegas mengarahkan Tuhan yang
dimaksud adalah Allah versi Nabi Muhammad (s.a.w.).
Papahan, 29 November 2022