Selasa, 29 November 2022

AKU Sesuai Sangkaan Hamba-Ku

Dari Abu Hurairah (r.a) katanya, “Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Aku senantiasa menurut sangka (zhanni) hamba Ku kepada Ku dan Aku senantiasa bersamanya ketika dia menyebut nama-Ku. Jika dia menyebut nama-Ku dalam hatinya (nafsihi), maka Aku menyebutnya pula dalam hati-Ku (Nafsiy). Dan jika dia menyebut Ku dalam majelis ramai, maka Aku menyebutnya dalam majelis ramai yang lebih baik. Jika dia mendekati Ku sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Dan jika mendekati Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika dia datang kepada Ku berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan berlari.”””

[Shahih Muslim #2300]

Pakde, katanya Allah itu sebagaimana sangkaan kita, apa betul?

Memang betul, sebagaimana banyak disebut dalam hadits shahih.

Lha kalau begitu, tidak salah dong kalau orang-orang menyangka bahwa Allah seperti ini, seperti itu dan bisa dicatut oleh setiap orang?

Nah, ini masalahnya. Kebanyakan manusia tidak suka mencari kepastian akan kebenaran, namun sekedar mempersepsikan info yang diterimanya. Kemudian diklaimnya sebagai kebenaran. Inilah yang dimaksud mereka sebagai sangkaan tersebut. Padahal bukan seperti itu. Ini namanya pencatutan.

Lalu apa yang dimaksud dengan sangkaan itu, pakde?

Kata Zhann yang berarti sangkaan terdiri atas huruf Hijaiyah Zhain dengan dua Nun seolah mengisyaratkan kezhahiran yang bermakna kejelasan wujud dengan dua pencahayaan (Nur), yaitu Nurun atau Nabi Muhammad (s.a.w.) dan Nurin atau Al Qur’an. Hanya saja untuk mencapai kejelasan tersebut, perlu proses. Proses ini dijelaskan dalam QS Ats Tsakatsur dan sejatinya dialami oleh setiap manusia hingga mencapai ‘ainul yaqin. Bahkan kalau bisa hingga haqqul yaqin. Dengan demikian sangkaan orang itu berproses menuju keyakinan dengan puncaknya mencapai Haqqul Yaqin.

Sedangkan menurut KBBI, sangkaan berasal dari kata sangka, yang berarti mengerti. Contoh kata salah sangka diartikan salah mengerti. Jadi menyangka adalah aktifitas pikiran, bukankah begitu? Karena proses mengerti didasarkan atas data-data yang diterima seseorang yang kemudian diolah pikiran hingga awalnya menghasilkan sangkaan atau teori. Lalu dengan data-data yang ada dianalisa hingga mencapai teori tersebut terbukti dan menjadi hukum. Dari hukum kemudian dikembangkan menjadi rumus, lalu diwujudkan. Bukankah peradaban diawali dari rumus?

Maka dari itu sangkaan bukan ngawur semaunya sendiri. Harus ada data-data yang mendukung pembuktian atas sangkaan tersebut, yang nantinya berujung pada kepastian.

Waduh, ternyata sangkaan bukan ngawur ya, harus ada bukti-bukti yang mendukung! Konon katanya dengan sangkaan, proses perwujudan bisa terjadi. Apa betul?

Betul. Bukankah sekarang berkembang teori tentang system kepercayaan bahkan muncul Law of Attraction. Contoh sederhana adalah orang-orang menyangka bahwa kalau saya kehujanan, maka saya akan sakit. Padahal Allah menurunkan hujan sebagai rahmat. Karena sangkaan seperti itu, maka rahmat-Nya berubah menjadi laknat-Nya, bukankah seperti itu? Atau mereka menyangka bahwa mereka akan gagal, bukankah akhirnya betul-betul menjadi kegagalan?

Kalau begitu, apakah Allah akan mewujud sehingga kita bisa melihat Dia?

Lho, kok malah jadi tidak percaya? Bukankah dengan berdasarkan data-data yang terbeber di alam semesta, memastikan adanya Kuasa yang meliputi segala sesuatu? Kuasa itu kemudian disebut dengan berbagai sebutan oleh manusia, karena ketidak-mengertian manusia. Dia Kuasa, ada. Siapa Dia, tidak ada yang tahu? Sehingga saat ini masih dianggap misteri.

Lalu setiap orang memberikan sebutan. Ada yang menyebut Allah, Sang Hyang Widhi, Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa dan lain-lain. Khusus untuk sebutan Allah, adalah pernyataan Dia sendiri yang disampaikan kepada para Nabi-Nya dan Rasul-Nya dan dicatat pada Kitab Suci, seperti Al Qur’an.

Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa Kuasa yang dimaksud adalah Allah, sebagaimana Allah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad (s.a.w.)?

Kita hanya bisa menyangka bahwa Kuasa adalah Allah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad (s.a.w.). Karena kita umat Islam menganggap bahwa orang yang paling tahu tentang Allah adalah Nabi Muhammad (s.a.w.), maka kita percaya kepada beliau yang mengatakan bahwa kelak di Akhirat, manusia bisa melihat Allah seperti melihat matahari di siang hari.

Perihal Kuasa ini, kita perlu berhati-hati agar tidak salah mengerti. Sebagai contoh, orang Jawa menyebut adanya penguasa suatu tempat dengan sebutan Danyang, mungkin nerasal dari kata Dang Hyang. Ibarat mereka ini penguasa gaib suatu wilayah. Sedangkan penguasa segala penguasa disebut dengan Sang Hyang Widhi, yaitu yang utuh, menyeluruh, sehingga tidak bisa dimengerti, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dipikirkan. Dalam Wikipedia disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi adalah sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa bagi umat Hindu Dharma.

Apakah Sang Hyang Widhi sama dengan Allah?

Kalau berbasis kepada sangkaan pribadi, ya bisa saja. Namun kalau berbasis pada kepastian kebenaran (Haqqul Yaqin), ya hanya Allah atau Sang Hyang Widhi sendiri yang bisa menjawab. Oleh karena itu, kalau menyebut Allah sebaiknya bukan menggunakan persepsi pribadi. Lebih baik adalah menegaskan bahwa Allah yang dimaksud adalah Allah yang dikenal oleh Nabi Muhammad (s.a.w.).

Pakde, apakah setiap manusia bebas menyebut Tuhan dengan apa saja, asalkan obyek yang dimaksud sama?

Mengingat sebutan bisa berkonotasi meninggikan atau merendahkan, sehingga yang aman adalah menggunakan sebutan dari Dia sendiri dengan tegas mengarahkan Tuhan yang dimaksud adalah Allah versi Nabi Muhammad (s.a.w.).


Papahan, 29 November 2022

Sabtu, 26 November 2022

Allah, Asma Yang Paling Banyak Dicatut

Pakde, sekarang semakin banyak orang berselisih dengan masing-masing mengatasnamakan Tuhan atau Allah. Tuhan itu siapa, Allah itu siapa? Karena saya perhatikan setiap orang memiliki persepsi sendiri-sendiri.

Memang seperti itu mas. Karena tingkat pengenalan masing-masing orang tentang Tuhan atau Allah berbeda-beda. Kalau cuma berbeda pengertian tidak masalah, namun ketika Tuhan atau Allah itu diimajinasikan oleh dirinya sendiri, lalu dicatut, ini yang berbahaya.

Agus Sunyoto menjelaskan perihal Tuhan berasal dari ajaran Kapitayan, yaitu kepercayaan yang ada pada zaman Jawa kuno. Kapitayan diambil dari sebutan Sang Hyang Taya yang merupakan sumber segala kejadian, yang tidak bisa dilihat oleh mata, tak bisa didengar dengan telinga, tak bisa diraba dengan kulit, tidak bisa dibayangkan, tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dibandingkan dengan sesuatu. Dia adalah Taya  yang menurut Bahasa Jawa kuno artinya hampa, suwung, awang-uwung. Dia tidak dilahirkan, tidak berawal, tidak berakhir. Tidak ada satu pun makhluk yang bisa mengenal keberadaannya yang sejati. Manusia bisa mengenal dan menyembahnya melalui pengejawantahan kekuatan dan kekuasaannya di alam ini sebagai pribadi Ilahi yang menjadi sumber segala sumber kehidupan yang tergelar di alam semesta. Pribadi Ilahi yang memiliki nama dan sifat sebagai pengenal keberadaan dirinya. Mengejawantah dalam pribadi Ilahi inilah yang disebut dengan Tu atau To yang secara samar-samar bisa diketahui dan dikenal baik sifat maupun namanya. Tu, pribadi Ilahi, meskipun tunggal, dia memiliki dua sifat berbeda, seperti telapak tangan ada sisi depan yang terang dan sisi belakang yang lebih gelap.

Sifat Tu yang baik yaitu yang mendatangkan kebaikan, kemuliaan, kemakmuran dan keselamatan kepada manusia. Sifat yang baik disebut Tu-han yang dikenal dengan nama Sang Hyang Tunggal (Esa), juga bersifat wenang atau maha kuasa. Sifat Tu yang tidak baik disebut han-Tu. Itulah yang disebut dengan nama Sang Hyang Manikmaya (Jawa Kuno artinya permata khayalan; manik artinya permaya, maya artinya khayalan). Sang Hyang Manikmaya adalah pribadi Ilahi yang hanya diketahui nama dan sifatnya, pengejawantahan yang menyesatkan.

Sang Hyang Tunggal, memiliki nama dan sifat wenang adalah pengejawantahan Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi petunjuk kepada makhluknya. Sehingga ada pemujaan terhadap Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Manikmaya, padahal dzatnya hanya satu, yang berbeda hanya jalannya saja.

Sedangkan menurut Remy Silado, Tuhan berasal dari kata tuan yang dipakai untuk menterjemahkan Al Kitab agama Kristen. Agar lebih bermakna keilahian, kata tuan berubah menjadi Tuhan.

Sedangkan sebutan Allah bukan berasal dari sebutan manusia, tetapi Dia sendiri yang memperkenalkan DiriNya. QS Thaha 20 ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku. Namun Ketika orang ditanya perihal pengenalan mereka akan Allah, penjelasannya akan berbeda-beda, sebagaimana berikut:

Maulana Malik Ibrahim micara, “Allah iku wajib anane.”

(Maulana Malik Ibrahim berkata, “Allah itu wajib adanya.”)

Sunan Ampel micara, “Sapa kang mung ngakoni barang kang kasat mata wae, iku durung weruh jatining Pangeran.”

(Sunan Ampel menasehati, “Barang siapa hanya mengakui barang yang terlihat oleh mata saja, itu berarti belum mengerti hakekat Tetap.”)

Sunan Gunung Jati micara, “Utawi Allah iku ingkang wujud hak.” (Sunan Gunung Jati brkata, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud hak.”)

Sunan Giri micara, “Utawi Allah iku adohe tanpa wangenan, parek-e tanpa gepok-an.”

(Sunan Giri berpendapat, “Adapun Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa jarak.”)

Sunan Bonang micara, “Utawi Allah iku ora warna, ora rupa, ora arah, ora enggon, ora abasa, ora suara, wajib anane, makal ora anane.”

(Sunan Bonang berpendapat, “Adapun Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”)

Sunan Kalijaga micara, “Utawi Allah iku umpamane dalang manggung wayang.”

(Sunan Kalijaga berpendapat, “Adapun Allah itu seumpama dalang memainkan wayang.”)

Syekh Maghribi micara, “Utawi Allah iku angliputi ing sawiji-wiji.”

(Syekh Maghribi berpendapat, “Adapun Allah itu meliputi segala sesuatu.”)

Syekh Majagung micara, “Utawi Allah iku ora ika, dudu iku, nanging iki.”

(Syekh Majagung berpendapat, “Adapun Allah itu tidak itu, bukan itu, tetapi ini.”)

Syekh Bentong micara, “Utawi Allah dudu iku, dudu ika, iku ya iken.”

(Syekh Bentong berpendapat, “Adapun Allah itu bukan itu (dekat), bukan itu (jauh), itu ya ini.”

Syekh Lemahabang micara, “Utawi Allah iku kahanan ingsun. Kenang apa batur pada nganggo tedheng? Anna haq ilallah, pon oranana wujud loro, mangko Allah saiki Allah, tetap dhahir bathin Allah. Kenang apa batur pada nganggo gegendong? Utawi Allah iku nyataning ingsun kang sampurna kang tetap ing dalem lahir batin.”

(Syekh Lemahabang berpendapat, “Adapun Allah itu adalah keadaan aku. Kenapa hamba memakai penghalang? Aku hak Allah, kan tidak ada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap lahir batin Allah. Kenapa hamba memakai pelindung? Adapun Allah itu adalah kesejatian aku, yang sempurna, yang tetap dalam lahir-batin.”)

Sunan Kudus micara, “Sampun sok katalanjur basa, mungguh sad kawula utawi Allah punika tan sakutu padaning anyar.”

(Sunan Kudus berpendapat, “Jangan suka terlanjur bahasa, menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”)

Pak haji Slamet Utomo mengatakan bahwa adanya Yang Suwung, adanya gerak sejati, yaitu tumbuh dari kecil, membesar, menua lalu mati.

Bapak Mas Supranoto berkata, “Dulu kamu tidak ada, sekarang kamu ada. Jadi ketiadaan adalah keberadaan. Kamu mengetahui suatu keberadaan adalah menggunakan otakmu, namun otakmu tidak mampu memahami ketiadaan. Jadi untuk mengenal ketiadaan, kamu harus menggunakan kepercayaan. Kalau kamu sudah mengerti, sekarang kamu harus selalu menghadirkan yang tiada itu dan mendekatkan diri kepada Yang Tiada tersebut.”

Namun banyak juga orang menyebut Allah, namun karena lemahnya pengertian, Allah yang dimaksud adalah hasil imajinasi sendiri. Dengan Allah yang merupakan hasil imajinasinya sendiri, mereka berani berkonflik dengan masing-masing saling mengatasnamakan Allah. Contoh paling jelas adalah konflik antar aliran agama. Jadi sebutan Allah sangat mudah untuk dicatut. Marilah diuji dengan menanyakan kepada mereka perihal siapa Allah? Pasti mereka akan menjawab bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Yang mana? Dengan pertanyaan itu saja, mereka akan kebingungan menjelaskan. Ini membuktikan kebanyakan mereka hanyalah para pencatut asma Allah.

Oleh karena itu, marilah bersungguh-sungguh berjuang untuk mendalamkan pemahaman akan siapa Allah melalui apa yang tergelar yang merupakan penjelasan Allah akan DiriNya, agar kita tidak tersesat bahkan sampai dimurkai. Itupun harus dengan kesadaran bahwa tidak mungkin makhluk bisa memahami Allah, Pencipta-nya. Perlu diingat pula bahwa sudah menjadi sifat dasar manusia, yaitu apa saja yang bisa difahami manusia, akan bisa dikuasainya.

Pakde, bukannya aneh kita berusaha memahami Allah di saat yang bersamaan Dia tidak bisa difahami?

Memang begitu, Dia adalah dualisme dalam ketersembuyian dan cinta dikenal. Jadi, biarkan Dia memperkenalkan DiriNya. Tugas kita adalah semakin menguatkan upaya untuk terus-menerus berusaha mengenal-Nya sebagai hamba-Nya. Upaya kita sebagai makhluk yang paling dimuliakan-Nya adalah:

  1. Bersaksi bahwa Allah itu ada, yaitu melalui kenyataan yang terbeber di hadapan kita. Bukankah kenyataan yang terbeber mengisahkan pula keberadaan yang tidak kelihatan? Salah satu bukti bahwa kita mengakui keberadaan-Nya adalah doa. Bukankah doa merupakan pernyataan kita akan keberadaan Dia?
  2. Bersaksi bahwa eksistensi diri kita adalah yang dikuasai. Berarti diri kita merupakan suatu kesatuan dari Diri-Nya, yaitu sama-sama dikuasai oleh Kuasa itu sendiri. Keberadaan individu adalah dikeluarkan dari suatu kesatuan, supaya bisa menyaksikan. Berarti salah satu fitrah makhluk adalah menjadi saksi akan keberadaan Kuasa yang menyebut DiriNya dengan sebutan Allah. QS Thaha 20 ayat 14: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku!

Dengan menyaksikan kenyataan bahwa setiap individu diri manusia adalah yang dikuasai, maka sudah sepantasnya sadar diri bahwa setiap orang adalah hamba Allah. Tentunya sebagai hamba sudah tiada lagi yang diikuti termasuk dirinya, kecuali hanya Allah. Berarti setiap orang harusnya sadar bahwa nilai-nilai yang berlaku hanyalah nilai-nilai Allah dan perintah yang harus dilaksanakan adalah perintah yang berasal dari Allah.

  1. Sebagai hamba, tentunya kebahagiaannya adalah pada saat bisa hadir ke hadirat Allah, Tuhannya. Apalagi dengan laporan bahwa semua perintah-Nya telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Papahan, 26 November 2022

 

Jumat, 25 November 2022

Rumah Tangga Akhir Zaman


Pakde, berita perihal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) semakin marak, bahkan hingga membawa kepada kematian. Ini tanda-tanda apa dan bagaimana mengatasinya?

Ya ini sebagian tanda dari akhir zaman, yaitu akan banyak fitnah yang berasal dari kesalahan dalam penetapan system nilai pada masing-masing pribadi.

Maksud dari kesalahan dalam penetapan system nilai itu seperti apa, pakde?

Contohnya adalah dalam penerapan tentang hak azasi manusia. Bukankah hal ini dimaknai bahwa setiap orang boleh berbuat semaunya, asalkan tidak melanggar hak azasi orang lain? Dengan demikian bukankah kemaksiatan menjadi merajalela? Dengan semakin menguatnya kemauan orang, maka semakin ringanlah beban para setan dalam upaya menyesatkan bahkan membuat manusia dimurkai Allah. Bukankah kemauan atau ambisi individu akan mendorong kepada kesetanan? Sebagai akibatnya, dalam rumah tangga, karena masing-masing cenderung mendahulukan kepentingannya dengan memaksakan kepada pasangannya, maka perselisihan menjadi mudah disulut.

Lalu, bagaimana mengembalikan system nilai kepada yang seharusnya?

Nah, di situlah masalahnya. Mungkin hanya masalah atau bencana yang diterimanya yang mungkin merubah system nilainya. QS Al Mu’minuun 23 ayat 71: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka (Al Qur’an), tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. Oleh karena itu wajar kalau akan semakin banyak terjadi bencana alam, kecuali manusia mau bertobat dan kembali kepada system nilai Al Qur’an.

Pakde, kembali ke topik KDRT, system nilai yang bagaimana yang seharusnya?

Bukankah sudah disebutkan dalam QS An Nisa 4 ayat 34: Kaum laki-laki adalah pemimpin/pelindung bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Laki-laki sebagai pemimpin berkewajiban untuk memastikan tujuan yang sejati bisa diwujudkan. Sayangnya di zaman sekarang suami cenderung bersikap keras dan angkuh, sedangkan istri cenderung memaksakan keinginan kepada suaminya. Padahal untuk suami, sudah ada peringatan dari Allah, yaitu Allah tidak mencintai orang-orang yang banyak lagak (mukhtal) lagi tinggi omongannya (fakhur). Sedangkan untuk istri, Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Celakalah seorang suami yang menjadi budak istrinya.”

Lalu bagaimana seharusnya sikap suami kepada istrinya dan sebaliknya, pakde?

Bukankah sudah diterangkan dalam QS An Nisa 4 ayat 19: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut (ma’ruf). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dari informasi ini, kita mengetahui bahwa sebagai suami harus bersikap:

1.     Tidak menyusahkan istri karena hendak mengambil kembali apa yang telah diberikan,

2.     Bersedia bergaul dengan istri secara ma’ruf dan

3.     Berjuang menggali kebaikan (khairan) yang banyak dari istrinya.

Makna ma’ruf berarti mengenal, lawan kata dari munkar. Mengenal juga berarti mengerti. Berarti suami wajib berusaha mengerti akan istrinya. Bukankah melakukan suatu aktifitas tanpa pengertian disebut ngawur atau bahkan gila? Dengan demikian suami istri wajib bergaul dengan saling pengertian, bukan dengan watak keras lagi angkuh. Salah satu contoh akhlak Rasulullah (s.a.w.) dalam menghadapi istrinya dikisahkan sebagaimana berikut:

Pada suatu waktu, ‘Aisyah (r.a.) marah-marah kepada Rasulullah (s.a.w.) sehingga berbicara keluar batas, “Engkaukah yang mengaku seorang Nabi?”

Mendengar ucapan ‘Aisyah (r.a.) beliau hanya tersenyum dengan penuh kesabaran. Lalu beliau bersabda, “Aku tahu saat engkau marah dan saat engkau ridha.”

‘Aisyah (r.a.) berkata, “Bagaimana engkau mengetahui hal itu?”

“Jika engkau ridha, engkau berkata, “Tidak, demi Tuhan Muhammad. Akan tetapi, jika engkau marah, engkau berkata, “Tidak, demi Tuhan Ibrahim.”” Jawab Rasulullah (s.a.w.).

Lantas ‘Aisyah (r.a.) berkata, “Engkau benar, aku memang menghindari namamu, jika sedang marah.”

Rasulullah (s.a.w.) berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’in kepada Ummu Zar’in. Hanya saja aku tidak menceraikanmu.”

Makna berusaha untuk lebih banyak menggali kebaikan dari pasangannya, bukan memperbanyak mencari kesalahan adalah untuk mencegah perselisihan. Sudah menjadi keniscayaan bahwa dalam kehidupan suami istri, pasti ada kesenangan dan ada kesusahan. Keduanya adalah untuk saling menyempurnakan, bukankah dibalik kesusahan ada kecerdasan, kekuatan dan tekad yang bisa dipetik? Sedangkan pada kesenangan kita seolah beristirahat setelah lelah menghadapi penatnya kehidupan? Rasulullah (s.a.w.) bersabda, “Barangsiapa bersabar atas  keburukan akhlak istrinya, Allah akan memberinya pahala sebagaimana pahala yang diberikan Nabi Ayub (a.s.) atas kesabarannya menanggung ujian. Barangsiapa bersabar atas keburukan akhlak suaminya, Allah akan memberinya pahala sebagaimana pahala yang diberikan kepada Asiyah (r.a.) istri Fir’aun.”

Sedangkan sang istri berkewajiban untuk taat dan memelihara/menjaga diri di saat sang suami tidak berada di tempat. Jangan sampai menjadikan suami sebagai budaknya, yaitu dengan segala strategi dan cara agar menuruti kemauannya.

Oleh karena itu marilah kita berdoa kepada Allah, agar ditolong untuk bisa mengamalkan system nilai Al Qur’an tersebut dan bukan memohon kepada Allah hanya agar dihilangkan segala masalah dan diberi rezeki yang banyak. 

Selasa, 15 November 2022

Sang Penyesat

Sekarang ini makin marak saja orang-orang yang membaca kejadian-kejadian gaib, diantaranya melalui mediumisasi atau orang-orang Indigo. Mereka “merasa” mampu berkomunikasi dengan para jin, dengan orang-orang yang sudah meninggal bahkan konon dengan para malaikat. Karena hukum pasar berlaku, maka selama hal-hal ini banyak yang mencari, maka banyak yang menyediakan. Sehingga semakin banyak orang yang terjun ke pangsa pasar tersebut melalui berbagai institusi maupun aplikasi.

Kata “merasa”, maksudnya adalah sangkaan mereka. Padahal penampakan yang mereka tangkap bisa jadi adalah imajinasi mereka yang disusupkan oleh makhluk gaib, terutama oleh setan dari golongan Jin. Bukti bahwa imajinasi itu adalah susupan dari mereka adalah hantu-hantu yang dikesankan bersifat individual atau lokal atau tidak universal. Bukankah ini bermakna proses penyesatan sedang berlangsung semakin massif bahkan sudah memasuki kalangan umat yang mengaku beragama dan mengatasnamakan agama. Yang paling parah adalah yang mengatasnamakan Allah. Ingat! Orang tersesat adalah orang yang tidak mencapai tujuan sejatinya.

Salah satu proses penyesatan adalah melalui mediumisasi. Mediumisasi adalah proses menyusupkan sukma[1]. Proses mediumisasi kepada seseorang bisa jadi merupakan proses terkuasainya seseorang oleh sukma yang menyusup. Ini menandakan kelemahan diri orang tersebut. Sebagai khalifah Allah di muka bumi, tidak sepantasnya membiarkan dirinya terkuasai, kecuali oleh Allah SWT.

Salah satu tokoh yang dijadikan sebagai guru tertinggi oleh para pelaku mediumisasi adalah Sang Hyang Nurcahya ning Nirwana. Tokoh ini sebagaimana digambarkan oleh Ronggowarsito (semoga Allah mengampuninya) dalam buku Paramayoga konon setengah manusia setengah jin dan merupakan murid dari Idajil atau Azazil, nama lain dari Iblis laknatullah. Karena Iblis dengan setan pengikutnya sudah kita nyatakan sebagai musuh, tentunya tidak pantas kalau menjadikan Sang Hyang Nurcahya ning Nirwana sebagai tokoh panutan bahkan guru spiritual. Seolah orang-orang sudah lupa akan firman Allah dalam QS Al Jinn 72 ayat 6: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah dosa dana kesalahan.

Tokoh lain adalah Sabdopalon. Beliau dianggap sebagai penasehat spiritual orang Jawa. Dalam Serat Darmogandul, digambarkan bahwa Sabdopalon akan menunggu orang bermata satu yang biasa disebut dengan Dajjal. Tokoh ini juga sering diidentikkan dengan Semar. Kebetulan juga tokoh Semar atau Janggan Smarasanta yang spesifik hanya ada di tanah Jawa, menurut Ronggowarsito masih keturunan dari Sang Hyang Nurcahya ning Nirwana.

Kalau kita memperhatikan dongeng-dongeng mitologi dari Nusantara maupun dari negeri barat, ide cerita ini disusupkan dari alam gaib ke pikiran manusia dan dituangkan dalam berbagai media. Kisah-kisah seperti Mahabharata, Ramayana bisa jadi adalah kisah perihal kerajaan-kerajaan jin yang sulit untuk dikorelasikan dengan bukti-bukti arkeologi.

Sedangkan jin itu sendiri sejatinya makhluk apa? QS Al Hijr 15 ayat 27: Dan Kami telah menciptakan jin sebelumnya dari api yang sangat panas. QS Ar Rahman 55 ayat 15: dan Dia menciptakan jin dari nyala api. Bukankah nyala api tidak memiliki bentuk yang tetap? Bukankah nyala api itu menerangi namun juga membakar? Memang tidak dipungkiri bahwa terang bisa membawa Kepada petunjuk. Namun, bukankah Rasul untuk kita dari kaum kita bukan dari golongan jin? QS At Taubah 9 ayat 128: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

Tokoh-tokoh tersebut tidak disebutkan dalam Kitab-Kitab Suci, namun hanya dalam buku-buku Mitologi. Keberadaanya hanya sebatas pengakuan orang-orang yang “merasa” telah berhubungan dengannya. Apakah tokoh tersebut ada? Bisa jadi ada. Namun risalah apakah yang dibawanya? Keduanya hanyalah membantu agar kemauan orang-orang yang mengikutinya terwujudkan. Tidak tahukah bahwa kemauan mendorong diri seseorang menjadi kalap, kesetanan? Bukankah sudah dibuktikan bahwa kehidupan kita adalah sebagai hamba Allah?

Semoga itu hanyalah bagian dari hiburan kehidupan dan tidak untuk dipercayai. Mengingat informasi yang disampaikan tetap harus diverifikasi dengan fakta-fakta yang ada. Yang dikhawatirkan adalah tanpa disadari system kepercayaan dan system nilai orang-orang berubah dan menjadikan opini mereka sebagai kebenaran yang dipercayai. Dan ingat juga peringatan dari Nabi (saw) untuk memohon perlindungan Allah dari fitnah kubur dan fitnah Dajjal.

 



[1] Sukma adalah segala sesuatu yang menyusup kepada seseorang.

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...