Jumat, 17 Maret 2023

Maqam #1: Tawakkal

QS At Taubah 9 ayat 129, Allah (S.W.T.) berfirman:

Jika mereka berpaling, maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.”

Jibril (a.s.) menjelaskan: Tawakkal berarti engkau mempunyai sikap bahwa selain ALLAH tidak ada yang bisa mendatangkan sebarang kerugian atau manfaat, memberi atau melarang, dan engkau bersikap tidak menaruh harap pada selain-Nya. Apabila seorang hamba bersikap dan mempunyai sifat seperti ini, maka dia tidak akan mengerjakan sesuatu melainkan karena ALLAH semata. Dia tidak berharap dan tidak takut melainkan kepada ALLAH. Dia tidak serakah memohon kecuali kepada ALLAH. Inilah yang disebut tawakkal.

Ibarat seseorang sedang berkasus hukum, lalu dia mewakilkan kepada pengacaranya. Bukankah dia percaya bahwa sang pengacara itulah yang akan membantu menyelesaikan kasusnya? Jadi semestinya sikap bertawakkal kepada Allah paling tidak seperti itu.

Manusia semakin larut dalam menyekutukan Allah. QS Al Kahfi sudah menjelaskan beberapa kasus perihal menyekutukan Allah, yaitu iman bahwa harta adalah solusi atas segala masalah, dengan ilmu kita merasa paling tahu, dengan kekuasaan kita merasa paling hebat. Contoh sederhana dalam kehidupan kita adalah ketika kita sakit, maka kita segera minum obat atau ke dokter atau ke rumah sakit atau bahkan ke orang pinter, karena mereka kita percayai bisa menyembuhkan. Berbeda dengan sikap orang yang beriman kepada Allah, ketika dia sakit, dia menerima sakit tersebut dengan sikap bersyukur. Dan bilamana waktunya sudah tiba, maka sakit tersebut akan sembuh dengan sendirinya melalui perubahan sikap meninggalkan kesalahan atau dengan ridha Allah mengobati penyakitnya.

Jadi marilah kita bangun sikap hanya kepada Allah kita bertawakkal. Dan kalau kita goyah, ragu bahkan sampai mempertanyakan, maka tanamkanlah kuat-kuat ke dalam diri kita bahwa kita bertawakkal kepada Allah dengan ayat di atas.

Mutiara Papahan, 15 Sya’ban 1444 H

Sabtu, 11 Maret 2023

Eksistensi Dijelaskan Akal Dengan Nama, Bukan Rasa

 Ali (k.w.) mengatakan:

Alif adalah cara akal untuk menjelaskan sesuatu keberadaan, yaitu melalui nama. Nama tersusun atas huruf-huruf yang dirangkai menjadi kata yang kemudian berkembang menjadi kalimat. Huruf awalnya berasal dari titik lalu menjadi garis. Sehingga Alif adalah sebutan paling awal. Titik adalah wilayah yang belum diketahui, hanya bisa didekati dengan kepercayaan atau iman.

Keberadaan atas segala sesuatu bukan dijelaskan dengan rasa atau perasaan (a5’’). Pada persepsi inilah, maka banyak orang menjadi tersamarkan akan kebenaran. Rasa (a5’’) hanya memberikan penilaian senang atau tidak senang. Penjelasan Ali (k.w.) sudah jelas bahwa akal (a7’’’) menjelaskan keberadaan atas segala sesuatu dengan sebutan, yaitu nama.

Bukankah segala sesuatu itu tersimpan dalam memori (a5’’’), yang disebut dengan ilmu atau pengetahuan? Manusia membahas segala sesuatu dengan dasar memori (a5’’’), baik berupa imej atau kesan atau berupa sebutan atau nama. Barangkali yang dimaksud dengan Lauh Mahfudz adalah memori (a5’’’), karena semuanya tersimpan di dalamnya. Semua ilmu pasti terbagi atas tiga kelompok, yaitu pasti tahu atau Katon (A8), masih teori karena belum tahu atau dikira-kira atau karang (A9) dan pasti tidak tahu atau klenik (A10).

Semisal orang mau menjelaskan tentang bumi. Sebelum ada sebutan bumi, orang itu akan menyebut dengan ini atau itu. Namun karena ini dan itu tidak jelas, maka akal (a7’’’) memberikan rumusan berupa huruf yang merupakan kumpulan titik-titik. Kemudian sebutan bumi disepakati sebagai planet tempat manusia hidup. Sehingga ketika orang membahas tentang planet yang dihuni manusia, mereka menggunakan sebutan bumi. Dengan adanya sebutan atau nama, maka akan memudahkan pengertian (a6’’’) menarik manfaat atas keberadaan sesuatu. Manfaat akan semakin banyak ditarik bilamana dirumuskan terlebih dahulu. Jadi dengan pengertian (a6’’’) manusia mengembangkan peradaban.

Peradaban berlangsung melalui ditemukannya hukum-hukum alam yang dituangkan dalam rumus-rumus? Dan dengan rumus, manusia kemudian mengembangkan ilmu dan teknologi serta cara mewujudkan manfaat. Ini adalah cara akal (a7’’’) untuk membuktikan keberadaan.

Manusia tidak selalu sukses dalam membuktikan keberadaan, namun tidak bagi Allah (S.W.T.). Dia hanya cukup dengan “Kun fayakun“. Kegagalan manusia dalam proses mewujudkan bukan berarti keberadaan wujud tersebut tidak ada. Ini lebih disebabkan oleh kekuasaan yang diperlukan belum atau tidak dianugerahkan Allah kepada manusia. Contoh sederhana adalah tokoh fiktif seperti Ironman, manusia saat ini hanya mampu mewujudkannya dalam film-film. Entah kelak.

 

Mutiara Papahan, 18 Sya’ban 1444 H

Rabu, 08 Maret 2023

Maqam #5: ZUHUD

Nabi (s.a.w.) bersabda:

Kecintaan kepada keduniawian merupakan induk segala kesalahan.

Kezuhudan dari keduniawian merupakan induk setiap kebaikan dan ketaatan.

 

Zuhud adalah sikap orang yang mencintai orang yang cinta kepada Khaliq-nya, benci kepada orang yang membenci Khaliq-nya, bersikap hati-hati dari bagian dunia yang halal, dan tidak menoleh pada yang haram. Karena yang halal pasti dihisab dan yang haram pasti dihukum. Dia kasih kepada seluruh kaum yang berserah diri kepada Allah seperti halnya dia kasih kepada dirinya sendiri. Dia bersikap waspada ketika berbicara, sebagaimana dia menghindar dari bangkai yang sangat busuk baunya. Dia berhati-hati dari tipu daya dunia dan keindahannya, sebagaimana dia menghindari api dari melahapnya. Dia tidak berangan-angan panjang dan menganggap seakan ajalnya sudah berada di hadapannya.

 

Mutiara Papahan, 22 Rajab 1444 H

Allah Maha Esa, Bukti Secara Matematika

Kekuasaan itu banyak, namun kekuasaan itu milik Yang Kuasa. Yang Kuasa itu pasti tunggal. Ibarat bilangan, semua bilangan berawal dari satu (1). Semisal bilangan Nol (0) berasal dari bilangan satu (1) dikurangi bilangan satu (1). Lima (5) adalah lima buah bilangan satu (1).

Kenapa awal tidak dari bilangan nol (0)? Karena bilangan nol (0) adalah tanda ketiadaan. Sedangkan Yang Kuasa adalah pasti ada-Nya. Jadi tidak mungkin bilangan nol (0).

Kenapa awal tidak dari bilangan tak terhingga ( )? Karena Yang Kuasa itu tidak mungkin banyak, sehingga Dia harus berbagi. Kalau berbagi pasti akan saling berkonflik.

Mutiara Papahan, 30 Rajab 1444 H

Thoifah Manshurah

Nabi (s.a.w.) bersabda:

Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang menang di atas kebenaran. Orang-orang yang menelantarkan mereka tidak akan membahayakan mereka dan demikian pula dengan orang-orang yang menyelisihi mereka, sampai datang ketetapan Allah.”

 

Thoifah artinya kelompok atau golongan. Manshurah artinya yang ditolong. Jadi Thoifah Manshurah adalah golongan yang ditolong, dalam hal ini ditolong oleh Allah Yang Maha Kuasa. Tentunya dengan pertolongan Allah berupa kekuasaan, pastilah mereka selalu menang, tidak mungkin terkalahkan.

Kemenangan itu bukan karena upaya. Karena upaya hanyalah pendekatan akan keberhasilan. Kepastiannya adalah karena pertolongan Allah Yang Maha Kuasa. Sehebat apapun ilmu dan kemampuan yang dimiliki, sekeras apapun tekad yang ditanamkan dan sekonsisten apapun semangat yang dibangun tidak akan mampu menghasilkan kepastian akan keberhasilan.

Oleh karena itu marilah kita menetapkan diri sebagai Thoifah Manshurah dengan selalu memohon pertolongan Allah, disamping meningkatkan ilmu dan kemampuan, tekad serta semangat pantang menyerah melalui upaya selalu bersyahadat (sadar sebagai saksi, hamba dan khalifah Allah), mendirikan sholat (meningkatkan ilmu dan kemampuan), menunaikan zakat (menetapkan tekad), menjalankan puasa (membangun semangat) dan memuliakan diri dengan haji.

 

Mutiara Papahan, 10 Sya’ban 1444 H

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...