Ketika masih anak-anak,
dengan teman-teman sepermainan kami biasa berteka-teki dengan tantangan: “Siapa
bisa memegang aku?” Dan teman-teman berebutan memegang tubuhku. Saat itu aku
hanya bisa bilang bahwa ndak ada yang bisa memegang aku. Karena yang terpegang
hanyalah bagian-bagian dari tubuhku. Dan kami pun bubar, karena sadar bahwa mereka
tidak ada yang bisa memegang “aku”.
Selain itu, saya juga jejaki
masa-masa kecil diantaranya melalui informasi ilmiah, yaitu proses kelahiran
bayi. Bayi yang dihasilkan dari pembuahan sperma bapak kepada sel telur ibu
dalam rahimnya. Dari janin yang bisa diketahui dari detak jantungnya hingga
mulai bernafas dan bergerak. Saat lahir si bayi mulai bisa mendengar melalui
telinganya dan melihat dengan matanya. Dia mulai berjalan kian kemari sembari
berteriak dan menangis. Saat daya ingat mulai muncul, dia mulai mengucapkan
beberapa patah kata. Lalu dia akan mulai berimajinasi dan terakhir mulai
berkarya. Kalau diteliti, maka pada diri seseorang terdapat empat hal, yaitu
aku
atau jiwa, raga, daya & kemampuan
dan ruhnya.
Lalu siapakah “aku”?
Kita tidak ingat, sejak
kapan kita mulai sadar diri. Ketika kita tidur ataupun mabuk ataupun pingsan,
kita juga tidak sadar. Anehnya, meski kita tidak sadar, tetapi ada yang
menyaksikan bahwa kita tidak sadar. Bahkan kita kemudian bisa bercerita bahwa
saat tidak sadar, tidak ingat apa-apa, tidak tahu apa-apa, namun bisa bercerita
bahwa dia tidak tahu apa-apa. Demikian pula saat bermimpi, setelah terbangun /
sadar dia bisa bercerita perihal mimpinya. Siapakah yang menyaksikan itu?
Akukah ataukah kita sebut dengan “yang (kuasa) menyaksikan”?
Untuk menjawab pertanyaan
siapakah yang menyaksikan, QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
Jadi jelas bahwa yang menyaksikan adalah sang diri atau aku atau jiwa.
Apakah jiwa yang menyaksikan
itu yang sadar?
Bukankah seseorang disebut
sadar, bilamana dia bisa mempertanggung-jawabkan ucapan dan tidakannya? Apakah
sang jiwa yang menyaksikan sudah bisa dituntut tanggung jawabnya? Ibarat
seseorang menyaksikan peristiwa kejahatan, apakah dia dituntut atas kejahatan
itu? Kan tidak. Kecuali dia memiliki kemampuan untuk mencegah, namun tidak
dipergunakannya. Artinya yang menyaksikan bersekongkol. Jadi aku yang menyaksikan
belum bisa disebut sadar, bilamana dia belum bisa memberikan peniaian akan baik
atau buruk dan mampu mengambil tindakan pencegahan serta tahu akan adanya
peristiwa kejahatan.
Lalu kapankah seseorang
disebut sadar?
Seseorang disebut sadar,
bilamana dia sudah bisa menilai dengan penilaian qalbu a5’’, sudah mampu
memanfaatkan fungsi sensorik dan motorik a5’ dan sudah tahu melalui konfirmasi
memori a5’’’. Sadar ini berhubungan dengan kemampuan mempertanggung-jawabkan ucapan
dan tindakannya. QS Al Baqarah 2 ayat 225: Allah tidak menghukum sumpahmu
yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh
qalbumu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Bagaimana dengan penelitian
atau pengamatan orang-orang terdahulu perihal ini?
Kitab Durratun Nasihin karya
Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir[1]
menyebutkan:
Ketika Allah menciptakan
akal, Dia bertanya kepada akal, “Siapa Aku dan siapa kamu?”
Akal menjawab, “Engkau
Tuhanku dan aku hamba-Mu.”
Puas dengan jawaban
tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih
mulia dari akal.
Berbeda ketika Dia
menciptakan jiwa. Ketika jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”
Jiwa menjawab, “Aku ya
aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”
Jiwa pun disiksa dalam
neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama.
Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”
Dalam referensi lain, yaitu
Injil Barnabas[2]
disampaikan sebagai berikut:
Berkata Yesus, “Adakah
seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan[3]
tiada bekerja padanya?”
“Tidak”, kata
pengikut-pengikut itu.
“Kamu menipu dirimu
sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan
cacat puntung, dimana perasaannya? Dan kapan seorang
manusia berada dalam pingsan?”
Kemudian para pengikut itu
telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia,
yaitu ruh, perasaan dan daging. Tiap satu
diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah
kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan.
Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada
kamu semua.”
…
“Demi Allah [yang] pada
hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita,
karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan.
Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah
hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka
menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang
cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu,
ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu
manakah akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak
pernah. Tetapi kehidupan tanpa perasaan dan
kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana
perasaan meninggalkannya.”
Thaddeus menjawab, “O Guru,
apabila perasaan meninggalkan
kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”
Yesus menjawab, “Ini tidak
benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena
ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh mukjizat. Akan
tetapi perasaan akan hilang lantaran
ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh perasaannya.
Justru perasaan itu telah diciptakan
Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan
sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu
dan kasih sayang.
Rasa perasaan memberontak
menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan
kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama
untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya
dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?
Sungguh aku berkata kepadamu
bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam
salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah.
Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi
makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba
Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.
Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana
perasaan bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) didalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti perasaan itu,
memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak
menyenangkan dan tak beramal shalih.”
Dari informasi di atas kita mengetahui
kenapa manusia diciptakan di alam
dunia, yaitu dihukum karena jiwa/dirinya tidak mau menerima Allah sebagai
Ilah-nya. Bukankah begitu kenyataannya?
Alam dunia menurut
teori Big Bang berasal dari api. Api memiliki fitrah membakar,
panas dan menerangi. Dengan menjalani kehidupan di dunia, manusia dibakar,
dipanasi dan diterangi agar tahu diri bahwa dia hanyalah hamba dari Allah Yang
Maha Kuasa.
Perihal penciptaan raga tertulis
dalam QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman
kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; Maka
hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”
Dalam QS As Sajdah 32 ayat
7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya
dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati (al af`idah)[4];
(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
QS Ath Thariq 86 ayat
6-7: Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara
tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Berdasarkan
ayat-ayat tersebut, individu orang tercipta melalui jiwa
diturunkan ke raganya.
QS An Nahl 16 ayat 78: Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af`idah),
agar kamu bersyukur.
QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia
menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?
QS Al Mu’minuun 23 ayat
12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian,
sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.
Pada hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: Abu Abdurrahman bin Mas’ud
ra berkata bahwa Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Sesungguhnya, setiap kalian
dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah,
kemudian menjadi ‘alaqah selama
itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama
itu juga, kemudian meniupkan ruh kepadanya ….’’
Yang menarik dari ayat-ayat di atas adalah asal
usul manusia yang dinyatakan berasal dari surga, yaitu Nabi Adam (a.s.). itu
artinya ketika Allah SWT akan menciptakan manusia, fitrahnya adalah penghuni
alam yang penuh kenikmatan, yaitu surga. Namun karena melanggar aturan Allah,
sehingga beliau dikeluarkan dari Surga dan hidup di muka bumi. Demikian pula
dengan keturunannya, yaitu kita. QS Al A’raf 7 ayat 24: Allah berfirman:
“Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang
lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka bumi sampai
waktu yang ditentukan.”
Dalam menjalani kehidupan di
alam api, manusia diberi daya dan kemampuan untuk beraktifitas. Ada
daya raga a1’ – a4’ dan kemampuan raga, seperti sensorik dan motorik a5’, daya
hati a1’’ – a4’’ dan kemampuan hati, yaitu penilaian hati a5’’ dan kemauan a6’’
dan daya otak a1’’’ – a4’’’ dan kemampuan otak, seperti memori a5’’’,
pengertian a6’’’ dan akal a7’’’. Tentunya sebagai makhluk yang cerdas,
seharusnya mengenal dan melatih daya kemampuan tersebut untuk menjalankan
pendidikan di alam dunia dan menjalankan perintah sebagai hamba Ilahi. Melalui raga
pula seseorang diberi nikmat dan juga dilaknat. Semuanya itu proses pendidikan
Ilahi agar manusia kembali kepada fitrahnya.
Ruh diketahui melalui aktifitas nafas dan akal
pikirannya. Ruh adalah rahasia Ilahi yang berhubungan dengan perintah
bersujudnya para malaikat kepada Nabi Adam (a.s.). Dengan penguatan iman oleh
ruh, maka manusia bisa mengembangkan peradaban yang tidak bisa dilakukan
makhluk lain. Perhatikan! Semua proses perwujudan karya manusia pasti karena
dorongan iman. Paling tidak dia beriman bahwa yang dimaui akan terwujud. Walau
sebaiknya imannya diletakkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, iman kepada malaikat
yang menyampaikan cita-cita kepadanya, iman kepada Kitab yang merupakan
cita-cita itu, iman kepada dirinya sebagai diutus sebagai Rasul / hamba untuk
mewujudkannya, iman kepada qadha dan qadar dan iman bahwa pasti akan terwujud
pada waktunya.
Bagaimana dengan hidup? Apakah tumbuhan dan
hewan, demikian pula dengan mesin dan robot-robot seperti manusia, bisa disebut
hidup?
Menurut QS Ali Imran 3 ayat 185, QS Al Anbiya 21
ayat 35 dan QS Al Ankabut 29 ayat 57, setiap yang berjiwa (nafsin) akan mengalami maut. Karena maut adalah lawan kata dari
hidup, maka semua diri yang bisa beraktifitas dengan ragawi disebut hidup. Hidup
diketahui dari adanya nafas. Kalau sudah hilang nafasnya, raganya disebut tidak
hidup atau mati. Dengan demikian kematian adalah proses dimana ujungnya adalah
terpisahnya jiwa dari raga dengan ditandai hilangnya nafas.
Pada saat kematian,
bagaimana dengan akunya? Sulit menjawab pertanyaan ini karena kita belum pernah
mati. Sehingga hanya bisa mengandalkan informasi Nabi (s.a.w.) bahwa setelah
terpisahnya jiwa dari raga, maka jiwa akan dibawa menghadap Ilahi. Bisa
menembus langit atau tidak tergantung dari amalannya.
Keberadaan ruh
ditandai
dengan adanya nafas. Hampir
sama dengan hidup. Namun Isa Almasih dalam Injil Barnabas dengan tegas
menyatakan bahwa ruh hidup dengan ilmu dan kasih sayang dan tidak ada pada
tumbuhan dan hewan yang sama-sama disebut hidup. Berarti ruh inilah yang
menyampaikan ilmu dan kasih sayang kepada diri manusia, agar tahu, mampu dan
mau untuk mewujudkan cita-citanya sebagai hamba Ilahi. Namun manusia
kecenderungannya adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri bahkan menjadikan
dirinya sebagai Ilahnya.
Dengan ilmu, kita
menyikapi dan mengamalkannya. Hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui dan yang
bisa memberi hidayah.
Jakarta,
11 Juli 2020
[1] Idrus H. Alkaf, Terjemah Durratun Nasihin, CV Karya Utama,
Surabaya, hal. 28
[2] Rahnip M BA, Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984,
hal. 140-142
[3] Perasaan yang dimaksud dalam Terjemah Injil Barnabas barangkali
adalah jiwa seperti yang dimaksud dalam Terjemah Durratun Nasihin atau diri
yang disebut dengan “aku”, bukan perasaan hati atau indra kulit.
[4] Hati atau al af-idah adalah kemampuan menarik manfaat.