Kamis, 29 Juni 2023

Hakekat Diri Dan Perbedaan Antara Diri Yang Menyaksikan Dengan Dzikir

Ketika masih anak-anak, dengan teman-teman sepermainan kami biasa berteka-teki dengan tantangan: “Siapa bisa memegang aku?” Dan teman-teman berebutan memegang tubuhku. Saat itu aku hanya bisa bilang bahwa ndak ada yang bisa memegang aku. Karena yang terpegang hanyalah bagian-bagian dari tubuhku. Dan kami pun bubar, karena sadar bahwa mereka tidak ada yang bisa memegang “aku”.

Selain itu, saya juga jejaki masa-masa kecil diantaranya melalui informasi ilmiah, yaitu proses kelahiran bayi. Bayi yang dihasilkan dari pembuahan sperma bapak kepada sel telur ibu dalam rahimnya. Dari janin yang bisa diketahui dari detak jantungnya hingga mulai bernafas dan bergerak. Saat lahir si bayi mulai bisa mendengar melalui telinganya dan melihat dengan matanya. Dia mulai berjalan kian kemari sembari berteriak dan menangis. Saat daya ingat mulai muncul, dia mulai mengucapkan beberapa patah kata. Lalu dia akan mulai berimajinasi dan terakhir mulai berkarya. Kalau diteliti, maka pada diri seseorang terdapat empat hal, yaitu aku atau jiwa, raga, daya & kemampuan dan ruhnya.

Lalu siapakah “aku”?

Kita tidak ingat, sejak kapan kita mulai sadar diri. Ketika kita tidur ataupun mabuk ataupun pingsan, kita juga tidak sadar. Anehnya, meski kita tidak sadar, tetapi ada yang menyaksikan bahwa kita tidak sadar. Bahkan kita kemudian bisa bercerita bahwa saat tidak sadar, tidak ingat apa-apa, tidak tahu apa-apa, namun bisa bercerita bahwa dia tidak tahu apa-apa. Demikian pula saat bermimpi, setelah terbangun / sadar dia bisa bercerita perihal mimpinya. Siapakah yang menyaksikan itu? Akukah ataukah kita sebut dengan “yang (kuasa) menyaksikan”?

Untuk menjawab pertanyaan siapakah yang menyaksikan, QS Al A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” Jadi jelas bahwa yang menyaksikan adalah sang diri atau aku atau jiwa.

Apakah jiwa yang menyaksikan itu yang sadar?

Bukankah seseorang disebut sadar, bilamana dia bisa mempertanggung-jawabkan ucapan dan tidakannya? Apakah sang jiwa yang menyaksikan sudah bisa dituntut tanggung jawabnya? Ibarat seseorang menyaksikan peristiwa kejahatan, apakah dia dituntut atas kejahatan itu? Kan tidak. Kecuali dia memiliki kemampuan untuk mencegah, namun tidak dipergunakannya. Artinya yang menyaksikan bersekongkol. Jadi aku yang menyaksikan belum bisa disebut sadar, bilamana dia belum bisa memberikan peniaian akan baik atau buruk dan mampu mengambil tindakan pencegahan serta tahu akan adanya peristiwa kejahatan.

Lalu kapankah seseorang disebut sadar?

Seseorang disebut sadar, bilamana dia sudah bisa menilai dengan penilaian qalbu a5’’, sudah mampu memanfaatkan fungsi sensorik dan motorik a5’ dan sudah tahu melalui konfirmasi memori a5’’’. Sadar ini berhubungan dengan kemampuan mempertanggung-jawabkan ucapan dan tindakannya. QS Al Baqarah 2 ayat 225: Allah tidak menghukum sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh qalbumu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Bagaimana dengan penelitian atau pengamatan orang-orang terdahulu perihal ini?

Kitab Durratun Nasihin karya Syekh Utsman bin Hasan Asy-Syakir[1] menyebutkan:

Ketika Allah menciptakan akal, Dia bertanya kepada akal, “Siapa Aku dan siapa kamu?”

Akal menjawab, “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.”

Puas dengan jawaban tersebut, Allah berfirman bahwa Dia tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari akal.

Berbeda ketika Dia menciptakan jiwa. Ketika jiwa ditanya Allah, “Siapa Aku dan siapa engkau?”

Jiwa  menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka panas selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka dingin selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun tetap menjawab, “Aku ya aku, Engkau ya Engkau.”

Jiwa pun disiksa dalam neraka lapar selama 1000 tahun. Lalu ditanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Jiwa pun akhirnya menyerah dan menjawab, “Aku hamba-Mu dan Engkau Tuhan-ku.”

Dalam referensi lain, yaitu Injil Barnabas[2] disampaikan sebagai berikut:

Berkata Yesus, “Adakah seorang manusia dijumpai yang masih ada kehidupan pada dirinya, akan tetapi perasaan[3] tiada bekerja padanya?”

“Tidak”, kata pengikut-pengikut itu.

“Kamu menipu dirimu sekalian”, kata Yesus. “Karena orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan cacat puntung, dimana perasaannya? Dan kapan seorang manusia berada dalam pingsan?”

Kemudian para pengikut itu telah bingung, ketika Yesus berkata, “Ada tiga hal yang menjadikan manusia, yaitu ruh, perasaan dan daging. Tiap satu diantaranya terpisah. Allah kita menciptakan ruh dan jasad, sebagai yang telah kamu dengar, tetapi kamu belum mendengar bagaimana Dia menciptakan perasaan. Oleh sebab itu besok kalau Allah memperkenankan, aku akan menceritakan kepada kamu semua.”

“Demi Allah [yang] pada hadirat-Nya ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita, karena demikian rapatnya hubungan antara ruh dan perasaan. Sehingga sebagian besar manusia mengiyakan ruh dan perasaan adalah hal yang satu dan sama, namun terbagi dalam penugasan bukan dalam wujud. Mereka menyebutnya sensitif (rasa perasaan), vegetatif (rasa tumbuh) dan jiwa yang cerdas (intellectual soul). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berakal dan hidup. Orang-orang dungu manakah akan mereka dapatkan ruh berakal tanpa kehidupan? Tentulah tidak pernah. Tetapi kehidupan tanpa perasaan dan kehendak sudah dijumpai, sebagaimana keadaan ketidak-sadaran, dimana perasaan meninggalkannya.”

Thaddeus menjawab, “O Guru, apabila perasaan meninggalkan kehidupan, seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”

Yesus menjawab, “Ini tidak benar, sebab manusia kehilangan kehidupan apabila ruh meninggalkannya, karena ruh itu tidak kembali lagi ke dalam tubuh, terkecuali oleh mukjizat. Akan tetapi perasaan akan hilang lantaran ketakutan yang dialaminya atau kesedihan yang sangat diderita oleh perasaannya. Justru perasaan itu telah diciptakan Allah untuk kesenangan dan dengan kesenangan itu sendiri, dia hidup. Bahkan sebagaimana tubuh itu hidup oleh makanan, ruh itu hidup dengan ilmu dan kasih sayang.

Rasa perasaan memberontak menentang ruh melalui perasaan marah. Hal ini berarti dia telah kehilangan kesenangan surga karena dosa. Oleh sebab itu adalah kewajiban yang paling utama untuk memeliharanya dengan kesenangan ruhani bagi orang yang tidak ingin hidupnya dalam kesenangan jasmani. Mengertikah kamu?

Sungguh aku berkata kepadamu bahwa Allah telah menciptakannya, telah menghukumnya ke neraka dan ke dalam salju dan es yang tak tertahankan karena ia berkata bahwa ia adalah Allah. Tetapi ketika Dia menghilangkan pemeliharaan terhadapnya dengan membawa pergi makanannya dari padanya, barulah ia mengetahui bahwa ia adalah seorang hamba Allah dan pekerja bagi tangan-tangan-Nya.

Dan sekarang ceriterakanlah kepadaku, bagaimana perasaan bekerja pada orang kafir? Pasti itu adalah sebagai Tuhan (Ilah) didalam diri mereka, mengingat bahwa mereka mengikuti perasaan itu, memungkiri akal dan hukum Allah. Oleh sebab itu mereka menjadi tak menyenangkan dan tak beramal shalih.”

Dari informasi di atas kita mengetahui kenapa manusia diciptakan di alam dunia, yaitu dihukum karena jiwa/dirinya tidak mau menerima Allah sebagai Ilah-nya. Bukankah begitu kenyataannya?

Alam dunia menurut teori Big Bang berasal dari api. Api memiliki fitrah membakar, panas dan menerangi. Dengan menjalani kehidupan di dunia, manusia dibakar, dipanasi dan diterangi agar tahu diri bahwa dia hanyalah hamba dari Allah Yang Maha Kuasa.

Perihal penciptaan raga tertulis dalam QS Shaad 38 ayat 71-72: (Ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada Malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; Maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.”

Dalam QS As Sajdah 32 ayat 7-9: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af`idah)[4]; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

QS Ath Thariq 86 ayat 6-7: Ia diciptakan dari air yang dipancarkan, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, individu orang tercipta melalui jiwa diturunkan ke raganya.

QS An Nahl 16 ayat 78: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (al af`idah), agar kamu bersyukur.

QS Az Zumar 39 ayat 6: Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

QS Al Mu’minuun 23 ayat 12-16: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang  belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: Abu Abdurrahman bin Mas’ud ra berkata bahwa Rasulullah s.a.w telah bersabda: “Sesungguhnya, setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu juga, kemudian menjadi mudhghah selama itu juga, kemudian meniupkan ruh kepadanya ….’’

Yang menarik dari ayat-ayat di atas adalah asal usul manusia yang dinyatakan berasal dari surga, yaitu Nabi Adam (a.s.). itu artinya ketika Allah SWT akan menciptakan manusia, fitrahnya adalah penghuni alam yang penuh kenikmatan, yaitu surga. Namun karena melanggar aturan Allah, sehingga beliau dikeluarkan dari Surga dan hidup di muka bumi. Demikian pula dengan keturunannya, yaitu kita. QS Al A’raf 7 ayat 24: Allah berfirman: “Turunlah kamu sekalian, sebahagian kamu menjadi musuh bagi sebahagian yang lain. Dan kamu mempunyai tempat kediaman dan kesenangan di muka bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Dalam menjalani kehidupan di alam api, manusia diberi daya dan kemampuan untuk beraktifitas. Ada daya raga a1’ – a4’ dan kemampuan raga, seperti sensorik dan motorik a5’, daya hati a1’’ – a4’’ dan kemampuan hati, yaitu penilaian hati a5’’ dan kemauan a6’’ dan daya otak a1’’’ – a4’’’ dan kemampuan otak, seperti memori a5’’’, pengertian a6’’’ dan akal a7’’’. Tentunya sebagai makhluk yang cerdas, seharusnya mengenal dan melatih daya kemampuan tersebut untuk menjalankan pendidikan di alam dunia dan menjalankan perintah sebagai hamba Ilahi. Melalui raga pula seseorang diberi nikmat dan juga dilaknat. Semuanya itu proses pendidikan Ilahi agar manusia kembali kepada fitrahnya.

Ruh diketahui melalui aktifitas nafas dan akal pikirannya. Ruh adalah rahasia Ilahi yang berhubungan dengan perintah bersujudnya para malaikat kepada Nabi Adam (a.s.). Dengan penguatan iman oleh ruh, maka manusia bisa mengembangkan peradaban yang tidak bisa dilakukan makhluk lain. Perhatikan! Semua proses perwujudan karya manusia pasti karena dorongan iman. Paling tidak dia beriman bahwa yang dimaui akan terwujud. Walau sebaiknya imannya diletakkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, iman kepada malaikat yang menyampaikan cita-cita kepadanya, iman kepada Kitab yang merupakan cita-cita itu, iman kepada dirinya sebagai diutus sebagai Rasul / hamba untuk mewujudkannya, iman kepada qadha dan qadar dan iman bahwa pasti akan terwujud pada waktunya.

Bagaimana dengan hidup? Apakah tumbuhan dan hewan, demikian pula dengan mesin dan robot-robot seperti manusia, bisa disebut hidup?

Menurut QS Ali Imran 3 ayat 185, QS Al Anbiya 21 ayat 35 dan QS Al Ankabut 29 ayat 57, setiap yang berjiwa (nafsin) akan mengalami maut. Karena maut adalah lawan kata dari hidup, maka semua diri yang bisa beraktifitas dengan ragawi disebut hidup. Hidup diketahui dari adanya nafas. Kalau sudah hilang nafasnya, raganya disebut tidak hidup atau mati. Dengan demikian kematian adalah proses dimana ujungnya adalah terpisahnya jiwa dari raga dengan ditandai hilangnya nafas.

Pada saat kematian, bagaimana dengan akunya? Sulit menjawab pertanyaan ini karena kita belum pernah mati. Sehingga hanya bisa mengandalkan informasi Nabi (s.a.w.) bahwa setelah terpisahnya jiwa dari raga, maka jiwa akan dibawa menghadap Ilahi. Bisa menembus langit atau tidak tergantung dari amalannya.

Keberadaan ruh ditandai dengan adanya nafas. Hampir sama dengan hidup. Namun Isa Almasih dalam Injil Barnabas dengan tegas menyatakan bahwa ruh hidup dengan ilmu dan kasih sayang dan tidak ada pada tumbuhan dan hewan yang sama-sama disebut hidup. Berarti ruh inilah yang menyampaikan ilmu dan kasih sayang kepada diri manusia, agar tahu, mampu dan mau untuk mewujudkan cita-citanya sebagai hamba Ilahi. Namun manusia kecenderungannya adalah mengikuti hawa nafsunya sendiri bahkan menjadikan dirinya sebagai Ilahnya.

Dengan ilmu, kita menyikapi dan mengamalkannya. Hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui dan yang bisa memberi hidayah.


Jakarta, 11 Juli 2020



[1] Idrus H. Alkaf, Terjemah Durratun Nasihin, CV Karya Utama, Surabaya, hal. 28

[2] Rahnip M BA, Terjemah Injil Barnabas, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984, hal. 140-142

[3] Perasaan yang dimaksud dalam Terjemah Injil Barnabas barangkali adalah jiwa seperti yang dimaksud dalam Terjemah Durratun Nasihin atau diri yang disebut dengan “aku”, bukan perasaan hati atau indra kulit.

[4] Hati atau al af-idah adalah kemampuan menarik manfaat.

Rabu, 21 Juni 2023

Nasehat Kematian


Setelah mengambil nyawa (diri / nafs beserta ruh) seseorang, para malaikat akan membawa nyawa (diri / nafs beserta ruh) tersebut naik ke hadirat Rabbul ‘alamin.

Allah akan menyampaikan kepada almarhum Rahmat dimana amalnya akan dicatatkan pada ‘Iliyyin atau Laknat dimana amalnya akan dicatatkan pada Sijjin. Allah juga menjelaskan hal apa yang membuat dia menerima Rahmat / Laknat. Lalu Allah SWT akan berkata kepada Malaikat Maut, “Kembalikan ruh (diri / nafs) itu ke badannya, agar ia melihat (menyaksikan) apa yang terjadi dengan jasadnya.”

Lalu para malaikat pun turun membawa ruh (diri / nafs) itu ke bumi. Kemudian mereka meletakkan ruh (diri / nafs) itu di tengah-tengah rumahnya, sehingga ia pun bisa melihat siapa saja yang bersedih dan siapa yang tidak bersedih sedikit pun atas kematiannya. Meski bisa melihat (menyaksikan), tapi ia tidak bisa berbicara dengan mereka.

Setelah jenazah diantarkan atau dimasukkan ke kuburan, Allah memerintahkan agar ruh (diri / nafs) jenazah itu kembali ke jasadnya, sebagaimana halnya ketika ia hidup di dunia.

Dongeng perihal kematian perlu diketahui untuk menjadi pelajaran bagi kita semua agar sukses dalam menjalani penggemblengan di dunia ini. Petikan dongeng-dongeng berikut berasal dari mereka-mereka yang telah mendahului kita lewat mimpi orang-orang yang beriman. Semoga kita bersedia menarik hikmahnya.

Umar berkata kepada Abdullah putranya melalui mimpi setelah 12 tahun kematiannya, “Aku mendapat teguran Allah. Dia memintaku perhitungan soal rakyat. Dulu di Syam ada jembatan berlubang. Kaki anak kambing betina milik seorang nenek terperosok kesana, sehingga salah satu kakinya patah. Allah bertanya kepadaku, “Mengapa jembatan itu tidak diperbaiki, sehingga tidak membikin celaka anak kambing?” Aku menjawab, “Ya Allah, aku di Madinah dan tidak ada kabar tentang jembatan itu.” Allah berfirman, “Wahai Umar, mengapa kamu mengambil wilayah kekuasaan di dunia sebegitu luas, sehingga tidak mampu engkau pantau?”” [Semua ciptaan akan menuju kepada kemusnahan, manusia hidup di dunia hanya sekali, tidak ada reinkarnasi, tidak ada karma, yang ada adalah tanggung jawab. Dunia adalah alam api, berarti manusia dimasak, digembleng di dunia agar tahu diri dan mampu memaksimalkan potensi fitrah yang dimiliki. Dengan mengetahui dirinya, maka dia bisa mengetahui Ilah nya dan perannya hidup di dunia. Jangan sampai menganggap bahwa hidup di dunia adalah mengejar kesenangan duniawi. Pengalaman diri dan orang lain mestinya sudah bisa menjelaskan akan diri dan tujuan hidupnya.]

Abu Al ‘Abbas bin ‘Atha berkata, “Aku melihat Al Junaid dalam mimpi, lalu berkata, “Apa yang Allah lakukan padamu?” Ia menjawab, “Masih ingatkah engkau masa paceklik dahulu, ketika orang-orang kekeringan karena tak turun hujan?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu Junaid berkata, “Ketika aku katakan di tengah mereka, betapa butuhnya orang-orang dengan air hujan. Ternyata Allah mencelaku karena perkataan itu. Dia berkata, “Hai Junaid, tahukah engkau, sesungguhnya orang-orang itu memang sangat membutuhkan air hujan. Sedangkan Aku adalah Pengatur alam semesta dengan ilmu-Ku. Sungguh Aku adalah Yang Maha Mengetahui.”” [Keimanan yang sempurna selalu mengutamakan Allah, sehingga Al Junaid seharusnya mengatakan bahwa orang-orang membutuhkan Allah untuk menurunkan hujan.]

Malik bin Dinar terlihat dalam mimpi setelah kematiannya dan dia berkata, “Aku telah banyak melakukan dosa, tetapi telah dihapus dari catatan amalku, karena prasangka baik kepada Allah.” [Orang tidak tahu, dengan amalan apa mereka bisa selamat. Karena yang pasti bisa menyelamatkan adalah Yang Memiliki Kekuasaan untuk menyelamatkan, yaitu Allah sendiri. Oleh karena itu selalulah meminta pertolongan-Nya dan menjaga prasangka baik kepada-Nya. Meski upaya perjuangan seseorang wajib dikerjakan, karena akan mendekatkan kepada keberhasilan dan bisa menjadi sebab anugerah Allah akan diturunkan kepadanya.]

Mutiara Papahan, 24 Dzulqa’idah 1444 H 

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...