Hakekat Diri Dan Perbedaan Antara Diri Yang Menyaksikan Dengan Dzikir

Ketika masih anak-anak, dengan teman-teman sepermainan kami biasa berteka-teki dengan tantangan: “Siapa bisa memegang aku?” Dan teman-teman berebutan memegang tubuhku. Saat itu aku hanya bisa bilang bahwa ndak ada yang bisa memegang aku. Karena yang terpegang hanyalah bagian-bagian dari tubuhku. Dan kami pun bubar, karena sadar bahwa kami tidak ada yang bisa memegang “aku”.

Lalu siapakah “aku”?

Aku ada saat diriku bisa menyaksikan.

Saat aku tidur, aku bersama Allah berdasarkan firmanNya dalam QS AZ Zumar 39 ayat 42: Allah memegang jiwa (al-anfusa) ketika matinya dan jiwa yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir. Konon saat aku masih berupa sperma aku menjawab pertanyaan Rabb-ku sebagaimana difirmankan dalam QS A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (anfusihim): "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: "Betul, kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.

Jadi aku adalah diri yang menyaksikan. Saat aku dikeluarkan itulah, maka aku menjadi pribadi yang menyaksikan keberadaanku. Berarti aku berasal dari DiriNya, yaitu sama-sama dikuasai.

Kenyataannya, aku tidak ingat peristiwa saat masih berupa sperma, saat dalam kandungan hingga lahir bahkan saat berusia kira-kira 3 tahunan. Bahkan sampai sekarang masih sering lupa apa yang akan kukerjakan atau apa yang sudah kukerjakan.

Bilamana begitu, apakah kesaksian diri berbeda dengan ingatan?

Jelas berbeda. Ingatan adalah kemampuan diri dalam mengakses data / memori. Data adalah milikNya dan karena kita berasal dari DiriNya, maka semua data ada dalam diri kita. Diri kita berasal dari alam dan alam berasal dari DiriNya, yaitu yang dikuasai. Jadi saat aku bisa mengakses data yang dimaksud, maka aku menjadi teringat atau dzikir. Untuk bisa berdzikir, maka perlu membuka diri dan memohon agar dibukakan Allah dadanya sebagaimana Dia berfirman dalam QS Az Zumar 39 ayat 22: Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah dadanya (shadrahu) untuk (menerima) Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya (qulubuhum) untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Tinggal kita diizinkan mengaksesnya atau tidak. Data itulah yang dimaksud dengan tersimpan dalam Lauh Mahfudz yang juga berada dalam diri kita.


 

Papahan, 29 Juni 2023 / 10 Dzulhijjah 1444 H


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Orang Jawa Menjelaskan Hakekat Manusia

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Sugeng Kondur Bapak (Bapak Mas Supranoto)