Kamis, 29 Februari 2024

Menyaksikan Keberadaan Rabbul 'alamin

Bukankah indra a5’ hanyalah kemampuan menginderai, dimana outputnya hanyalah berupa sebutan ini atau itu?

Bukankah output dari indra a5’ dinilai oleh penilaian hati a5’’ dengan baik atau buruk, lalu bisa menimbulkan keinginan hati a6’’?

Kalau begitu, bukankah eksistensi atau keberadaan akan sesuatu adalah ada, bilamana dinyatakan oleh pikiran a7, yaitu ada dalam memori a5’’’ yang disebut dengan pengetahuan dalam wujud kesan / gambaran atau sebutan atau simbol?

Bukankah itu adalah kegiatan dari diri yang menyaksikan? Yang menyaksikan bagaimana indra a5’ menyampaikan ini atau itu, menyaksikan bagaimana penilaian hati a5’’ menilai baik atau buruk, menyaksikan bagaimana keinginan a6’’ muncul dan menyaksikan bagaimana memori a5’’’ menyampaikan pengetahuan yang diterimanya. Bukankah kemudian diri yang menyaksikan menyatakan kesaksiannya?

Bagaimanakah menyatakan keberadaan Rabbul ‘alamin?

Bukankah sang diri sudah bersaksi atau bersyahadat bahwa Dia adalah Rabb-nya? QS A’raaf 7 ayat 172: Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (anfusihim): "Bukankah Aku ini Rabb-mu?" Mereka menjawab: "Betul, kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini. Padahal dia masih berupa sperma (yang ditempatkan pada sulbi bapaknya) dan belum dihembuskan Ruh-Nya serta belum memiliki otak [bukankah setiap wujud membawa memori dari asalnya? Bukankah memori ini sama dengan memori a5’’’ yang ada pada otak a7 manusia?].

Bukankah kita semua pernah mengalami out of body experience? Misalnya saat kita tidur atau pingsan. Bukankah kita bisa menjawab pertanyaan orang-orang bahwa kita tidak tahu, tidak ingat dan lain-lain, namun raga kita masih bernafas atau ruhnya belum dicabut?

Kalau begitu, bukankah sang diri telah menyaksikan keberadaan Yang Menciptakan alam semesta?

Yang mana? Yang menciptakan dan menyempurnakan alam semesta. Yang mana sih? Yang ini, Yang itu.

Yang mana sih? Yang merupakan tempat kita semua kembali.

Yang mana, membingungkan? Yang disebut oleh para Nabi dengan Allah.


Papahan, 29 Feb 2024 / 19 Sya’ban 1445 

Kamis, 15 Februari 2024

Perjanjian Kita Dengan Allah SWT

 Seorang anak menuntut kepada kedua orang tuanya, “Ayah dan ibu yang menginginkan aku ada di dunia ini, yang bukan mauku, maka menjadi kewajiban ayah dan  ibu untuk membahagiakanku.”

Lalu ayahnya menyampaikan kepada kami bahwa beliau akan menuntut Allah SWT untuk membahagiakan keluarganya.

Tuntutan tersebut adalah wajar. Hanya salah alamat. Mestinya tuntutan tersebut disampaikan kepada Allah SWT. Kenyataannya, hal ini sudah dituangkan dalam QS Al Fatihah. Tentunya tuntutan tersebut pastinya akan dipenuhi Allah SWT. Buktinya leluhur kita Nabi Adam (AS) diciptakan di surga, sarana kehidupan bisa dipergunakan untuk menyenangkan kita.

Namun tentunya harus ada perjanjian yang wajib kita penuhi dan yang paling utama adalah mengakui eksistensi Allah SWT dan bersedia mengabdi kepada-Nya. Diantara isi perjanjian tersebut sebagaimana disampaikan Nabi (SAW) lewat Mu’adz bin Jabal (RA) bahwasanya beliau berkata, “Rasulullah (SAW) bersabda, “Allah Ta’ala berfirman:

·       “Hai anak Adam, malulah kepada-Ku ketika engkau bermaksiat, maka Aku malu kepadamu pada hari dipintakannya amal yang lebih besar. Jika Aku malu padamu, maka Aku tidak akan menyiksamu.

Pada saat kita bermaksiat, biasanya kita tidak ingat akan Allah SWT karena kecintaan kita akan perbuatan tersebut. Pun kalau kita ingat, namun kecintaan kita akan kenikmatan membuat kita mengabaikan-Nya.

·       Hai anak Adam, bertaubatlah engkau kepada-Ku, niscaya Aku akan memuliakanmu seperti memuliakan para Nabi.

Dalam upaya memenuhi janji, sejatinya Allah SWT banyak memberikan kemudahan-kemudahan, diantaranya adalah pertobatan. Namun entah kenapa umat semakin sulit untuk mau mengakui salah?

·       Hai anak Adam, janganlah kamu memalingkan hatimu dari-Ku, maka Aku akan menghinakanmu dan Aku benar-benar tidak akan menolongmu.

Kesenangan sudah menjadi target utama dalam kehidupan ini dan sarana untuk mendapatannya adalah dengan memiliki uang. Bukan saja menjadi target, uang juga sudah menjadi nilai. Buktinya orang yang memiliki uang akan lebih dihormati. Akibatnya kesibukan dalam memperjuangan untuk memperoleh uang ini memalingkan hati kita dari Allah SWT.

·       Hai anak Adam, kalau kamu berjumpa Aku pada hari Kiamat dimana kamu membawa amal-amal kebaikan seperti amal kebaikan penduduk bumi, maka Aku tidak akan menerima amalmu sehingga kamu membenarkan janji dan ancaman-Ku.

Kita melakukan amal ibadah didasarkan atas persepsi kita sendiri. Bahkan persepsi itu sudah menjadi kebenaran yang diyakininya. Padahal yang memiliki ini semua adalah Allah SWT, demikian pula kebenaran akan janji dan ancaman-Nya. Kenapa kita tidak meminta penjelasan dan pertolongan kepada-Nya daripada mempersepsikan sendiri dalam beramal?

·       Hai anak Adam, sesungguhnya Aku adalah Pemberi rezeki dan engkau yang Kuberi rezeki serta engkau tahu kalau Aku menepati rezekimu, maka sekali-sekali engkau jangan berani meninggalkan ketaatanmu pada-Ku sebab mengurus rezeki. Karena sesungguhnya jika kamu berani meninggalkan ketaatanmu kepada-Ku sebab mengurus rezekimu, maka Aku memastikan siksaan-Ku kepadamu.

Kita ketakutan akan kemiskinan bahkan mati kelaparan. Padahal kita hidup dihidupkan dan sudah sepantasnya dihidupi oleh Yang Menciptakan. Semestinya kesibukan mencari rezeki adalah bagian dari ketaatan kita kepada Allah dan bukan sebaliknya, yaitu mengabaikan ketaatan kita kepada-Nya karena sibuk mencari rezeki. Ini menandai bahwa kita semakin tidak percaya kepada-Nya.

Hai anak Adam, peliharalah karena Aku lima perkara itu, engkau pasti mendapatkan Surga.”””

Inilah perjanjian kita dengan Allah SWT yang dituangkan dalam hadits Qudsi[1] terseebut. Semoga Allah menolong kita untuk bisa memenuhi perjanjian tersebut.

Papahan, 2 Sya’ban 1445 atau 14 Feb 2024



[1] Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al ‘Ushfuri, Terjemah dari kitab Al Mawa’idhul “Ushfuriyah, PT Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hal. 31.

Jumat, 02 Februari 2024

Hidup Di Dunia Memang Susah

 

Diriwayatkan dari Sa’id bin Al Musayyab (RA), ia berkata: “Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib (KW) keluar dari rumah, lalu Salman Al Farisi (RA) menjumpainya. Maka Ali berkata kepadanya, “Hai ayah Abdullah, bagaimana engkau berpagi-pagi?”

Jawab Salman, “Hai Amirul Mu’minin, saya berpagi-pagi antara empat kesusahan.”

Ali bertanya, “Semoga Allah merahmatimu dan apa empat kesusahan itu?”

Jawab Salman, “Menyusahi tanggungan keluarga yang membutuhkan roti, menyusahi Allah yang memerintahkan aku dengan keta’atan, menyusahi syetan yang menyuruhku berbuat maksiat dan menyusahi malaikatul maut yang akan mencabut nyawaku.”

Ali berkata, “Bergembiralah engkau wahai ayah Abdullah, sesungguhnya setiap perkara itu ada derajad bagimu. Dan sesungguhnya saya pernah datang pada Rasulullah (SAW) pada suatu hari, beliau bersabda, “Bagaimana engkau berpagi-pagi ya Ali?” Maka jawabku, “Ya Rasulullah (SAW), dalam empat kesusahan: di rumah tidak ada apa-apa selain air dan sesungguhnya saya seorang yang susah terhadap keadaan keluargaku, susah untuk menta’ati Allah, menyusahi akhir hayat dan susah terhadap malaikat maut.” Maka Nabi (SAW) berkata, “Bergembiralah engkau hai Ali, sebab menyusahi tanggungan keluarga itu menjadi tirai dari neraka, menyusahi ta’at terhadap Pencipta itu selamat dari siksaan dan menyusahi nasibnya di akhir hayat itu perjuangan dan itu lebih utama daripada beribadah sunah enam puluh tahun dan menyusahi malaikat maut itu menjadi penebus dosa seluruhnya. Ketahuilah hai Ali bahwa rezeki para hamba itu ada pada Allah Ta’ala. Maka susahmu itu tidak membahayakan dan tidak membawa manfaat melainkan bahwa engkau akan diberi pahala karena memprihatinkan tanggungan keluargamu. Maka jadilah engkau seorang yang bersyukur, ta’at dan berserah diri kepada Allah, niscaya engkau menjadi kerabat Allah Ta’ala.” Saya bertanya, “Pada perkara apa saya harus bersyukur kepada Allah Ta’ala?” Rasulullah (SAW) bersabda, “Syukur dapat melaksanakan Islam.” Ali (KW) bertanya, “Dengan apa aku menta’ati Allah?” Nabi (SAW) bersabda, “Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billahi ‘Aliyyil  ‘Adhiim (Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).” Kataku, “Apa saja aku harus meninggalkan?” Jawab Rasulullah (SAW), “Kemarahan. Sebab (meninggalkan) kemarahan itu dapat memadamkan kemarahan Rabb Yang Maha Agung, dapat memberatkan timbangan amal dan akan menuntun ke Syurga.””

Salman Al Farisi berkata, “Semoga Allah menambahkan kemuliaan kepadamu dan sesungguhnya aku adalah orang yang menyusahi beberapa perkara itu, khususnya menyusahi banyaknya tanggungan keluarga.”

Ali berkata, “Hai Salman Al Farisi, aku mendengar Rasulullah (SAW) bersabda, “Siapa yang tidak memperhatikan nasib keluarga, maka dia tidak memperoleh bagian Syurga.”

Salman Al Farisi bertanya, “Apakah Rasulullah (SAW) tidak mengatakan (bahwa) orang yang mempunyai beberapa keluarga itu tidak akan beruntung selama?”

Ali menjawab, “Hai Salman Al Farisi, bukan demikian. Jika penghidupanmu dari yang halal, maka engkau berbahagia. Hai Salman, Syurga itu rindu kepada orang yang prihatin dan susah terhadap yang halal.”””[1]

Jujur, memang berat menghadapi keempat kesusahan hidup tersebut. Untunglah bahwa dalam keempat kesusahan tersebut, Allah SWT menganugerahi derajad yang tinggi. Mestinya dengan berita ini, kita tidak lagi mengeluh bahkan kita wajib bersyukur dan memenuhi kewajiban tersebut dengan riang gembira.

Sebaliknya, berhati-hatilah mereka yang menjalani kehidupan dengan segala kemudahan dan penuh kenikmatan duniawi.


Papahan, 02 Feb 2024 / 22 Rajab 1445



[1] Drs. M Ali Chasan Umar, Hikayat-Hikayat Teladan Dalam 40 Hadits terjemahan dari kitab Al Mawa’idhul ‘Ushfuriyah karya Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Al ‘Ushfuri, PT Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hal 97 - 101

Persiapkan Dirimu Menghadapi Fitnah Akhir Zaman

Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Dengan Asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Dzat yang...